"Darah lebih kental dari air, aku harus tau diri siapa yang harus diutamakan." Salsa dibesarkan oleh orangtua angkatnya. Saat bayi ia diadopsi untuk memancing kehadiran seorang anak kandung, dari pasangan yang telah lama menikah, tapi belum dikaruniai anak. Beberapa tahun kemudian, dari pasangan itu lahirlah seorang anak yang cantik bernama Mutiara. Setelah ada anak kandung, keberadaan Salsa makin tak terlihat. Ia kerap kali mendapat perlakuan yang berbeda dari sang Mama. Salsa diperlakukan seperti pembantu, dan tak mendapat kasih sayang seperti dulu. Berbeda dengan Mama, sang Ayah justru selalu membela Salsa. Namun, suatu hari Ayah mengusir Salsa karena sesuatu terjadi dalam rumah itu.
Lihat lebih banyakSalsa 1
.
"Cepetan dong, Salsa! Salatnya lama amat sih! Udah telat nih gue!" teriak Tiara dari ruang tengah. Ia bahkan kali ini protes waktuku menghadap dengan Rabb-ku.
Di dalam kamar, aku segera melepas mukena dengan gerak cepat. Setelah melipatnya, aku mengganti baju dan memakai jilbab kurung yang tersangkut di belakang pintu. Serba cepat.
Saat aku sedang berdiri di depan cermin ingin sedikit memakai bedak, Tiara telah berdiri di pintu dengan tangan berkacak di pinggang.
"Udahlah, masih gelap juga. Gak bakalan ada cowok yang liat." Ucapan Tiara menghentikan aktivitasku di depan cermin.
Segera saja ia menarik tanganku untuk keluar dari kamar, dan menyerahkan kunci motor.
Kami akan ke rumah seorang MUA yang tak terlalu jauh dari kampung ini. Hari ini Tiara wisuda, dan ia akan merias diri agar terlihat sempurna di hari bahagianya.
Ia menyuruhku untuk mengantarnya ke rumah MUA. Seperti kebiasaannya, sering menyuruh ke mana-mana dan akan merengek dan mengadu pada Mama jika tak dituruti.
Kalian pasti bertanya kenapa bukan Ayah atau Mama saja yang mengantar Tiara?
Ayah akan mengambil mobil rental ke temannya, sementara Mama sibuk di dapur. Sibuk memasak beberapa makanan kesukaan Tiara sebagai perayaan atas berhasilnya menempuh gelar sarjana.
Hari masih gelap gulita, masih pukul lima pagi. Mau tak mau, aku harus menuruti permintaan Tiara. Mutiaranya Ayah dan Mama.
"Lambat amat sih, Sa! Jangan sampai Tiara telat nyampe ke kampus nantinya," Mama ikut mengomel. Dari dapur, ia bahkan mendekat padaku saat motor baru kukeluarkan dari ruang tamu.
"Tau nih, Ma. Sengaja kali biar aku telat," tuduh Tiara.
Aku menggeleng. Sebenarnya kesal setengah mati. Tapi ini masih terlalu pagi untuk mencari keributan dan mengganggu tetangga.
Tiara si anak manja itu, pengen gerak cepat. Tapi, motor saja tidak mau ia keluarkan dari rumah. Ya, ia memang semanja itu, lebih tepatnya malas.
"Naik!" perintahku tanpa banyak kata setelah memanaskan mesin motor.
"Hati-hati, jangan ngebut. Jangan sampai Tiara celaka dan gak bisa wisuda." Mama masih sempat mengkhawatirkan Tiara, seolah kalau terjadi kecelakaan hanya akan ada dia yang menjadi pusat perhatian.
Aku hanya diam. Motor terus melaju menuju rumah MUA. Kata Tiara, di sana make up-nya bagus dan sudah profesional. Mama bahkan menyuruhku untuk memberikan sebagian uang pada Tiara, agar ia bisa make up di tempat favorit.
"Kamu kan pintar make up. Kenapa nggak poles sendiri aja, malah kelihatan lebih natural." Aku memberi usulan kala itu, saat Tiara bilang dia butuh delapan ratus ribu untuk biaya make up saja.
"Halah bilang aja pelit. Sama adik sendiri pelit. Kualat tau rasa lo!" sembur Tiara yang memang tidak pernah sopan mulutnya.
Yang Tiara tahu hanya memuaskan keinginan sendiri. Padahal bagiku uang delapan ratus ribu itu hampir setara dengan satu bulan gaji bekerja.
"Iya nih, Salsa. Sama adik sendiri kok perhitungan sih!" tambah Mama yang tak kalah sengitnya dengan Tiara.
Saat itu Ayah hanya diam mengamati kami. Untuk wisuda membutuhkan banyak biaya karena Tiara banyak gaya. Ia bahkan meminta Ayah untuk merental mobil karena tidak mau naik motor ke kampus, malu katanya. Ayah menuruti, padahal aku tahu persis ia sedang tidak punya uang.
Namun, apa pun permintaan yang keluar dari mulut Tiara, selalu Ayah dan Mama sanggupi. Berbeda jika aku yang meminta.
Darah lebih kental dari air. Ungkapan itu sering dimaksudkan bahwa sejahat apa pun hubungan ayah dan anak, mereka pasti akan bersatu karena ada hubungan darah dalam diri mereka.
Bagiku ungkapan itu memang benar, meskipun sedikit berbeda. Darah lebih kental dari air, yang berarti anak kandung dengan anak tiri pasti akan diperlakukan beda. Terserah sebaik apa pun anak tiri, ia tetap tak memiliki hubungan darah yang secara tak langsung artinya bisa dibedakan.
Seperti aku dan Tiara.
Aku hanya anak angkat yang diadopsi untuk mengundang kehamilam Mama. Cara itu berhasil di Mama, meski tak berhasil di semua orang. Setelah beberapa lama kemudian, lahirlah Tiara. Mutiaranya Mama dan Ayah yang begitu dibanggakan. Apa pun yang dilakukan Tiara selalu mendapat pembenaran.
Aku dan Tiara beda enam tahun, tapi ia tak pernah memanggilku dengan sebutan Kakak atau Mbak.
.
Sepuluh menit mengendarai motor, akhirnya aku sampai di rumah MUA yang dimaksud Tiara. Aku sedikit mengebut karena takut pada jalan yang masih gelap sunyi.
"Telat deh gue," gerutu Tiara yang melihat banyak motor di luar. Motor para pengantri yang menunggu giliran di-make up untuk wisuda juga.
Sebelum masuk, Tiara sempat menatap tajam padaku. Aku hanya menghela napas, bahkan rasanya tak ingin masuk ke dalam bersamanya.
Namun, kupaksakan kaki untuk masuk karena penasaran juga melihat tangan lihai yang memoles beberapa wajah di dalam sana.
"Gue dulu ya, Mbak!" ucap Tiara menghalangi seorang gadis yang ingin duduk di kursi rias di depan MUA.
"Lah, enak aja. Gue yang duluan nyampe." Gadis itu tak mau kalah. Sepertinya sama galak dengan Tiara. Tapi, memang benar harusnya dia yang duluan.
"Bangun!" ucap gadis itu dingin seraya melotot.
Terpaksa Tiara bangun dan digantikan oleh gadis tadi. Sang MUA hanya diam karena memang tak bisa membela Tiara.
Beberapa lama Tiara menunggu, hingga matahari mulai terbit dan ia belum mendapatkan antrian.
Tiara mendekat padaku yang duduk di sofa di ruang itu.
"Gara-gara lo sih! Gue kan udah bilang dari jauh-jauh hari kalau di sini tuh rame ngantri. Ih nyebelin banget!" Tiara menolak bahuku kesal. Aku yang sedang bermain ponsel menatapnya heran, juga kesal.
Tiara kembali duduk meski ia tak tenang, terlihat dari matanya yang beberapa menit sekali melihat jam di ponsel.
Hingga akhirnya giliran ia yang dimake up. Tiara sudah memakai kebaya dan rok batik khas wisuda. Ia terlihat anggun dan cantik setelah wajahnya disentuh polesan make up.
"Pelan-pelan, Salsa! Awas kalau bedak gue luntur!" kesal Tiara, karena aku bawa motornya agak ngebut, takut adikku akan telat.
"Bukankah kamu menyewa MUA mahal?" sindirku.
Aku tahu, harga segitu tidak ada apa-apanya jika mengharapkan kualitas artis. Tapi bagiku itu tetap mahal.
"Jaga itu lambe!" ucap Tiara kasar.
Akhirnya aku diam. Aku memang selalu berada di posisi yang serba salah.
Beberapa menit kemudian, kami tiba di rumah. Di depan sudah terparkir mobil yang dirental oleh Ayah.
Dulu Ayah punya mobil, meskipun bukan mobil mewah. Namun, ia harus menjualnya untuk biaya kuliah Tiara.
"Ayo, Tiara. Kamu di depan ya. Biar Mama sama Salsa di belakang," Mama antusias. Ia bahkan membukakan pintu mobil untuk Tiara. Memperlihatkan sebegitu bangganya ia pada seorang Tiara yang bergelar sarjana.
Berbeda denganku yang hanya karyawan sebuah mini market.
"Kamu mau ke mana lagi, Salsa?" tanya Mama.
"Mandi, Ma!" jawabku.
"Halah nggak usah mandi. Didandani bagaimanapun muka lo tetap nggak berubah tuh!"
Aku menelan ludah seraya menatap nanar pada Tiara. Selalu saja hinaannya meninggalkan bekas luka dalam hatiku.
Aku sadar diri tidak memiliki wajah seperti dia. Kulitku gelap, parasku tak cantik, bahkan beberapa gigiku tumbuh tak sejajar yang semakin menyempurnakan ejekan Tiara.
"Iya, Salsa. Nggak usah mandi, udah telat ini." Aku kembali perih. Mama mengiyakan ucapan Tiara.
"Aku nyusul pake motor, Ma. Kalian duluan aja." Aku masih tetap pada pendapatku. Masa iya aku tidak mandi ke acara wisuda yang di sana tentu banyak orang. Memang sih, semalam aku mandi pukul sembilan setelah semua pekerjaan rumah kuselesaikan.
"Ck! Ini anak keras kepala banget ya," Mama mendekat dan menarikku ke dalam mobil.
Aku terpaksa masuk ke mobil. Kemudian melihat penampilanku sendiri. Baju kaus biasa, kulot, dan jilbab kurung. Aku menggeleng karena merasa sama sekali tak terlihat bagus mendatangi acara formal seperti wisuda.
Ayah hanya diam dan mulai mengemudi. Aku berkali-kali dikecewakan oleh keadaan.
Tiga puluh menit, kami sampai di kampus tujuan. Banyak wisudawan yang lalu lalang dan baru datang. Langsung saja Tiara masuk ke dalam didampingi Mama. Tak lekang wanita paruh baya itu memegang tangan Tiara, menunjukkannya sebagai anak yang begitu hebat.
Sementara aku masih mematung, menatap penampilanku sendiri.
"Carikan toilet dan ganti bajumu, Sa." Ayah menyerahkan sebuah kantong plastik untukku.
"Maaf ya, tadi Ayah masuk ke kamarmu. Ayah memang sudah menduga kamu tak akan sempat mengurusi diri. Jadi Ayah ambil baju dan jilbab yang kiranya cocok. Pergilah!" Ayah tersenyum.
Aku yang sempat kecewa pada Ayah, tiba-tiba merasa bersalah.
Salsa 42.Setelah menikah, aku dan Ken balik ke kontrakan masing-masing. Dia membocengku di atas motor besarnya, awalnya sedikit tak nyaman, tapi lama kelamaan jadi nyaman karena aku juga pakai kulot, jadi lebih bisa untuk naik ke motornya."Kenapa gak pake mobil?" protesku saat melihat ia malah mengeluarkan motor dari garasi rumahnya."Memangnya jalan di sana besar kayak di sini?" jawabnya.Iya juga. Akan lebih susah jika naik mobil karena jalannya sempit, apalagi jalan menuju kontrakanku.Kami kembali bukan untuk melanjutkan hidup di sana, tapi untuk menyelesaikan beberapa hal dengan pemilik kontrakan.Kami tiba, dan sepakat untuk ke kontrakaknku dulu. Di sana aku bertemu Pak Budi dan istrinya, aku berpamitan pada mereka serta mengucapkan banyak terima kasih."Sering-seringlah main ke sini, Sa. Gak terasa ya kita udah sama-sama selama beberapa bulan ini. Kamu udah saya anggap seperti anak perempuan saya. Kek ada rasa berat gitu berpisah sama kamu." Bu Mariani membelai bahuku.Meman
Salsa 41.Minggu depan aku dan Ken akan resmi menikah. Seminggu yang lalu, ia dan keluarganya datang melamar secara resmi. Aku meminta Ayah untuk tidak terlalu menyibukkan diri menyiapkan acara pertunangan yang mewah, sederhana saja, dan Ken juga setuju dengan semua usulku.Tiara kondisinya lebih sering lemas dan hanya terbaring di kamar. Ia juga memtuskan untuk resign dari pekerjaan karena merasa malu untuk kembali bekerja di sana.Ia lebih banyak diam saat ini, sepertinya mentalnya benar-benar sedang down. Rasa mualnya seringkali membuat ia tak bisa makan, semua makanan yang ia coba masukkan ke mulut, langsung keluar kembali. Mama yang senantiasa ada dan merawatnya.Aku pernah melihat Tiara menangis di dekat kamar mandi. Ia duduk merangkul lutut dan memegang perutnya. Aku bahkan ikut menangis melihatnya, karena mengerti posisinya pasti sulit. Sulit mengandung seorang anak tanpa didampingi suami.Mama juga melihatnya, aku menatap Mama dan ia memberi aba-aba agar aku membantu memapah
Salsa 40."Mas Andre, Ma …," Tiara memangis dengan kerasnya di pelukan Mama. Aku belum terlalu mengerti situasi, tapi kulihat di sana Andre sudah dalam kawasan polisi. Tangannya diborgol mungkin agar tidak melawan. Wajahnya sedikit lebam, sepertinya ia memang melawan dan mendapat pukulan dari polisi.Namun, nampaknya Mama mengerti keadaan ini, tapi aku tak berani bertanya. Antara takut melukai hatinya dan takut kena marah.Tiara menangis terus menerus, dan Andre menjelaskan banyak hal pada polisi dengan marah, lalu mengiba agar mereka tidak menangkapnya.Aku mengamati rumah dan sekelilingnya, sudah ada garis polisi yang dilingkari. Tak lama kemudian Ayah datang, dengan masih memgenakan jaket itu dia turun dari motor. Sepertinya Ayah ngebut di jalan agar cepat sampai ke sini. Mungkin Tiara langsung menelepon, dan Ayah meninggalkan pekerjaannya dan langsung ke sini.Ayah bertanya banyak hal pada polisi yang memegang sebuah berkas laporan penangkapan Andre. Lebih tepatnya meminta penj
Salsa 39."Ada apa, Reza?" tanyaku pada lelaki itu yang terlihat sungkan karena ada Ken bersamaku.Reza diam di tempat, sementara aku menatap Ken yang juga menatapku dan bertanya lewat tatapan. Bertanya siapa lelaki itu, lalu ketika aku mengangguk samar, ia baru mengerti bahwa Reza adalah orang yang pernah diceritakan dulu, mantanku.Aku minta izin pada Ken agar memberiku waktu beberapa menit mengobrol dengan Reza. Bukan untuk melanjutkan hubungan kami yang telah dilalui banyak drama, tapi untuk benar-benar mengakhiri apa yang telah kami mulai.Beberapa hari yang lalu, aku melihat kontak Reza sudah bisa dihubungi, itu artinya ia sudah membuka blokiran WhatsApp-ku. Tapi, aku tak lagi peduli karena aku pernah melalui hari-hari dengan harapan bahwa Reza datang dan meminta maaf, lalu kami baikan. Namun, lelaki itu tak datang, yang artinya ia memuat harapanku pupus.Lalu, lama kelamaan saat hari demi hari berlalu, aku mulai bisa berdamai dengan rasa yang pernah ada untuknya. Pun, perlahan
Salsa 38."Tinggal Lo-nya aja yang pulang. Mama udah ngerestui hubungan kita.""Hah?" Hingga malam tiba, di kepalaku masih terngiang-ngiang kalimat Ken.Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi siang, karena aku tahu bahwa Mama tak semudah itu untuk memafkanku atau merestuiku.Saat bertemu tadi siang, aku pun tak banyak bicara dengan Ken. Hanya mengangguk ya atau bilang tidak sebagai tanggapan. Masih belum terlalu bisa menerima kebohongannya, meskipun sudah perlahan memafkan.Sambil sesekali aku mencuri menatapnya heran, entah apa yang ia lakukan hingga Mama menurut saja padanya. Entah keberanian apa yang dimiliki oleh Ken, padahal jelas saja saat kuceritakan masalahku dengan Mama, ia tampak menilai bahwa Mama adalah orang yang tak bijaksana sebagai orang dewasa.Namun, semua kebingungan itu terjawab sudah saat aku bertanya pada Ayah melalui sambungan telepon."Ya, Ken memang datang ke rumah bertemu Mama.""Masa sih?" "Iya, Sa. Mama santai dan adem aja tuh ketemu sam
