Tabitha tersenyum sinis ke arah Rino. “Kenapa? Lo kaget lihat gue, Rin? Nggak menyangka ya kalo ternyata gue ada di sini juga? Dan gue sudah dengar semuanya! Semua obrolan kalian berdua! Gue baru tahu kalau ternyata ada ya cowok yang sejahat lo, Rin! Jadi begitu rupanya? Lo anggap gue itu cuma sebatas cewek taruhan buat lo? Nggak ada artinya lagi kah gue selain itu, Rin? Menurut lo ... gue cewek kampungan? Culun? Kutu buku? Nggak cukup menarik ya buat lo? Nggak bisa bikin lo ‘naik’? Sorry ya, Rin! Sebelum lo menganggap diri lo itu cowok paling hebat yang bisa menaklukkan hati semua cewek, asal lo tahu aja ... lo nggak sehebat itu! Andai lo itu barang, dikasih gratis aja gue nggak mau terima, apalagi disuruh bayar! Karena buat gue, lo itu cuma cowok brengsek, jahat, nggak punya otak, yang pantasnya dibawa ke tukang loak terus ditukar sama piring! Tahu lo? Piring aja lebih berharga dan lebih berguna buat gue, daripada cowok kayak lo! Gue menyesaal ... banget pernah dekat sama lo, Rin! Cowok brengsek! Cowok nggak punya otak! Otak lo yang lo pikir cerdas bisa ngebodohin gue itu ternyata nggak lebih besar dari biji kwaci tahu nggak!” maki Tabitha, sebelum melangkah keluar dari warung kopi dan berlari menjauh. Rino melongo. Pemilik warung kopi bengong. Pemuda yang duduk di sebelah Rino bangkit berdiri sambil menahan tawa. “Kasihan lo, Rin! Udah otak lo cuma segede kwaci, lo mau dibawa ke tukang loak lagi! Ditukar sama piring!” Pemuda itu tertawa tergelak. "Diam lo!" bentak Rino. Malu. Pemuda itu semakin tertawa tergelak.
Lihat lebih banyakDijodohin lagi? Kali ini bapak mau menjodohkan aku sama Paklèk Juhari untuk jadi istri keduanya? Yang benar aja, Pak! Sebenarnya ... Bapak sayang sama Tabitha atau nggak sih, Pak? Tabitha bersandar ke dinding sambil tersenyum pahit. Tanpa terasa air mata mulai mengalir begitu saja dari pelupuk mata bulatnya. Tabitha buru-buru menghapus air mata yang mengalir itu. Sementara itu, di ruang tamu, seorang pria setengah tua yang bernama Juhari sedang tertawa senang sambil menepuk-nepuk bahu Rismanto, ketika pria tua yang dipanggil “Bapak” oleh Tabitha itu akhirnya menganggukkan kepala, pertanda bahwa beliau sudah memberikan persetujuan atas lamaran itu, dan sudah menerima rencana pernikahan yang akan segera mereka susun bersama untuk putri sulungnya. "Nah, kalau begini kan aku sudah bisa lega, Mas! Hatiku tentrem! Lèk sampeyan wes ... tenang saja! Aku nanti sèng urus semuanya! Pokokè sampeyan tahu beres! Hahaha...." Juhari kembali tertawa senang. Sedangkan Lasmi, perempuan yang dipan
“Tabitha! Nduk! Mau ke mana toh, Cah ayu?” panggil seseorang. Tabitha menoleh ke belakang. Seorang pria dengan usia dan penampilan yang hanya sedikit lebih muda dari ayahnya terlihat sedang mengendarai motor tidak jauh di belakangnya. Melihat kemunculan pria setengah tua itu, Tabitha mendadak merasa perutnya sedikit mual dan tidak nyaman. Duh, kenapa harus ketemu orang ini pagi-pagi sih? Bikin aku bad mood aja! keluh Tabitha. “Eh ... Pak lèk! Aku ... hmm ... mau ke warung sayur yang di ujung jalan itu, Pak lèk! Ibu titip minta dibelikan sayur-sayuran dan ikan.” sahut Tabitha dengan tetap sopan, sambil terus berjalan melenggang dan menatap lurus ke depan. Terus terang Tabitha enggan dan sedikit pun memang tidak ingin menatap wajah pria setengah tua itu, yang kemudian seperti dengan sengaja malah mengatur laju motor yang dikendarainya agar menyamai kecepatan langkah kaki Tabitha. “Ooh .... ke warung sayur yang di depan itu? Warung si Minah? Ya sudah, Ayo! Kamu bonceng Paklèk sa
“Lo serius, Bith? Lo mau pulang kampung sekarang?” tanya Sandra, sambil memandangi sahabatnya yang sedang sibuk melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper. “Ya serius lah, San! Masa’ lo pikir gue lagi bercanda? Mau ngeprank lo maksudnya? Ih, ribet banget!” sahut Tabitha, sambil mengunci koper berisi pakaian yang sudah tersusun rapi di dalamnya. “Terus, di kampung nanti lo mau ngapain? Memangnya lo udah rela untuk melepas mimpi lo yang katanya pingin punya karir bagus di Jakarta? Lo udah rela kalau seandainya di kampung nanti bapak lo tiba-tiba langsung nyuruh lo menikah sama cowok yang udah dia pilih buat lo? Alias lo bakal dijodohin lagi! Terus, memangnya lo yakin kalo lo udah bisa melupakan cinta lo sama Adriano untuk selama-lamanya? Lo udah rela kalo seandainya si Adriano itu akhirnya benar-benar pacaran sama si Helen? Lo udah ngerelain dia untuk dipeluk selamanya sama perempuan itu? Bitha, please ... jawab gue!” tanya Sandra, bertubi-tubi, dengan nada emosi. Tabitha men
“Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap. “Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha. Astaga! Tabitha terperanjat. Suara ... suara itu ... suara itu pernah aku dengar! “Siapa ka ... kamu?" “Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan!" APA? Tabitha terperanjat lagi. "Lo pasti masih ingat gue kan? Ini gue ... yang waktu itu hampir memperkosa lo, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan, perawan?” Pria itu menyeringai, seolah menertawakan, sambil tangannya mengelus bagian dalam paha Tabitha. Tabitha langsung terlonjak kaget. "Nggaak...! Tolong! Hmmph...!" Pria itu langsung membekap mulut Tabitha lagi. "Ssshhtt ... tenang dong! Jangan berteriak!" bisik pria itu di telinga Tabitha. Suaranya nyaris terdengar bagai hukuman yang tidak berkesu
Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Dia teringat kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya Tapi, nggak mungkin itu dia! pikir Tabitha, sedih. Sudah beberapa minggu mereka memang tidak saling memberi kabar. Dan .... Betul kan! Memang bukan dia! Tabitha menutup lagi gorden jendela ruang tamu di rumah Sandra dengan wajah muram. “Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul dari balik pintu utama dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa ruang tamunya. “Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar. Tabitha tersenyum kecil. “Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha. “Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin aku lapar aja!” ujar Tabitha, mulai sumringah. “Pastilah! Aku beli di tukang Sate Padang langgananku! Dari jaman a
Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya. Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, semua akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan, juga tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk melukiskan rasa yang sedang Tabitha alami saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki? Tabitha termenung sendiri sambil menatap ke luar dari balik jendela di kamar bayi Vanya. “Kangen ya?” tanya Sandra, yang kemudian masuk lalu meraih bayi Vanya yang sudah terlelap dari pelukan Tabitha. Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri
Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta. ~Pet Sematary, Stephen King~ “Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar Tabitha. “Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya. “Ke mana?” “Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu. Adriano menghela nafasnya. “Bitha, please ....” “Kamu nggak usah kawatir, Adrian! Aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah. “Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi. Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk d
“Sedang melamun di sini rupanya!” Seorang pria tiba-tiba duduk di samping Tabitha. Tabitha yang memang sedang melamun spontan terkejut. Dia lalu menoleh ke arah pria itu, dan langsung terperangah. “Loh, Bapak?” "Jangan panggil saya 'Bapak'! Saya belum tua!" ujarnya. Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi dengan lebih teliti. “Iya, tapi ... Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?” tanyanya. Pria itu tertawa terkekeh. “Iya, itu memang saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Kamu boleh panggil saya Ferdinan, boleh juga panggil saya Matteo! Terserah mau yang mana!" ujarnya, sambil mengulurkan tangan dan tersenyum. "Eh?" Tabitha menatapnya, heran. " Yaa ... dulu kan kita belum kenalan secara pribadi seperti ini! Iya kan?” ujar pria itu, sambil masih mengulurkan tangannya. Tabitha pun menyambut uluran tangan itu, dan balas tersenyum juga. “Iya juga sih, Pak!" ujarnya. "Tabitha.” "Yup! Sudah tahu!” “Eh? Iya kah?" Tabitha melirik pria itu, setengah tid
Beberapa jam sebelumnya. Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di dalam kamar mandi di dekat kolam renang. Sejak tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok kulit di sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di seluruh tubuhnya. Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”. Dia tidak ikhlas tubuhnya "kotor" dan "tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak punya hak untuk menyentuh dia. Dan, gadis itu menangis tersedu-sedu ketika akhirnya dia menyadari bahwa “kotoran” itu memang tidak akan bisa hilang. “Kotoran” itu memang tidak kasat mata. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihatnya. Tetapi, “kotoran” itu terus menghantui dirinya. Membuat dia merasa buruk. Merasa kotor. Merasa ternoda. Merasa tidak layak. Merasa terhina. Merasa tidak berharga. Seorang psikolog menamakan “kotoran” itu sebagai “Trauma”. Hasil dari sebuah k
Sambil menyeruput kopi hitam dari gelasnya Juhari memandang seorang gadis belia berseragam putih abu-abu yang sedang berjalan melewatinya. Wajah cantik nan ayu dengan mata bulat, alis yang melengkung sempurna, bibir merah alami, rambut hitam panjang bergelombang, dan kulit yang kuning langsat. Sungguh kecantikan dan lemah gemulai gerak langkah kakinya sangat menarik perhatian Juhari!“Sopo kui, Dar?” tanya Juhari. (Siapa itu, Dar?)Pria tua bernama Darmin yang duduk di atas dipan bambu tidak jauh dari Juhari langsung menoleh. Pria itu lalu ikut memandang seorang gadis belia yang baru saja lewat di depan warung kopi miliknya.Gadis belia nan cantik itu berjalan santai sambil terdengar bersenandung kecil. Entah lagu apa yang sedang disenandungkan oleh gadis belia itu.Yang pasti, yang sedang dia pikirkan saat ini hanya segera sampai di rumah, lalu makan siang dengan nasi hangat dan lauk ikan nila goreng hasil masakan ibu tercinta, kemudian mengerjakan tugas dari sekolah.Tidak terlintas ...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen