Kami kalut luar biasa, bahkan sstelah mendengar suara dari telepon itu kami semua sama sekali tak bergerak dari tempat. Aku melirik Mas Haris yang tampak gelisah sembari mengotak-atik ponselnya.Pandanganku beralih pada Kak Ita yang sepertinya shock. Juga wajah kebingungan Jalu dan Ghea. Sementara seorang perawat yang tadinya berada di dekat kami sudah pergi, entah kemana. Mungkin tak ingin ikut campur dengan masalah yang sedang kami hadapi.Sepuluh milyar? Membayangkannya saya sudah tak mampu aku. Menghitung berapa lembar uang seratusan itu jika di sebar di satu ruangan, sudah pasti akan banyak sekali.Namun, dalam waktu sesingkat ini bagaimana kami akan mendapatkan uang sebanyak itu. Pinjam di bank? Tentu saja memakan waktu yang cukup lama apalagi keselamatan Ibu dipertaruhkan di sini."Mas Haris ....""Ayo kita pergi ke sana!" tukas Mas Haris tiba-tiba membuatku terperanjat."Ke mana Mas?" "Ke tempat di mana Ibu berada.""Mas tahu tempatnya?""Lelaki itu mengirim lokasinya pada, M
"Kami membawanya, jadi sekarang lepaskan Ibu," ucapku cepat. Menoleh ke arah Jalu, mengisyaratkannya untuk menyerahkan uang kepada lelaki itu.Namun, baru satu langkah Jalu maju, tangannya ditahan oleh Mas Haris. Membuatku sedikit bingung."Serahkan Ibu dulu, lalu kami akan memberikan uangnya!" ucap Mas Haris kemudian."Hahaha ...." Lelaki itu tertawa mengejek. Ia mengacungkan pisaunya dengan asal membuatku meringis kalau saja pisau tajam itu jatuh. Bisa saja langsung mengenai Ibu yang terbaring di bawah."Kau pikir aku bodoh? Aku tahu muslihatmu, kalau aku menyerahkan wanita bodoh ini duluan, kau tak akan menyerahkan uangnya padaku. Benar, kan?""Aku akan menepati janji, tapi aku perlu melindungi Ibuku lebih dahulu. Jadi serahkan!""Kau mau aku membunuhnya, hah? Di sini tidak ada negosiasi, kalau kau mau Ibumu selamat, kau harus menyerahkan uang itu di depanku.""Bagaimana kalau kita sama-sama memberikan di tengah?""Keparat licik! Kau pikir aku mau. Serahkan uangnya atau ibumu akan
Hari itu menjadi hari paling menyedihkan dalam sejarah hidupku. Wajah Ibu dan suaranya masih terbayang dalam ingatan. Juga saat terakhirnya sebelum Ibu masuk ke dalang liang lahat. Sejak hari itu juga, Bapak tak menampakkan wajah bahagia meski ia sudah bisa berjalan dengan normal. Meski aku berulangkali bertanya apakah dia baik-baik saja, Bapak selalu menganggukkan kepalanya. Walau aku tahu, di balik wajahnya datarnya ia memiliki kesedihan karena Ibu telah meninggalkannya walau belum bertemu sejak Ibu terakhir kali pergi."Dik!" Aku menoleh, panggilan dari Mas Haris. Dia datang menghampiriku yang tengah termenung menatap kolam ikan di hadapan. Sedari sore aku di sini, bahkan sampai menjelang maghrib aku juga tak kunjung bangkit.Sudah tiga hari Mas Haris cuti dari pekerjaannya untuk menemaniku. Walau aku katakan aku baik-baik saja ia tetap keukeuh untuk libur. Meski aku tahu libur atau tidaknya Mas Haris, akan ada Jalu dan Ghea yang mengatasi pekerjaannya."Kamu pucat sekali, gak ke
"Dan besok kamu harus ikut dengan Mas ke perayaan itu. Mas harus nunjukkan kamu sebagai istri Mas agar mereka tidak salah paham seperti waktu itu.""Wajah Mira akan diliput juga?" tanyaku tak percaya karena setelahnya Mas Haris mengangguk."Serius?""Dua rius.""Mas ....""Mas gak lagi bercanda, loh.""Tapi Mira malu.""Malu kenapa? Kamu istri pemimpin perusahaan ternama kenapa mesti malu.""Ah, gak pernah terbayangkan dalam pikiran Mira, Mas, kalau profesi Mas ternyata bukan tukang tahu melainkan seorang pemimpin perusahaan yang cukup besar. Mira gak mengerti kebaikan apa yang Mira lakukan hingga mendapat rezeki seperti ini.""Mungkin karena kamu cantik dan juga baik."Aku terkekeh. "Apa hubungannya?""Ada, karena itu Mas tertarik.""Tetap gak nyambung, Mas.""Terserah, Dik, yang penting besok kamu harus pergi bersama, Mas.""Mira ajak Kak Ita, Bapak, Bagus dan Caca, ya!""Semuanya juga boleh, Mbak Wati, Mbak Mita, Pak Sapto kalau Mira mau ajak, ajak juga."Aku tertawa, mencubit pela
Hidupku setelah mengetahui kebenaran pekerjaan Mas Haris telah berubah seratus delapan puluh derajat. Meski dulu juga aku tak terlalu kesulitan, namun kali ini sangat terasa bedanya.Bangun pagi, aku sudah seperti seorang putri. Mas Haris sama sekali tak membolehkanku pergi ke dapur, apalagi dia tahu aku tengah hamil muda saat ini.Aku juga tak diperbolehkan memegang pekerjaan rumah. Meski aku tahu setiap sudut ruangan di rumah besar ini sudah ada yang mengurusi, tetap saja rasanya tidak enak.Aku menjalani hidup tanpa perlu khawatir dan kesulitan sama sekali. Pagi hari bangun sudah ada yang memasak, siang hari tak perlu beberes rumah karena sudah ada yang melakukannya. Aku hanya perlu duduk, makan, tidur, jalan-jalan dan hal lainnya yang lain selain pekerjaan rumah walau kadang jujur itu membosankan.Hanya sekali saat lebaran tiba aku diperbolehkan Mas Haris untuk masuk ke dapur. Itupun karena asisten rumah tangga di rumah ini cuti lebaran. Walau setelahnya Mas Haris memilih untuk m
Aku langsung mematikan sambungan telepon itu. Mengerjap sebentar sembari menelisik apa yang baru saja terjadi.Sayang? Seseorang bernama Kanya itu memanggil Haris dengan nama sayang? Hal ini baru pertama kali terjadi dalam biduk rumah tangga kami. Di tengah semua permasalahan yang kami hadapi, hadirnya orang ketiga adalah hal yang gak pernah kubayangkan sebelumnya.Jujur, aku tidak tahu harus merespon apa. Shock? Sudah pasti. Tapi melihat bagaimana sosok bernama Kanya yang tertera di layar ponsel Mas Haris, entah kenapa aku bisa memastikan itu bukanlah salah sambung belaka.Lalu siapa sosok bernama Kanya itu sebenarnya? "Dik!"Aku tersentak kaget, pintu kamar tiba-tiba terbuka dengan lebar. Mas Haris muncul di sana dengan wajah paniknya. Dia berjalan cepat menghampiriku, mengambil ponselnya yang masih tergenggam di tanganku."Ponsel Mas ketinggalan," tukas Mas Haris cepat, ia buru-buru mengantungi benda itu di sakunya. Lalu mencium keningku sekilas. "Mas pergi lagi ya."Aku hanya me
"Lalu, bagaimana pertunangan keduanya berakhir?""Soal itu ...."Ghea menjeda ucapannya, membuat rasa penasaranku semakin meningkat."Ghe?"Ghea menghela nafas, mengusap wajahnya dengan kasar. Seperti bimbang akan mengatakan sesuatu. Sebenarnya ada apa? Pertanyaanku seperti telah membuka luka lama yang menoreh hatinya."Mbak tahu kalau aku dan Jalu dirawat oleh orang tua Pak Haris?"Aku mengangguk, dia pernah cerita sebelumnya."Kami hidup sebatang kara, hidup di panti asuhan tak layak huni sebelum orang tua Pak Haris datang untuk memberikan kami kehidupan yang layak."Alisku bertaut, tak mengerti arah dan tujuan pembicaraan Ghea. Bukankah aku menanyakan soal tunangan Mas Haris? "Mereka sangat berjasa dalam kehidupan kami. Begitu juga Pak Haris yang menerima kami dengan tangan terbuka. Awalnya Ghea pikir, kehidupan Pak Haris begitu sempurna. Lahir sebagai anak tunggal pewaris kaya raya adiwangsa, seperti impian semua orang, Mbak Mira.""Tapi setelah menyelam lebih ke dalam, semua hal
Nyatanya, walau berusaha menenangkan Ghea, aku juga tetap kepikiran. Wanita bernama Kanya itu telah mengusik pikiranku. Aku melirik bangku belakang, Bagus dan Chaca tampak kelelahan dan sekarang tertidur usai bermain tadi. Sementara Ghea pergi kembali ke butik untuk menyelesaikan urusannya setelah bertemu denganku.Lampu merah di depan sana mau tak mau membuat laju mobilku berhenti. Sore telah menjelang, tak sangka cukup lama juga aku berbincang dengan Ghea.Pandanganku kini beralih pada jalanan di samping, beberapa menit sebelum perjalanan pulang tadi Mas Haris mengabarkan kalau dia akan lembur hari ini. Aku menghela nafas, melajukan mobil kembali setelah lampu berubah hijau. Sejak pindah ke rumah baru, aku memaksa Mas Haris untuk mengajari cara mengendarai mobil. Meski Mas Haris khawatir dengan keselamatanku kalau mengendarai mobil sendirian, namun aku tetap bersikeras. Salah satu alasannya, adalah karena aku ingin tak ingin kerepotan jika harus membawa sopir jika ingin pergi ke
POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme
POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka
POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y
POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng
POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san
POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me
POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka
POV HarisAku tak tahu entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Pertama kali wanita ini datang ke rumah setelah Mbak Wati meminta untuk menambah asisten rumah tangga baru, aku seperti merasakan sesuatu hal yang aneh padanya.Tatapannya, mata itu, meski aku tak mengingatnya sama sekali tapi aku sangat yakin. Ira, adalah sesorang yang kukenal atau dia yang mengenaliku. Karena tatapan itu ... penuh dengan kerinduan.Dan seharusnya, tatapan itu tidak ditujukan padaku orang yang baru dia kenali. Aku yakin ada sesuatu tentang Ira. Awalnya begitu, sampai dia mengatakan hal yang membantahkan pikiranku. Apalagi perkataan Kanya yang membuat perasaanku semakin bimbang.Aku membuka lengan yang menutup mata. Menatap langit-langit kamar. Perasaan asing itu mulai kembali lagi. Ingatan yang bahkan tak kuketahui sekalipun. "Rasanya hampa, seperti ada yang hilang dariku," bisikku sembari menghembuskan nafas perlahan. Pikiranku kacau, tapi aku sama sekali tak bisa tidur. Aku bangkit dari atas r
"Gimana Mbak? Kalau Mbak setuju dengan rencana kami, Jalu akan segera melakukannya. Dia ada di gedung tepat di mana pesta pernikahan Pak Haris dan Kanya akan dilangsungkan."Aku tersenyum, bahkan tanpa lama berpikir atau mempertimbangkan perkataan Ghea, aku segera mengangguk untuk menyetujui perkataannya.Sedikit ekstrim, tapi rasanya hal itu pantas dilakukan karena memang pernikahan Mas Haris dan Kanya tak boleh dilaksanakan. Pernikahan mereka atas dasar kebohongan. Dan aku sebagai istri sahnya tak akan pernah menyetujui hal tersebut, sampai kapanpun!"Lakukan Ghea, katakan pada Jalu untuk melakukan apapun. Semua hal yang bisa membatalkan pernikahan suamiku dengan wanita tak waras itu. Aku mengizinkannya," tukasku seraya menggebu-gebu.Ada emosi yang terasa dalam setiap ucapanku. Yah, tak dipungkiri aku masih merasa marah atas semua hal yang terjadi saat ini. Dan ini semua terjadi setelah Kanya masuk dalam hidup kami."Mbak tenang saja, Jalu berada di pihak Mbak. Dia juga sangat seti