Salsa 37.Malam ini saat aku pulang ke rumah, sudah ada Ayah menunggu di teras. Ia memang sudah memberitahuku untuk datang tadi siang, tapi kuncinya terlanjur kubawa yang membuat Ayah harus menunggu di depan rumah. Mungkin Pak Budi juga tidak melihat Ayah, kalau tidak pastilah sudah heboh dijamu macam-macam di rumahnya seperti yang sudah-sudah. Ayah juga tak mau merepotkan sepertinya.Seperti biasa, aku diantar oleh Yuli yang sudah seperti ojek online saat pulang. Kerap kali Yuli menolak uang bensin yang kuberikan, tapi setelah kupaksa akhirnya kami patungan bensin. "Udah lama, Yah?" tanyaku begitu sampai.Ayah menggeleng."Sepuluh menit yang lalu ada kayaknya," jawab Ayah."Sengaja ngepasin jam kamu pulang, biar gak kelamaan nunggu di luar." Ayah menambahkan.Aku hanya mengangguk. Langsung mengambil tangan Ayah dan menyalaminya. Di belakangku Yuli juga menyalami Ayah, lalu pamit pergi. Yuli dan Ayah sudah pernah bertemu beberapa kali sebelumnya, saat hari libur Ayah pernah mengunju
Salsa 36.Aku berlari untuk keluar dari gedung itu sebelum semuanya semakin tak terkendali. Sempat terlihat tatapan bingung orang-orang karena aku menangis. Aku juga terpaksa harus menatap mereka agar tidak tertabrak orang lalu lalang."Salsa!" "Salsa!" Dari belakang terdengar Ken memanggil namaku. Aku tak peduli, terlanjur sakit hati ini mengingat ia membohongiku. Atau memang aku yang terlalu percaya padanya hingga saat ia katakan tidak punya siapa-siapa aku percaya saja.Ken adalah orang asing yang kuberikan kepercayaan sepenuhnya. Awalnya memang tidak mencurigakan sama sekali, pun lelaki itu tidak aneh aneh. Ia lelaki yang baik, yang bahkan ikut menjagaku dalam banyak hal.Aku berlari sampai keluar dari gedung, tapi langkahku terhenti saat berada di sisi jalan karena aku harus menyeberang untuk bisa naik angkutan umum dan pulang. Mau pesan taksi online pun tak sempat pegang ponsel, keburu kesal dan menghindari kejaran Ken."Lo harus dengar penjelasan gue, Sa!" Ken menarik tangan
SALSA 35.Aku baru menyadari bahwa jauh-jauh hari Ken ternyata sedang menyiapkanku. Pergi ke salon dengan rutin, dan klinik kecantikan. Ia sedang menyiapkanku untuk menghadiri sebuah acara megah nan mewah.Pagi ini aku bersama Ken berangkat dari salah satu kecamatan di Bogor bertolak ke Jakarta. Sempat bingung ke mana ia mengajakku dengan setelan kami yang rapi dan terlihat beda dari yang biasanya.Saat aku bertanya, Ken bilang bahwa ia diundang ke pesta pernikahan salah satu pelanggan lukisannya, ia mengajakku biar ada temannya. Aku ikut saja mumpung hari libur, meskipun ada rasa malu berjalan dengannya di pesta yang mewah itu. Namun, ada juga rasa penasaran karena sebelumnya aku belum pernah menghadiri pesta pernikahan semegah ini.Aku dan Ken mulai memasuki area gedung mewah yang telah disulap dengan pernak-pernik khas pesta pernikahan para konglomerat.Sejenak aku menatap Ken, meyakinkan diri untuk masuk ke sana. Bukan apa, aku hanya takut akan menjadi pusat perhatian, entah kare
Salsa 34.Aku bangun agak telat lagi ini. Kemarin setelah diantar oleh Yuli, sampai di rumah, aku banyak termenung. Menggalau memikirkan jawaban untuk Ken.Bahkan saat aku menutup mata malam hari, susah sekali rasanya untuk terpejam. Pikiranku masih mengembara pada Ken, pada kalimat-kalimatnya, pada ucapannya yang mengajakku menikah.Aku uring-uringan sampai satu kasur itu guling-guling tak bisa tidur. Entah kenapa ada yang terasa tak yakin dan mengganjal, atau memang di hatiku masih tertulis nama Reza, sementara lelaki itu sudah melupakan segalanya tentangku.Mungkin ini yang dikatakan belum bisa move on dari yang lama. Mungkin ini yang namanya putus, tapi masih cinta.Tadi malam, dalam cahaya remang di dalam kamar, aku mencoba buka kembali ponsel dan melihat Reza yang ternyata masih memblokir nomorku.Aku bingung, haruskah kukatakan pada Ayah tentang Ken?Seriuskah Ken dengan ucapannya."Gue bingung kalau disuruh buktiin serius apa enggak, tapi dari dalam sini …," Ken menunjuk dada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen