Salsa 2
.
Pukul enam sore aku tiba di rumah. Rasanya seluruh tubuhku terasa remuk karena lelah melayani pembeli dari pagi sampai sore. Aku pulang diantar oleh temanku yang katanya kasihan lihat aku naik ojek atau angkutan umum untuk pulang, udah mau magrib katanya.
"Kamu enak ya, pulang langsung makan. Gak harus masak lagi," kata temanku saat kami berada di atas motor. Ia mengeluh karena ibunya sakit menahun, dan terpaksa melakukan semuanya sendiri.
Spontan senyum miringku tersungging. Kini aku berada di depan tumpukan piring dan dapur yang kotor. Setelah salat magrib, aku langsung gegas membersihkannya. Semua pekerjaan aku selesaikan di malam hari.
Tak cukup sampai di situ, karena setelah cuci piring aku harus menyetrika setumpuk pakaian keluarga.
Ya, keluarga yang terkadang aku hanya merasa seperti sampah di mata mereka.
Aku menggeleng meski temanku tak bisa melihatnya.
"Kadang sih. Tapi pulang kerja aku nggak bisa langsung bersihin diri atau istirahat."
"Lah, kenapa? Bukannya kamu bilang punya adik dan ibu di rumah?" tanyanya.
"Iya," aku hanya mengiyakan saja. Kuyakin ia pasti penasaran kenapa. Namun, biar saja semua derita kusimpan sendiri. Dewi teman baru dalam hidupku, ia baru saja bekerja di tempat yang sama denganku.
Berbeda dengan Indah, yang sudah hapal betul gimana keluargaku.
Setelah wisuda, Tiara hanya santai di rumah. Kadang hanya leha-leha seraya mencari pekerjaan melalui website di ponselnya. Untuk pekerjaan rumah, ia sama sekali tak pernah menyentuhnya. Takut kuku panjang cantiknya patah. Alasan tangannya bakalan kasar, wajahnya jadi kusam.
Tiara seperti itu. Bahkan ia tak pernah mencuci baju sendiri yang padahal pakai mesin cuci.
Sementara Mama, ia hanya memasak dan ke pasar.
Selebihnya semua pekerjaan rumah aku yang melakukannya.
Mulai setelah subuh, aku bergegas keluarin motor keluar biar bisa nyapu. Nyapu dalam dan luar. Kemudian setelah Mama selesai masak, aku mencuci piring di dapur. Juga mencuci baju yang seringnya merangkap semua baju keluarga.
"Ini baju mahal ya, gue beli sejuta. Jangan sampai luntur. Pisahin sama baju yang lain," perintah Tiara saat aku sedang mencuci baju.
"Aku gak bisa kasih jaminan," kataku seraya mengembalikan bajunya. Jelas saja aku tak mau memancing keributan, karena Tiara itu banyak protesnya.
"Malas banget sih lo sama adik sendiri!" Tiara mulai bela diri tanpa tahu diri.
"Kamu lagi ngatain diri sendiri," ucapku menyindir dan berharap ia paham.
"Cuciin sekalian kenapa sih, Sa?" Mama tiba-tiba datang dari kamar.
"Apa nggak bisa Ma, Tiara ngurus hidup sendiri?" tanyaku mulai kesal atas semua pembelaan Mama untuk adikku.
"Tiara itu capek, biarin dia tenangin pikiran dulu. Baru aja selesai wisuda, biarin dia napas dulu, kek."
Selalu itu alasannya. Dulu pas Tiara kuliah, ia selalu dibela untuk tidak melakukan pekerjaan rumah. Hal itu membuat anak malas itu semakin besar kepala. Merengek dengan manja dengan alasan lelah dan beribu alasan malas lainnya.
Aku menghela napas begitu kesalnya. "Emangnya selama ini dia nggak napas, Ma?" sentakku.
"Berani ya kamu ngomong gitu sama Mama. Ini adikmu lho!"
Lagi-lagi aku yang malah didebatkan. Jadinya aku diam dan mengalah. Kadang aku merasa benar-benar ingin bertemu dengan orangtuaku yang bahkan wajahnya saja tak pernah kulihat.
Aku juga masih bertanya-tanya kenapa mereka menitipkanku di panti asuhan. Dari manakah asalku sebenarnya. Atau memang orangtuaku juga membuangku karena tak menginginkannya?
Di rumah ini, aku melakukan semua pekerjaan, sampai kadang tak sempat makan dan harus makan di tempat kerja.
.
Malam ini, aku selesai lebih cepat karena hanya mencuci piring. Aku segera masuk ke kamar. Melihat kasur rasanya seperti ibu hamil yang ngidam rujak, seingin itu aku untuk tidur.
Namun, sebelum tidur aku mengecek uang gajiku yang kemarin kuletakkan di dalam lemari. Kuletakkan begitu saja, bukan di tempat rahasia tempatku menyimpan uang selama ini selain di bank. Biasanya aku nyimpan di bank, tapi juga punya pegangan untuk kebutuhan sehari-hari.
Gajiku satu juta bulan ini kuletakkan begitu saja. Kini saat aku melihatnya, aku harus membelalakkan mata karena duit itu tinggal lima ratus ribu.
Bukan pertama kali ia mengambil uangku. Sudah terlalu sering, dan aku tidak memperdebatkan. Kadang seratus ribu, kadang lima puluh ribu atau uang lebih sia jajanku yang kuletakkan di atas nakas juga ia ambil. Semua itu untuk uang tambahan nongkrong sama teman-temannya yang banyak gaya itu.
Aku langsung keluar kamar, dugaanku mengatakan bahwa Tiara yang mengambil uangku. Pantas saja tadi pas aku pulang, rambutnya udah lurus lagi seperti habis dibonding. Padahal biasanya rambutnya ikal, masih tetap cantik.
"Tiara," panggilku. Aku berusaha menahan emosi.
Ia seperti biasa, tidur di depan televisi sambil scroll ponsel. Mama juga ada di situ. Ayah belum pulang dari bekerja, seperti biasa ia akan pulang pukul sepuluh malam atau tak tentu.
"Apa?" jawabnya tak pernah dengan nada lembut.
"Kamu ngambil duit aku ya?" tanyaku. Aku semakin mendekat padanya dan Mama.
Ia bangun dari tidurnya, Mama juga sama dan kini menatapku dengan raut tak suka.
"Kamu kok nuduh sih, Sa?" tanya Mama.
"Aku tanya, Ma!" sanggahku.
"Iya, tapi pertanyaan kamu itu bermaksud menuduh."
"Terserah, Ma. Aku cuma butuh jawaban," jawabku mulai kesal seperti biasa saat menghadapi mereka.
"Iya, kenapa memangnya?" Tiara buka suara. Ia mengaku mengambil uangku.
Aku tersenyum miris. Setipis itukah rasa malunya hingga ia berani menjawab seperti itu. Entah berapa banyak lagi kesabaran yang kumiliki. Aku benar-benar sudah tak nyaman bersama mereka. Aku diperlakukan seperti pembantu dan direndahkan terus menerus.
"Kamu masih punya malu nggak sih?" tanyaku.
"Kurang ajar banget mulut lo ya!" geram Tiara.
"Kenapa sih, pelit amat sama adik sendiri. Duit kamu sama dengan duit Tiara juga! Kita sama di sini sebagai keluarga." Aku sudah muak mendengar pembelaan Mama yang tak ada habisnya untuk Tiara.
"Gak ada rumus seperti itu, Ma! Mama terlalu belain Tiara, dan itu bikin dia makin besar kepala!" Suaraku mulai sedikit meninggi, berharap Mama paham dan bisa berlaku adil.
"Kalau mau duit itu kerja, Tiara! Jangan bisanya cuma nyolong duit orang!" cercaku.
"Salsa!" Mama meneriaki namaku.
"Apa, Ma? Yang aku bilang benar kan, Tiara cuma leha-leha di rumah. Lalu, apa gunanya dia sarjana?" Aku makin tak terkendali.
Dan … akibat tak bisa mengendalikan diri, akhirnya tangan Mama melayang di pipiku. Wajahku perih, dan kini aku mulai berderai air mata. Entah di mana salahku saat berusaha mempertahankan apa yang harusnya menjadi milikku.
"Dia baru tamat kuliah, lagi nyari kerja. Kejam saat kamu memaki adikmu seperti itu!" ucap Mama.
Selalu saja seperti itu alasannya. Tiara kuliah, dia tak sempat kerja.
Aku mengusap air mata, lalu menatap Mama dan Tiara secara bersamaan.
