Aku langsung mematikan sambungan telepon itu. Mengerjap sebentar sembari menelisik apa yang baru saja terjadi.Sayang? Seseorang bernama Kanya itu memanggil Haris dengan nama sayang? Hal ini baru pertama kali terjadi dalam biduk rumah tangga kami. Di tengah semua permasalahan yang kami hadapi, hadirnya orang ketiga adalah hal yang gak pernah kubayangkan sebelumnya.Jujur, aku tidak tahu harus merespon apa. Shock? Sudah pasti. Tapi melihat bagaimana sosok bernama Kanya yang tertera di layar ponsel Mas Haris, entah kenapa aku bisa memastikan itu bukanlah salah sambung belaka.Lalu siapa sosok bernama Kanya itu sebenarnya? "Dik!"Aku tersentak kaget, pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan lebar. Mas Haris muncul di sana dengan wajah paniknya. Dia berjalan cepat menghampiriku, mengambil ponselnya yang masih tergenggam di tanganku."Ponsel Mas ketinggalan," tukas Mas Haris cepat, ia buru-buru mengantungi benda itu di sakunya. Lalu mencium keningku sekilas. "Mas pergi lagi ya."Aku hanya me
"Lalu, bagaimana pertunangan keduanya berakhir?""Soal itu ...."Ghea menjeda ucapannya, membuat rasa penasaranku semakin meningkat."Ghe?"Ghea menghela nafas, mengusap wajahnya dengan kasar. Seperti bimbang akan mengatakan sesuatu. Sebenarnya ada apa? Pertanyaanku seperti telah membuka luka lama yang menoreh hatinya."Mbak tahu kalau aku dan Jalu dirawat oleh orang tua Pak Haris?"Aku mengangguk, dia pernah cerita sebelumnya."Kami hidup sebatang kara, hidup di panti asuhan tak layak huni sebelum orang tua Pak Haris datang untuk memberikan kami kehidupan yang layak."Alisku bertaut, tak mengerti arah dan tujuan pembicaraan Ghea. Bukankah aku menanyakan soal tunangan Mas Haris? "Mereka sangat berjasa dalam kehidupan kami. Begitu juga Pak Haris yang menerima kami dengan tangan terbuka. Awalnya Ghea pikir, kehidupan Pak Haris begitu sempurna. Lahir sebagai anak tunggal pewaris kaya raya adiwangsa, seperti impian semua orang, Mbak Mira.""Tapi setelah menyelam lebih ke dalam, semua hal
Nyatanya, walau berusaha menenangkan Ghea, aku juga tetap kepikiran. Wanita bernama Kanya itu telah mengusik pikiranku. Aku melirik bangku belakang, Bagus dan Chaca tampak kelelahan dan sekarang tertidur usai bermain tadi. Sementara Ghea pergi kembali ke butik untuk menyelesaikan urusannya setelah bertemu denganku.Lampu merah di depan sana mau tak mau membuat laju mobilku berhenti. Sore telah menjelang, tak sangka cukup lama juga aku berbincang dengan Ghea.Pandanganku kini beralih pada jalanan di samping, beberapa menit sebelum perjalanan pulang tadi Mas Haris mengabarkan kalau dia akan lembur hari ini. Aku menghela nafas, melajukan mobil kembali setelah lampu berubah hijau. Sejak pindah ke rumah baru, aku memaksa Mas Haris untuk mengajari cara mengendarai mobil. Meski Mas Haris khawatir dengan keselamatanku kalau mengendarai mobil sendirian, namun aku tetap bersikeras. Salah satu alasannya, adalah karena aku ingin tak ingin kerepotan jika harus membawa sopir jika ingin pergi ke
" ... ada apa ini ...?"" ... apa yang terjadi ...?"" ... bukankah itu wanita gila yang sering berkeliaran di sekitar sini ....?"" ... siapa wanita di depannya ...."Aku berdecak bingung, kerumunan orang-orang mulai berucap tak tentu. Menyudutkanku tanpa mengetahui kisah sebenarnya."T--tunggu, bukan begitu. Saya cuma ....""ORANG JAHAT!"Aku tersentak kaget, teriakan Dewi memotong ucapanku secara tiba-tiba. Dia menudingku dengan telunjuknya. Wajah Dewi kini tampak memerah karena emosi yang tampak menggebu."ORANG JAHAT! ORANG JAHAT!""Arrgh!" teriakanku tercekat, tubuhku terjengkang ke belakang. Dewi tiba-tiba berlari menyerang dan mencekik leherku dengan kuat. Matanya berkilat penuh amarah. Sementara aku tak bisa bernafas dibuatnya."D--dewi hentikan!" ucapku dengan suara tercekat. Orang-orang sekitar malah hanya melihat kami dengan pandangan bingung. Tak ada satupun dari mereka yang berniat mendekat untuk menolong.Dewi tak menggubris ucapanku. Sepertinya kewarasan telah mengambi
"Mbak akan langsung menemui mereka? Orang tua si Tante rempong?" tanya Ghra sembari mengikuti langkahku menuju mobil yang berada di parkiran. Aku mengangguk, setelahnya masuk ke dalam kendaraan roda empat itu."Lebih cepat lebih baik Ghe."Sejenak menoleh, Ghea ternyata ikut masuk dan duduk di samping kemudi. Aku menatapnya lekat dengan tatapan bingung."Kau ikut dengan Mbak? Urusanmu sudah selesai?""Belum, tapi demi keselamatan Mbak, Ghea harus ikut pulang ke rumah.""Gak apa-apa Ghe, Mbak bisa sendiri. Nanti urusanmu gak selesai-selesai kalau kamu kebanyakan ngurusin Mbak. Lagipula kamu sedang dalam jadwal cuti.""Lebih resah lagi kalau Ghea biarin Mbak pulang sendirian. Kalau kejadian seperti tadi terjadi lagi bagaimana? Untung saja Mbak gak kenapa-kenapa. Kalau sampai terjadi sesuatu sama Mbak Ghea akan merasa bersalah sama Pak Haris.""Kamu ini loh, melindungi orang sampai mengabaikan urusanmu sendiri. Begitu Jalu tidak marah?""Jalu itu orangnya santai Mbak, kami juga gak mema
"Haris ...." Kanya melangkah mendekati Mas Haris, berusaha menyentuh bahu suamiku. Aku mendelik, tak habis pikir dengan tingkahnya.Baru saja ingin kusingkirkan tangan lancangnya itu, Mas Haris sudah menghindar. Membuatku sesaat memikirkan tingkahnya yang tadi kulihat berpelukan dengan Kanya.Mengingat Mas Haris masih berusaha menghindariku dan menghargai keberadaanku sebagai istrinya. Sekarang aku tahu, bahwa pelukan tadi bukan atas keinginannya. Melainkan karena wanita tak tahu malu ini. Dia pasti yang memaksa Mas Haris memeluknya."Jangan berbuat lancang Kanya, aku memperingatimu!""Jujur aku sedikit sakit hati. Kau banyak berubah ya, Haris sayang. Dulu bahkan kita sangat lengket dan kau tak melihatku dengan tatapan menjijikan seperti ini. Kita pernah berpegangan tangan, berpelukan dan bahkan bercium--""Cukup Kanya! Hentikan omong kosongmu yang tidak berdasar itu!" Mas Haris berteriak dengan suara keras, namun tak dipungkiri sangat mengusik pikiran dan hati."Kenapa? Apa karena ka
"Nyonya!""Nyonya!"Aku menoleh ke arah pintu kamar yang diketuk secara paksa pagi ini. Aneh sekali, tak biasanya Mbak Wati membuat keributan sedemikian rupa. Baru dua jam berlalu sejak kepergian Mas Haris ke kantor. Tapi rumah ini seolah sedang dalam masalah besar. Kuputuskan untuk bangkit dan membuka pintu. Kutemukan Mbak Wati berdiri dengan wajah risau sembari menatapku lekat. "Kenapa Mbak? Pagi-pagi sudah membuat keributan. Ada masalah?""Ada wanita yang datang Nyonya, Pak Cipto sudah melarangnya masuk tapi dia tetap memaksa. Sekarang dia ada di ruang tamu.""Siapa?""Dia ...." Mbak Wati tampak ragu berucap, dia menghindari tatapanku seolah dia mengenali tamu yang datang namun tak menghendaki kehadirannya.Aku menautkan kedua alis bingung. Kuputuskan untuk melangkah turun dari lantai atas. Mbak Wati mengikutiku dari belakang. Perlahan demi perlahan kakiku melangkah satu demi satu anak tangga. Usia kandungan yang mendekati lima bulan membuatku harus sedikit berhati-hati.Sampai
"Nyonya, minum dulu."Aku menoleh, Mbak Wati meletakkan segelas teh di depan meja. Kini aku duduk di ruang tamu, dengan tubuh lemas usai kedatangan Kanya tadi.Pikiranku terusik, aku mendadak gelisah. Tanpa sadar terus mengelus-elus perutku. Cemas? Sudah pasti. Apalagi saat seorang wanita asing yang dirinya tak pernah kukenal tiba-tiba datang dan mengatakan sesuatu yang mengejutkan.Apa benar, Mas Haris dan Kanya punya seorang anak? Seperti yang dikatakan Kanya tadi. Dia ingin putranya mewarisi Adiwangsa?Bertanya lebih lanjut pada Ghea, rasanya tak akan ada gunanya. Dia telah menceritakan padaku soal Kanya dan mungkin juga tak tahu soal masalah ini. Lagipula, dia sudah cukup sibuk untuk mengurusi masalah pernikahannya. Amu tak bisa terus melibatkannya dengan masalah yang kualami."Nyonya ...," panggil Mbak Wati kembali. Kali ini aku menoleh, melihatnya menatapku dengan wajah khawatir. Mabka Wati perlahan mendekat, menggenggam tanganku dengan erat."Nyonya jangan terlalu banyak pikira