Share

Cinta untuk Tabitha
Cinta untuk Tabitha
Penulis: AYA RAYA

BAB 1

Penulis: AYA RAYA
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sambil menyeruput kopi hitam dari gelasnya Juhari memandang seorang gadis belia berseragam putih abu-abu yang sedang berjalan melewatinya. Wajah cantik nan ayu dengan mata bulat, alis yang melengkung sempurna, bibir merah alami, rambut hitam panjang bergelombang, dan kulit yang kuning langsat. Sungguh kecantikan dan lemah gemulai gerak langkah kakinya sangat menarik perhatian Juhari!

“Sopo kui, Dar?” tanya Juhari. (Siapa itu, Dar?)

Pria tua bernama Darmin yang duduk di atas dipan bambu tidak jauh dari Juhari langsung menoleh. Pria itu lalu ikut memandang seorang gadis belia yang baru saja lewat di depan warung kopi miliknya.

Gadis belia nan cantik itu berjalan santai sambil terdengar bersenandung kecil. Entah lagu apa yang sedang disenandungkan oleh gadis belia itu.

Yang pasti, yang sedang dia pikirkan saat ini hanya segera sampai di rumah, lalu makan siang dengan nasi hangat dan lauk ikan nila goreng hasil masakan ibu tercinta, kemudian mengerjakan tugas dari sekolah.

Tidak terlintas sedikit pun di benak gadis belia itu bahwa kecantikan wajah dan gerak langkah kakinya yang gemulai akan menarik perhatian dari dua orang pria dewasa yang sedang duduk bersantai di warung kopi yang baru saja dilewatinya.

“Ooh ... kui Tabitha! Sampèyan lali opo piyè? Kui cah wèdhok tonggomu dèwè toh?” sahut Darmin. (Kamu lupa atau apa? Itu anak perempuan tetanggamu sendiri toh?)

“Tabitha sopo?” tanya Juhari lagi. (Tabitha siapa?)

“Laah ... Tabitha cah wedhokè Rismanto!” sahut Darmin lagi, dengan nada heran. (Tabitha anak perempuannya Rismanto).

Oalaah ... anak gadis Mas Rismanto rupanya! Ayu tenan kowè, Nduk! Juhari membatin. (Cantik sekali kamu, Nak!)

Pria itu lalu kembali memandangi gadis belia yang saat ini sudah berada di kejauhan sambil kemudian tersenyum-senyum sendiri.

“Ooh ... iya, Dar! Aku lali!” ujar Juhari kepada Darmin sambil tertawa mèsem.

“Sibuk yo sibuk! Mosok anak tonggo dèwè yo ora kenal!” ujar Darmin sambil geleng-geleng kepala. (Masa’ anak tetangga sendiri ya tidak kenal!)

Juhari hanya menanggapi sindiran itu dengan tertawa kecil. Belum habis kopi hitam di dalam gelasnya, pria itu tiba-tiba bangkit berdiri.

“Loh, sampèyan mau ke mana toh? Kopinè urung entè, Ju!” tegur Darmin. (Kopinya belum habis, Ju!)

“Aku arep ngidul!” sahut Juhari. (Aku mau ke selatan!)

“Arep ngidul opo ngidul? Kui isih cilik, Ju! Ora pantes karo sampèyan!” ujar Darmin. (Mau ke selatan apa selatan? Itu masih kecil, Ju! Tidak pantas sama kamu!)

Juhari tertawa terkekeh, lalu mulai menyalakan mesin motornya.

Siapa pun yang sudah lama tinggal di kampung itu dan mengenal siapa Juhari, pasti tahu bahwa Juhari memang selalu menyukai gadis-gadis muda dan cantik. Meski usianya sudah lebih dari setengah abad, tetapi kebiasaannya sejak masih muda dulu sepertinya memang tidak pernah berubah. Selalu menyukai gadis-gadis cantik.

Tidak perduli sekalipun usia mereka seringkali jauh lebih muda darinya. Yang mampu membangkitkan gairahnya bahkan malah ditawarinya jadi gundik. (Gundik = selir atau wanita simpanan).

Entah sudah berapa banyak wanita-wanita cantik dan muda di kampung itu yang pernah dijadikan gundik oleh Juhari. Anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang kelihatan menyesal karena pernah menyandang predikat itu. Gundik Juhari.

Entahlah! Apakah karena bagi mereka predikat itu memang setara dengan predikat “mantan finalis kontes putri kecantikan sejagat”?

Namun, di sini Juhari yang bertindak sebagai jurinya? Sepertinya hanya mereka yang tahu alasannya!

----------------------------------------

Tabitha Anastasia.

Gadis belia yang hampir lulus dari bangku Sekolah Menengah Umum itu sedang mengerjakan tugas dari sekolah di ruang tamu ketika seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumahnya.

Tabitha lalu bangkit dari duduknya dan membuka pintu. Di depan pintu rumahnya, seorang pria yang usianya sedikit lebih muda dari ayahnya sedang berdiri sambil tersenyum memandang dirinya.

“Bapakmu ada, Nduk?” Tanya pria itu.

“Ada, Pak lèk!” sahut Tabitha.

“Tolong panggilkan ya, Nduk! Pak lèk mau ketemu sama bapakmu!” ujar tamu pria itu.

Siapa lagi kalau bukan Juhari? Memang pria setengah tua itu lah yang saat ini berdiri di depan pintu rumah gadis belia itu.

Darmin pasti langsung bersorak gembira bila dia tahu bahwa tebakannya tadi memang sangat benar. Juhari memang tidak akan membuang-buang waktu untuk segera mencari tahu tentang siapa gadis belia yang baru saja berhasil memikat hatinya lewat "pandangan pertama" di depan warung kopi.

Tabitha mengangguk. Tetapi, ketika gadis itu berbalik dan hendak melangkah pergi untuk memanggil ayahnya, Lasmi, sang ibu, ternyata sudah berdiri di belakangnya.

“Ono sopo, Nduk?” tanya Lasmi. (Ada siapa, Nak?)

“Pak lèk Juhari, Bu! Katanya mau ketemu sama bapak!” sahut Tabitha.

“Ooh ... biar ibu yang temui dulu! Kamu kerjakan tugas sekolahmu saja ya, Nduk!” ujar Lasmi.

“Iya, Bu!” Tabitha mengangguk patuh.

Lasmi pun lekas menemui Juhari yang masih berdiri di teras rumahnya.

“Looh ... Mas Ju? Ono opo toh, Mas?” tanya Lasmi.

Wajar kalau Lasmi bertanya, karena memang bukan kebiasaan Juhari untuk sekedar berkunjung ke rumah tetangga, kecuali ada perlu untuk menagih hutang. Maklum, profesi Juhari memang rentenir paling terkaya dan tersibuk sejagat kampung. Jadi wajar kalau beliau tidak punya banyak waktu untuk berleha-leha di rumah para tetangga, kecuali punya urusan tagih menagih hutang piutang dengan mereka.

“Bojomu ngendi, Las?” Juhari malah balik bertanya. (Suamimu di mana, Las?)

“Ada, Mas! Mas Risman sedang ngelir di belakang. Ono opo toh?”

(Ngelir : tahap pewarnaan kain pada proses pembuatan kain batik)

“Aku mau ada perlu bicara sebentar! Penting, Las!” ujar Juhari, dengan mimik wajah serius.

Lasmi mengerutkan keningnya.

“Yo wès, sebentar! Biar saya panggilkan dulu! Monggo! Mas Ju silahkan duduk!” ujar Lasmi. Mempersilahkan tamunya untuk duduk di kursi yang selalu tersedia di teras.

Setelah Lasmi masuk kembali ke dalam rumah, diam-diam Juhari mencuri pandang ke dalam, ke arah ruang tamu untuk mencari sosok gadis belia yang awal tadi menyambut kedatangannya.

Ah, itu dia cah ayuku!

Juhari tersenyum ketika menemukan sosok yang sedang dicarinya itu masih berada di tengah ruang tamu, sedang duduk bersila di lantai.

Dengan santai, Juhari melangkah masuk.

“Sedang mengerjakan opo toh, Nduk? Serius sekali!”

Juhari berbasa-basi.

Tabitha menoleh.

Gadis belia itu memandang sekilas pria setengah tua yang sekarang sudah duduk di sofa, tidak jauh dari dirinya.

“PR Matematika, Pak lèk!” Sahut Tabitha.

“Ooh ... susah ndak soal-soalnya?” Juhari masih berbasa-basi.

Tabitha menggeleng sambil tersenyum. Gadis belia itu kemudian kembali menekuni bukunya.

Duh ... manis sekali senyummu, cah ayuku! Juhari membatin.

Sambil menyalakan rokok, diam-diam Juhari memandangi Tabitha. Rambut hitam panjang bergelombang gadis itu sudah tidak lagi tergerai di punggung seperti siang tadi ketika pertama kali dia melihatnya, tetapi digelung di puncak kepala. Memperlihatkan bulu-bulu halus yang tumbuh menghiasi tengkuk yang putih mulus. Kedua bukit kembar yang dulu kecil ternyata sudah mulai membesar dan kelihatan membusung.

Jauh berbeda dibandingkan lima tahun lalu ketika gadis belia itu masih sering bermain dengan Risa, puteri bungsunya, di depan rumah.

Dan, bibir merah alami itu ....

Aduh cah ayu, bibir mungil merahmu!

Juhari menahan hasrat hatinya, dan terpaksa hanya bisa menelan salivanya.

Sementara itu, di bagian belakang rumah yang sedang dikunjungi oleh Juhari, seorang pria yang juga sudah setengah tua sedang sibuk mencelup kain ke dalam panci berukuran besar berisi air berpewarna. Lasmi terlihat terburu-buru menghampirinya.

“Pak, ada Mas Juhari menunggu di teras!” ujar Lasmi. Sedikit mengejutkan pria setengah tua itu, yang tidak lain adalah Rismanto, suaminya.

Rismanto menoleh. Menatap isterinya sejenak, lalu menghela nafas pelan. Tanpa banyak bicara, pria itu segera berhenti mencelup kain batik yang masih dipegangnya.

“Man, ini tolong diteruskan ya!” ujarnya pada seorang pemuda yang berdiri di sampingnya, sambil menyerahkan kain batik itu.

“Nggih, Pak!” sahut Lukman, si pemuda itu. (Baik, Pak!)

“Ono opo Juhari ke sini toh, Bu?” tanya Rismanto kepada isterinya, sambil mencuci tangan di kran air di belakang rumah.

Meski sudah dibilas dengan air bersih, noda keunguan dari pewarna kain batik di tangannya masih kelihatan membekas. Sudah puluhan tahun Rismanto menekuni batik sebagai sumber mata pencaharian untuk keluarganya. Pewarna kain yang melekat di tangan sudah menjadi makanannya sehari-hari.

Lasmi mengedikkan bahu.

“Ibu yo ndak tahu toh, Pak!” sahut wanita itu.

“Apa mungkin Mas Juhari ke sini karena mau nagih hutang kita lagi?” Lasmi malah balik bertanya.

Rismanto tampak berpikir sebentar.

“Ndak mungkin toh, Bu! Baru dua minggu yang lalu Bapak bayar cicilan hutang kita. Kalau hari ini Juhari sudah mau nagih hutang lagi yo kebangetan tenan!” ujar pria itu, kemudian.

“Pak, sampai kapan toh kita harus bayar cicilan hutang ke Mas Juhari? Rasanya kok ... yo ndak lunas-lunas ya, Pak! Masih banyaaak ... saja! Wes capek aku, pak!" keluh Lasmi, sambil berjalan mengiringi langkah suaminya memasuki rumah.

Rismanto terdiam.

Pria itu lagi-lagi hanya bisa menghela nafasnya pelan. Mau bagaimana lagi? Hutang yang mereka punya pada Juhari memang masih tersisa lumayan banyak. Sementara, cicilan hutang yang mereka bayar rutin setiap bulan sepertinya hanya untuk membayar bunga dan sedikit mengurangi jumlah hutang pokoknya.

Juhari memang rentenir yang terlalu tega. Bunga tinggi yang dia berikan memang selalu membuat siapapun yang meminjam uang darinya menjadi sulit untuk mengembalikan hutang pokok mereka.

Tetapi, apa mau dikata? Ibarat kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur, Rismanto terlanjur meminjam uang kepada Juhari untuk menyelamatkan usaha batiknya yang hampir bangkrut beberapa tahun yang lalu. Sekarang ya dinikmati saja proses membayar cicilan hutangnya! Toh banyak mengeluh pun tidak akan bisa mengurangi jumlah hutangnya pada Juhari.

