Ibu pingsan lagi.Aku menghela nafas sembari mengoleskan minyak kayu putih pada hidung dan leher ibu. Keributan yang terjadi sudah berakhir dengan tumbangnya Ibu, meninggalkan kekacauan yang mereka tinggalkan berupa pecahan kaca dan beberapa barang yang berserakan di ruang tamu.Mas Haris tengah membersihkannya setelah mengantar Bapak untuk beristirahat di kamar kami, sementara aku bersama Ibu dan Kak Ita berada di dalam kamar tamu. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, ibu juga belum sadar."Kak!" kupanggil Kak Ita yang termenung menatap dinding kosong di sebelahnya. Ia melirikku sekilas, lalu mengalihkan pandangannya kembali."Apa?"Aku berdehem, bingung harus mulai dari mana. Apkah kukatakan saja kalau aku mendengar semua pembicaraannya dengan Ibu tadi yang memicu pertengkaran, hal yang juga membuat Ibu pingsan.Namun, Kak Ita pastinya akan tersulut emosi setelah itu. Tadi saja tingkahnya saat berbicara dengan Ibu ia tampak marah, apalagi jika kutanyai sekarang.Ah, tidak-tidak!
"Kalau gak bisa kasih dua juta, siniin cincinmu biar aku jual!" Kak Ita mengulurkan tangan membuatku terhenyak. Ini cincin pernikahanku dengan Mas Haris. Seenaknya saja meminta begitu."Gak bisa, kak, ini cincin pernikahanku. Lagipula kakak mau untuk apa uang segitu." ucapku sembari menyembunyikan lengan kiri di belakang tubuh. Aku menatap awas pada Kak Ita yang kini menatapku dengan tajam."Ya ampun, nanti kakak balikin, pelit banget. Kakak gak bisa tinggal di sini. Sempit, kumuh, dan lihat kamar kamu cuma dua, kecil banget lagi. Kakak harus sewa rumah yang lebih besar." Kak Ita berkacak pinggang mendekat ke arahku."Lagipula cincin kamu ini berapa sih lakunya? Lima ratus ribu juga gak sampe. Udahlah sini aku pinjam dulu!" Kak Ita menarik tanganku dengan paksa, aku menghindar berusaha melepaskan diri, namun dengan cepat Mas Haris melepaskan tangan Kak Ita dari tanganku."Maaf Kak, jangan paksa Mira kalau dia memang gak mau. Lagipula cincin yang kakak pinjam adalah cincin pernikahan
"Kamu kenal dengan Jalu, Ghe?"Ghea tersentak saat bahunya kusentuh, ia menoleh."Huwaaa Mbak Mira!" teriaknya kaget sembari mundur dua langkah hingga membuatku kebingungan. Memangnya kehadiranku serupa hantu, hingga dia berlebihan seperti itu?"Maaf Mbak, Ghea cuma kaget," ucapnya setelah menguasai diri. Ia terkekeh pelan sembari membenarkan letak hijabnya."Kamu belum jawab pertanyaan Mbak tadi loh, Ghe.""Oh, tentang Jalu Mbak? Ghea kenal waktu di pasar. Anaknya ramah, rajin dan ganteng juga, jadi ....""Pasar?" tanyaku memotong perkataannya. Ghea mengangguk membenarkan.Kalau pasar yang dimaksud Ghea adalah pasar yang sama dengan pasar tempat Mas Haris biasanya berjualan tahu. Itu berarti keduanya sudah saling mengenal melihat bagaimana Ghea mengenal Jalu dan Mas Haris juga mengenal Jalu.Tak aneh melihat interaksi keduanya yang kupikir seperti dua orang yang sudah mengenal cukup lama. Hanya saja ada beberapa momen dimana Mas Haris dan Ghea malah seperti sedang pura-pura tidak
"Ibu," panggilku setelah sampai di halaman depan. "Ghea Mira yang undang untuk berbuka bersama di sini, jadi biarkan Ghea masuk bersama Bagus dan Caca." Ibu menatapku sinis, ia beralih menatap Ghea."Kamu kalau miskin jangan sok, cuman masak makanan begitu aja pakai undang orang lain segala, gak malu?"Aku terkesiap mendengar penuturan Ibu, kulihat Ghea yang sepertinya juga terkejut. Mungkin ini kali pertamanya mendengar ucapan kasar seroang Ibu kepada anaknya."Saya suka masakan Mbak Mira, Wak. Saya juga sering makan di sini. Masakan Mbak Mira itu enak-enak, gak yang gitu-gitu aja. Memangnya Uwak belum pernah nyoba makanan anak Uwak sendiri?"Ghea tiba-tiba membalas perkataan Ibu, ia sepertinya tidak sungkan. Hal ini jadi mengingatkanku saat aku dan Dewi berseteru dan dia datang menolongku."Uwak? Seenaknya saja kamu manggil saya begitu. Lagian kamu cuma tetangga, tahu apa sih?""Lah, saya manggil Mbak Mira dengan sebutan Mbak, kalo ke Uwak dengan sebutan Tante gak cocok dong.""Kam
Aku menggeleng, mendekat ke arah Bapak sembari mengusap bulir demi bulir air mata yang jatuh di pipinya."Bapak ini bicara apa? Kenapa malah minta maaf?" ucapku dengan suara bergetar. "Bapak di sini saja, ya, tunggu Mira pulang!"Bapak mengangguk, air matanya masih mengalir. Aku keluar dari kamar, sekilas menatap Ibu yang sedang asik menggonta-ganti saluran televisi dengan kaki naik ke atas.Helaan nafas berat keluar dari mulutku. Melihat reaksi Bapak yang meminta maaf penuh penyesalan tadi kupikir Bapak mungkin menyesal atas tindakannya dahulu padaku dan Mas Haris.Harta yang ia agung-agungkan dan anak serta menantu yang dahulu ia bangga-banggakan kini habis tak bersisa hilang entah ke mana. Yang ada hanyalah penyesalan.Aku memang pernah tak suka dengan perlakuan Bapak kepada Mas Haris. Terlalu membeda-bedakan memang. Suamiku hanyalah tukang tahu, aku tahu itu. Namun, saat keadaan terpuruk begini bukankah Mas Haris yang selalu ada di samping Bapak? Kupikir itu penyesalannya hingga
Aku sampai di depan rumah dan pintu dalam keadaan terbuka lebar. Tak ada suara televisi yang terdengar, membuatku mempercepat langkah masuk ke dalam rumah.Tak ada Ibu di ruang tamu, aku beranjak mencarinya di dapur dan kamar tamu tapi Ibu tak ada di manapun. Bahkan di kamar mandi juga tidak ada. Hanya satu ruangan yang belum kucari, kamarku sendiri.Aku membuka pintu, dengan mata terbelalak, terkejut saat melihat Bapak tergeletak di lantai dan suasana kamar yang sangat berantakan. Pakaianku dan Mas Haris habis berserakan berikut dengan laci-laci nakas dan lemari yang terbuka lebar."Astagfirullah Bapak, apa yang terjadi?" ujarku kalang kabut, kucampakkan nasi yang baru saja kubeli di atas lantai. Aku buru-buru mengangkat tubuh Bapak naik ke atas kasur dengan susah payah.Bapak terlihat gemetaran, mulutnya yang miring dengan tangan tertekuk bergerak-gerak ingin mengatakan sesuatu. "Pelan-pelan, Bapak! Tarik nafas dulu!" Aku menahan keinginan menggebunya yang berusaha menjelaskan situ
"Mas, dapat uang sebanyak itu dari mana? Kenapa bisa mengambil rumah ibu kembali?"Mas Haris tampak terkejut dengan pertanyaanku, namun ia tersenyum setelahnya."Tabungan Mas, Mas menggunakannya untuk itu, jadi ....""Mas jangan berbohong!" ucapku keras sembari menatap ke manik matanya. Mas Haris cukup terkejut dengan respon yang kuberikan barusan. "Bohong bagaimana? Mas memang menggunakan uang tabungan Mas, sengaja agar Ibu dan Bapak punya tempat tinggal lagi. Mas tahu kamu cukup kerepotan dengan kehadiran Ibu, jadi Mas ingin meringankan beban kamu, sayang."Aku menggeleng. "Mira tidak ingin mengatakan hal ini, tapi Mas cuma tukang tahu, dapat uang dari mana sebanyak itu untuk menebus rumah Ibu? Mira yakin kalau rumah Ibu harganya tidak murah. Mira curiga, sebenarnya ada yang Mas sembunyikan dari Mira, kan?""Sembunyikan apa, dik?" Mas Haris menatap sekeliling. Ia kini menarikku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. "Sebaiknya kita bicara di dalam, tidak enak didengar tetangga ka
Aku mondar mandir di halaman rumah. Bingung harus berbuat apa, karena sampai jam menunjukkan pukul delapan pagi Mas Haris belum juga pulang ke rumah.Sementara Bagus dan Caca tengah bersama Bapak di kamar. Aku menatap khawatir untuk kesekian kalinya pada ponsel di tangan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda Mas Haris menelpon atau bahkan mengirim pesan."Ya Allah, sebenarnya kamu mencari Ibu sampai ke mana, Mas?" ucapku sembari memegangi kepala. Hijabku bahkan sudah miring-miring namun tak lagi kupedulikan."Assalammu'alaikum!"Aku tersentak kaget, mengira itu Mas Haris kucampakkan saja ponsel di tangan ke atas meja. Berlari menuju pintu depan dan bingung saat melihat seorang lelaki asing berpakaian rapi yang datang."Wa'alaikumussalam, cari siapa ya?"Laki-laki tampak bingung saat melihatku. Tangannya menggenggam sebuah map yang sangat kukenali."Maaf, apakah ini rumah Ibu Sri Suriyani?" tanyanya mengucapkan nama ibu. "Itu Ibu saya, sebenarnya ada perlu apa, ya?""Saya kemarin me