Dari pagi sampai sore ini kuperhatikan. Mobil David sama sekali tak tampak di depan rumah walau aku masih tak berani ke luar. Entahlah, setelah aku memikirkan perkataan Mas Haris kemarin, dia akan membuat David jera. Memangnya apa yang bisa dilakukan suamiku.
Suara air yang sudah matang dari arah dapur membuatku tersentak kemudian berlari pergi secepat mungkin. Teko air sudah mendidih dan menimbulkan bunyi nyaring. Aku segera mematikan kompor.
Aku membalik jumput-jumput yang sedang kugoreng. Sedikit kehitaman karena aku meninggalkannya cukup lama tadi. Cukup banyak pisang yang ada di dalam kulkas, aku memutuskan membuat penganan ini untuk berbuka nanti.
Kupilih beberapa yang tidak gosong dan menatanya dalam piring. Terlalu banyak juga tak akan habis, aku berniat membagi ke tetangga.Aku ke luar dari rumah dengan piring berisi jumput-jumput di tangan, hendak berjalan menuju rumah Bu Gia, namun sedikit bingung saat melihat rumah yang berada di sebelah kiri rumahku tampak berbeda dari biasanya.
Selama ini rumah tersebut kosong dan kini ada sandal dan pakaian yang dijemur. Apa ada penghuninya sekarang?
“Assalammu'alaikum Bu Gia,” panggilku dengan masih menoleh ke arah rumah yang menarik perhatian sejak tadi.
“Wa'alaikumussalam, Mira, wah apa ini?“
“Jumput-jumput, Bu, banyak pisang masak di rumah.“
“Sebentar ya! Ibu ganti mangkoknya dulu.“
Aku mengangguk dan duduk di depan rumah Bu Gia sembari menunggu. Pandanganku masih tak lepas dari rumah kosong yang kini berisi itu. Penasaran dengan penghuninya.
“Ini Mira, maaf ya cuma bisa ngisi begini.“
“Ah, ya, ampun gak usah harusnya Bu, repot-repot sayanya jadi gak enak,” ucapku memandang beberapa kue basah dalam mangkok bekas jumput-jumput tadi.
“Gak apa-apa atuh, saya mau dapat pahala juga ngasih makanan buat orang buka puasa.“
“Oh iya Bu, rumah sebelah itu sudah ada penghuninya ya?“
“Oh yang sebelah rumah kamu itu? Iya, kemarin malam pindahannya.““Kemarin malam?“
“Iya, Ibu juga gak tahu dia yang bilang. Orangnya aneh banget.“
“Ibu udah ke sana?“
“Sudah, Ibu basa-basi ngasih kue. Hitung-hitung sebagai pengenalan karena dia tetangga baru. Penghuninya masih gadis, perempuan.“
“Oo gitu, jadi penasaran saya bu.“
“Yaudah coba kasih jumput-jumput sana. Sekalian kenalan mana tahu jadi akrab. Ibu lihat kalian hampir seumuran. Tapi orangnya agak … gimana ya ngomongnya.“
“Agak gimana?“
“Coba Mira lihat sendiri deh.“
“Kalau begitu Mira permisi Bu.“
“Iya-iya Mira makasih makannya,” seru Bu Gia yang kubalas dengan anggukan.
Aku berlalu dari rumah Bu Gia, masuk ke dalam rumah dengan satu mangkok kolak di tangan. Lantas pergi ke rumah tetangga baru yang pintu rumahnya terbuka lebar. Hanya menyisakan pintu besi yang tertutup, itupun tidak rapat.
“Assalammu'alaikum.“
Hening.
Tak ada jawaban dari sana meski aku menunggu beberapa saat. Kucoba mengulangi ucapan salam sampai tiga kali.
Alisku bertaut sembari menunggu. Apa orangnya pergi atau gimana ini?Prang!
“Astaghfirullah,” seruku kaget. Tanpa menunggu persetujuan yang punya rumah untuk masuk aku segera berlari ke dalam dengan piring di tangan.
“Awas mbak, minyak panas!“ langkahku terhenti saat melihat kuali di atas lantai bersikan minyak panas dengan sebuah benda hitam yang ….
Tunggu, itu telur mata sapi. Kenapa warnanya sampai begitu.
“Eh! Mbak ini siapa ya? Kok main masuk-masuk saja dalam rumah saya?“ tanya gadis dengan hijab sedikit miring itu padaku.
“Anu … saya ….“
“Maling ya?“
“Bukan, saya cuma mau ngasih ini!“ Aku menyodorkan piring di tangan. “Dari tadi manggilin gak ada yang nyahut. Pas dengar suara ribut di dalam saya langsung masuk.“
Gadis itu memicing seolah tak mempercayai ucapanku. Lantas kusodorkan mangkok berisi jumput-jumput yang sedari tadi kupegang.
“Ini, ini buktinya.“
“Beneran ini buat saya? Gak ada racunnya kan?“
Aku terbelalak, apa-apaan gadis ini. Apa sifatnya memang begitu, selalu curiga kalau diberi oleh orang lain sesuatu. Atau memang ia pernah mengalami trauma.
Aku menggeleng, karena pikiranku kejauhan. Lantas kuletakkan piring itu di atas meja makan yang kebetulan berada di sebelahku.
“Saya niat baik mbak, ini bulan puasa gak mungkin ngejahatin orang dengan makanan berbuka begini.“
Gadiz itu tetap menatapku dengan mata memicing. Kini satu tangannya mengelus dagu seolah sedang menyidiki siapa aku sebenarnya.
“Sepertinya saya pernah lihat mbak, tapi di mana ya?“
“Saya? Kita saja baru bertemu pertama kali loh.“
“Beneran, mbak artis ya?“
Benar kata Bu Gia penghuni rumah ini agak aneh.
“Bukan, saya Amira, tetangga sebelah kamu.“
“Amira? Amira … Ha!“ Gadis itu melemparkan sudip di tangannya dengan asal.
“Astaghfirullah,” seruku kaget dengan jantung berdebar keras.
“Amira istrinya Pak Haris?“
Kali ini aku yang memicing. Kutatap dia sembari mengelus dagu.
“Kok kamu tahu?“ tanyaku penuh selidik. Kutatap matanya dan gadis ini berusaha menghindari tatapanku.
“Itu ….“
“Itu?“
“Saya ….“
“Saya?“
“Assalammu'alaikum, Dik.“
Aku tersentak, suara Mas Haris terdengar nyaring dari depan rumah. Tumben-tumbenan dia mengucap salam senyaring itu, apa pintu rumah kukunci tadi? Perasaan tidak..Kutatap gadis di hadapan yang masih diam saja, aku berbalik dan kembali ke depan rumah dan melihat Mas Haris sudah berdiri di teras sembari menungguku.“Kenapa gak masuk, Mas? Rumahnya gak dikunci kok, biasanya juga langsung masuk sambil ngucap salam, ini tumben nunggu.“
“Pintunya gak bisa terbuka.“
“Masa?“
“Iya.“
Aku menatapnya dengan alis bertaut. Kucoba menurunkan engsel dan pintu dengan mudah terbuka.
“Waa! tadi kenapa gak bisa ya? Aneh sekali,” ucap Mas Haris sembari masuk ke dalam rumah, menimbulkan banyak tanya di kepalaku. Terutama saat ia lewat, aku mencium semerbak wangi parfum yang berbeda dari biasanya.