"Di dunia ini gak cuma Tiara yang kuliah, Ma. Di luar sana mereka kuliah juga, dan masih bisa kerja part time demi bisa cari uang buat biaya hidup!" Hati dan pipiku perih, jadi sekalian saja kulampiaskan semua unek-unek dalam hati.
"Stop! Gak usah banyak bacot. Entar gigi lo makin maju, jijik gue tengoknya." Tiara melayangkan sebelah tangannya di hadapan mulutku seperti isyarat untuk menutup mulutku.
Aku menghela napas lelah atau kalah. Entahlah.
"Aku gak mau tau, kamu harus ganti duit aku, Tiara!" ucapku dingin. Lalu pergi dari hadapan mereka.
"Anak gak tau diuntung!" maki Mama.
Kemudian bersamaan dengan itu, kudengar Ayah memberi salam, ia pulang.
Salsa 3.Pagi ini, aku terbangun seperti biasa. Tubuh ini seolah telah mengirimkan sinyal kapan harus bangun pagi. Selesai salat subuh, aku langsung bergerak ke dapur. Di sana, aku melihat Mama sedang memasak untuk sarapan pagi.Hening. Suasana begitu kaku, karena Mama masih tampak marah padaku. Ucapanku semalam untuk Tiara benar-benar membuatnya marah hingga mendiamkanku."Apa yang bisa dibantu, Ma?" tanyaku saat melihat tak ada piring kotor yang harus kucuci. Mama belum selesai masak, makanya belum ada tumpukan piring kotor di wastafel.Tak ada jawaban, Mama tetap diam, dan melanjutkan memotong beberapa sayuran untuk dicampurkan ke dalam telur.Sejenak aku menatapnya. Cukup membuat suasana tak nyaman dengan keadaan serba salah seperti ini. Meskipun Mama kerap memperlakukanku tak adil, tapi aku merasa takut jika ia mulai tak bicara padaku. Aku takut menjadi anak durhaka.Ah, tapi kan, aku bukan anaknya. Apakah ada surga di telapak kaki seorang ibu asuh?Aku menggeleng dengan kepala
Salsa 4."Salsabila.""Hadir, Bu."Begitu nama lengkapku yang tertera di absen sekolah dan ijazah. Orang-orang kerap memanggilku Salsa. Aku menyukai nama yang indah itu, tapi sayangnya nasibku tak seindah itu."Duh, udah gede ya anak adopsinya Mirna.""Iya, dulu dibawa ke sini pas umur 5 bulan. Gak terasa ya udah segede ini."Di umur yang ke sepuluh tahun, aku mengetahui satu hal yang menyakitkan dalam hidup ini. Orang-orang yang dari kecil kuanggap sebagai keluarga, nyatanya bukan. Mereka bukan orangtuaku, bukan Ayah dan Mama kandungku, bukan adikku.Semua yang kumiliki bukan milikku. Aku tahu itu semua dari pembicaraan saudara-saudara Mama dan Ayah, saat lebaran aku diajak pulang ke kampung nenek. Mama dan Ayah tak pernah bicara yang sebenarnya padaku. Ia bahkan tak pernah menyinggung tentang statusku.Kata orang, aku adalah anak adopsi dari panti asuhan. Bayi yang masih merah ditemukan menangis di depan toko orang, tergeletak dalam balutan kain jarik. Lalu, setelah itu aku dibaw
Salsa 5.Tiara mulai bekerja di perusahaan tempat ia diterima. Kebiasaannya yang terlambat perlahan mulai sedikit hilang, mungkin karena takut karena masih awal masa bekerja.Aku tetap bekerja seperti biasa, dalam versi yang beda dengan Tiara. Meskipun sama-sama karyawan, tapi dalam lingkup yang berbeda. Untuk pandangan Mama dan orang-orang kampung, bekerja di perusahaan itu tetap dianggap paling oke dan berkelas.Bahkan sering Mama membanggakan Tiara di depan teman-temannya. Aku mendengarnya saat lewat di jalan menuju halte.Aku bangun lebih awal dari biasanya agar bisa mandi lebih awal, karena kalau Tiara sudah masuk kamar mandi, bisa sampai setengah jam dia sana. Entah luluran, maskeran, atau apa pun itu perawatannya. Katanya harus tampil cantik dan jangan malu-maluin.Jangan malu-maluin seperti penampilanku.Hari demi hari berganti bulan. Tiara menerima gaji pertama dari perusahaan tempat ia bekerja.Gadis itu selalu histeris, sejak di luar pagar ia sudah berteriak memanggil Mama
Salsa 6.Malam ini Ayah pulang lebih awal sehingga kami bisa makan malam bersama. Jarang-jarang kami bisa makan bersama di malam hari seperti ini, karena ayah hampir selalu pulang malam hari.Ia kini bekerja di sebuah pabrik pengolahan coklat. Biasanya kerja dari pagi sampai malam, paling cepat pulang sore.Menu makan malam ini adalah ayam goreng dan sayur sop. Kami semua makan dengan lahap, tak terkecuali Tiara yang sudah menghabiskan dua paha ayam di piringnya. Nasinya memang sedikit, tapi dia boros lauk, yang kadang aku sampai tak kebagian. Entah karena sengaja atau memang dia rakus.Aku melihat satu sayap ayam tersisa di piring, aku ingin mengambilnya karena lebih suka bagian ayam yang ada tulang-tulangnya. Namun, dengan gerak cepat tiba-tiba Tiara mengambil sisa sayap di piring itu dan meletakkannya di piring sendiri.Ayah yang melihat itu seketika menatap Tiara dengan menggeleng tak suka. Kemudian ia mengambil sayap ayam itu dan mencoba membelahnya menjadi dua.Aku menggeleng,
Salsa 7.Hari ini aku dan teman-teman diizinkan pulang lebih awal karena hari gajian, dan langsung digantikan dengan shif lain.Teman-teman mengajakku nongkrong di sebuah cafe, menikmati hasil kerja keras kata mereka. Biar gak kerja melulu, ngabisin duit sesekali. Padahal kami cuma ngopi dan makan beberapa makanan yang disediakan di cafe."Jangan asik kerja aja kita ya. Nyantai sesekali biar kek orang-orang kaya," kata salah satu temanku yang memang terkenal heboh.Ada empat orang kami di sini, semuanya perempuan. Kami masuk kerja di supermarket pada waktu yang berbeda, Alina yang paling lama bekerja di sana. Aku masih ingat saat dulu ia yang megulurkan tangan untuk berkenalan denganku. Ia yang mengajarkanku ini itu tentang cara bekerja di sana.Nasib kami hampir sama. Sama-sama pejuang rupiah, banting tulang demi sebuah kehidupan yang lebih layak."Elah ngomongin kaya, berkecukupan aja gue udah syukur banget," celutuk salah satu yang lainnya lagi."Iya," sahutku membenarkan.Kaya de
Salsa 8."Salsa, minumannya udah beres?" tanya Mama yang sejak tadi mondar mandir melihat semua kesiapan acara hari ini."Udah, Ma." Aku menjawab lelah.Hari ini Tiara bertunangan dengan lelaki yang waktu itu kulihat di cafe. Sebulan setelah hari itu, mereka bertunangan.Tiara beberapa kali sempat mengajak lelaki itu untuk bertamu ke rumah, bertemu orangtuaku. Kali terakhir ia datang, ia mengutarakan niat untuk melamar Tiara.Gadis itu pun menyetujuinya, karena terlalu lelah menghadapi para lelaki yang menyukainya.Bahkan minggu lalu saat aku pulang bekerja, ada tamu yang datang untuk melamar Tiara."Begini, Bu. Sebenarnya Tiara udah punya pacar." Mama menolak dengan halus."Gimana kalau sama Salsa aja?" tanya Mama."Kakaknya yang item itu?" tanya ibu dari lelaki itu.Seketika aku merasa ada yang mengiris hati. Meski bukan pertama kali bullying fisik itu aku terima, tetap saja bikin sakit hati. Mereka terlalu memandang fisik, dan terlalu kentara memperbedakanku dengan Tiara."Haruska
Salsa 9.Setelah pertunangan Tiara, hari demi hari berlalu berganti minggu dan bulan. Dia bahagia, sementara aku tertekan.Sejak Tiara tunangan, aku makin disudutkan sebagai perawan tua yang tak nikah nikah. Seringkali saat aku melewati kerumunan ibu-ibu yang mengenaliku, mereka menyebutku tak beruntung, tidak seperti Tiara."Gak cantik, makanya gak ada yang mau." Begitu kata ibu-ibu di sekitar tempatku tinggal.Tekanan itu tak hanya dibagi padaku, tapi juga pada Mama yang merasa risih dengan semua penilaian orang-orang.Mama tertekan, jadi ia sekarang mengembalikan tekanan itu padaku.Mama meminta Tiara untuk mencarikan jodoh untukku. Ya, karena aku mengakui tidak punya pacar. Aku memang tidak pernah punya hubungan khusus dengan laki-laki. Mengenal laki-laki saja hanya sebatas teman sekelas saat masih sekolah, atau teman bekerja. Tak lebih dari itu."Malam besok dia datang. Kamu harus dandan cantik ya. Pusing kepala Mama kalau harus dengar julukan perawan tua untukmu."Saat itu aku
Salsa 10.Setelah kejadian malam itu, aku pikir suasana akan tetap tenang. Namun, suasana di rumah makin kaku dan dingin. Mama dan Ayah saling diam, sama-sama masih marah karena merasa pasangannya bersalah.Mama dan Tiara mendiamkanku, terlalu marah karena aku menolak lelaki itu.Kupikir setelah kejadian itu, setelah ketegangan yang terjadi dalam rumah ini, Mama akan berhenti menjodohkanku dengan siapa pun yang ia mau.Rupanya tidak.Aku tinggal di kalangan masyarakat yang masih mempercayai mitos bahwa seorang adik tak boleh melangkahi kakaknya untuk menikah. Akan ditimpakan kesialan dalam pernikahannya jika melangkahi seorang kakak.Tiara dan Mama masih menganut mitos sesat itu. Menyesatkan pemikiran saja.Hingga mereka begitu gencarnya mencari jodoh untukku agar Tiara bisa segera menikah.Entah bagaimana cara Mama merayu Ayah, hingga aku kembali dihadapkan dengan calon suami yang akan menikahiku. Atau memang Ayah tak tahu hingga malam itu.Aku sudah berpakaian rapi dan bersih, lalu
Salsa 42.Setelah menikah, aku dan Ken balik ke kontrakan masing-masing. Dia membocengku di atas motor besarnya, awalnya sedikit tak nyaman, tapi lama kelamaan jadi nyaman karena aku juga pakai kulot, jadi lebih bisa untuk naik ke motornya."Kenapa gak pake mobil?" protesku saat melihat ia malah mengeluarkan motor dari garasi rumahnya."Memangnya jalan di sana besar kayak di sini?" jawabnya.Iya juga. Akan lebih susah jika naik mobil karena jalannya sempit, apalagi jalan menuju kontrakanku.Kami kembali bukan untuk melanjutkan hidup di sana, tapi untuk menyelesaikan beberapa hal dengan pemilik kontrakan.Kami tiba, dan sepakat untuk ke kontrakaknku dulu. Di sana aku bertemu Pak Budi dan istrinya, aku berpamitan pada mereka serta mengucapkan banyak terima kasih."Sering-seringlah main ke sini, Sa. Gak terasa ya kita udah sama-sama selama beberapa bulan ini. Kamu udah saya anggap seperti anak perempuan saya. Kek ada rasa berat gitu berpisah sama kamu." Bu Mariani membelai bahuku.Meman
Salsa 41.Minggu depan aku dan Ken akan resmi menikah. Seminggu yang lalu, ia dan keluarganya datang melamar secara resmi. Aku meminta Ayah untuk tidak terlalu menyibukkan diri menyiapkan acara pertunangan yang mewah, sederhana saja, dan Ken juga setuju dengan semua usulku.Tiara kondisinya lebih sering lemas dan hanya terbaring di kamar. Ia juga memtuskan untuk resign dari pekerjaan karena merasa malu untuk kembali bekerja di sana.Ia lebih banyak diam saat ini, sepertinya mentalnya benar-benar sedang down. Rasa mualnya seringkali membuat ia tak bisa makan, semua makanan yang ia coba masukkan ke mulut, langsung keluar kembali. Mama yang senantiasa ada dan merawatnya.Aku pernah melihat Tiara menangis di dekat kamar mandi. Ia duduk merangkul lutut dan memegang perutnya. Aku bahkan ikut menangis melihatnya, karena mengerti posisinya pasti sulit. Sulit mengandung seorang anak tanpa didampingi suami.Mama juga melihatnya, aku menatap Mama dan ia memberi aba-aba agar aku membantu memapah
