Share

BAB 3

Penulis: AYA RAYA
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Bitha!” Panggil seseorang.

Tabitha menoleh. Langkah kaki gadis itu terhenti. Kedua mata bulatnya menatap seorang pemuda yang berdiri di depan pagar sebuah rumah besar dengan garasi yang sudah disulap menjadi studio musik. Tempat sang empunya rumah menyalurkan hobi bermusiknya, sekaligus memperoleh pendapatan dari hasil menyewakan studio atau peralatan musik miliknya.

Pemuda itu bergegas menghampiri Tabitha. Wajahnya memang tampan, walau rambut ikalnya terlihat sedikit berantakan. Di telinga kirinya terpasang anting perak. Padanan celana jeans belel berwarna hitam, dan kaus yang juga berwarna hitam melekat pas di tubuhnya yang nampak ideal untuk menjadi seorang fotomodel. Siapa pun gadis yang belum tahu kelakuan pemuda itu yang sebenarnya, yang senang bergonta-ganti pasangan alias playboy sebagaimana juga kelakuan ayahnya, pasti akan langsung jatuh cinta ketika melihat Armandi dan bermimpi untuk menjadi pasangan hidupnya.

Iya! Pemuda yang baru saja memanggil Tabitha adalah Armandi, putra sulung Juhari yang usianya terpaut lima tahun lebih tua dari Tabitha.

Hampir semua gadis di kampung itu jatuh cinta kepada Armandi. Tentu saja selain karena mereka terpesona oleh ketampanan wajah dan kegagahan pemuda itu, juga karena mereka silau melihat kekayaan dari keluarga besar Armandi.

Entahlah! Sepertinya ketampanan wajah dan kekayaan membuat gadis-gadis itu begitu mudah terpedaya oleh cinta.

Apakah karena mereka memang kurang pintar dalam memilih pria yang pantas untuk mereka cintai, atau karena Cinta yang memang terlalu pintar memperdaya mereka?

Tetapi, tidak dengan Tabitha. Hanya gadis itu yang tidak menyukai Armandi karena masih sadar akan kebiasaan buruknya yang terkenal hobi selingkuh dari kekasihnya, dan tidak pernah bisa setia dengan satu orang gadis saja.

“Kamu dari mana? Sudah hampir gelap begini kok masih di luar rumah? Biasanya kalau aku ajak jalan-jalan sore saja malah nggak pernah mau! Malas keluar rumah katamu!” tanya Armandi, ketika mereka berdua sudah berdiri saling berhadapan.

“Dari rumah Tita, Mas! Ada apa?” Tabitha balik bertanya. Merasa malas untuk mendengarkan kritikan dari seorang pemuda yang sendirinya saja terkenal hobi keluyuran malam.

“Nggak ada apa-apa! Mas cuma mau menunjukkan sesuatu sama kamu! Ikut sebentar ke dalam, yuk!” ajak Armandi.

Tabitha menurut. Gadis itu lalu berjalan mengekor di belakang Armandi. Mengikuti langkah kaki si pemuda yang kemudian memasuki halaman rumah besar miliknya. Rumah miliknya sendiri. Pemberian dari ayahnya, Juhari, juragan kaya raya, untuk putra sulungnya, Armandi, sang penerus tahta keluarga.

Tabitha memang tidak pernah menyukai Armandi, tetapi bukan berarti mereka berdua tidak berteman. Dan, ini memang bukan pertama kalinya Tabitha memasuki bangunan rumah besar itu.

Studio musik yang berada di samping rumah itu sering sekali menjadi tempat berkumpulnya anak-anak muda di sekitar kampung mereka, termasuk Tabitha.

Tetapi, kalau untuk memasuki kamar tidur dari sang empunya rumah?

Eh? Tunggu dulu!

Tabitha berhenti melangkah. Gadis itu menatap Armandi penuh ragu. Sedangkan Armandi malah sudah membuka pintu kamar tidurnya, dan melangkah masuk ke dalam kamarnya.

“Mas Arman! Mas kok malah masuk ke kamar sih? Mas mau apa?” tanya Tabitha, curiga.

Armandi tertawa terkekeh.

“Tidak usah curiga begitu! Aku nggak akan apa-apakan kamu kok! Tenang saja! Ayo masuk!” ajak Armandi.

Tabitha menurut, meski masih dengan penuh keraguan. Gadis itu melirik sejenak ke arah beberapa orang pemuda dan gadis-gadis yang duduk berkumpul di depan teras rumah itu. Hatinya mulai sedikit tenang.

Setidaknya kalau nanti memang terjadi apa-apa, atau seandainya Armandi tiba-tiba berani berbuat macam-macam pada dirinya, dia bisa berteriak meminta tolong pada mereka. Begitu pikir Tabitha.

