Bagaimana jika dua orang yang tidak saling mengenal harus terjebak dalam pernikahan. Dengan di atur oleh oleh kedua keluarga akankah mereka sanggup untuk menolak. “Besok kalian akan menikah, makanya kami sepakat untuk mempertemukan kalian terlebih dulu,” ucapan Indira tersebut sontak membuat Angga dan Ana terkejut. Angga menajamkan matanya kemudian menatap Ana yang juga menatapnya tak kalah sengit. Ana “Ma yang bener dong aku mau dinikahin besok,” kataku terus mengikuti kemana Mamanya berberes. “Beneran sayang, yang bilang bohongan siapa si,” balas Mama tanpa menatap kearahku. Kemudian aku beranjak mendudukan diri dikursi meja makan, menahan kesal. Masih menghunus pandangan kearah mama yang tengah memasak makan malam. Angga “Ma, Angga nggak mau ya nikah sama tuh bocah,” kataku setelah sampai diruang tamu kediaman keluargaku. “Siapa yang kamu panggil bocah?” Tanya Indira. “Dia bentar lagi lulus kok,” seraya meletakan segelas kopi dimeja . “Lihat kan anaknya lucu gitu Mama suka banget,” Katanya lagi dengan mata berbinar. Bagaimana kelanjutan kisah Angga dan Ana. Simak ceritanya.
View MoreSambil mengobrol, ibu dan menantu tersebut menyiapkan makan malam. Seperti sebuah reuni, Indira benar-benra bersuka cita menyambut kedatangan putra dan menantunya. Karena ini kunjungan pertama mereka setelah resmi menikah. Walau sempat tertunda, namun tak melunturkan kebahagiaan Indira. “Angga masih mandi An?” “Iya Ma,” Mulai menata hidangan dimeja makan. Henri, Papa Angga mulai bergabung dimeja makan. Melihat dihadapannya sudah tersaji berbagai makanan menggugah selera. Melengkungkan senyum tipis, melihat perempuan beda generasi tengah berbincang ria. Sudah seperti teman lama. Padahal seingatnya, Indira baru mengenal Ana. Tapi mereka bisa langsung akrab seperti ini. &nb
“Aku sudah sampai, kamu dimana An?” Sebuah pesan masuk, membuat Ana tidak lagi fokus pada obrolan Vita dan Tasya. Yang sibuk menceritakan bimbingan beberapa waktu lalu. “Gue balik dulu ya guys, kak Angga udah sampai katanya,” ujar Ana lalu membawa tasnya. Jangan lupa draft yang sudah penuh coretan Pak Hari. Tadi Ana sempat sedikit bercerita sikap dosen pembimbing pada para sahabatnya. Yang kemudian mendapat reaksi beragam dari mereka. Sekilas lebih banyak keterkejutan, beda dengan Rama yang datar saja mendengar cerita itu. Tidak memberi komentar lebih, tetapi menatap sedikit lama ke arah Ana. Yang jelas disadari oleh gadis itu. &
Vita sudah berpesan untuk menunggu di lobi apartemen saja. Padahal niatnya Ana ingin mengendarai mobilnya sendiri. Sebelumnya mereka kurang setuju jika hari ini mencari bahan. Karena pastinya mereka hanya akan sempat membeli bahan penelitian. Tidak sekaligus bisa hang out menjernihkan pikiran yang sudah kusut oleh proses penelitian dan bimbingan. Ana masih bersiap, setelah berendam air hangat dengan aroma terapi. Sedikit meringankan pikiran yang sebelumnya penat disebabkan Angga. Memakai dress selutut berlengan panjang. Dengan bahan yang dingin sungguh terasa nyaman memeluk kulitnya. Memakai make up natural seperti biasa, dia melirik lipstik baru yang belum pernah dipakai. Memakai lipstik warna marun yang cocok dengan hitam rambutnya. Memindahi penampilannya di depan cermin. &
Mendengar dering panggilan, Angga hanya melirik ponselnya yang tergeletak dinakas. Tanpa ada niat untuk melihat dari mana panggilan itu berasal. Ponsel itu kembali berdering, mendengus malas. Akhirnya Angga meraih ponselnya dengan penampilan yang masih berantakan. Kancing kemeja belum terpasang sempurna, apalagi dasi. Dasinya masih terlipat rapi diatas ranjang. Menggeser tanda hijau, sambil berlalu keluar dengan jas dan tas kerja di tangannya. Dia lebih terlihat seksi dengan tampilan berantakan seperti itu. ”Iya Dinar,” sapanya selagi berjalan mendekati meja makan. Meletakkan tas kerja dan jasnya di kursi. Ana melirik Angga yang masih berantakan, sambil menerima telpon. Melanjutkan pekerjaannya, menata hidangan di meja makan. Ana tinggal menunggu air
Menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, Angga sesekali melirik Ana yang sudah terlelap. Tidak pernah terbayang jika Ana akan bermalam dikamarnya. Yang bahkan sebelumnya gadis itu tidak pernah tinggal setelah menyelesaikan urusannya. Bibirnya sedikit melengkung, ditengah kesunyian hanya ditemani suara ketikan keyboard. Hampir tengah malam ketika Angga selesai, membereskan berkas-berkasnya. Menatanya dimeja untuk besok dibawa ke kantor. Melangkah mendekati ranjang, Angga seakan belum percaya dengan pemandangan ini. Dengan lelap Ana tidur, menghadap ke arahnya. Angga bergerak naik, ikut bergabung disamping Ana. Berhadapan tepat, mereka berada dalam balutan selimut yang sama. Angga tidak bisa menjelaskan euforia dalam hatinya. Meski dalam diam, dia terus menatap istrinya lekat. Memastikan bahwa sosok didepan matanya ini nyata, bukan hayalan.