“Mas kenal dengan tetangga sebelah?“ tembakku langsung saat aku dan Mas Haris sudah selesai shalat maghrib dan sekarang sedang menyantap nasi. “Yang mana?“ “Yang baru pindah.“ “Loh, Mas mana tahu, kan baru pindah. Lihat orangnya juga belum.“ “Terus kenapa tadi dia tahu kalau aku istri Mas ya?“ “Asal tebak mungkin.“ “Gak mungkin.“ “Tahu dari tetangga yang lain.“ Ah benar saja, tak terpikir olehku. Mungkin saja gadis itu tahu dari Bu Gia. Tapi, kenapa saat kutanya kembali gadis itu terlihat takut? Dan lagi, sekarang Mas Haris tak berani menatap ke arahku saat berbicara. Hal yang ia lakukan setiap kali ia berbohong. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentang hal jelek Mas Haris dan gadis yang tinggal di sebelah. Jangan-jangan …. “Dik!“ Aku tersentak, menoleh ke arah Mas Haris yang tengah melambaikan tangan di depan wajahku. “Kenapa, Mas?“ “Dari tadi dipanggilin gak nyahut, mikirin apa?“ “Bukan apa-apa, Mas bilang apa tadi?“ “Besok, gimana kalau kita buka di luar?“ “B
Acara reuni tetap berlanjut dan aku tak melihat Dewi di manapun. Entah mungkin ia sedang berganti baju atau bagaimana aku tak terlalu memperdulikannya. “Lama lagi ya waktu berbuka?“ Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini. “Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel. “Hai Mira, Fitri, apa kabar?“ Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu. “Baik Viola, kamu bagaimana?“ jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit. “Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“ “Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti
“Kalau begitu, Mas akan mengatakan, sebenarnya ….“ Aku menunggu dengan tidak sabar dan jantung berdebar. Setiap perkataan yang ke luar dari mulut Mas Haris entah kenapa malah terasa lambat. “Sebenarnya ….“ “Ya.“ “Mas ….“ “Hm?“ “Tadi minum kopi tiga gelas di warkop Mbah Ruslam saat buka puasa karena kamu gak ada di rumah, Dik.“ Aku terpaku dengan mulut terbuka, walau perkataan Mas Haris sedikit membuatku kaget karena dia memang kularang minum kopi banyak dikarenakan asam lambungnya, namun bukan hal ini yang ingin kudengar. “Mas?“ ucapku tak mampu lagi mengatakan apa pun. Aku hanya bangkit dari tempat duduk sembari memegangi cincin yang tertaut di jemari. “Dik kamu gak marah, kan?“ tanya Mas Haris menahan tanganku hingga membuatku berbalik. Aku menjawab pertanyaannya dengan gelengan. “Enggak Mas, aku cuma capek saja.“ Mungkin … apa yang dikatakan Viola tak benar adanya. Mas Haris cuma tukang tahu, laki-laki yang menjadi suamiku itu tak mungkin punya uang sebanyak lima ratus
Mataku mengerjap kala mendengar suara seseorang sedang berbicara. Pusing yang melanda kepala membuat sedikit sulit untuk membuka mata sementara bias cahaya di atas sana sedikit membuat silau mata. Samar-samar saat aku menoleh ke samping, kulihat Ghea sedang berdiri tak jauh dariku dengan posisi membelakangi. Ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. “Baik Pak, saya memastikan Bu Mira aman bersama saya.“ Sayup-sayup kudengar suaranya terlintas dalam benak. Pak? Siapa yang tengah gadis itu telpon bahkan dengan membawa-bawa namaku. “Ghea, itu kamu?“ tanyaku memastikan dengan suara lirih. Perlahan Ghea berbalik, dapat kulihat wajahnya tampak panik saat menoleh ke arahku. Dengan cepat ia menutup panggilan dan berjalan cepat menghampiriku. “Bu Mir— maksud saya Mbak Mira sudah sadar?“ tanyanya sembari memperhatikanku dengan lekat, lalu tampak bernafas lega setelahnya. “Saya di mana?“ tanyaku sembari memegangi belakang kepala yang sedikit nyeri, rasa pusing masih samar-samar kurasa
Aku terpaku setelah ke luar dari taksi. Pintu rumahku tengah diperbaiki oleh seseorang dan ada Bu Gia di sebelahnya. Kualihkan pandangan pada Ghea yang juga baru keluar dari taksi. Dia hanya tersenyum saat tahu arti dari tatapanku“Kamu bayar orang buat perbaikin pintu rumah Mbak, Ghe?“ tanyaku lagi-lagi terkejut atas tindakannya. “Iya, gak apa-apa, kan, Mbak? Aku juga yang minta Bu Gia buat nengokin rumah Mbak sekalian mengokin yang kerja perbaikin pintu. Soalnya pintunya rusak dan gak bisa dikunci.““Ya, gak apa-apa, sih, tapi kamu harusnya bilang Mbak dulu kalau mau ngelakuin apa-apa. Persis yang kayak kamu lakuin tadi di rumah sakit. Bukannya Mbak gak menghargai niat baikmu tapi kalau kamu membantu sampai segininya Mbak jadi ngerasa gak enak dan bingung gimana mau gantinya.““Kan, aku udah bilang Mbak gak perlu ganti uang aku.““Tetap gak bisa gitu dong!“ Aku menatapnya sembari menghela nafas. Merinci setiap pengeluaran pada hari ini tiba-tiba saja membuat pikiranku sedikit kacau
Aku masih terpaku menatap layar ponsel Ghea yang terus berdering. Berbagai pikiran mulai berkecamuk dalam kepala.Haris? Nama yang sama dengan suamiku, tapi ... mungkinkah?"Eh, Mbak, ponsel Ghea bunyi, ya?"Ghea datang tiba-tiba, menyambar ponselnya secepat kilat tanpa kuketahui kapan dia mulai masuk ke dalam rumah."Sebentar, ya, Mbak, aku angkat telpon dulu!"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Entahlah, aku merespon cepat tindakannya yang aneh. Mulai dari nama di ponselnya yang sama dengan Mas Haris, suamiku dan juga Ghea yang mengangkat telpon sampai ke luar dari ruang dapur, menjauh dariku.Bukankah, ini sedikit ... mencurigakan.Aku jadi penasaran dengan orang yang menelpon Ghea sekarang. Perlukah aku mengikutinya dan mendengarkan pembicaraan mereka? Tapi itu sungguh tidak sopan. Menguping pembicaraan orang lain bukanlah tindakan yang benar.Lalu, haruskah aku bertanya?"Maaf ya, Mbak, itu tadi bos Ghea nelpon mendadak nanyain urusan kerjaan." Ghea muncul kembali ke dapur d
"Kamu gak boleh gitu Ghe!" ucapku setelah kami masuk ke dalam rumah dan kini telah duduk di meja makan sembari menunggu adzan maghrib."Lah, dianya kurang ajar Mbak, orang kayak gitu gak bisa dilembekin. Mbak harus ngelawan kalo gak bakalan ngelunjak. Masa gitu bejat kelakuan suaminya dia gak sadar-sadar juga, masih mau nyalahin orang lain lagi."Aku menghela nafas. "Tapi kamu bisa ajak Dewi buat ngomong baik-baik, soalnya dia lebih tua dari kamu.""Baik-baik?" Ghea melotot ke arahku, nada suaranya naik satu oktaf. Entahlah, bukankah seharusnya aku yang lebih emosi."Coba aja tadi aku lakuin kayak tadi, ngomong baik-baik, bisa-bisa Mbak bakalan digampar sama itu tante-tante rempong. Benar, kan? Jangan menyangkal Mbak, bahkan aku yang nahan tangannya tadi.""Ya ...." Aku memutar mata, mengalihkan pandangan ke arah lain karena Ghea terus menatapku. "Iya-iya, Mbak tahu kamu lakuin hal itu supaya Mbak gak kenapa-kenapa. Makasih kalau gitu.""Nah gitu dong!" ucap Ghea dengan sumringah. "Po
"Loh, Mbak, itu bukannya laki-laki bejat yang datang ke rumah Mbak ya? Suaminya di tante rempong?"Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Keningku berkerut sembari berpikir keras. Seolah ...."Gila! Karma cepat sekali bekerja. Aku jadi ingin lihat si tante rempong nangis-nangis gara-gara suaminya di tangkap. Mbak lihat, kan? Yang dzalim selalu dapat adzab."Nah!Adzab? Itu kata yang sedari tadi kupikirkan namun tak kunjung menemukannya sampai Ghea mengatakannya. Entah kenapa, menurutku ini sangat kebetulan sekali. "Padahal baru kemarin dia mau jahatin, Mbak. Lihat kan! Orang jahat itu memang bakalan dipersulit hidupnya," ujar Ghea dengan wajah menahan geram. Aku yang berada di sebelahnya hanya memperhatikan.Aku lega sebenarnya mendengar berita ini melihat sikap Dewi dan David tak begitu baik padaku dan Mas Haris. Walaupun itu agak terasa janggal. Senang di atas penderitaan orang lain membuatku tampak seperti orang yang sangat jahat mengabaikan perilaku David dan Dewi selama ini.