Begitu pikir Rismanto.

Lasmi melangkah lebih dulu memasuki ruang tamu. Sedangkan Rismanto melangkah masuk ke dalam kamar untuk mengganti pakaiannya yang kotor karena terkena pewarna kain.

Di ruang tamu, Lasmi melihat putri sulungnya masih duduk bersila di lantai sambil mengerjakan tugas dari sekolahnya. Sementara Juhari yang menjadi tamu di rumahnya sore hari itu ternyata sudah tidak lagi berada di teras depan rumahnya, sebagaimana terakhir kali dia temui. Tetapi, pria itu malah sudah berpindah tempat ke dalam ruang tamunya.

Lasmi memandang jengah ke arah pria setengah tua yang sibuk merokok sambil sibuk pula memandangi putri sulungnya yang masih muda belia.

Wanita itu lalu bergegas menghampiri putrinya.

“Nduk, kerjakan tugas sekolahnya di dalam kamarmu saja ya! Bapak nanti mau bicara serius sama Pak lèk Juhari di ruang tamu ini!” ujar Lasmi, sambil mengelus puncak kepala putrinya.

“Iya, Bu!” sahut Tabitha, patuh.

Gadis itu segera membereskan buku dan peralatan tulis miliknya yang sebelumnya dia gelar di lantai, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar.

Pintu kamar itu langsung tertutup.

Juhari pun langsung memberengut.

Pria itu merasa kesal karena tidak bisa lagi memandangi "wanita kecil"nya.

"Pandangan hidup"nya seketika meredup.

Dunia khayalannya seketika buyar.

“Mas Juhari mau minum apa? Biar saya buatkan!” Tanya Lasmi, sambil menoleh ke arah Juhari.

“Bojomu kok lama sekali toh, Las? Sebentar lagi aku harus berangkat ke kota! Aku bisa kesorean nanti! Bisnisku bisa gagal! Piye iki, Las?" Juhari malah balik bertanya, sekaligus mengeluh karena masih merasa kesal.

Lasmi menghela nafasnya.

“Sebentar, Mas! Mas Risman sedang berganti pakaian! Sabar! Saya buatkan teh manis dulu ya!” ujar Lasmi.

Juhari mengangguk.

Itulah yang dia suka dari Lasmi sejak dulu. Selain cantik, tutur katanya pun selalu lembut, menenangkan. Sayang sekali, cintanya kepada Lasmi dulu hanya bertepuk sebelah tangan karena Lasmi lebih memilih Rismanto untuk menjadi pendamping hidupnya ketimbang Juhari.

Padahal, kalau Juhari membandingkan dirinya dengan Rismanto, dia merasa dirinya jauh lebih baik daripada Rismanto, si pria 'cungkring' itu. Bahkan, jauh lebih tampan dan jauh lebih kaya raya.

Yaa ... mungkin karena waktu itu Lasmi memang butuh kacamata, sehingga ketampanan dan kekayaan keluarga Juhari sepertinya malah jadi tidak tampak di matanya!

Juhari geleng-geleng kepala sendiri bila mengingat masa mudanya dulu.

Tidak lama kemudian Rismanto melangkah masuk ke ruang tamu. Tanpa banyak sapa, pria itu langsung duduk di sofa, berdampingan dengan Juhari.

“Ono opo toh, Ju?” tanya Rismanto, tanpa basa-basi.

Juhari menoleh. Menatap Rismanto sejenak, sebelum dia mengutarakan keinginannya.

“Aku sengaja datang ke sini karena mau melamar puterimu, Mas!” jawab Juhari, juga tanpa basa-basi.

****

Komen (3)
goodnovel comment avatar
AYA RAYA
boleh. nama akun sosmedmu apa?
goodnovel comment avatar
rky.p2022
cakep nih ceritanya!
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 2

    Melamar?Rismanto terkejut. Seperti ada sebuah granat kecil yang sengaja dilemparkan oleh seseorang dan meledak di dalam hatinya.Kening pria itu langsung berkerut.“Melamar? Melamar sopo toh, Ju? Melamar putriku? Maksudmu ... melamar untuk opo?” tanya Rismanto, bingung.Juhari geleng-geleng kepala.“Oalah Maas...! Ucapanku opo kurang jelas toh? Aku mau melamar putrimu ya untuk dinikahi! Lah putrimu ono piro, Mas? Dua toh? Yo ndak mungkin aku mau melamar Dilla! Bocah kelas dua SMP! Isih cilik tenan! Aku mau melamar Tabitha, putri sulungmu itu! Piyè? Opo isih kurang jelas, Mas?” ujar Juhari. (Bagaimana? Apa masih kurang jelas?) (Ono piro = ada berapa)Rismanto kembali terkejut. Tetapi, kali ini bukan karena granat lagi, melainkan karena ada bom nuklir yang sengaja dilemparkan oleh Juhari dan meledak persis di depan kupingnya.“Melamar Tabitha? Arep dinikahi ... Tabitha arep dinikahi karo sopo toh?” tanya Rismanto. Hatinya mulai kebat-kebit. (Tabitha mau dinikahi sama siapa?)“Yo karo an

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 3

    “Bitha!” Panggil seseorang.Tabitha menoleh. Langkah kaki gadis itu terhenti. Kedua mata bulatnya menatap seorang pemuda yang berdiri di depan pagar sebuah rumah besar dengan garasi yang sudah disulap menjadi studio musik. Tempat sang empunya rumah menyalurkan hobi bermusiknya, sekaligus memperoleh pendapatan dari hasil menyewakan studio atau peralatan musik miliknya.Pemuda itu bergegas menghampiri Tabitha. Wajahnya memang tampan, walau rambut ikalnya terlihat sedikit berantakan. Di telinga kirinya terpasang anting perak. Padanan celana jeans belel berwarna hitam, dan kaus yang juga berwarna hitam melekat pas di tubuhnya yang nampak ideal untuk menjadi seorang fotomodel. Siapa pun gadis yang belum tahu kelakuan pemuda itu yang sebenarnya, yang senang bergonta-ganti pasangan alias playboy sebagaimana juga kelakuan ayahnya, pasti akan langsung jatuh cinta ketika melihat Armandi dan bermimpi untuk menjadi pasangan hidupnya.Iya! Pemuda yang baru saja memanggil Tabitha adalah Armandi, put

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 4

    "AYO ... JAWAB AKU!" bentak Armandi. Tabitha terlonjak saking terkejutnya. Gadis itu hanya bisa menggigit bibir. Sedangkan air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. Melihat Tabitha hanya berdiri terdiam sambil menggigit bibir, Armandi mulai tergoda. Entah makhluk apa yang merasuki pemuda itu sehingga tiba-tiba dia mencengkeram bahu Tabitha, dan berusaha mencium bibir merah alami yang entah sejak kapan mulai berani mengganggu tidur malamnya, dan membangkitkan gairahnya. Spontan Tabitha memberontak dan mendorong tubuh Armandi dengan sekuat tenaga. Lalu, ditamparnya wajah tampan pemuda itu dengan keras. Armandi jatuh terhuyung ke belakang. Namun, pemuda itu segera bangkit berdiri. Dengan ibu jarinya dia menghapus darah yang menetes keluar dari bibirnya yang terluka. Armandi menatap nyalang ke arah Tabitha. Kedua matanya kelihatan merah. Emosi kemarahan mulai memuncak di kepalanya. Kedua tangannya kembali mengepal. Rahangnya kembali mengeras. Tabitha membalas tatapan nyalang Arma

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 5

    “BAPAAAK...!” Lasmi menangis sambil berteriak memanggil suaminya. Rismanto terkejut. Setengah tersadar dari tidurnya, pria itu langsung melompat dari atas tempat tidur, dan mendapati isterinya ternyata sudah terbaring di lantai. “Bu! Bu! Ono opo toh, Bu? Bu! Èling, Bu! Bu’e!” (èling = sadar) Rismanto menepuk-nepuk wajah Lasmi, sementara wanita itu masih terus menangis. “Bapaaak ... Bitha, Pak! Bithaa ... anakkuu ....” “Bitha nopo, Bu?” “Bitha paak ....” Di tengah kebingungan, pandangan Rismanto langsung teralihkan ke secarik kertas yang ada di dalam genggaman tangan isterinya. Kertas opo toh kui? Rismanto mengerutkan kening sambil masih memeluk Lasmi. Dengan tangan sedikit gemetar, Rismanto memberanikan diri untuk mengambil secarik kertas itu dari genggaman Lasmi, lalu membaca isinya. Tidak butuh waktu lama, pria setengah tua itu pun ikut menangis. Hatinya terasa sakit, perih seolah baru saja teriris sembilu. Putriku pergi karena aku ...! Rismanto memeluk isterinya erat

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 6

    “Telepon dari Ibu kok masih ndak diangkat-angkat sama Tabitha ya, Pak? Piye toh, Pak?” Lasmi mengeluh. Suaranya pelan, hampir tidak terdengar. Wajahnya kelihatan sedih. Dengan telapak tangannya wanita itu mengusap air mata yang mulai menitik lagi. Rismanto menghela nafas. Dia tidak mampu memberikan jawaban apa pun. Dilihatnya Lasmi, istrinya, langsung meletakkan kembali ponsel miliknya ke atas meja, lalu melangkah masuk ke kamar. Langkah wanita itu kelihatan lemas, seolah hampir tidak bertenaga. Tidak usah diikuti dan ditengok pun Rismanto sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Lasmi di dalam kamar. Isterinya itu pasti akan menangis lagi, menangisi putri mereka, persis seperti semalam. Atau seperti hari kemarin, dan kemarin, dan kemarinnya lagi. Sudah hampir satu bulan berlalu. Tetapi, kabar dari puteri sulungnya sampai hari ini masih belum ada. Satu kali pun Tabitha bahkan tidak pernah menjawab panggilan telepon dari bapak atau ibunya. Bisa jadi puteri sulungnya itu memang masih

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 7

    Pemuda tampan itu lalu menghampiri Tabitha. "Ooh ... jadi ini pekerjaan kamu? Jauh-jauh kabur dari kampung ternyata di sini kamu cuma jadi pelayan rumah makan toh, Bith? Bitha ... Bitha ...!” sindir pemuda itu, yang kemudian tertawa terkekeh sendiri, menertawakan Tabitha. Pemuda dengan perawakan sedang, berwajah tampan, dengan rambut ikal yang sedikit berantakan. Mengenakan pakaian serba hitam, dan sebuah anting perak di telinga kiri yang selalu menjadi ciri khasnya. Pemuda itu berdiri di belakang Tabitha sambil berkacak pinggang. Prak! Nampan plastik yang sedang dipegang oleh Tabitha langsung terjatuh ke lantai. Untung nampan itu sudah kosong! Tidak usah menengok ke belakang untuk melihat siapa yang barusan bicara menyindirnya pun Tabitha sudah tahu siapa pemilik suara itu. "Kamu mengantar kopi? Itu tugasmu di sini? Cuma jadi kacung! Pelayan!” sindir pemuda itu lagi, dengan nada sangat menghina. Lidah Tabitha langsung terasa kelu. Gadis itu bahkan tidak sanggup untuk sekedar me

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 8

    Sekian menit yang lalu bis yang ditumpangi oleh Tabitha dan Armandi sudah mulai menempuh perjalanan. Dan, dalam beberapa jam ke depan mereka akan segera sampai di kota tujuan. Kota yang terkenal dengan lumpia. Kota kelahiran mereka berdua. Biasanya, setiap orang yang pulang ke kampung halaman pasti akan merasa senang dan bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan sanak saudara dan keluarga mereka. Tetapi, tidak begitu dengan Tabitha. Pikiran gadis itu malah kacau tidak karuan. Hatinya tidak tenang. Semenjak dia naik ke dalam bus itu, yang dia pikirkan hanya satu, sesampainya mereka di kampung halaman nanti, dia pasti akan segera dinikahkan dengan Armandi. Pemuda yang tidak pernah dia cintai. Beban pikiran itu yang membuat Tabitha duduk dengan gelisah di bangkunya. Sebentar dia menyandarkan kepala ke kaca jendela. Sebentar kemudian dia menyandarkan kepala ke bangku di depannya. Sebentar kemudian lagi dia malah duduk tegak tanpa bersandar sama sekali. Armandi yang duduk di

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 9

    Armandi memang mencintai Tabitha. Tetapi, bukan Armandi namanya kalau dia masih terus berharap pada satu orang gadis saja, yang bahkan tidak mau membalas cintanya sama sekali! Memangnya perempuan cantik di dunia ini cuma dia? Rugi waktu, rugi uang, rugi tenaga juga kalau aku masih saja mengejar-ngejar dia! Di kampung ini, perempuan mana sih yang nggak mau menikah sama aku, Armandi putra juragan Juhari, kecuali si perempuan sok jual mahal itu? Semua perempuan di sini pasti mau menjadi istriku! Apalagi perempuan yang satu ini! Nggak kubalas cintanya pun dia nggak pernah perduli! Dia tetap saja mengejar aku! Armandi berbicara sendiri di dalam hatinya, sambil menatap tubuh molek seorang gadis yang sedang terbaring tanpa busana di sampingnya, di balik selimut tipis yang hanya menutupi sebagian dari tubuh mereka. Waktu masih jauh dari kata "pagi". Mereka berdua baru saja menyelesaikan “acara senang-senang”, yang entah sudah untuk ke berapa kali mereka lakukan semenjak gadis itu dengan

Bab terbaru

  • Cinta untuk Tabitha   Bab 48

    Adriano meletakkan file berisi berkas sindikat penjualan manusia itu di atas meja kopi di hadapan Ferdinan, tanpa banyak berucap kata.Ferdinan meliriknya, lantas langsung meletakkan kaleng minuman bersoda yang sedang dipegangnya ke atas meja, dan lekas meraih berkas itu.Tidak perlu waktu lama untuk membuat pria dengan wajah tampan dan garis rahang tegas itu menyunggingkan senyum sumringah ketika menemukan bahwa ada banyak hal yang sudah lama dia selidiki dan dicarinya selama ini, ternyata sudah ada di dalam berkas itu.“Bravo! Jenius! Akhirnya ... kecakapanmu kembali lagi, Teman! Selamat! Alonzo yang aku kenal akhirnya sudah kembali! Benar kan ... sudah kubilang, terlalu lama duduk di belakang meja di perusahaan itu bisa membuat otakmu tumpul! Nah, sekarang ... kapan mau kita selesaikan pekerjaan kita?” Pria itu berkata dengan penuh semangat sambil menutup berkas itu.“Anytime. Kalau memang sudah waktunya ... lakukan saja! I'm in!” sahut Adriano, sambil berjalan menuju pantry, lalu

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 47

    “Are you serious? Kita tidak jadi pulang?” Ferdinan menatap lekat-lekat pria yang tengah duduk di sofa, sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sepasang mata cokelat pria itu bergantian menatap layar laptop yang menyala di atas meja kopi di depannya, dan selembar kertas yang berada di tangannya. Pria itu mengangguk yakin, sebagai jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Astagaa...! Ferdinan mengacak-acak rambutnya sendiri, geram, lalu geleng-geleng kepala. Ah, kalau saja dia tidak mengenal pria bermata cokelat itu sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak mereka masih sama-sama remaja, mungkin saat ini dia sudah menganggap pria yang duduk di hadapannya itu gila dan bodoh. Bahkan, bisa jadi satu kali tinjunya pun sudah bersarang di lambung pria itu. Sekarang, bagaimana dia tidak marah, kalau dengan seenaknya pria itu baru saja bilang bahwa dia sudah membatalkan rencana kepulangan mereka ke Italia, sekaligus membatalkan semua rencana dan strategi yang suda

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 46

    “Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap dan mengerang pelan ketika bekapan tangan pria itu dia rasakan mulai mengendur di mulutnya.“Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha.Astaga! Tabitha terperanjat.Suara itu ... suara itu seperti pernah aku dengar! Tapi ... suara siapa? Siapa dia?“Siapa ka_kamu ....”“Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan! Lo pasti masih ingat kan? Ini gue yang waktu itu hampir memperkosa lo di malam itu, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan?” Pria itu menyeringai, menertawakan, sambil tangannya lalu mengelus bagian dalam paha Tabitha.Tabitha langsung terlonjak kaget. Tubuhnya seketika memberontak. Mata bulatnya langsung membelalak. Sementara pria itu malah tertawa tergelak. Entah di mana pria itu menaruh otaknya. Di b