Mengartikan apa yang dia rasakan. Ana menikmati ritme detakan ini. Ikut menghangatkan suasana antara keduanya. Sampai kilasan para wanita yang dibawa Angga ke apartemen. Mengganggu pikiran sekaligus menyentil hatinya. Mendorong dada itu sampai tercipta jarak antara keduanya. Pandangan mereka saling menumbuk. Sungguh ada banyak tanya dalam hati Ana. Yang selama ini hanya berlalu, tanpa ingin diungkapkan. Berpikir semua itu bukan menjadi urusannya. Tapi setelah Angga menjelaskan demikian. Seakan menganggap kehadirannya adalah penting bagi kehidupan laki-laki itu. Membuatnya memikirkan kembali semua sikap acuhnya selama ini. “Apakah Nabila hanyalah sebatas mantan kekasih?” Tanya Ana seraya menaikkan salah satu alisnya. Mencoba tidak menunjukan keingintahuan yang mencolok.
Angga masih memperhatikan Ana, yang kini memalingkan mukanya. Menghindari tatapan mata Angga. Seakan ada kebingungan pada kilasan pandangan Ana. Baiklah Ana masih butuh waktu, katanya dalam hati. Melepaskan genggaman tangannya. Menoleh pelan. Ana memandang bertanya Angga. Tapi dia tak kunjung mengeluarkan suara. Perlahan sebelah tangan Angga meraih bandul kalungnya. Mengamati benda tersebut, lalu kembali menatapnya. “Lanjutkan masaknya. Aku akan membersihkan diri dulu,” ucapnya kemudian melepaskan bandul itu. Angga beranjak setelah mengelus puncak kepala Ana. Menimbulkan tanya di hati Ana, walau terlalu sulit untuk menerka. Sikap seperti apa itu? tanyannya dalam
Bertepatan tanggal merah, di hari Jum’at. Para sahabat Ana sudah dalam perjalanan menuju ke apartemen. Angga sudah berangkat untuk menghadiri meeting. Memang hari libur, tapi tampaknya tidak berpengaruh pada laki-laki itu. Dia tetap ada jadwal kerja. Ana sudah membuat beberapa camilan untuk sahabat-sahabatnya. Belajar tanpa ditemani camilan berasa ada yang kurang. Menata camilan dan es di meja ruang santai. Ruangan ini jarang terpakai. Karena para penghuni apartemen, yang lebih sering beraktivitas dalam kamar. Atau memang jarang berada di apartemen. Bell disertai ketukan pintu terdengar. Ana segera melangkah untuk membuka pintu. Menyambut para sahabatnya dengan senyum senang. Mempersilahkan mereka untuk masuk.  
Lama berkutat dengan tugas. Tepat pukul sebelas Ana berhasil menyelesaikannya. Tetap dibantu oleh Angga. Meskipun setelah menerima pesan dari Gio. Ana menjadi pendiam. Ana tidak bereaksi apapun. Setelah mereka bertatapan lama. Dia yang memutus kontak mata itu. Angga yakin, Ana pasti mendengar gumamannya. Angga masih duduk di tepi ranjang. Mengamati Ana yang sedang membereskan meja belajarnya. “Makasih Kakak udah mau bantuin aku,” ujar Ana. Dengan posisi membelakangi Angga. Angga tidak membalas. Angga sedang berpikir, apakah ini saat yang tepat untuk menjelaskan tentang Yuri dan Nabila. Tapi ini sudah terlalu larut, batin Angga. Ana harus segera istirahat. Angga sempat me
Ana tengah membersihkan kedua tangannya, dengan tisu toilet. Ketika pintu toiletnya terbuka. “Eh Om, kira-kira dong..” Ana berdecak. Sedangkan orang dihadapannya malah berlalu membuka pintu lain. Ana mengikuti langkah lelaki tersebut. “Eh, Om gue belum selesai ya sama lo. Untung urusan gue dalam toilet udah selesai,” Ana mendengus. “Jangan-jangan Om mau mesum ya ditoilet,” seru Ana. Dengan tangan bersedekap, tepat dibelakang lelaki itu. “Siapa yang lo panggil Om,” kata Angga. Menoleh kearah datangnya suara. “Jangan nuduh sembarangan lo anak kecil. Gue cuma mau nyari cewek gue. Dasar bocah, jangan mikir yang macem-macem,” Kata Angga. Sedangkan Ana terlihat tidak peduli. “Ana, lo udah belum?” Tanya...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments