Aku menatap wajah di balik cermin. Sesuai perkiraanku, kamar asisten rumah tangga yang kutempati rumah ini memang tak besar. Namun, ukurannya masih sama persis seperti kamarku dan Mas Haris dahulu.Setidaknya dengan menyadari hal ini aku tahu, Mas Haris mempelakukan setiap orang yang bekerja dengannya sangat baik. Hanya saja, sayang sekali ada orang yang memanfaatkan kebaikannya.Wajah yang tampak berubah ini, sebenarnya sangat risih untuk kupakai. Kacamata tebal, tahi lalat palsu dan yang paling mengganggu adalah gigi palsu yang kupakai.Tak jarang beberapa kali karena belum terbiasa, benda itu hampir terlepas dari mulutku. Tok! Tok! Tok!Aku berbalik, sembari merapikan hijab yang kupakai. Sebelumnya aku menyusun beberapa pakaian yang bisa kupakai di rumah ini setelah membelinya bersama Ghea tadi.Sebenarnya ada banyak pakaianku di kamar Mas Haris. Namun, menurut dari cerita Mbak Wati, barang-barangku termasuk pakaianju telah ia singkirkan atas suruhan Kanya. Meski begitu, Kanya ya
"Apa yang kamu lakukan?" Aku mengerjap, tak berani menatap Mas Haris. Sementara Mas Haris memegangi tanganku erat. "M--maaf Tuan, saya ...." "Siapa yang menyuruhmu masuk ke dalam kamarku?" tanya Mas Haris dengan pelan namun nadanya terdengar tegas. "S--saya hanya ...." Aku menunduk, menatap nampan berisi makanan yang kubawa untuk Mas Haris tadi. "Berniat untuk membawakan makanan untuk Tuan." Mas Haris terdiam, mata kami bertemu. Dia menatapku dengan tajam. Sementara aku menatapnya penuh kerinduan. Dalam hati ingin sekali memeluk suamiku yang sudah lama tak bertemu bahkan tak mengingat diriku sama sekali. "Lupakan saja," ucap Mas Haris melepas genggaman tangan di lenganku. "Lain kali jangan masuk kalau aku tak menyuruhmu untuk masuk. Tak sopan!" Aku terkesiap saat Mas Haris berucap tegas pada kalimat terakhirnya. Lantas menunduk karena tatapan intimidasi yang dilakukan Mas Haris terhadapku. "Maaf Tuan, tadi saya sudah mengetuk pintu dan memanggil-manggil Tuan beberapa kali. Tapi
Tapi, aku juga tak bisa tinggal diam. Aku harus menemukan cara untuk mencegahnya.Aku berjalan cepat, menyusul Kanya yang sudah hampir tiba di depan pintu kamar Mas Haris. Tepat sebelum aku meraih tangannya, tepat sebelum ia meraih kenop pintu, terdengar suara klik dua kali dari lubang kunci.Menghembuskan nafas lega, aku berdiri tepat di hadapan Kanya. Menutupi pintu kamar Mas Haris dari pandangannya."Sudah saya katakan Nyonya, Tuan Haris sedang tidak ingin diganggu. Jadi sebaiknya Nyonya jangan masuk ke dalam kamarnya saat ini," ucapku dengan suara lemah lembut namun tak ayal rasa kesal itu sungguh kentara.Kanya mendengkus, menatapku sinis. Lantas berbalik tanpa sepatah katapun meninggalkanku dengan bunyi sepatunya yang memenuhi ruangan.Sekejap kemudian terdengar deru mobil dari halaman depan yang dikendarai dengan kecepatan tinggi.Tak masalah bagiku, meski harus menabuh genderang permusuhan aku akan melakukannya demi melindungi Mas Haris dari wanita kurang ajar itu****"Mbak b
"Gimana Mbak? Kalau Mbak setuju dengan rencana kami, Jalu akan segera melakukannya. Dia ada di gedung tepat di mana pesta pernikahan Pak Haris dan Kanya akan dilangsungkan."Aku tersenyum, bahkan tanpa lama berpikir atau mempertimbangkan perkataan Ghea, aku segera mengangguk untuk menyetujui perkataannya.Sedikit ekstrim, tapi rasanya hal itu pantas dilakukan karena memang pernikahan Mas Haris dan Kanya tak boleh dilaksanakan. Pernikahan mereka atas dasar kebohongan. Dan aku sebagai istri sahnya tak akan pernah menyetujui hal tersebut, sampai kapanpun!"Lakukan Ghea, katakan pada Jalu untuk melakukan apapun. Semua hal yang bisa membatalkan pernikahan suamiku dengan wanita tak waras itu. Aku mengizinkannya," tukasku seraya menggebu-gebu.Ada emosi yang terasa dalam setiap ucapanku. Yah, tak dipungkiri aku masih merasa marah atas semua hal yang terjadi saat ini. Dan ini semua terjadi setelah Kanya masuk dalam hidup kami."Mbak tenang saja, Jalu berada di pihak Mbak. Dia juga sangat seti
POV HarisAku tak tahu entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Pertama kali wanita ini datang ke rumah setelah Mbak Wati meminta untuk menambah asisten rumah tangga baru, aku seperti merasakan sesuatu hal yang aneh padanya.Tatapannya, mata itu, meski aku tak mengingatnya sama sekali tapi aku sangat yakin. Ira, adalah sesorang yang kukenal atau dia yang mengenaliku. Karena tatapan itu ... penuh dengan kerinduan.Dan seharusnya, tatapan itu tidak ditujukan padaku orang yang baru dia kenali. Aku yakin ada sesuatu tentang Ira. Awalnya begitu, sampai dia mengatakan hal yang membantahkan pikiranku. Apalagi perkataan Kanya yang membuat perasaanku semakin bimbang.Aku membuka lengan yang menutup mata. Menatap langit-langit kamar. Perasaan asing itu mulai kembali lagi. Ingatan yang bahkan tak kuketahui sekalipun. "Rasanya hampa, seperti ada yang hilang dariku," bisikku sembari menghembuskan nafas perlahan. Pikiranku kacau, tapi aku sama sekali tak bisa tidur. Aku bangkit dari atas r
POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka
POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me
POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san