Share

BAB 4

Penulis: AYA RAYA
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"AYO ... JAWAB AKU!" bentak Armandi.

Tabitha terlonjak saking terkejutnya. Gadis itu hanya bisa menggigit bibir. Sedangkan air matanya mulai menggenang di pelupuk mata.

Melihat Tabitha hanya berdiri terdiam sambil menggigit bibir, Armandi mulai tergoda. Entah makhluk apa yang merasuki pemuda itu sehingga tiba-tiba dia mencengkeram bahu Tabitha, dan berusaha mencium bibir merah alami yang entah sejak kapan mulai berani mengganggu tidur malamnya, dan membangkitkan gairahnya.

Spontan Tabitha memberontak dan mendorong tubuh Armandi dengan sekuat tenaga. Lalu, ditamparnya wajah tampan pemuda itu dengan keras.

Armandi jatuh terhuyung ke belakang. Namun, pemuda itu segera bangkit berdiri. Dengan ibu jarinya dia menghapus darah yang menetes keluar dari bibirnya yang terluka.

Armandi menatap nyalang ke arah Tabitha. Kedua matanya kelihatan merah. Emosi kemarahan mulai memuncak di kepalanya. Kedua tangannya kembali mengepal. Rahangnya kembali mengeras.

Tabitha membalas tatapan nyalang Armandi dengan berani. Sedikit pun gadis itu tidak merasa takut.

“Aku calon isterimu atau bukan, bukan berarti Mas Arman boleh memperlakukan aku seenaknya! Lebih baik bapak punya hutang sama paklèk Juhari daripada aku harus menikah sama Mas Arman!” ujar Tabitha dengan suara gemetar menahan amarah yang juga ikut memuncak di kepalanya.

Armandi mendengus.

Beraninya gadis itu menolak untuk menikah denganku! pikir pemuda itu.

Selesai berkata seperti itu, tanpa menunggu balasan kata-kata dari Armandi, Tabitha lekas berlari keluar dari dalam kamar pemuda itu. Dan, dia sudah tidak kuasa untuk menahan air mata yang akhirnya berhasil menerobos keluar dari pelupuk mata, dan mengalir di pipinya. Tidak dihiraukannya beberapa orang pemuda yang masih duduk di teras depan rumah itu, dan yang menatapnya dengan bingung.

“Si Bitha kenapa? Keluar dari kamar sampèyan kok sambil menangis begitu? Sampèyan apakan toh?” tanya salah seorang pemuda yang duduk di teras kepada Armandi yang kemudian juga keluar dari dalam kamarnya.

Armandi tidak menjawab. Pemuda itu hanya tersenyum menyeringai, lalu menatap nanar ke arah Tabitha yang sudah berlari semakin menjauh dari rumahnya. Tidak terpikir sedikit pun oleh Armandi untuk memanggil Tabitha agar kembali, apalagi untuk berlari mengejar gadis itu.

Untuk apa aku mengejar dia? Beberapa bulan lagi, setiap malam aku bahkan akan melihat dia tertidur di sampingku! Sebagai istriku! Pikir Armandi.

Armandi memang pemuda playboy. Senang bergonta-ganti pasangan. Tidak pernah setia menjalin hubungan hanya pada satu orang gadis saja. Tetapi, siapa yang sangka bahwa hati pemuda itu ternyata sudah lama terpaut dan bertekuk lutut pada sosok seorang gadis yang bernama Tabitha.

Gadis yang semakin menarik perhatiannya semenjak sosok gadis itu mulai beranjak remaja, ketika kecantikan dan kemolekan tubuhnya semakin nampak di mata Armandi.

Sekalipun ada gadis-gadis lain yang mengelilingi Armandi, namun di hati pemuda itu hanya ada Tabitha.

Pernikahan mereka yang sebentar lagi akan diadakan tentu sangat membuat Armandi bergembira hati. Tidak perduli apakah nantinya gadis itu benar-benar mau menerima dirinya sebagai suami atau tidak.

Yang penting, Tabitha sudah resmi menjadi isterinya.

----------------------------------------

BRAK!

Tabitha mendorong pintu rumahnya dengan kasar.

Rismanto dan Lasmi, kedua orangtua Tabitha yang sedang duduk di tengah ruang keluarga langsung terlonjak di kursi mereka masing-masing.

Tidak lama kemudian, Dilla dan Rangga, kedua adik Tabitha pun keluar dari kamar mereka karena terkejut mendengar suara keras dari pintu yang terhempas.

Tabitha menatap Bapak dan Ibunya bergantian dengan tatapan nyalang. Kedua mata bulatnya yang indah terlihat merah karena menangis di sepanjang jalan menuju pulang tadi.

“Bapak jahat!” Teriak gadis itu, tiba-tiba.

Rismanto terperangah.

“Bapak jahat? Jahat opo toh, Nduk? Kamu pulang dari rumah temanmu, ndak ucap salam masuk ke rumah, banting-banting pintu, terus kamu bilang Bapak yang jahat itu piyè toh? Opo ndak salah?” Ujar Rismanto, menegur putrinya.

“Bitha sudah tahu semua, Pak! Semuanya! Kenapa sih Pak? Bapak kenapa mau menikahkan Bitha sama Mas Arman? Bapak kenapa tega sekali sama Bitha sih, Pak?” tanya Tabitha dengan marah.

Pertanyaan itu akhirnya muncul juga. Rahasia itu akhirnya terbuka juga. Tentang perjodohan itu. Tentang rencana pernikahan itu.

Tetapi, kenapa pertanyaan itu harus muncul di saat Rismanto dan isterinya masih merasa belum siap untuk memberi jawaban?

Rismanto menatap putrinya tanpa bisa sedikit pun membantah, atau berucap apa-apa.

Lasmi juga demikian. Wanita itu sama saja seperti suaminya. Hanya bisa duduk terdiam sambil menatap putri sulungnya.

Mereka berdua seolah hilang kemampuan untuk menegur putrinya yang sedang marah.

Hilang kemampuan untuk balas memarahi putrinya yang tiba-tiba berani membanting pintu di depan mata kedua orangtuanya.

Malam ini, mereka hanya mampu menyiapkan hati. Bersiap untuk melihat kemarahan yang sebentar lagi akan meluap dari putri sulung mereka, dan sepertinya saat ini sudah tinggal menghitung detik saja.

“Bapak dan Ibu kenapa tega sama Bitha? Kenapa sih Pak? Ibu? Pokoknya, Bitha nggak mau disuruh menikah sama Mas Arman! Titik! Bitha nggak akan mau!” bentak Tabitha, marah. Suaranya keras, seolah sudah tidak perduli bahwa yang sedang dia ajak bicara saat ini adalah kedua orang tuanya sendiri.

Rismanto menghela nafasnya. Mencoba untuk tetap bersikap tenang, walau emosinya sendiri sebenarnya sudah mulai naik.

Belum pernah satu kali pun putri sulungnya yang selalu bicara lemah lembut dan penurut itu berani bersuara keras di depan orangtuanya. Tetapi, malam ini ... yaah ... mungkin karena salahnya juga sebagai Bapak.

“Dari mana kamu mendengar berita itu, Nduk? Siapa yang bilang begitu sama kamu?” tanya Rismanto. Masih mencoba untuk menutupi kebenarannya.

“Mas Arman sendiri yang bilang sama Bitha! Nggak mungkin kalau Mas Arman bohong sama Bitha! Bitha juga sudah lihat sendiri undangan pernikahannya! Bapak ... tolong batalkan, Pak! Bitha nggak mau menikah sama Mas Arman, Pak! Tolong!" ujar Tabitha, memohon.

Rismanto menggelengkan kepala.

“Ndak mungkin, Nduk! Ndak mungkin kalau Bapak batalkan! Ini sudah menjadi kesepakatan antara keluarga kita dengan keluarga paklèk Juhari! Pernikahan kamu dan Arman itu juga sudah dekat! Sudah ndak mungkin untuk dibatalkan lagi!” ujar Rismanto.

"Masih mungkin kok, Pak! Masih ada waktu kan? Pasti masih bisa!" rengek Tabitha.

"Ndak mungkin, Nduk!" Nada Rismanto mulai meninggi.

“Tapi, Pak ... Bitha nggak mau, Pak! Bitha nggak suka sama Mas Arman! Bitha nggak mau menikah sama dia!" Tabitha hampir menangis lagi. Kedua matanya sudah semakin memerah.

Rismanto menghela nafasnya. Tetapi, hatinya sama sekali tidak bergeming. Dia tidak ingin menanggapi ucapan putrinya.

“Tolong, Pak! Bapak tolong Bitha! Tolong batalkan pernikahan itu, Pak! Bitha belum mau menikah! Bitha nggak mau menikah sama Mas Arman, Pak! Bapaak ...!”

Tabitha meratap.

Rismanto kembali menggelengkan kepalanya.

“Ndak bisa, Nduk! Memangnya kamu pikir bisa semudah itu untuk membatalkan pernikahan? Bapak bilang sudah ndak bisa ya ndak bisa!” ujar Rismanto, marah.

“Tapi, Pak ... tolong, Pak! Bapak tolong dengarkan Bitha dulu!” Tabitha kembali merajuk.

“Ndak bisa ya ndak bisa! Ndak mungkin ya ndak mungkin! Harus berapa kali Bapak bilang sama kamu? Kamu ini sengaja mau bikin Bapakmu marah, pusing opo piyè?” bentak Rismanto. Kemarahannya semakin meluap. Emosinya semakin meninggi.

Tabitha terperanjat.

“Tapi Pak ... Bitha ....”

“Sudah! Cukup!" bentak Rismanto lagi.

"Bapak sudah ndak mau dengar alasanmu! Pokokè, kamu harus tetap menikah dengan Armandi! Mau kamu taruh di mana muka Bapak kalau pernikahan ini sampai dibatalkan? Kamu mau bikin Bapakmu malu?” Suara Rismanto membahana di tengah ruangan itu.

Tabitha terkejut, dan akhirnya gadis itu mulai menangis.

“Bapak jahat! Bapak jahat sama Bitha! Jahaat...!” teriak Tabitha, histeris. Tangisannya semakin menjadi.

Lasmi tidak kuasa lagi menahan diri untuk tidak bangkit berdiri, dan memeluk putri sulungnya.

Wanita itu mencoba untuk menenangkan putrinya yang sedang menangis. Walau kenyataannya, putrinya justru menepis pelukan itu.

“Nggak! Bitha nggak mau dipeluk sama Ibu! Ibu juga jahat! Ibu sama seperti Bapak!” teriak Tabitha, marah.

“Nduk ... jangan begitu!" Lasmi masih mencoba untuk kembali memeluk. Namun, lagi-lagi pelukan itu ditepis oleh putrinya.

“Nggak! Bitha nggak mau dipeluk Ibu!” teriak putri sulungnya, sambil berlari masuk ke dalam kamar.

BRAK!

Putrinya membanting pintu kamarnya.

“Piye iki, Pak?” tanya Lasmi, tanpa kuasa untuk menahan air mata yang sedari tadi dia tahan, dan akhirnya mulai mengalir di pipinya.

Rismanto tidak menjawab. Pria itu hanya duduk terdiam di kursi. Keputusannya memang sudah bulat. Sudah tidak ada yang bisa mengganggu gugat.

Putri sulungnya tetap harus menikah dengan putra sulung Juhari, sebagaimana hasil keputusan yang sudah mereka sepakati bersama.

Lasmi mulai menangis sesenggukan.

Sebagai seorang wanita, sekaligus juga seorang ibu, Lasmi tentu tidak tega melihat putrinya sendiri, darah dagingnya sendiri, harus ‘terjepit’ di dalam situasi seperti itu. Terpaksa harus menikah dengan pemuda yang sama sekali tidak dia cintai, hanya karena terlanjur dijodohkan oleh keluarga. Apalagi demi melunasi hutang orangtua.

Hati Lasmi turut sakit, pedih merasakan kesedihan yang pasti sedang dialami oleh putrinya sendiri saat ini.

Kami sungguh bersalah padamu, Nduk! Lasmi terisak.

Rangga, putra bungsu mereka, tiba-tiba berlari memeluk Lasmi.

“Ibu, Mbak Bitha kenapa, Bu? Mbak Bitha kok menangis? Terus, tadi marah-marah sama Ibu dan Bapak? Ibu juga ikut menangis? Ibu sedih ya karena dimarahi sama Mbak Bitha?” tanya anak lelaki kecil itu, polos.

Lasmi tidak mampu menjawab. Wanita itu hanya menggeleng, lalu mengelus puncak kepala putra bungsunya sambil mengusap air mata yang masih mengalir di pipinya. Sementara Dilla, putri kedua mereka, hanya berdiri terpaku di depan pintu kamar sambil memandangi kedua orangtuanya.

“Bitha! Bitha! Nduk! Buka pintu kamarmu, Nduk! Ibu mau ngomong sama kamu .... Bitha!”

Sudah hampir tengah malam, Lasmi masih berdiri di depan pintu kamar putri sulungnya sambil terus mengetuk pintu kamar itu. Tetapi sayang, tetap tidak ada jawaban. Tidak ada sahutan. Hanya ada suara tangis yang sesekali masih terdengar dari balik pintu kamar itu.

“Nduk ... maafkan Ibu dan Bapak ya, Nduk! Bitha ... Tabitha ...!” Lasmi kembali mengetuk pintu kamar itu.

Tidak lama kemudian, Rismanto datang menghampiri Lasmi dan merengkuh bahunya.

Lasmi menoleh, lalu menatap wajah suaminya. Kedua mata wanita itu kelihatan bengkak dan memerah karena menangis sejak tadi.

“Pak .... Bitha, Pak!”

Lasmi mengusap air mata yang kembali mengalir di pipinya tanpa bisa dicegah.

“Sudah, Bu! Biarkan Bitha sendiri dulu! Sekarang sudah malam, Ibu juga harus istirahat! Besok baru kita bicarakan lagi!” ujar Rismanto, pelan.

Lasmi mengangguk, sambil lagi-lagi mengusap air matanya. Wanita itu menurut ketika Rismanto membimbingnya masuk ke dalam kamar.

----------------------------------------

Ibu, Bapak, Bitha izin pamit. Bitha minta maaf kalau Bitha sudah membuat Ibu dan Bapak kecewa karena keputusan Bitha. Karena Bitha memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Pergi meninggalkan Ibu, Bapak, Dilla, juga Rangga.

Bitha nggak tahu harus bagaimana lagi caranya supaya Bitha bisa menolak pernikahan itu. Bitha benar-benar nggak mau menikah sama Mas Arman, Pak! Ibu! Bitha nggak suka sama Mas Arman! Bitha nggak cinta sama dia! Bitha juga belum mau menikah, Pak! Bitha masih punya cita-cita! Bitha mau kuliah! Bitha juga punya mimpi yang ingin Bitha raih!

Kenapa Bapak nggak mau mengerti? Kenapa Bapak nggak mau mendengarkan Bitha? Kenapa Bapak dan Ibu nggak mau dengar penjelasan Bitha?

Lebih baik Bitha pergi dari rumah ini. Tapi, Bitha harap Ibu dan Bapak mau memaafkan Bitha.

Maafkan Bitha ya, Bu! Bapak!

Bitha sungguh-sungguh minta maaf!

Bitha sangat sayang Ibu dan Bapak.

“BAPAAAK ...!”

Lasmi menangis histeris seketika setelah selesai membaca selembar surat yang diselipkan oleh putrinya di bawah pintu kamar tidur orangtuanya.

Hari masih jauh dari waktu senja, bahkan pagi pun baru mulai menjelang. Tetapi, mulai hari itu matahari seolah tidak akan pernah terbit dan menyinari rumah itu lagi. Setidaknya itu yang dirasakan oleh Lasmi saat ini.

"BAPAAAAK...!"

Lasmi kembali menangis dan berteriak histeris. Wanita itu langsung terduduk lemas, lalu menggelosor di lantai.

****

Bab terkait

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 5

    “BAPAAAK...!” Lasmi menangis sambil berteriak memanggil suaminya. Rismanto terkejut. Setengah tersadar dari tidurnya, pria itu langsung melompat dari atas tempat tidur, dan mendapati isterinya ternyata sudah terbaring di lantai. “Bu! Bu! Ono opo toh, Bu? Bu! Èling, Bu! Bu’e!” (èling = sadar) Rismanto menepuk-nepuk wajah Lasmi, sementara wanita itu masih terus menangis. “Bapaaak ... Bitha, Pak! Bithaa ... anakkuu ....” “Bitha nopo, Bu?” “Bitha paak ....” Di tengah kebingungan, pandangan Rismanto langsung teralihkan ke secarik kertas yang ada di dalam genggaman tangan isterinya. Kertas opo toh kui? Rismanto mengerutkan kening sambil masih memeluk Lasmi. Dengan tangan sedikit gemetar, Rismanto memberanikan diri untuk mengambil secarik kertas itu dari genggaman Lasmi, lalu membaca isinya. Tidak butuh waktu lama, pria setengah tua itu pun ikut menangis. Hatinya terasa sakit, perih seolah baru saja teriris sembilu. Putriku pergi karena aku ...! Rismanto memeluk isterinya erat