Salsa 40."Mas Andre, Ma …," Tiara memangis dengan kerasnya di pelukan Mama. Aku belum terlalu mengerti situasi, tapi kulihat di sana Andre sudah dalam kawasan polisi. Tangannya diborgol mungkin agar tidak melawan. Wajahnya sedikit lebam, sepertinya ia memang melawan dan mendapat pukulan dari polisi.Namun, nampaknya Mama mengerti keadaan ini, tapi aku tak berani bertanya. Antara takut melukai hatinya dan takut kena marah.Tiara menangis terus menerus, dan Andre menjelaskan banyak hal pada polisi dengan marah, lalu mengiba agar mereka tidak menangkapnya.Aku mengamati rumah dan sekelilingnya, sudah ada garis polisi yang dilingkari. Tak lama kemudian Ayah datang, dengan masih memgenakan jaket itu dia turun dari motor. Sepertinya Ayah ngebut di jalan agar cepat sampai ke sini. Mungkin Tiara langsung menelepon, dan Ayah meninggalkan pekerjaannya dan langsung ke sini.Ayah bertanya banyak hal pada polisi yang memegang sebuah berkas laporan penangkapan Andre. Lebih tepatnya meminta penj
Salsa 39."Ada apa, Reza?" tanyaku pada lelaki itu yang terlihat sungkan karena ada Ken bersamaku.Reza diam di tempat, sementara aku menatap Ken yang juga menatapku dan bertanya lewat tatapan. Bertanya siapa lelaki itu, lalu ketika aku mengangguk samar, ia baru mengerti bahwa Reza adalah orang yang pernah diceritakan dulu, mantanku.Aku minta izin pada Ken agar memberiku waktu beberapa menit mengobrol dengan Reza. Bukan untuk melanjutkan hubungan kami yang telah dilalui banyak drama, tapi untuk benar-benar mengakhiri apa yang telah kami mulai.Beberapa hari yang lalu, aku melihat kontak Reza sudah bisa dihubungi, itu artinya ia sudah membuka blokiran WhatsApp-ku. Tapi, aku tak lagi peduli karena aku pernah melalui hari-hari dengan harapan bahwa Reza datang dan meminta maaf, lalu kami baikan. Namun, lelaki itu tak datang, yang artinya ia memuat harapanku pupus.Lalu, lama kelamaan saat hari demi hari berlalu, aku mulai bisa berdamai dengan rasa yang pernah ada untuknya. Pun, perlahan
Salsa 38."Tinggal Lo-nya aja yang pulang. Mama udah ngerestui hubungan kita.""Hah?" Hingga malam tiba, di kepalaku masih terngiang-ngiang kalimat Ken.Aku masih tak percaya dengan apa yang dikatakannya tadi siang, karena aku tahu bahwa Mama tak semudah itu untuk memafkanku atau merestuiku.Saat bertemu tadi siang, aku pun tak banyak bicara dengan Ken. Hanya mengangguk ya atau bilang tidak sebagai tanggapan. Masih belum terlalu bisa menerima kebohongannya, meskipun sudah perlahan memafkan.Sambil sesekali aku mencuri menatapnya heran, entah apa yang ia lakukan hingga Mama menurut saja padanya. Entah keberanian apa yang dimiliki oleh Ken, padahal jelas saja saat kuceritakan masalahku dengan Mama, ia tampak menilai bahwa Mama adalah orang yang tak bijaksana sebagai orang dewasa.Namun, semua kebingungan itu terjawab sudah saat aku bertanya pada Ayah melalui sambungan telepon."Ya, Ken memang datang ke rumah bertemu Mama.""Masa sih?" "Iya, Sa. Mama santai dan adem aja tuh ketemu sam
Salsa 37.Malam ini saat aku pulang ke rumah, sudah ada Ayah menunggu di teras. Ia memang sudah memberitahuku untuk datang tadi siang, tapi kuncinya terlanjur kubawa yang membuat Ayah harus menunggu di depan rumah. Mungkin Pak Budi juga tidak melihat Ayah, kalau tidak pastilah sudah heboh dijamu macam-macam di rumahnya seperti yang sudah-sudah. Ayah juga tak mau merepotkan sepertinya.Seperti biasa, aku diantar oleh Yuli yang sudah seperti ojek online saat pulang. Kerap kali Yuli menolak uang bensin yang kuberikan, tapi setelah kupaksa akhirnya kami patungan bensin. "Udah lama, Yah?" tanyaku begitu sampai.Ayah menggeleng."Sepuluh menit yang lalu ada kayaknya," jawab Ayah."Sengaja ngepasin jam kamu pulang, biar gak kelamaan nunggu di luar." Ayah menambahkan.Aku hanya mengangguk. Langsung mengambil tangan Ayah dan menyalaminya. Di belakangku Yuli juga menyalami Ayah, lalu pamit pergi. Yuli dan Ayah sudah pernah bertemu beberapa kali sebelumnya, saat hari libur Ayah pernah mengunju
Salsa 36.Aku berlari untuk keluar dari gedung itu sebelum semuanya semakin tak terkendali. Sempat terlihat tatapan bingung orang-orang karena aku menangis. Aku juga terpaksa harus menatap mereka agar tidak tertabrak orang lalu lalang."Salsa!" "Salsa!" Dari belakang terdengar Ken memanggil namaku. Aku tak peduli, terlanjur sakit hati ini mengingat ia membohongiku. Atau memang aku yang terlalu percaya padanya hingga saat ia katakan tidak punya siapa-siapa aku percaya saja.Ken adalah orang asing yang kuberikan kepercayaan sepenuhnya. Awalnya memang tidak mencurigakan sama sekali, pun lelaki itu tidak aneh aneh. Ia lelaki yang baik, yang bahkan ikut menjagaku dalam banyak hal.Aku berlari sampai keluar dari gedung, tapi langkahku terhenti saat berada di sisi jalan karena aku harus menyeberang untuk bisa naik angkutan umum dan pulang. Mau pesan taksi online pun tak sempat pegang ponsel, keburu kesal dan menghindari kejaran Ken."Lo harus dengar penjelasan gue, Sa!" Ken menarik tangan
SALSA 35.Aku baru menyadari bahwa jauh-jauh hari Ken ternyata sedang menyiapkanku. Pergi ke salon dengan rutin, dan klinik kecantikan. Ia sedang menyiapkanku untuk menghadiri sebuah acara megah nan mewah.Pagi ini aku bersama Ken berangkat dari salah satu kecamatan di Bogor bertolak ke Jakarta. Sempat bingung ke mana ia mengajakku dengan setelan kami yang rapi dan terlihat beda dari yang biasanya.Saat aku bertanya, Ken bilang bahwa ia diundang ke pesta pernikahan salah satu pelanggan lukisannya, ia mengajakku biar ada temannya. Aku ikut saja mumpung hari libur, meskipun ada rasa malu berjalan dengannya di pesta yang mewah itu. Namun, ada juga rasa penasaran karena sebelumnya aku belum pernah menghadiri pesta pernikahan semegah ini.Aku dan Ken mulai memasuki area gedung mewah yang telah disulap dengan pernak-pernik khas pesta pernikahan para konglomerat.Sejenak aku menatap Ken, meyakinkan diri untuk masuk ke sana. Bukan apa, aku hanya takut akan menjadi pusat perhatian, entah kare
Salsa 34.Aku bangun agak telat lagi ini. Kemarin setelah diantar oleh Yuli, sampai di rumah, aku banyak termenung. Menggalau memikirkan jawaban untuk Ken.Bahkan saat aku menutup mata malam hari, susah sekali rasanya untuk terpejam. Pikiranku masih mengembara pada Ken, pada kalimat-kalimatnya, pada ucapannya yang mengajakku menikah.Aku uring-uringan sampai satu kasur itu guling-guling tak bisa tidur. Entah kenapa ada yang terasa tak yakin dan mengganjal, atau memang di hatiku masih tertulis nama Reza, sementara lelaki itu sudah melupakan segalanya tentangku.Mungkin ini yang dikatakan belum bisa move on dari yang lama. Mungkin ini yang namanya putus, tapi masih cinta.Tadi malam, dalam cahaya remang di dalam kamar, aku mencoba buka kembali ponsel dan melihat Reza yang ternyata masih memblokir nomorku.Aku bingung, haruskah kukatakan pada Ayah tentang Ken?Seriuskah Ken dengan ucapannya."Gue bingung kalau disuruh buktiin serius apa enggak, tapi dari dalam sini …," Ken menunjuk dada