"Bagus, Caca!" panggilku membuat perseteruan itu seketika terhenti. Orang-orang yang ada di sana seketika terperangah saat aku dan Mas Haris keluar dari dalam mobil termasuk Bapak.Pandangan mereka terarah pada mobil yang baru kami naiki dan setelan jas yang Mas Haris pakai. Mungkin membuat banyak tanda tanya di kepala beberapa tetanggaku saat ini. Hal sama yang kurasakan saat pertama kali tahu rahasia besar yang Mas Haris sembunyikanAku menghampiri bocah lelaki yang sedang memeluk adiknya itu. Matanya memerah seperti hampir menangis, di sampingnya Bapak duduk di kursi roda dengan tubuh gemetaran."Ada apa ini, Pak," tanyaku dengan raut kesal pada lelaki asing yang tadi pagi datang. Wajahnya tadi mengeluarkan raut permusuhan, namun saat melihat Mas Haris wajahnya marahnya berubah melunak."Wah Pak Haris, apa yang anda lakukan di sini?"Alisku bertaut, menyadari perubahan wajahnya yang tadi tampak marah kini berubah ramah secara tiba-tiba. Kutatap Mas Haris yang tampak bingung, seper
"Mas serius dengan perkataan Mas tadi?" tanyaku sesaat setelah kami semua masuk ke dalam mobil dan melaju pergi meninggalkan rumah.Mas Haris menoleh sekilas dan menatapku, setelahnya ia mengalihkan pandangan ke depan."Tentu saja tidak, Dik, Mas masih punya hati. Yang Mas lakukan hanyalah mencoba untuk menggertaknya tadi."Aku bernafas lega, setelahnya mengurut dada. Kupikir setelah rahasia Mas Haris terbongkar kepribadiannya pun juga turut berubah. Tenyata aku salah, Mas Haris tetap sama seperti dulu. Lelaki baik hati yang memenangkan hatiku"Kita sudah sampai." Perkatan Mas Haris sontak membuatku menatap tempat di mana kami berada saat ini. Larut dalam pikiran membuatku tak sadar kalau kami sudah mengemudi cukup lama.Aku terperangah saat melihat rumah tiga tingkat di hadapanku dengan mata terbelelak. Rumah berwarna merah dengan ukiran berwarna emas itu begitu besar, berpuluh kali lebih besar dari rumahku yang dulu. Tinggi ke atas, memanjang ke samping, membuatku tak bisa berkata a
Beberapa hari kulewatkan dengan tinggal di rumah bak istana ini. Hidupku berubah, gaya hidupku juga berubah keseluruhan. Aku sudah seperti ratu yang semua kebutuhan harus dilayani.Aku sudah tak pernah memasak, apalagi masuk ke dalam dapur, bahkanmenyapu rumah dan halaman. Semua sudah ada yang mengatur dan setiap pekerjaan dilakukan oleh pelayan yang berbeda. Terkadang malah membuatku tak nyaman karena aku tidak melakukan apa-apa di rumahku sendiri.Yang paling berbeda adalah penampilanku dan seluruh barang-barangku telah berubah menjadi ber-merk brand-brand ternama kalangan atas. Menurutku ini terlalu berlebihan, namun Mas Haris menganggap itu hal yang lumrah. Aku bisa apa selain menerimanya.Namun, diantara semua perubahan ini. Yang paling mencolok saat aku melihat tingkah laku Bagus dan Caca yang banyak berubah. Awalnya mereka memang senang karena Mas Haris terus membelikan mereka mainan dan pakaian bagus. Tapi dua hari terakhir, kulihat diam-diam Bagus menangis.Adiknya Caca, juga
"I--ini Kak Ita ...," ucapku lirih.Aku memutar ulang video yang sudah ditonton oleh ribuan orang itu. Tampak beberapa wanita sedang menarik rambut dan memukuli wanita yang berada di tengah-tengah mereka. Hal itu dipertontonkan di depan umum. Semua orang menyoraki dan menyumpahi wanita tersebut.Parahnya, yang membuatku hampir menangis adalah aku mengenal dekat wanita yang disebut sebagai pelakor itu. Kak Ita, aku mengenali dari perawakannya. Wanita itu benar-benar kakakku.'Lucuti saja pakaiannya biar tahu malu dia!''Ndak pantas kamu hidup! Lebih baik kamu mati aja!'Aku terkesiap, cepat kotolehkan kepala menatap Ghea."Di mana video ini diambil Ghe?" tanyaku panik apalagi saat mendengar jeritan tak berdaya Kak Ita yang menyayat hati.Ah, aku tak bisa membiarkan hal ini. Meski Kak Ita sudah berbuat salah, ia tak pantas mendapatkan hal hina semacam ini. Lagipula media sosial itu kejam. Bagaimana jika video Kak Ita dilihat oleh Bagus dan Caca?Tidak! Sebagai tantenyaa aku tak bisa me
"Kak Ita," panggilku lirih membuatnya membeku sejenak. Ia tampak menggeleng, melepaskan tanganku dari tangannya membuatku terpaku sejenak. Setelahnya Kak Ita mundur dua langkah, menjauh dariku."K--kamu salah orang," ucapnya terbata, perlahan berbalik dan berjalan pergi. Aku terkesiap, tak mengerti, jelas-jelas aku mengenalinya. Dia benar-benar Kak Ita yang kukenal.Aku beranjak mengejar, menarik tangan Kak Ita hingga ia berbalik menatapku."Kak, ini aku Mira!" seruku membuatnya mengalihkan pandangan dengan tatapan suram."Aku bukan Ita!""Kakak sebenarnya kenapa? Ini aku Mira, kak, adik kakak.""Aku tidak ingat," ucap Kak Ita dengan suara pedih. Meski ia bersikeras aku tahu ia tengah berbohong. Suaranya tampak terisak di tengah suara air hujan yang turun semakin deras."Kak, ada apa denganmu? Jangan pura-pura lupa! Sejak kakak pergi, kakak gak pernah kembali lagi. Mas Haris sudah melupakan kejadian motor itu, pulanglah kak bersama kami.""Wanita baik-baik tidak akan punya kakak seor
"Mama!"Aku dan Kak Ita sontak menoleh mendengar suara itu. Bagus dan Caca berlari menuruni tangga dengan langkah tergesa. Masing-masing dari mereka menitikkan air mata. Memeluk Kak Ita dengan penuh haru. Rindu sekali tampaknya hingga membuatku juga hampir menangis. "Mama, kenapa lama sekali baru pulang?" ucap Bagus sembari menyeka air matanya yang mengalir. Kak Ita menghapus air mata bocah itu dengan Ibu jari. Bibirnya rapat tak mampu berkata. Aku tahu itu sangat berat."Maafkan Mama Bagus.""Caca rindu Mama." Bocah perempuan berusia tiga tahun itu memeluk Kak Ita erat seolah tak ingin melepaskan lagi.Kak Ita memeluk keduanya dengan sayang masih dengan tangisan. Tatapannya kini bertemu denganku. Aku tersenyum simpul, menyadarkannya.Kalau ia tak mau ikut denganku tadi entah berapa lama Bagus dan Caca akan menahan kerinduan mereka kembali. Karena belum tentu aku akan menemukan Kak Ita lagi.***"Kak Ita sudah ketemu?" tanya Mas Haris dengan mata membulat tak percaya. Aku mengangguk
"Ibu," ucapku, membuat wanita itu menoleh.Kami bertatapan sejenak. Meski wajah itu terlihat berbeda namun guratan-guratan wajah yang sangat kukenali itu tak membuatku salah mengira.Itu Ibu, benar-benar Ibu.Ibu tampaknya terkejut akan kehadiranku yang tiba-tiba. Wajahnya pias dan pucat pasi. Lantas, tanpa mengatakan apapun dia pergi begitu saja. Meninggalkanku, meninggalkan kepala kostum badutnya yang tertinggal begitu saja di bawah tiang."Ibu!" panggilku kuat, berusaha mengejarnya sedapat mungkin. Lalu lalang orang yang cukup ramai di trotoar jalanan ini membuatku kesulitan menggapai Ibu. Susah payah aku meminta orang untuk menyingkir. Beberapa menggerutu, yang lainnya penasaran melihatku berlari di tengah panas terik seperti ini."Ibu!" panggilku sekali lagi. Namun Ibu tak kunjung berhenti. Larinya semakin cepat membuat aku kewalahan. Hingga lalu lalang orang semakin ramai. Jam-jam makan siang dan istirahat kerja di area perkantoran membuat ramai jalanan.Aku kehilangan jejak Ibu
"Lalu, Kakak selama ini diam saja?""Kakak bingung harus melakukan apa, Mira. Kakak kalut saat itu karena Kakak juga dirundung masalah. Tentang Dirga yang tak bisa Kakak hubungi selama berhari-hari. Kakak juga punya masalah dan ... mengabaikan hal itu," jelas Kak Ita sembari menunduk. Wajahnya menyiratkan penyesalan yang berarti.Aku berdecak, lantas menggeleng. Memengangi kepala yang berdenyut. Tiba-tiba pusing melanda tubuhku. Pandanganku tampak berkunang-kunang sekarang.Entah karena mendengar berita barusan atau karena kondisi tubuhku yang sedang tidak vit sekarang. Entahlah, aku benar-benar tak punya tenaga."Lelaki yang pergi bersama Ibu, kakak tahu dia adalah seorang tukang sewa kostum badut. Entah kenapa Ibu bisa kepincut dirinya. Laki-laki itu masih muda dan ... Mira, kamu baik-baik saja?"Kak Ita menatapku lekat, berusaha melihat wajahku yang tertutup dengan tangan karena rasa pusing yang mendera. Aku memejam sejenak, terasa berdiriku sedikit limbung."Mira kau sakit? Ayo k