Armandi lalu membuka pintu lemari pakaian miliknya, dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berlapis kain beludru merah dari dalam laci lemari itu.

Tabitha menatap kotak itu.

“Apa isi kotak itu, Mas?” tanya Tabitha ketika Armandi menyodorkan kotak itu langsung kepadanya.

“Lihat saja sendiri!” ujar Armandi.

Tabitha menerima kotak itu dengan ragu, lalu mulai membuka tutupnya.

Wow!

Mata bulat Tabitha terbelalak ketika melihat isinya.

Satu set perhiasan emas yang sangat indah! Sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk huruf T berukir, sebuah cincin emas berhiaskan permata biru, sebuah gelang besar berukir dan berhiaskan permata yang juga berwarna biru, serta sepasang giwang emas berbentuk bunga dengan hiasan batu permata berwarna sama.

Melihat Tabitha terperangah dan memandang takjub perhiasan itu, Armandi tersenyum bangga. Perhiasan pilihannya ternyata tidak salah.

“Bagus kan, Bith?” tanya Armandi.

Tabitha mengangguk dengan antusias.

“Iya! Bagus banget, Mas! Untuk siapa ini?” tanyanya, sambil mata bulatnya seolah tidak mau berhenti memandangi kilau cantik perhiasan itu.

Armandi tersenyum.

“Tentu saja untuk calon isteriku lah!” sahutnya.

Tabitha langsung menoleh. Ekspresi wajahnya sedikit terkejut. Namun, sedetik kemudian gadis itu sudah tersenyum sumringah.

“Ooh ... Mas Arman sudah mau menikah? Sebentar lagi ya? Waah ... dengan siapa, Mas?” tanyanya dengan senyum dan nada menggoda yang tidak disembunyikan.

Armandi menatap Tabitha lekat-lekat.

“Memangnya ... kamu belum tahu toh, Bith?” tanyanya, heran.

“Tahu apa?” Tabitha balik bertanya, sambil balas menatap Armandi dengan bingung.

Kening gadis itu berkerut. Sedangkan Armandi malah berhasil dibuatnya geleng-geleng kepala.

Astaga! Sulit dipercaya! Pikir pemuda itu.

Aku sudah sibuk ke sana ke mari demi mempersiapkan pernikahan kami yang hanya tinggal beberapa bulan lagi, eh gadis ini malah belum tahu kalau dia sendiri yang nanti akan jadi calon isteriku!

“Yo wès, nanti juga kamu tahu sendiri!” ujar Armandi sedikit ketus karena kesal.

Tabitha cemberut.

“Iih ... Mas Arman marah? Loh, aku kan memang nggak tahu kok, Mas! Mas nggak perlu sampai marah begitu! Sudah ah! Aku mau pulang!” ujar Tabitha sambil meletakkan kotak perhiasan itu di atas meja kecil di samping lemari pakaian Armandi.

Armandi hanya menatap Tabitha. Tetapi, ketika dia melihat Tabitha ternyata benar-benar hendak melangkah keluar dari kamarnya, pemuda itu langsung memeluk tubuh gadis itu dari belakang. Tentu saja yang dilakukannya membuat Tabitha sangat terkejut.

Gadis itu langsung memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Armandi. Tubuhnya meronta ketika pemuda itu tidak juga melepaskan pelukannya.

“Mas Arman, maksudnya apa sih!” bentak Tabitha, penuh dengan kemarahan ketika Armandi akhirnya membebaskan dirinya.

“Ah kamu, Bith! Aku peluk sedikit saja sudah marah!” sungut Armandi, tanpa rasa bersalah.

“Ya jelas aku marah, Mas! Memangnya aku ini siapa, Mas main peluk-peluk saja!” bentak Tabitha lagi.

“Halaah ... kamu ini loh! Kalau kita sudah menikah nanti juga kamu sudah bukan aku peluk lagi, Bith! Malah langsung tak bawa kamu ke kasurku! Aku tiduri kamu! Kamu itu kan calon isteriku, Tabitha!” ujar Armandi. Pemuda itu lalu tertawa terkekeh.

Tabitha terkejut.

“Maksud ... maksud Mas Arman apa sih? Calon isteri apa? Memangnya siapa yang jadi calon isteri Mas Arman?” tanya Tabitha, marah sekaligus bingung.

Armandi mengerutkan keningnya. Namun, sekejab kemudian pemuda itu kembali tertawa sambil geleng-geleng kepala.

“Oalaah ... Tabitha! Jadi kamu itu memang benar-benar belum tahu toh? Kamu itu calon isteri aku, Bitha! Calon isteri! Sebentar lagi kita akan menikah karena ayahku sudah lama melamar kamu untuk jadi isteriku! Bagaimana mungkin kamu sendiri malah belum tahu tentang perjodohan kita? Bercanda kamu ya? Atau ... bapak dan ibumu memang belum pernah memberitahu kamu? Astagaaa!”

Armandi menepuk keningnya sendiri.

“Pernikahan kita itu sudah tinggal menghitung bulan! Masa’ sampai sekarang kamu masih belum tahu! Benar-benar bercanda kamu!” ujar Armandi lagi.

Pemuda itu lalu sedikit tertawa kecil.

Tabitha pun semakin terkejut. Sayangnya, dia juga terlanjur emosi.

“Bercanda? Ada juga Mas Arman yang bercanda! Iya kan? Selama ini kita itu nggak pernah ada hubungan apa-apa, Mas! Mana mungkin aku mau langsung menikah sama Mas Arman! Bercanda kamu, Mas!" balas Tabitha.

Tabitha lalu ikut tertawa kecil. Berusaha mengenyahkan pemikiran-pemikiran yang mulai timbul di benaknya.

Ibu dan Bapak menjodohkan aku dengan Mas Armandi? Paklèk Juhari sudah melamar aku untuk dinikahkan dengan Mas Arman? Nggak mungkin! batinnya.

Armandi mulai sedikit kesal.

“Aku bercanda? Sembarangan kamu, Bith! Kalau kamu masih nggak mau percaya, silahkan kamu tanya sendiri sama bapak dan ibumu! Sekalian tanyakan juga kenapa sampai hari ini mereka belum juga memberi tahu kamu kalau kamu itu sudah dijodohkan denganku!” Armandi lalu melangkah mendekati Tabitha yang akhirnya terpaksa semakin merapat ke dinding di belakang tubuhnya.

“Lalu ... kalau mereka bilang aku yang benar, aku harap kamu nggak akan membuat aku kecewa, Bitha! Karena aku sudah terlalu lama menunggu kapan waktunya aku bisa membawa isteriku yang cantik ini ke kasurku!” ujar Armandi dengan suara bergetar menahan hasrat yang tiba-tiba saja muncul. Pemuda itu lalu membelai wajah Tabitha dengan tangannya yang kemudian segera ditepis dengan kasar oleh gadis itu.

Armandi tersenyum sinis.

“Sekarang kamu masih boleh kasar sama aku, Bith! Aku maafkan, karena aku memang belum jadi suamimu! Tapi, sebelum kamu melangkah keluar dari kamarku, ada satu lagi yang mau aku tunjukkan sama kamu!”

Armandi lalu membuka laci meja kecil yang ada di samping lemari pakaiannya. Meja di mana Tabitha sebelumnya meletakkan kotak berisi perhiasan.

Pemuda itu lalu mengeluarkan dua buah kartu undangan pernikahan dengan desain dan warna yang berbeda dari dalam laci meja kecil itu, yang kemudian ditunjukkannya kepada Tabitha.

Tabitha menatap kedua undangan itu. Tertera nama kedua mempelai di bagian depannya.

Tabitha & Armandi.

Astaga! Tabitha menutup mulutnya.

“Keduanya adalah desain undangan pernikahan kita! Aku sudah menyiapkannya! Apa kalau sudah seperti ini kamu masih bisa berpikir kalau aku ini bercanda? Terima kenyataan, Tabitha! Kamu itu sudah jadi calon isteriku!” ujar Armandi.

“Nggak! Nggak mungkin!” Tabitha bersikeras, dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Nggak mungkin Bapak dan Ibu mau menikahkan aku sama Mas tanpa bertanya dulu sama aku! Ini semua nggak mungkin!" bantah Tabitha lagi.

“Terserah kalau kamu masih mau membantah! Tapi, ini memang kenyataannya! Kenapa sih kamu nggak mau terima kalau sebentar lagi kita itu akan menikah?” tanya Armandi, penuh emosi.

Tabitha menatap Armandi dengan tidak percaya.

“Bagaimana mungkin Mas berharap aku bisa terima? Kita nggak pernah ada hubungan apa-apa, Mas! Aku nggak mencintai Mas Arman! Aku juga belum mau menikah! Aku masih ingin bebas! Aku mau kuliah! Aku punya cita-cita! Kenapa Mas nggak bisa mengerti?”

Tabitha merasakan kedua matanya mulai memanas.

Sementara Armandi malah menatap Tabitha dengan tajam.

Tabitha berusaha menahan air matanya agar tidak terjatuh di depan pemuda itu.

