POV HarisAku menatap anak lelaki yang duduk tak jauh dari tempatku duduk dengan seksama. Dilihat dari sudut manapun, anak berusia empat tahun itu sama sekali tidak mirip denganku.Rambutnya yang ikal sangat berbanding terbalik dengam rambutku yang tumbuh lurus. Bahkan, Kanya yang kulihat sekarang berdiri di sampingnya juga punya rambut yang lurus.Apalagi wajah oriental anak itu yang semakin membuatku tak yakin dengan ucapan Kanya barusan. Anak itu, Wildan, adalah putraku. Anakku dan Kanya yang lahir akibat hubungan di luar nikah. Saat dahulu masa-masa kami sedang berpacaran."Mas."Aku menoleh, menatap Kanya dengan alis bertaut. Sejenak aku memegangi kepala yang mulai terasa pusing kembali. Meski dua bulan telah berlalu sejak kecelakaan itu. Aku masih belum mengingat apa-apa.Rasanya seperti bayi yang baru lahir ke dunia. Aku tidak ingat siapa diriku, namaku, tempat tinggalku, bahkan kehidupanku sebelumnya. Aku hanya tahu saat aku bangun, aku ada di rumah sakit dan Kanya berdiri di
POV Haris"Bagaimana dengan semua persiapannya, lancar?" tanyaku pada Kanya dari sebrang telepon.Kudengar nada antusias dari sebrang sana."Aku sudah memilih gaun untuk pesta besok, Mas. Termasuk jas yang akan Mas dan Wildan pakai. Mas mau ikut melihat sekalian fitting baju nanti siang?"Aku tersenyum, menyelipkan ponsel di antara pundak dan telinga. Lantas memakai jam tangan dengan sedikit kesusahan."Hari ini aku ada rapat. Ada banyak pekerjaan yang aku harus urus untuk persiapan cuti besok. Jadi, untuk saat ini kamu saja yang mengurus semuanya, ya."Aku berbohong, hari ini sebenarnya sangat santai. Tidak ada pekerjaan penting yang harus aku urus di perusahaan. Hanya saja, entah kenapa di tengah kegaduhan masalah yang sedang kuhadapi, aku ingin menepi sejenak.Rasanya terlalu sesak. Aku ingin mengambil nafas, tapi Kanya seolah tak membiarkanku melakukan hal itu. Satu-satunya cara adalah aku harus membohonginya."Ya sudah kalau begitu, Mas hati-hati."Aku mengangguk. "Ya, aku tutup
POV Haris"Mbak Wati," panggilku kemudian. Wanita paruh baya itu mendongak, wajahnya tampak pucat saat bertatapan denganku."Y--ya Tuan.""Ada hal yang Mbak Wati sembunyikan dari saya?""T--tentu saja tidak Tuan. Memangnya apa yang saya sembunyikan dari Tuan? Bahkan saya juga tak berani untuk merahasiakan apapun dari Tuan. Saya sudah mengabdi cukup lama di rumah ini.""Lalu, siapa yang Mbak Wati panggil Nyonya tadi?""I--itu ... maksud saya tadi." Mbak Wati mengalihkan pandangan dariku, berusaha untuk tidak menatap mataku yang kini sedang menatap tajam ke arahnya.Dering ponselku berbunyi, aku menghela nafas seraya mengusap wajah dengan kasar. Segera kuangkat panggilan itu. Dari Kanya."Halo.""Halo, Mas, kamu belum berangkat ke kantor?"Alisku bertaut, sejenak kualihkan ponsel dari telinga seraya menatap ke sekeliling halaman belakang rumah yang ditumbuhi banyak pepohonan itu.Kanya, dia terdengar seperti sedang memata-mataiku. Kenapa dia tahu kalau aku belum berangkat ke kantor? Ata
POV Amira"Bagaimana Jalu?" tanyaku begitu Jalu kembali. Penampilannya tampak berantakan. Wajahnya juga tamoak kusut tak karuan, membuatku tak enak karena dia bekerja sekeras itu karena aku."Tak ada satupun bukti yang bisa menunjukkan kalau Kanya berada di tempat kejadian saat kecelakaan itu berlangsung, Bu Mira. Kemungkinan videonya yang menunjukkan bukti tersebut sudah dihapus dan kita tak akan bisa menemukannya kembali.""Astaghfirullah," ucapku sembari mengusap wajah. "Jadi maksudmu kita tak punya bukti untuk menunjukannya pada Mas Haris?""Sama sekali tidak ada." Jalu menggeleng pelan. "Bahkan ....""Ada apa Jalu?""Kanya punya alibi kuat saat kecelakaan itu terjadi.""Maksudmu?"Jalu merogoh kantungnya, mengeluarkan ponselnya dari sana. Mengotak-atiknya sebentar lalu memberikannya padaku."Itu saya dapat dari perawat yang mengurus Dewi di rumah sakit jiwa. Kemungkinan keberadaan Kanya selain di lokasi kecelakaan. Dan, saat jam tersebut dia memang berada di sana. Bersama dengan
"Nyonya Mira, Nyonya masih hidup? Nyonya ke mana saja setelah kecelakaan itu? Saya sangat khawatir dengan keadaan Nyonya, tapi tidak bisa mencari tahu."Mbak Wati menatapku dengan pandangan nanar, matanya berkaca-kaca. Meski aku tak tahu dia menatapku dengan tatapan apa. Sedih? Merasa bersalah? Atau malah kecewa padaku."Saya pikir, Nyonya sudah ....""Saya masih hidup, Mbak Wati. Buktinya saya masih di sini, di depan Mbak Wati bahkan sekarang sedang berbicara. Mbak Wari bisa pegang tangan saya."Mbak Wati menurut, mengulurkan tangannya ke arahku."Nyonya benar, saya yang terlalu banyak berprasangka. Sebenarnya apa yang terjadi pada Nyonya? Kenapa menghilang setelah kecelakaan itu? Para polisi hanya menemukan Tuan Haris yang terbalik dalam mobil ....""Panjang ceritanya Mbak Wati. Yang jelas dalam kurun waktu itu saya dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Saya butuh waktu untuk pulih dan baru bisa mengunjungi Mbak Wati sekarang.""Lalu, apa Nyonya tahu kalau Tuan Haris telah ...."
"Untuk malam ini Mbak bisa tinggal di rumah Ghea. Jalu tinggal di samping rumah Ghea. Kalau ada apa-apa kita bisa memanggilnya. Mbak gak masalah, kan?"Aku tersenyum, mengusap bahu Ghea yang berdiri di sampingku. Tatapanku mengarah pada rumah dua tingkat yang berhalaman cukup luas ini.Aku, Ghea dan Jalu berada di komplek perumahan mereka. Komplek perumahan yang cukup elit menurutku. Menjadi orang kanan Mas Haris tentu membuat mereka berpenghasilan cukup mumpuni mengingat Mas Haris merupakan pimpinan Adiwangsa."Mbak dulu hidup di rumah yang dua kali lebih kecil dari rumahmu, Ghe. Waktu Mas Haris masih berpura-pura menjadi seorang penjual tahu. Dan saat itu Mbak bahkan gak pernah mempermasalahkan hal itu. Begitu juga untuk sekarang.""Bagi Mbak, selama Mbak bisa berada di dekat Mas Haris, Mbak gak akan pernah mengeluh. Mbak juga hanya malam ini menginap di rumahmu. Kalau Mbak Wati mengabari nanti, maka besok Mbak akan tinggal di rumah dan berpura-pura sebagai asisten rumah tangga Mas
Aku berdiri dengan gelisah, menunduk untuk menyembunyikan wajahku sebaik mungkin. Tak mengira kalau wawancara yang Mas Haris lakukan akan melibatkan Kanya.Sebenarnya tidak begitu, awalnya semua berjalan lancar sampai saat aku baru saja memasuki halaman rumah. Mobil Kanya datang dan merusak semua bayangan yang ada di pikiranku."Kenapa kamu butuh asisten rumah tangga baru, Mas?" Aku melirik pada Kanya yang melontarkan pertanyaan tersebut setelah cukup lama terdiam. Sedikit banyak membuatku bernafas lega. Karena itu artinya dia tak mengenaliku.Namun, pertanyaan yang dia lontarkan juga membuatku resah. Bagaimana kalau Mas Haris menjawab pertanyaan itu dengan hal yang membuatku tidak bisa masuk ke rumah ini.Jantungku berdegup kencang, aku menunggu jawaban Mas Haris dengan tidak sabar. "Bukan aku yang butuh. Mbak Wati yang butuh untuk membantunya di dapur.""Kenapa? Bukannya selama ini pekerjaannya baik-baik saja tanpa menambah orang sekalipun. Lagipula penghuni rumah ini cuma Mas saj
"Kau ... mengenaliku, kan?" tanya Mas Haris padaku."T--tuan, saya ...." Aku menunduk bingung. Apa yang harus kukatakan pada Mas Haris. Sementara Kanya berdiri di sampingnya sembari menunggu jawabanku dengan penasaran."Mas, jangan ngomong aneh-aneh, deh," ucap Kanya sembari menatap ke arahku tak suka. Mas Haris menggeleng, dia tak menghiraukan ucapan Kanya dengan tetap melihat ke arahku. Matanya menyiratkan sesuatu. Seolah tengah melihat orang yang dikenalnya."S--saya memang mengenal Tuan," ucapku kemudian membuat Kanya terbelalak kaget. Mas Haris juga tampak terkesiap saat mendengar penuturanku."Kau ... benar-benar tidak tahu malu!" seru Kanya."Katakan siapa kau sebenarnya? Bagaimana kau mengenali aku?" tukas Mas Haris dengan nada menuntut."Saya memang mengenal Tuan Haris. Lagipula tidak ada orang yang tidak mengenal Tuan sebagai pemimpin Adiwangsa. Juga ... sebagai seseorang yang ingin bekerja di rumah Tuan, saya tidak mungkin tidak mengenal Tuan."Aku memejam seraya menunduk,
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng
POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san
POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me
POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka
POV HarisAku tak tahu entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Pertama kali wanita ini datang ke rumah setelah Mbak Wati meminta untuk menambah asisten rumah tangga baru, aku seperti merasakan sesuatu hal yang aneh padanya.Tatapannya, mata itu, meski aku tak mengingatnya sama sekali tapi aku sangat yakin. Ira, adalah sesorang yang kukenal atau dia yang mengenaliku. Karena tatapan itu ... penuh dengan kerinduan.Dan seharusnya, tatapan itu tidak ditujukan padaku orang yang baru dia kenali. Aku yakin ada sesuatu tentang Ira. Awalnya begitu, sampai dia mengatakan hal yang membantahkan pikiranku. Apalagi perkataan Kanya yang membuat perasaanku semakin bimbang.Aku membuka lengan yang menutup mata. Menatap langit-langit kamar. Perasaan asing itu mulai kembali lagi. Ingatan yang bahkan tak kuketahui sekalipun. "Rasanya hampa, seperti ada yang hilang dariku," bisikku sembari menghembuskan nafas perlahan. Pikiranku kacau, tapi aku sama sekali tak bisa tidur. Aku bangkit dari atas r
"Gimana Mbak? Kalau Mbak setuju dengan rencana kami, Jalu akan segera melakukannya. Dia ada di gedung tepat di mana pesta pernikahan Pak Haris dan Kanya akan dilangsungkan."Aku tersenyum, bahkan tanpa lama berpikir atau mempertimbangkan perkataan Ghea, aku segera mengangguk untuk menyetujui perkataannya.Sedikit ekstrim, tapi rasanya hal itu pantas dilakukan karena memang pernikahan Mas Haris dan Kanya tak boleh dilaksanakan. Pernikahan mereka atas dasar kebohongan. Dan aku sebagai istri sahnya tak akan pernah menyetujui hal tersebut, sampai kapanpun!"Lakukan Ghea, katakan pada Jalu untuk melakukan apapun. Semua hal yang bisa membatalkan pernikahan suamiku dengan wanita tak waras itu. Aku mengizinkannya," tukasku seraya menggebu-gebu.Ada emosi yang terasa dalam setiap ucapanku. Yah, tak dipungkiri aku masih merasa marah atas semua hal yang terjadi saat ini. Dan ini semua terjadi setelah Kanya masuk dalam hidup kami."Mbak tenang saja, Jalu berada di pihak Mbak. Dia juga sangat seti