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 45

    Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Teringat olehnya kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya setiap kali pria itu tahu Tabitha sedang berada di rumah Sandra. Namun, kali ini tidak mungkin begitu kan? Sudah berapa minggu mereka tidak akur dan tidak saling memberi kabar?Dan ....Benar ... memang bukan Adriano!Mendadak Tabitha merasa sedih. Ditutupnya kembali gorden jendela ruang keluarga di rumah Sandra yang mengarah ke pintu gerbang, dan baru sekian detik tadi disibaknya.“Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul di tengah ruang keluarga dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa.“Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar.Tabitha tersenyum.“Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha.“Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 44

    Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya.Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tidak tahu apa yang harus dikatakan.Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk menggambarkan perasaan yang sedang Tabitha rasakan saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki?“Kangen ya?” tanya Sandra, sambil meraih bayi Vanya yang sudah tertidur lelap dari pelukan Tabitha.Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri kecilnya yang baru semata wayang ke atas kasur berlapis sprei merah muda. Ketika baru diletakkan, bayi mungil itu semp

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 43

    Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta.~Pet Sematary, Stephen King~“Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar gadis itu.“Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya.“Ke mana?”“Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu.Adriano menghela nafasnya.“Bitha, please ....”“Kamu nggak usah kawatir, aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah.“Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih ada banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi.Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk dirubah.“Tapi ... kamu

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 42

    Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi, dengan lebih teliti. Bekas luka yang membelah alis mata sebelah kirinya ... Tabitha tidak akan pernah lupa.“Benar kok! Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?”Pria itu tertawa terkekeh.“Iya, itu memang benar saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Dulu kita belum kenalan secara pribadi seperti ini kan ya?” ujarnya, sambil mengulurkan tangan, dan tersenyum.Tabitha menyambut uluran tangan itu.“Tabitha.”“Saya tahu!”“Oh ya? Memangnya Bapak masih ingat nama saya?”Pria itu tersenyum lagi.“Yup! Dan tolong, sudah saya bilang jangan panggil saya ‘Bapak’, apalagi ‘Pak Ferdinan’ lagi! Saya merasa tua kalau kamu yang panggil saya begitu! Umur saya saja cuma lebih tua satu tahun kok dari pacar kamu! Apa kamu juga panggil dia 'Bapak'?”Tabitha melongo.“Apa?”“Adriano Alonzo? Jangan bilang kalau dia bukan pacar kamu lagi ya! Dia bisa mengamuk nanti!”Tabitha menatap heran.“Bapak tahu dari mana kalau ....”“Kan sudah saya bilang jangan p

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 41

    Beberapa jam sebelumnya.Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di salah satu kamar mandi di dekat kolam renang itu. Sedari tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di kulit tubuhnya. Merasa frustasi karena akhirnya sadar bahwa “kotoran” itu tidak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun, bahwa “kotoran” itu akan terus melekat di kulit tubuhnya, gadis itu menangis tersedu-sedu.Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”.Dia tidak ikhlas tubuhnya “tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak selayaknya menyentuh dia.“Kotoran” itu memang tidak tampak di mata gadis itu. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihat “kotoran” itu. Tetapi, “kotoran” itu masih saja melekat di kulit tubuhnya, di dalam pikirannya. Menghantui dirinya, entah akan sampai kapan. Membuat dia terus merasa buruk. M

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 40

    Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Kondisinya sudah jauh lebih baik, walaupun masih kelihatan lemah. Tidak ada yang mengira bahwa dia mampu bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan fatal seperti itu. Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak, semua berpikir gadis itu sudah mati. Pengemudi mobil yang menabraknya pun berpikiran sama. Tetapi, dugaan mereka ternyata salah. Tuhan memberi gadis itu kesempatan hidup kedua. Entah untuk apa.Ketika para petugas membawa tubuh yang mereka pikir sebentar lagi akan menjadi mayat, pengemudi mobil yang menabraknya pun langsung tertangkap. Tetapi sayang, belum sempat mereka interogasi, para petugas aparat itu sudah kecolongan.Mereka hanya lengah sebentar, tetapi nyawa pengemudi yang ternyata seorang pria berbadan besar sudah terlanjur melayang.Dia bunuh diri. Menelan pil racun yang langsung menghancurkan lambungnya saat itu juga.Tidak ada surat-surat. Tidak ada tanda pengenal. Sidik jari pengemudi itu bahkan tidak terdaftar.Segala sesuatun

DMCA.com Protection Status