"Kami membawanya, jadi sekarang lepaskan Ibu," ucapku cepat. Menoleh ke arah Jalu, mengisyaratkannya untuk menyerahkan uang kepada lelaki itu.Namun, baru satu langkah Jalu maju, tangannya ditahan oleh Mas Haris. Membuatku sedikit bingung."Serahkan Ibu dulu, lalu kami akan memberikan uangnya!" ucap Mas Haris kemudian."Hahaha ...." Lelaki itu tertawa mengejek. Ia mengacungkan pisaunya dengan asal membuatku meringis kalau saja pisau tajam itu jatuh. Bisa saja langsung mengenai Ibu yang terbaring di bawah."Kau pikir aku bodoh? Aku tahu muslihatmu, kalau aku menyerahkan wanita bodoh ini duluan, kau tak akan menyerahkan uangnya padaku. Benar, kan?""Aku akan menepati janji, tapi aku perlu melindungi Ibuku lebih dahulu. Jadi serahkan!""Kau mau aku membunuhnya, hah? Di sini tidak ada negosiasi, kalau kau mau Ibumu selamat, kau harus menyerahkan uang itu di depanku.""Bagaimana kalau kita sama-sama memberikan di tengah?""Keparat licik! Kau pikir aku mau. Serahkan uangnya atau ibumu akan
Hari itu menjadi hari paling menyedihkan dalam sejarah hidupku. Wajah Ibu dan suaranya masih terbayang dalam ingatan. Juga saat terakhirnya sebelum Ibu masuk ke dalang liang lahat. Sejak hari itu juga, Bapak tak menampakkan wajah bahagia meski ia sudah bisa berjalan dengan normal. Meski aku berulangkali bertanya apakah dia baik-baik saja, Bapak selalu menganggukkan kepalanya. Walau aku tahu, di balik wajahnya datarnya ia memiliki kesedihan karena Ibu telah meninggalkannya walau belum bertemu sejak Ibu terakhir kali pergi."Dik!" Aku menoleh, panggilan dari Mas Haris. Dia datang menghampiriku yang tengah termenung menatap kolam ikan di hadapan. Sedari sore aku di sini, bahkan sampai menjelang maghrib aku juga tak kunjung bangkit.Sudah tiga hari Mas Haris cuti dari pekerjaannya untuk menemaniku. Walau aku katakan aku baik-baik saja ia tetap keukeuh untuk libur. Meski aku tahu libur atau tidaknya Mas Haris, akan ada Jalu dan Ghea yang mengatasi pekerjaannya."Kamu pucat sekali, gak ke
"Dan besok kamu harus ikut dengan Mas ke perayaan itu. Mas harus nunjukkan kamu sebagai istri Mas agar mereka tidak salah paham seperti waktu itu.""Wajah Mira akan diliput juga?" tanyaku tak percaya karena setelahnya Mas Haris mengangguk."Serius?""Dua rius.""Mas ....""Mas gak lagi bercanda, loh.""Tapi Mira malu.""Malu kenapa? Kamu istri pemimpin perusahaan ternama kenapa mesti malu.""Ah, gak pernah terbayangkan dalam pikiran Mira, Mas, kalau profesi Mas ternyata bukan tukang tahu melainkan seorang pemimpin perusahaan yang cukup besar. Mira gak mengerti kebaikan apa yang Mira lakukan hingga mendapat rezeki seperti ini.""Mungkin karena kamu cantik dan juga baik."Aku terkekeh. "Apa hubungannya?""Ada, karena itu Mas tertarik.""Tetap gak nyambung, Mas.""Terserah, Dik, yang penting besok kamu harus pergi bersama, Mas.""Mira ajak Kak Ita, Bapak, Bagus dan Caca, ya!""Semuanya juga boleh, Mbak Wati, Mbak Mita, Pak Sapto kalau Mira mau ajak, ajak juga."Aku tertawa, mencubit pela
Hidupku setelah mengetahui kebenaran pekerjaan Mas Haris telah berubah seratus delapan puluh derajat. Meski dulu juga aku tak terlalu kesulitan, namun kali ini sangat terasa bedanya.Bangun pagi, aku sudah seperti seorang putri. Mas Haris sama sekali tak membolehkanku pergi ke dapur, apalagi dia tahu aku tengah hamil muda saat ini.Aku juga tak diperbolehkan memegang pekerjaan rumah. Meski aku tahu setiap sudut ruangan di rumah besar ini sudah ada yang mengurusi, tetap saja rasanya tidak enak.Aku menjalani hidup tanpa perlu khawatir dan kesulitan sama sekali. Pagi hari bangun sudah ada yang memasak, siang hari tak perlu beberes rumah karena sudah ada yang melakukannya. Aku hanya perlu duduk, makan, tidur, jalan-jalan dan hal lainnya yang lain selain pekerjaan rumah walau kadang jujur itu membosankan.Hanya sekali saat lebaran tiba aku diperbolehkan Mas Haris untuk masuk ke dapur. Itupun karena asisten rumah tangga di rumah ini cuti lebaran. Walau setelahnya Mas Haris memilih untuk m
Aku langsung mematikan sambungan telepon itu. Mengerjap sebentar sembari menelisik apa yang baru saja terjadi.Sayang? Seseorang bernama Kanya itu memanggil Haris dengan nama sayang? Hal ini baru pertama kali terjadi dalam biduk rumah tangga kami. Di tengah semua permasalahan yang kami hadapi, hadirnya orang ketiga adalah hal yang gak pernah kubayangkan sebelumnya.Jujur, aku tidak tahu harus merespon apa. Shock? Sudah pasti. Tapi melihat bagaimana sosok bernama Kanya yang tertera di layar ponsel Mas Haris, entah kenapa aku bisa memastikan itu bukanlah salah sambung belaka.Lalu siapa sosok bernama Kanya itu sebenarnya? "Dik!"Aku tersentak kaget, pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan lebar. Mas Haris muncul di sana dengan wajah paniknya. Dia berjalan cepat menghampiriku, mengambil ponselnya yang masih tergenggam di tanganku."Ponsel Mas ketinggalan," tukas Mas Haris cepat, ia buru-buru mengantungi benda itu di sakunya. Lalu mencium keningku sekilas. "Mas pergi lagi ya."Aku hanya me
"Lalu, bagaimana pertunangan keduanya berakhir?""Soal itu ...."Ghea menjeda ucapannya, membuat rasa penasaranku semakin meningkat."Ghe?"Ghea menghela nafas, mengusap wajahnya dengan kasar. Seperti bimbang akan mengatakan sesuatu. Sebenarnya ada apa? Pertanyaanku seperti telah membuka luka lama yang menoreh hatinya."Mbak tahu kalau aku dan Jalu dirawat oleh orang tua Pak Haris?"Aku mengangguk, dia pernah cerita sebelumnya."Kami hidup sebatang kara, hidup di panti asuhan tak layak huni sebelum orang tua Pak Haris datang untuk memberikan kami kehidupan yang layak."Alisku bertaut, tak mengerti arah dan tujuan pembicaraan Ghea. Bukankah aku menanyakan soal tunangan Mas Haris? "Mereka sangat berjasa dalam kehidupan kami. Begitu juga Pak Haris yang menerima kami dengan tangan terbuka. Awalnya Ghea pikir, kehidupan Pak Haris begitu sempurna. Lahir sebagai anak tunggal pewaris kaya raya adiwangsa, seperti impian semua orang, Mbak Mira.""Tapi setelah menyelam lebih ke dalam, semua hal
Nyatanya, walau berusaha menenangkan Ghea, aku juga tetap kepikiran. Wanita bernama Kanya itu telah mengusik pikiranku. Aku melirik bangku belakang, Bagus dan Chaca tampak kelelahan dan sekarang tertidur usai bermain tadi. Sementara Ghea pergi kembali ke butik untuk menyelesaikan urusannya setelah bertemu denganku.Lampu merah di depan sana mau tak mau membuat laju mobilku berhenti. Sore telah menjelang, tak sangka cukup lama juga aku berbincang dengan Ghea.Pandanganku kini beralih pada jalanan di samping, beberapa menit sebelum perjalanan pulang tadi Mas Haris mengabarkan kalau dia akan lembur hari ini. Aku menghela nafas, melajukan mobil kembali setelah lampu berubah hijau. Sejak pindah ke rumah baru, aku memaksa Mas Haris untuk mengajari cara mengendarai mobil. Meski Mas Haris khawatir dengan keselamatanku kalau mengendarai mobil sendirian, namun aku tetap bersikeras. Salah satu alasannya, adalah karena aku ingin tak ingin kerepotan jika harus membawa sopir jika ingin pergi ke
" ... ada apa ini ...?"" ... apa yang terjadi ...?"" ... bukankah itu wanita gila yang sering berkeliaran di sekitar sini ....?"" ... siapa wanita di depannya ...."Aku berdecak bingung, kerumunan orang-orang mulai berucap tak tentu. Menyudutkanku tanpa mengetahui kisah sebenarnya."T--tunggu, bukan begitu. Saya cuma ....""ORANG JAHAT!"Aku tersentak kaget, teriakan Dewi memotong ucapanku secara tiba-tiba. Dia menudingku dengan telunjuknya. Wajah Dewi kini tampak memerah karena emosi yang tampak menggebu."ORANG JAHAT! ORANG JAHAT!""Arrgh!" teriakanku tercekat, tubuhku terjengkang ke belakang. Dewi tiba-tiba berlari menyerang dan mencekik leherku dengan kuat. Matanya berkilat penuh amarah. Sementara aku tak bisa bernafas dibuatnya."D--dewi hentikan!" ucapku dengan suara tercekat. Orang-orang sekitar malah hanya melihat kami dengan pandangan bingung. Tak ada satupun dari mereka yang berniat mendekat untuk menolong.Dewi tak menggubris ucapanku. Sepertinya kewarasan telah mengambi