“Kamu jangan salahkan aku, Bitha! Salahkan bapak dan ibumu sendiri yang menerima lamaran dari ayahku, dan setuju untuk menikahkan kamu denganku!” ujar Armandi.

“Nggak! Pokoknya aku nggak mau! Aku nggak akan pernah menikah sama Mas Arman!” Tabitha setengah berteriak.

Armandi mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.

“Kamu jangan macam-macam ya, Bith! Aku sudah hampir selesai menyiapkan semuanya, dan kamu mau menolak pernikahan kita? Terlambat! Lagipula, kalau kamu memang mau menolak pernikahan kita, itu artinya kamu harus bayar semua hutang orangtuamu yang ratusan juta itu!” ujar Armandi dengan geram.

Tabitha terperangah.

“Maksud ... maksud Mas ... apa?”

Armandi tersenyum menyeringai. Tabitha sangat tidak suka melihat senyuman itu.

“Ooh ... jadi itu pun kamu belum tahu ya? Bapakmu punya hutang tiga ratus juta pada ayahku, Bitha! Belum termasuk bunganya! Kalau dia bersedia menikahkan kamu denganku, maka seluruh hutangnya akan dianggap lunas oleh ayahku! Tapi, kalau kita nggak jadi menikah, maka hutang tiga ratus juta belum termasuk bunga itu tentu saja harus dilunasi oleh bapakmu! Apa kamu sanggup melunasi hutang bapakmu berikut bunganya, Tabitha? Supaya kita nggak usah menikah? Hah? Apa kamu sanggup?” Armandi bertanya dengan nada sinis.

Tabitha lagi-lagi terperangah.

Hutang bapak? Jadi ... bapak mau menerima lamaran dari paklèk Juhari itu karena bapak ingin hutangnya sama paklèk lunas?

****

Bab terkait

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 4

    "AYO ... JAWAB AKU!" bentak Armandi. Tabitha terlonjak saking terkejutnya. Gadis itu hanya bisa menggigit bibir. Sedangkan air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. Melihat Tabitha hanya berdiri terdiam sambil menggigit bibir, Armandi mulai tergoda. Entah makhluk apa yang merasuki pemuda itu sehingga tiba-tiba dia mencengkeram bahu Tabitha, dan berusaha mencium bibir merah alami yang entah sejak kapan mulai berani mengganggu tidur malamnya, dan membangkitkan gairahnya. Spontan Tabitha memberontak dan mendorong tubuh Armandi dengan sekuat tenaga. Lalu, ditamparnya wajah tampan pemuda itu dengan keras. Armandi jatuh terhuyung ke belakang. Namun, pemuda itu segera bangkit berdiri. Dengan ibu jarinya dia menghapus darah yang menetes keluar dari bibirnya yang terluka. Armandi menatap nyalang ke arah Tabitha. Kedua matanya kelihatan merah. Emosi kemarahan mulai memuncak di kepalanya. Kedua tangannya kembali mengepal. Rahangnya kembali mengeras. Tabitha membalas tatapan nyalang Arma

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 5

    “BAPAAAK...!” Lasmi menangis sambil berteriak memanggil suaminya. Rismanto terkejut. Setengah tersadar dari tidurnya, pria itu langsung melompat dari atas tempat tidur, dan mendapati isterinya ternyata sudah terbaring di lantai. “Bu! Bu! Ono opo toh, Bu? Bu! Èling, Bu! Bu’e!” (èling = sadar) Rismanto menepuk-nepuk wajah Lasmi, sementara wanita itu masih terus menangis. “Bapaaak ... Bitha, Pak! Bithaa ... anakkuu ....” “Bitha nopo, Bu?” “Bitha paak ....” Di tengah kebingungan, pandangan Rismanto langsung teralihkan ke secarik kertas yang ada di dalam genggaman tangan isterinya. Kertas opo toh kui? Rismanto mengerutkan kening sambil masih memeluk Lasmi. Dengan tangan sedikit gemetar, Rismanto memberanikan diri untuk mengambil secarik kertas itu dari genggaman Lasmi, lalu membaca isinya. Tidak butuh waktu lama, pria setengah tua itu pun ikut menangis. Hatinya terasa sakit, perih seolah baru saja teriris sembilu. Putriku pergi karena aku ...! Rismanto memeluk isterinya erat