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 6

    “Telepon dari Ibu kok masih ndak diangkat-angkat sama Tabitha ya, Pak? Piye toh, Pak?” Lasmi mengeluh. Suaranya pelan, hampir tidak terdengar. Wajahnya kelihatan sedih. Dengan telapak tangannya wanita itu mengusap air mata yang mulai menitik lagi. Rismanto menghela nafas. Dia tidak mampu memberikan jawaban apa pun. Dilihatnya Lasmi, istrinya, langsung meletakkan kembali ponsel miliknya ke atas meja, lalu melangkah masuk ke kamar. Langkah wanita itu kelihatan lemas, seolah hampir tidak bertenaga. Tidak usah diikuti dan ditengok pun Rismanto sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Lasmi di dalam kamar. Isterinya itu pasti akan menangis lagi, menangisi putri mereka, persis seperti semalam. Atau seperti hari kemarin, dan kemarin, dan kemarinnya lagi. Sudah hampir satu bulan berlalu. Tetapi, kabar dari puteri sulungnya sampai hari ini masih belum ada. Satu kali pun Tabitha bahkan tidak pernah menjawab panggilan telepon dari bapak atau ibunya. Bisa jadi puteri sulungnya itu memang masih

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 7

    Pemuda tampan itu lalu menghampiri Tabitha. "Ooh ... jadi ini pekerjaan kamu? Jauh-jauh kabur dari kampung ternyata di sini kamu cuma jadi pelayan rumah makan toh, Bith? Bitha ... Bitha ...!” sindir pemuda itu, yang kemudian tertawa terkekeh sendiri, menertawakan Tabitha. Pemuda dengan perawakan sedang, berwajah tampan, dengan rambut ikal yang sedikit berantakan. Mengenakan pakaian serba hitam, dan sebuah anting perak di telinga kiri yang selalu menjadi ciri khasnya. Pemuda itu berdiri di belakang Tabitha sambil berkacak pinggang. Prak! Nampan plastik yang sedang dipegang oleh Tabitha langsung terjatuh ke lantai. Untung nampan itu sudah kosong! Tidak usah menengok ke belakang untuk melihat siapa yang barusan bicara menyindirnya pun Tabitha sudah tahu siapa pemilik suara itu. "Kamu mengantar kopi? Itu tugasmu di sini? Cuma jadi kacung! Pelayan!” sindir pemuda itu lagi, dengan nada sangat menghina. Lidah Tabitha langsung terasa kelu. Gadis itu bahkan tidak sanggup untuk sekedar me

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 8

    Sekian menit yang lalu bis yang ditumpangi oleh Tabitha dan Armandi sudah mulai menempuh perjalanan. Dan, dalam beberapa jam ke depan mereka akan segera sampai di kota tujuan. Kota yang terkenal dengan lumpia. Kota kelahiran mereka berdua. Biasanya, setiap orang yang pulang ke kampung halaman pasti akan merasa senang dan bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan sanak saudara dan keluarga mereka. Tetapi, tidak begitu dengan Tabitha. Pikiran gadis itu malah kacau tidak karuan. Hatinya tidak tenang. Semenjak dia naik ke dalam bus itu, yang dia pikirkan hanya satu, sesampainya mereka di kampung halaman nanti, dia pasti akan segera dinikahkan dengan Armandi. Pemuda yang tidak pernah dia cintai. Beban pikiran itu yang membuat Tabitha duduk dengan gelisah di bangkunya. Sebentar dia menyandarkan kepala ke kaca jendela. Sebentar kemudian dia menyandarkan kepala ke bangku di depannya. Sebentar kemudian lagi dia malah duduk tegak tanpa bersandar sama sekali. Armandi yang duduk di

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 9

    Armandi memang mencintai Tabitha. Tetapi, bukan Armandi namanya kalau dia masih terus berharap pada satu orang gadis saja, yang bahkan tidak mau membalas cintanya sama sekali! Memangnya perempuan cantik di dunia ini cuma dia? Rugi waktu, rugi uang, rugi tenaga juga kalau aku masih saja mengejar-ngejar dia! Di kampung ini, perempuan mana sih yang nggak mau menikah sama aku, Armandi putra juragan Juhari, kecuali si perempuan sok jual mahal itu? Semua perempuan di sini pasti mau menjadi istriku! Apalagi perempuan yang satu ini! Nggak kubalas cintanya pun dia nggak pernah perduli! Dia tetap saja mengejar aku! Armandi berbicara sendiri di dalam hatinya, sambil menatap tubuh molek seorang gadis yang sedang terbaring tanpa busana di sampingnya, di balik selimut tipis yang hanya menutupi sebagian dari tubuh mereka. Waktu masih jauh dari kata "pagi". Mereka berdua baru saja menyelesaikan “acara senang-senang”, yang entah sudah untuk ke berapa kali mereka lakukan semenjak gadis itu dengan

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 10

    “Sepenggal Cerita Malam”. Kalau saja Tabitha pandai menulis novel, atau biasa menulis di buku harian, mungkin dia akan memberi judul seperti itu pada halaman buku yang akan dia tulis malam ini.Usianya belum lagi genap dua puluh tahun. Belum pernah merasakan punya pacar. Belum pernah membaca novel dewasa, apalagi menonton film khusus orang dewasa. Tetapi, malam ini dia malah langsung disuguhi tontonan adegan khusus untuk orang dewasa di depan matanya.“Sayang, sabar dong! Aku kan lagi kunci pintu dulu! Iih ... sayang suka begitu deh! Suka nggak sabaran ah!”“Tapi kamu suka kan?”“Iya, suka! Tapi tadi kan sudah dua kali, masa’ masih mau minta lagi!”“Iya dong! Aku memang mau minta lagi! Boleh kan ya? Masa’ nggak sih? Kan kamu juga suka!” ujar pria itu, sambil mulai menciumi leher Ambar."Iya, boleh! Tapi ... sayang, lepasin aku dulu dong ah! Gelii...! Aaah ...! Sayang ... aaah!" Ambar mendesah. Lalu, terdengar suara tawa cekikikannya dari arah ruang tamu. Tabitha mengerutkan keningnya

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 11

    Mama hobi selingkuh!Siapa sebenarnya papanya Vina?Bukan papa?Kata-kata Dian masih terngiang-ngiang dan terdengar bagai petir yang terus menyambar di telinga Vina, adiknya. Dan terdengar bagai granat di telinga Ambar, ibu tirinya.Ambar berdiri mematung.Vina ternganga.Mama ... jadi ... Vina itu bukan ... bukan anak papa?Vina jatuh terduduk lemas.“PERGI KAMU, DIAN! MULUT KAMU ITU SUDAH LANCANG SAMA MAMA! MAMA NGGAK MAU LIHAT KAMU LAGI!” teriak Ambar, histeris, tanpa menyadari bahwa putri keduanya sudah terduduk lemas di lantai, di samping kakinya.Emosi Ambar meledak. Marah, kecewa, malu, campur aduk menjadi satu."Ooh ... jadi sekarang Mama juga berani mengusir Dian? Kenapa, Ma? Mama malu karena ternyata Dian sudah lama tahu rahasia Mama? Nggak usah, Ma! Nggak usah malu! Mama juga nggak usah usir Dian! Dian juga sudah lama ingin pergi dari rumah ini! Walau sebenarnya ini rumah Dian! Mama yang dulu datang ke rumah ini! Jadi seharusnya Mama yang keluar kan? Dian menyesal, Ma! Terny

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 12

    Bapak! Ibu! Dilla! Rangga!Air mata Tabitha merembes seketika.“Ibuuu...!”Bitha langsung berlari menghambur ke pelukan Lasmi. Tangis Ibu dan anak itu pecah. Keduanya lantas saling berpelukan sambil menangis tersedu-sedu. Kerinduan dan penyesalan bertumpuk menjadi satu.“Ibuuu...! Bitha kangen sama Ibu! Bitha minta maaf ya, Bu! Maafkan Bitha, Bu!”“Iya, Nduk! Iya!”Lasmi tidak mampu berkata banyak. Cukup air mata yang mengalir deras yang memberi jawaban untuk semua pertanyaan, sekaligus menjadi pernyataan untuk semua yang tidak mampu terucapkan.“Bapaaak...!”Tabitha lantas memeluk Rismanto yang berdiri di samping Lasmi.“Maafkan Bitha ya, Pak! Bitha minta maaf!”“Iya, Nduk! Iya! Bapak sudah memaafkan kamu!” Rismanto berkata dengan suara terbata-bata.“Bapak dan Ibu juga minta maaf ya, Nduk! Maafkan kami! Kami juga sudah buat salah sama kamu! Kami lupa memikirkan perasaan kamu! Kamu mau memaafkan Ibu dan Bapak kan, Nduk? Mau ya?” tanya Rismanto dengan mata berkaca-kaca sambil memeluk

Bab terbaru

  • Cinta untuk Tabitha   Bab 48

    Adriano meletakkan file berisi berkas sindikat penjualan manusia itu di atas meja kopi di hadapan Ferdinan, tanpa banyak berucap kata.Ferdinan meliriknya, lantas langsung meletakkan kaleng minuman bersoda yang sedang dipegangnya ke atas meja, dan lekas meraih berkas itu.Tidak perlu waktu lama untuk membuat pria dengan wajah tampan dan garis rahang tegas itu menyunggingkan senyum sumringah ketika menemukan bahwa ada banyak hal yang sudah lama dia selidiki dan dicarinya selama ini, ternyata sudah ada di dalam berkas itu.“Bravo! Jenius! Akhirnya ... kecakapanmu kembali lagi, Teman! Selamat! Alonzo yang aku kenal akhirnya sudah kembali! Benar kan ... sudah kubilang, terlalu lama duduk di belakang meja di perusahaan itu bisa membuat otakmu tumpul! Nah, sekarang ... kapan mau kita selesaikan pekerjaan kita?” Pria itu berkata dengan penuh semangat sambil menutup berkas itu.“Anytime. Kalau memang sudah waktunya ... lakukan saja! I'm in!” sahut Adriano, sambil berjalan menuju pantry, lalu

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 47

    “Are you serious? Kita tidak jadi pulang?” Ferdinan menatap lekat-lekat pria yang tengah duduk di sofa, sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sepasang mata cokelat pria itu bergantian menatap layar laptop yang menyala di atas meja kopi di depannya, dan selembar kertas yang berada di tangannya. Pria itu mengangguk yakin, sebagai jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Astagaa...! Ferdinan mengacak-acak rambutnya sendiri, geram, lalu geleng-geleng kepala. Ah, kalau saja dia tidak mengenal pria bermata cokelat itu sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak mereka masih sama-sama remaja, mungkin saat ini dia sudah menganggap pria yang duduk di hadapannya itu gila dan bodoh. Bahkan, bisa jadi satu kali tinjunya pun sudah bersarang di lambung pria itu. Sekarang, bagaimana dia tidak marah, kalau dengan seenaknya pria itu baru saja bilang bahwa dia sudah membatalkan rencana kepulangan mereka ke Italia, sekaligus membatalkan semua rencana dan strategi yang suda

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 46

    “Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap dan mengerang pelan ketika bekapan tangan pria itu dia rasakan mulai mengendur di mulutnya.“Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha.Astaga! Tabitha terperanjat.Suara itu ... suara itu seperti pernah aku dengar! Tapi ... suara siapa? Siapa dia?“Siapa ka_kamu ....”“Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan! Lo pasti masih ingat kan? Ini gue yang waktu itu hampir memperkosa lo di malam itu, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan?” Pria itu menyeringai, menertawakan, sambil tangannya lalu mengelus bagian dalam paha Tabitha.Tabitha langsung terlonjak kaget. Tubuhnya seketika memberontak. Mata bulatnya langsung membelalak. Sementara pria itu malah tertawa tergelak. Entah di mana pria itu menaruh otaknya. Di b

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 45

    Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Teringat olehnya kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya setiap kali pria itu tahu Tabitha sedang berada di rumah Sandra. Namun, kali ini tidak mungkin begitu kan? Sudah berapa minggu mereka tidak akur dan tidak saling memberi kabar?Dan ....Benar ... memang bukan Adriano!Mendadak Tabitha merasa sedih. Ditutupnya kembali gorden jendela ruang keluarga di rumah Sandra yang mengarah ke pintu gerbang, dan baru sekian detik tadi disibaknya.“Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul di tengah ruang keluarga dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa.“Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar.Tabitha tersenyum.“Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha.“Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 44

    Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya.Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tidak tahu apa yang harus dikatakan.Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk menggambarkan perasaan yang sedang Tabitha rasakan saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki?“Kangen ya?” tanya Sandra, sambil meraih bayi Vanya yang sudah tertidur lelap dari pelukan Tabitha.Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri kecilnya yang baru semata wayang ke atas kasur berlapis sprei merah muda. Ketika baru diletakkan, bayi mungil itu semp

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 43

    Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta.~Pet Sematary, Stephen King~“Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar gadis itu.“Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya.“Ke mana?”“Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu.Adriano menghela nafasnya.“Bitha, please ....”“Kamu nggak usah kawatir, aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah.“Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih ada banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi.Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk dirubah.“Tapi ... kamu

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 42

    Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi, dengan lebih teliti. Bekas luka yang membelah alis mata sebelah kirinya ... Tabitha tidak akan pernah lupa.“Benar kok! Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?”Pria itu tertawa terkekeh.“Iya, itu memang benar saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Dulu kita belum kenalan secara pribadi seperti ini kan ya?” ujarnya, sambil mengulurkan tangan, dan tersenyum.Tabitha menyambut uluran tangan itu.“Tabitha.”“Saya tahu!”“Oh ya? Memangnya Bapak masih ingat nama saya?”Pria itu tersenyum lagi.“Yup! Dan tolong, sudah saya bilang jangan panggil saya ‘Bapak’, apalagi ‘Pak Ferdinan’ lagi! Saya merasa tua kalau kamu yang panggil saya begitu! Umur saya saja cuma lebih tua satu tahun kok dari pacar kamu! Apa kamu juga panggil dia 'Bapak'?”Tabitha melongo.“Apa?”“Adriano Alonzo? Jangan bilang kalau dia bukan pacar kamu lagi ya! Dia bisa mengamuk nanti!”Tabitha menatap heran.“Bapak tahu dari mana kalau ....”“Kan sudah saya bilang jangan p

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 41

    Beberapa jam sebelumnya.Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di salah satu kamar mandi di dekat kolam renang itu. Sedari tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di kulit tubuhnya. Merasa frustasi karena akhirnya sadar bahwa “kotoran” itu tidak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun, bahwa “kotoran” itu akan terus melekat di kulit tubuhnya, gadis itu menangis tersedu-sedu.Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”.Dia tidak ikhlas tubuhnya “tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak selayaknya menyentuh dia.“Kotoran” itu memang tidak tampak di mata gadis itu. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihat “kotoran” itu. Tetapi, “kotoran” itu masih saja melekat di kulit tubuhnya, di dalam pikirannya. Menghantui dirinya, entah akan sampai kapan. Membuat dia terus merasa buruk. M

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 40

    Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Kondisinya sudah jauh lebih baik, walaupun masih kelihatan lemah. Tidak ada yang mengira bahwa dia mampu bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan fatal seperti itu. Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak, semua berpikir gadis itu sudah mati. Pengemudi mobil yang menabraknya pun berpikiran sama. Tetapi, dugaan mereka ternyata salah. Tuhan memberi gadis itu kesempatan hidup kedua. Entah untuk apa.Ketika para petugas membawa tubuh yang mereka pikir sebentar lagi akan menjadi mayat, pengemudi mobil yang menabraknya pun langsung tertangkap. Tetapi sayang, belum sempat mereka interogasi, para petugas aparat itu sudah kecolongan.Mereka hanya lengah sebentar, tetapi nyawa pengemudi yang ternyata seorang pria berbadan besar sudah terlanjur melayang.Dia bunuh diri. Menelan pil racun yang langsung menghancurkan lambungnya saat itu juga.Tidak ada surat-surat. Tidak ada tanda pengenal. Sidik jari pengemudi itu bahkan tidak terdaftar.Segala sesuatun

DMCA.com Protection Status