"Tuan Haris dijebak.""Maksud Mbak Wati?"Kutatap Mbak Wati lekat, dia menghela nafas setelahnya. Wajahnya tampak ragu untuk berbicara lebih lanjut."Mbak ....""Nyonya, Mbak akan cerita semuanya tapi tolong jangan sampaikan hal ini pada Tuan. Jangan menanyainya soal wanita itu, karena Tuan pasti akan marah sama Mbak."Mbak Wati memotong ucapanku, ada nada resah dalam perkataannya. "Mbak Wati gak perlu takut, aku akan merahasiakannya dari Mas Haris. Ini akan menjadi rahasia antara aku dan Mbak saja.""Nyonya janji?""Pasti!""Baiklah Nyonya, sekarang akan saya ceritakan. Wanita bernama Kanya itu memang dijodohkan oleh Mama Tuan Haris dan temannya selaku orang tua Mbak Kanya. Tapi karena Tuan tahu watak dan maksud sebenarnya sebelum pelaksanaan tunangan, kebetulan curi dengar saat Mbak Kanya berbicara dengan mamanya.""Mbak Wati ada disitu juga saat itu terjadi?""Tak disengaja Mbak, waktu itu Mbak Wati mau ke belakang ambil makanan dan minuman buat para tamu yang datang. Gak sengaja
"Baik, terima kasih suster, saya akan datang ke sana segera begitu mendatangi kedua orang tua Dewi."Aku menutup panggilan. Dari suster yang bekerja di rumah sakit jiwa di mana Dewi berada. Banyaknya masalah yang cukup mengusik di kepala membuatku lupa akan hal penting yang satu ini.Padahal, kemarin aku sudah meniatkan diri untuk datang ke rumah Paman dan Bibi guna meminta persetujuan mereka, merawat Dewi di rumah sakit jiwa. Entah apa tanggapan mereka nanti, aku tak peduli. Yang penting aku hanya harus mengusahakan perawatan jiwa Dewi hingga bisa norman seperti sebelumnya."Nyonya ingin pergi?" Aku menoleh, tampak Mita menghampiriku dengan kemoceng di tangannya. Kulirik arloji di tangan kiri, waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Kupikir, sekarang waktu yang bagus karena di jam-jam seperti ini paman dan Bibi ada di rumah."Iya, Mit, nanti kalau ada yang cari bilang saja sedang keluar sebentar, ada urusan.""Baik Nyonya, apa Nyonya pergi sendiri?"Aku tersenyum. "Saya pergi bers
"Sudah kami katakan Mira, Dewi bukan anak kami lagi. Jadi apa yang mau kamu lakukan padanya ya terserah. Kami tak akan ikut campur!"Aku tergagap, terdiam di tempat setelah Bibi mengatakan hal tersebut. Bahkan, belum lagi aku berucap, keduanya berbalik pergi meninggalkanku begitu saja di halaman.Brakk!"Astaghfirullah," ucapku sembari mengelus dada. Kulirik Pak Cipto yang kini geleng-geleng melihat kelakuan dua orang tua itu."Bagaimana Nyonya?" tanyanya padaku.Aku hanya bisa menghela nafas pasrah, yang kumau juga hanya tanda tangan mereka, itupun sangat sulit untuk kudapati. Mereka bertingkah seperti tak pernah punya anak bernama Dewi. "Kita ke rumah sakit saja sekarang Pak," tukasku pada Pak Cipto. Lelaki paruh baya yang menjabat sebagai supir itu dengan cekatan membuka pintu mobil.Sebenarnya, aku bingung harus melakukan apa di situasi seperti ini. Namun, jika aku bisa membicarakannya pada suster yang merawat Dewi, mungkin akan ada solusi, mengingat kedua orang tuanya begitu acu
"Kamu ... baik-baik aja, kan, sayang?" Aku menoleh, menghentikan kegiatan mengelap keringat di dahi. Mas Haris menatapku curiga dari balik kemudi. Aku tersenyum, menghembuskan nafas sejenak sembari mengangguk. Tadi, hampir saja, kalau aku terlambat beberapa menit, Mas Haris akan tiba lebih dahulu di rumah sebelum aku. Bisa gawat kalau dia menanyai kedatanganku tadi. Meski sedikit lelah karena berlari dan Pak Cipto yang terus berteriak seanjang aku berlari karena takut terjatuh. "Kita akan ke mana, Mas?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Setidaknya untuk sekarang jangan sampai Mas Haris menanyaiku hingga membuatku keceplosan menjawab. "Mas belum makan kamu juga belum, kan?" Aku menggeleng. "Kalau begitu kita pergi makan dulu. Setelahnya terserah kamu mau pergi ke mana." "Mas tumben, biasanya sibuk di kantor kenapa tiba-tiba ngajakin makan?" "Karena biasanya Mas sibuklah sekarang Mas ingin ajak kamu jalan-jalan berdua. Setidaknya mengurangi rasa bersalah Mas karena membiarkan k
Aku memejam, meringis menahan sakit. Dewi benar-benar sakit jiwa. Sepanjang malam dia terus berada di sampingku sembari tersenyum. Bahkan saat aku meringis kesakitan dia malah tertawa-tawa.Aku merasa tak kuat lagi. Tubuhku yang terpasung membuatku tak bisa berbaring dengan leluasa. Gamis yang berlumuran darah dan bau anyir yang menyeruak hidung juga membuatku sangat tidak nyaman. Aku kesakitan, sementara di tempat asing ini tak ada siapapun yang bisa kumintai pertolongan. Bahkan aku tak tahu di mana keberadaan Mas Haris. Bagaimana keadaannya sekarang. Terakhir kali kulihat, keadaannya jauh lebih parah dari keadaanku sekarang."Ya Allah," ringisku menahan nyeri pada kaki yang terluka. Darah yang menetes di dahiku bahkan sudah mengering separuhnya. Mengakibatkan efek sakit yang luar biasa.Kepalaku terasa pusing, aku juga sudah mulai berhalusinasi. Aku bahkan tak tahu ini siang, pagi atau malam. Kewarasanku sepertinya sudah terganggu. Padahal aku tengah hamil lima bulan. Keadaan jani
"Dan lusa ...." Ghea menyambung perkataannya. "Adalah hari pernikahan Pak Haris dengan Kanya."Tubuhku mendadak kaku, lidah terasa kelu tak mampu berucap sepatah kata pun. Aku menatap Ghea lekat, biar di mataku mulai menyamarkan pandangan. Air mata mulai mengalir di pipi. Hanya dengan satu kalimat, aku merasa duniaku telah hancur."Mbak ....""A--apa yang kau katakan tadi?""Mbak maaf, ini salah kami," ucap Jalu membuatku mengalihkan pandangan sekilas padanya. Namun tatapanku beralih ke arah Ghea kembali. Aku berusaha untuk bangkit dan meraih tangannya."Mbak Mira jangan terlalu banyak gerak dulu, tubuh Mbak masih belum pulih sepenuhnya."Aku menggeleng, memaksa tubuh untuk bangkit. Meski Ghea dan Jalu tampak panik dengan tingkahku."K--katakan, katakan apa yang ucapkan tadi Ghea! Mas Haris, suamiku akan menikah dengan Kanya?"Aku mengguncang tubuh Ghea. Gadis itu menatapku dengan wajah sendu. Dia tak mampu menjawabku, entah karena tak ingin melihatku terluka. Tapi aku tidak suka mel
"Kanya?" ucap Jalu dan Ghea berbarengan.Aku mengangguk, meski tak yakin tapi terlalu kebetulan dia ada di tempat kejadian saat itu. Dan rentetan kejadian setelahnya seperti menunjukkan bukti kalau dia adalah salah satu pelakunya.Dimulai dari Dewi yang tiba-tiba dijemput Kanya saat aku hendak merawatnya di rumah sakit jiwa. Kanya yang muncul setelah aku dan Mas Haris mengalami kecelakaan. Dewi yang bertingkah selayaknya orang normal dan memasungku. Lalu, Kanya yang memanfaatkan amnesia Mas Haris. Ini pasti sebuah kesengajaan, bagian dari rencana wanita itu untuk menyingkirkanku dari kehidupan Mas Haris. Teringat saat dia datang ke rumahku di pagi hari beberapa waktu lalu. Ucapan Kanya masih teringat dengan jelas di kepalaku.Aku tak mungkin melupakannya. Apalagi saat Kanya mengatakan kalau suatu hari nanti dia akan menempati rumahku. Dan putranya yang dia ceritakan padaku walau aku belum pernah melihat sosoknya telah dia kecamkan sebagai pewaris Adiwangsa Grup."Mbak yakin soal itu?
POV HarisAku menatap anak lelaki yang duduk tak jauh dari tempatku duduk dengan seksama. Dilihat dari sudut manapun, anak berusia empat tahun itu sama sekali tidak mirip denganku.Rambutnya yang ikal sangat berbanding terbalik dengam rambutku yang tumbuh lurus. Bahkan, Kanya yang kulihat sekarang berdiri di sampingnya juga punya rambut yang lurus.Apalagi wajah oriental anak itu yang semakin membuatku tak yakin dengan ucapan Kanya barusan. Anak itu, Wildan, adalah putraku. Anakku dan Kanya yang lahir akibat hubungan di luar nikah. Saat dahulu masa-masa kami sedang berpacaran."Mas."Aku menoleh, menatap Kanya dengan alis bertaut. Sejenak aku memegangi kepala yang mulai terasa pusing kembali. Meski dua bulan telah berlalu sejak kecelakaan itu. Aku masih belum mengingat apa-apa.Rasanya seperti bayi yang baru lahir ke dunia. Aku tidak ingat siapa diriku, namaku, tempat tinggalku, bahkan kehidupanku sebelumnya. Aku hanya tahu saat aku bangun, aku ada di rumah sakit dan Kanya berdiri di