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 6

    “Telepon dari Ibu kok masih ndak diangkat-angkat sama Tabitha ya, Pak? Piye toh, Pak?” Lasmi mengeluh. Suaranya pelan, hampir tidak terdengar. Wajahnya kelihatan sedih. Dengan telapak tangannya wanita itu mengusap air mata yang mulai menitik lagi. Rismanto menghela nafas. Dia tidak mampu memberikan jawaban apa pun. Dilihatnya Lasmi, istrinya, langsung meletakkan kembali ponsel miliknya ke atas meja, lalu melangkah masuk ke kamar. Langkah wanita itu kelihatan lemas, seolah hampir tidak bertenaga. Tidak usah diikuti dan ditengok pun Rismanto sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Lasmi di dalam kamar. Isterinya itu pasti akan menangis lagi, menangisi putri mereka, persis seperti semalam. Atau seperti hari kemarin, dan kemarin, dan kemarinnya lagi. Sudah hampir satu bulan berlalu. Tetapi, kabar dari puteri sulungnya sampai hari ini masih belum ada. Satu kali pun Tabitha bahkan tidak pernah menjawab panggilan telepon dari bapak atau ibunya. Bisa jadi puteri sulungnya itu memang masih

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 7

    Pemuda tampan itu lalu menghampiri Tabitha. "Ooh ... jadi ini pekerjaan kamu? Jauh-jauh kabur dari kampung ternyata di sini kamu cuma jadi pelayan rumah makan toh, Bith? Bitha ... Bitha ...!” sindir pemuda itu, yang kemudian tertawa terkekeh sendiri, menertawakan Tabitha. Pemuda dengan perawakan sedang, berwajah tampan, dengan rambut ikal yang sedikit berantakan. Mengenakan pakaian serba hitam, dan sebuah anting perak di telinga kiri yang selalu menjadi ciri khasnya. Pemuda itu berdiri di belakang Tabitha sambil berkacak pinggang. Prak! Nampan plastik yang sedang dipegang oleh Tabitha langsung terjatuh ke lantai. Untung nampan itu sudah kosong! Tidak usah menengok ke belakang untuk melihat siapa yang barusan bicara menyindirnya pun Tabitha sudah tahu siapa pemilik suara itu. "Kamu mengantar kopi? Itu tugasmu di sini? Cuma jadi kacung! Pelayan!” sindir pemuda itu lagi, dengan nada sangat menghina. Lidah Tabitha langsung terasa kelu. Gadis itu bahkan tidak sanggup untuk sekedar me

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 8

    Sekian menit yang lalu bis yang ditumpangi oleh Tabitha dan Armandi sudah mulai menempuh perjalanan. Dan, dalam beberapa jam ke depan mereka akan segera sampai di kota tujuan. Kota yang terkenal dengan lumpia. Kota kelahiran mereka berdua. Biasanya, setiap orang yang pulang ke kampung halaman pasti akan merasa senang dan bahagia karena sebentar lagi akan bertemu dengan sanak saudara dan keluarga mereka. Tetapi, tidak begitu dengan Tabitha. Pikiran gadis itu malah kacau tidak karuan. Hatinya tidak tenang. Semenjak dia naik ke dalam bus itu, yang dia pikirkan hanya satu, sesampainya mereka di kampung halaman nanti, dia pasti akan segera dinikahkan dengan Armandi. Pemuda yang tidak pernah dia cintai. Beban pikiran itu yang membuat Tabitha duduk dengan gelisah di bangkunya. Sebentar dia menyandarkan kepala ke kaca jendela. Sebentar kemudian dia menyandarkan kepala ke bangku di depannya. Sebentar kemudian lagi dia malah duduk tegak tanpa bersandar sama sekali. Armandi yang duduk di

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 9

    Armandi memang mencintai Tabitha. Tetapi, bukan Armandi namanya kalau dia masih terus berharap pada satu orang gadis saja, yang bahkan tidak mau membalas cintanya sama sekali! Memangnya perempuan cantik di dunia ini cuma dia? Rugi waktu, rugi uang, rugi tenaga juga kalau aku masih saja mengejar-ngejar dia! Di kampung ini, perempuan mana sih yang nggak mau menikah sama aku, Armandi putra juragan Juhari, kecuali si perempuan sok jual mahal itu? Semua perempuan di sini pasti mau menjadi istriku! Apalagi perempuan yang satu ini! Nggak kubalas cintanya pun dia nggak pernah perduli! Dia tetap saja mengejar aku! Armandi berbicara sendiri di dalam hatinya, sambil menatap tubuh molek seorang gadis yang sedang terbaring tanpa busana di sampingnya, di balik selimut tipis yang hanya menutupi sebagian dari tubuh mereka. Waktu masih jauh dari kata "pagi". Mereka berdua baru saja menyelesaikan “acara senang-senang”, yang entah sudah untuk ke berapa kali mereka lakukan semenjak gadis itu dengan

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 10

    “Sepenggal Cerita Malam”. Kalau saja Tabitha pandai menulis novel, atau biasa menulis di buku harian, mungkin dia akan memberi judul seperti itu pada halaman buku yang akan dia tulis malam ini.Usianya belum lagi genap dua puluh tahun. Belum pernah merasakan punya pacar. Belum pernah membaca novel dewasa, apalagi menonton film khusus orang dewasa. Tetapi, malam ini dia malah langsung disuguhi tontonan adegan khusus untuk orang dewasa di depan matanya.“Sayang, sabar dong! Aku kan lagi kunci pintu dulu! Iih ... sayang suka begitu deh! Suka nggak sabaran ah!”“Tapi kamu suka kan?”“Iya, suka! Tapi tadi kan sudah dua kali, masa’ masih mau minta lagi!”“Iya dong! Aku memang mau minta lagi! Boleh kan ya? Masa’ nggak sih? Kan kamu juga suka!” ujar pria itu, sambil mulai menciumi leher Ambar."Iya, boleh! Tapi ... sayang, lepasin aku dulu dong ah! Gelii...! Aaah ...! Sayang ... aaah!" Ambar mendesah. Lalu, terdengar suara tawa cekikikannya dari arah ruang tamu. Tabitha mengerutkan keningnya

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 11

    Mama hobi selingkuh!Siapa sebenarnya papanya Vina?Bukan papa?Kata-kata Dian masih terngiang-ngiang dan terdengar bagai petir yang terus menyambar di telinga Vina, adiknya. Dan terdengar bagai granat di telinga Ambar, ibu tirinya.Ambar berdiri mematung.Vina ternganga.Mama ... jadi ... Vina itu bukan ... bukan anak papa?Vina jatuh terduduk lemas.“PERGI KAMU, DIAN! MULUT KAMU ITU SUDAH LANCANG SAMA MAMA! MAMA NGGAK MAU LIHAT KAMU LAGI!” teriak Ambar, histeris, tanpa menyadari bahwa putri keduanya sudah terduduk lemas di lantai, di samping kakinya.Emosi Ambar meledak. Marah, kecewa, malu, campur aduk menjadi satu."Ooh ... jadi sekarang Mama juga berani mengusir Dian? Kenapa, Ma? Mama malu karena ternyata Dian sudah lama tahu rahasia Mama? Nggak usah, Ma! Nggak usah malu! Mama juga nggak usah usir Dian! Dian juga sudah lama ingin pergi dari rumah ini! Walau sebenarnya ini rumah Dian! Mama yang dulu datang ke rumah ini! Jadi seharusnya Mama yang keluar kan? Dian menyesal, Ma! Terny

Bab terbaru

  • Cinta untuk Tabitha   Bab 48

    Adriano meletakkan file berisi berkas sindikat penjualan manusia itu di atas meja kopi di hadapan Ferdinan, tanpa banyak berucap kata.Ferdinan meliriknya, lantas langsung meletakkan kaleng minuman bersoda yang sedang dipegangnya ke atas meja, dan lekas meraih berkas itu.Tidak perlu waktu lama untuk membuat pria dengan wajah tampan dan garis rahang tegas itu menyunggingkan senyum sumringah ketika menemukan bahwa ada banyak hal yang sudah lama dia selidiki dan dicarinya selama ini, ternyata sudah ada di dalam berkas itu.“Bravo! Jenius! Akhirnya ... kecakapanmu kembali lagi, Teman! Selamat! Alonzo yang aku kenal akhirnya sudah kembali! Benar kan ... sudah kubilang, terlalu lama duduk di belakang meja di perusahaan itu bisa membuat otakmu tumpul! Nah, sekarang ... kapan mau kita selesaikan pekerjaan kita?” Pria itu berkata dengan penuh semangat sambil menutup berkas itu.“Anytime. Kalau memang sudah waktunya ... lakukan saja! I'm in!” sahut Adriano, sambil berjalan menuju pantry, lalu

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 47

    “Are you serious? Kita tidak jadi pulang?” Ferdinan menatap lekat-lekat pria yang tengah duduk di sofa, sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di hadapannya. Sepasang mata cokelat pria itu bergantian menatap layar laptop yang menyala di atas meja kopi di depannya, dan selembar kertas yang berada di tangannya. Pria itu mengangguk yakin, sebagai jawaban untuk pertanyaan yang diajukannya. Astagaa...! Ferdinan mengacak-acak rambutnya sendiri, geram, lalu geleng-geleng kepala. Ah, kalau saja dia tidak mengenal pria bermata cokelat itu sejak puluhan tahun yang lalu, tepatnya sejak mereka masih sama-sama remaja, mungkin saat ini dia sudah menganggap pria yang duduk di hadapannya itu gila dan bodoh. Bahkan, bisa jadi satu kali tinjunya pun sudah bersarang di lambung pria itu. Sekarang, bagaimana dia tidak marah, kalau dengan seenaknya pria itu baru saja bilang bahwa dia sudah membatalkan rencana kepulangan mereka ke Italia, sekaligus membatalkan semua rencana dan strategi yang suda

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 46

    “Tolong ... jangan sakiti aku!” Tabitha meratap dan mengerang pelan ketika bekapan tangan pria itu dia rasakan mulai mengendur di mulutnya.“Sshhht ... siapa yang mau nyakitin lo?” ujar pria itu, masih sambil memeluk tubuh Tabitha.Astaga! Tabitha terperanjat.Suara itu ... suara itu seperti pernah aku dengar! Tapi ... suara siapa? Siapa dia?“Siapa ka_kamu ....”“Ini gue. Masa’ lo udah lupa sama gue? Kan belum lama kita pernah bermesraan! Lo pasti masih ingat kan? Ini gue yang waktu itu hampir memperkosa lo di malam itu, Sayang! Percintaan kita yang panas di kamar hotel gue dulu ... ah, seharusnya kan sangat berkesan buat lo! Lo pasti belum pernah merasakan sentuhan dari tangan lelaki sampai sejauh itu kan?” Pria itu menyeringai, menertawakan, sambil tangannya lalu mengelus bagian dalam paha Tabitha.Tabitha langsung terlonjak kaget. Tubuhnya seketika memberontak. Mata bulatnya langsung membelalak. Sementara pria itu malah tertawa tergelak. Entah di mana pria itu menaruh otaknya. Di b

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 45

    Terdengar suara deru mesin mobil di halaman depan rumah Sandra. Untuk sekian detik hati Tabitha melonjak senang. Teringat olehnya kebiasaan Adriano yang tanpa bertanya akan langsung datang menjemputnya setiap kali pria itu tahu Tabitha sedang berada di rumah Sandra. Namun, kali ini tidak mungkin begitu kan? Sudah berapa minggu mereka tidak akur dan tidak saling memberi kabar?Dan ....Benar ... memang bukan Adriano!Mendadak Tabitha merasa sedih. Ditutupnya kembali gorden jendela ruang keluarga di rumah Sandra yang mengarah ke pintu gerbang, dan baru sekian detik tadi disibaknya.“Eh, ada si Neng Tabitha!” tegur Andre, yang kemudian muncul di tengah ruang keluarga dan mendapati Tabitha sedang duduk di sofa.“Tahu aja sih kalau malam ini aku bakalan pulang sambil bawa Sate Padang!” Andre tertawa lebar.Tabitha tersenyum.“Nih, makanan kesukaan kamu!” ujar Andre, sambil meletakkan plastik berisi tiga bungkus Sate Padang di hadapan Tabitha.“Waah ... terimakasih, Mas! Wangi bumbunya bikin

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 44

    Ternyata memang sulit untuk menjauhkan diri dari yang namanya Cinta. Ketika kita mencintai seseorang dan kerinduan datang mendera, yang diinginkan hanya satu, selalu berada di dekatnya.Tidak perduli seberapa banyak rintangan yang harus dilewati, atau seberapa besar resiko yang harus dihadapi, akan terlihat kecil di depan mata ... kalau mau dihadapi bersama-sama. ~ Lady Rose ~ Tidak tahu apa yang harus dilakukan.Tidak tahu apa yang harus dikatakan.Kangen. Cuma kata itu yang sepertinya pantas untuk menggambarkan perasaan yang sedang Tabitha rasakan saat ini. Kangen yang masih bercampur dengan marah. Entah perasaan yang mana yang lebih mendominasi. Ingin bertemu dan bercanda berdua, atau ingin bertemu dan memaki?“Kangen ya?” tanya Sandra, sambil meraih bayi Vanya yang sudah tertidur lelap dari pelukan Tabitha.Dengan hati-hati, Sandra membaringkan tubuh mungil putri kecilnya yang baru semata wayang ke atas kasur berlapis sprei merah muda. Ketika baru diletakkan, bayi mungil itu semp

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 43

    Kita hanya bisa menemukan kedamaian di kehidupan yang fana ini dengan menerima kehendak alam semesta.~Pet Sematary, Stephen King~“Mau ke mana?” tanya Adriano. Berdiri di ambang pintu kamar gadis itu.“Pulang.” jawab gadis itu, singkat, sambil mengeluarkan pakaiannya yang terakhir dari dalam lemari, lalu memindahkannya ke dalam koper besar miliknya.“Ke mana?”“Ya ke rumah kosku! Mau pulang ke mana lagi memangnya? Nggak mungkin kan kalau aku mau pulang ke kampung halaman sekarang?” sahut gadis itu.Adriano menghela nafasnya.“Bitha, please ....”“Kamu nggak usah kawatir, aku nggak akan bunuh diri lagi kok!” potong gadis itu, dengan nada sedikit marah.“Kamu, Sandra, juga Mas Andre, sudah nggak perlu mengawasi aku lagi! Aku masih mau hidup. Masalahku masih ada banyak. Kalau aku bunuh diri, bisa jadi arwah penasaran nanti! Aku nggak mau!” ujarnya lagi.Adriano memandang gadis itu. Gadisnya yang keras kepala, yang kalau sudah mengambil keputusan sudah susah untuk dirubah.“Tapi ... kamu

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 42

    Tabitha memperhatikan wajah pria itu sekali lagi, dengan lebih teliti. Bekas luka yang membelah alis mata sebelah kirinya ... Tabitha tidak akan pernah lupa.“Benar kok! Bapak kan yang waktu itu ... di resort itu kan?”Pria itu tertawa terkekeh.“Iya, itu memang benar saya! Perkenalkan, Ferdinan Matteo! Dulu kita belum kenalan secara pribadi seperti ini kan ya?” ujarnya, sambil mengulurkan tangan, dan tersenyum.Tabitha menyambut uluran tangan itu.“Tabitha.”“Saya tahu!”“Oh ya? Memangnya Bapak masih ingat nama saya?”Pria itu tersenyum lagi.“Yup! Dan tolong, sudah saya bilang jangan panggil saya ‘Bapak’, apalagi ‘Pak Ferdinan’ lagi! Saya merasa tua kalau kamu yang panggil saya begitu! Umur saya saja cuma lebih tua satu tahun kok dari pacar kamu! Apa kamu juga panggil dia 'Bapak'?”Tabitha melongo.“Apa?”“Adriano Alonzo? Jangan bilang kalau dia bukan pacar kamu lagi ya! Dia bisa mengamuk nanti!”Tabitha menatap heran.“Bapak tahu dari mana kalau ....”“Kan sudah saya bilang jangan p

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 41

    Beberapa jam sebelumnya.Tubuh telanjang bulat milik seorang gadis sedang berdiri di bawah pancuran air di salah satu kamar mandi di dekat kolam renang itu. Sedari tadi gadis itu sibuk menggosok-gosok sekujur tubuhnya dengan kasar. Seolah ingin membersihkan “kotoran” yang tidak pernah dia inginkan, yang tidak kunjung hilang, dan yang dia pikir masih “melekat” di kulit tubuhnya. Merasa frustasi karena akhirnya sadar bahwa “kotoran” itu tidak akan pernah bisa hilang sampai kapan pun, bahwa “kotoran” itu akan terus melekat di kulit tubuhnya, gadis itu menangis tersedu-sedu.Dia tidak rela kulit tubuhnya “ternoda”.Dia tidak ikhlas tubuhnya “tercemar” oleh tangan-tangan para lelaki yang tidak selayaknya menyentuh dia.“Kotoran” itu memang tidak tampak di mata gadis itu. Bahkan, tidak ada seorang pun yang bisa melihat “kotoran” itu. Tetapi, “kotoran” itu masih saja melekat di kulit tubuhnya, di dalam pikirannya. Menghantui dirinya, entah akan sampai kapan. Membuat dia terus merasa buruk. M

  • Cinta untuk Tabitha   BAB 40

    Gadis itu terbaring di ranjang rumah sakit. Kondisinya sudah jauh lebih baik, walaupun masih kelihatan lemah. Tidak ada yang mengira bahwa dia mampu bertahan hidup setelah mengalami kecelakaan fatal seperti itu. Ketika tubuhnya sudah tidak bergerak, semua berpikir gadis itu sudah mati. Pengemudi mobil yang menabraknya pun berpikiran sama. Tetapi, dugaan mereka ternyata salah. Tuhan memberi gadis itu kesempatan hidup kedua. Entah untuk apa.Ketika para petugas membawa tubuh yang mereka pikir sebentar lagi akan menjadi mayat, pengemudi mobil yang menabraknya pun langsung tertangkap. Tetapi sayang, belum sempat mereka interogasi, para petugas aparat itu sudah kecolongan.Mereka hanya lengah sebentar, tetapi nyawa pengemudi yang ternyata seorang pria berbadan besar sudah terlanjur melayang.Dia bunuh diri. Menelan pil racun yang langsung menghancurkan lambungnya saat itu juga.Tidak ada surat-surat. Tidak ada tanda pengenal. Sidik jari pengemudi itu bahkan tidak terdaftar.Segala sesuatun

DMCA.com Protection Status