17.30 sore
Ana masuk apartemen, menemukan suasana sunyi. Yah dia sekarang harus terbiasa dengan keadaan ini. Meletakkan sepatu dirak, melangkah masuk. Membasuh tangan diwastafel, lalu beranjak ke meja makan. Menuang air putih untuk dirinya sendiri. Segar batinnya lega, kemudian berlalu ke kamar. Dia sudah tidak sabar, untuk membasuh tubuhnya dengan sedikit berendam air hangat. Hah menyenangkan pikirnya.
Meletakkan tas punggungnya, lalu masuk kekamar mandi. 30 menit dia habiskan untuk membersihkan dirinya. Memakai pakaian santai sedikit terbuka. Lalu dia keluar beranjak menyiapkan makan malam. Terdengar suara dari arah depan. Namun dia tanpa rasa ingin tahu, tetap melanjutkan aktivitasnya memotong sayur.
“Lo udah pulang?” Tanya Angga. Menuang segelas air, kemudian berlalu ke ruang tamu.
Ana tak menjawab, memilih fokus pada masakannya. Mendengar langkap kaki mendekat.
“Lo siapa?” Tanya Yuri. Ana melirik sekilas, lalu kembali fokus pada masakannya. “Eh lo, kalau ditanya jawab dong,” kata Yuri. Menaikkan suaranya.
Ana berdecak, nih nenek lampir dapat mungut dimana si batinnya sebal, namun masih diam.“Gue pembantu disini Kak,” jawab Ana asal. Tanpa menoleh ke arah Yuri.
Yuri mengangguk, kemudian berlalu ke kamar mandi dekat dapur.
Ana mulai memindahkan hidangan yang telah matang ke meja. Selesai dengan itu, dia kini mulai memanaskan air untuk membuat kopi. Tidak dia pedulikan wanita yang keluar dari kamar mandi. Setelah meletakkan kopi di meja. Dia melepas apronnya, kemudian beranjak ke ruang tamu.
Walau tidak ada sekat antara dapur dan ruang tamu. Namun Ana yang fokus pada kegiatannya. Kini baru sadar jika wanita tadi adalah tamu Angga. Tapi kelihatannya, wanita tersebut sudah akan pulang. Terlihat dari tas ditangan wanita tersebut dan Angga yang mulai beranjak ke arah depan.
Niat Ana memberitahu bahwa makan malam sudah siap tertunda. Dia kembali ke dapur, membereskan alat masak yang belum sempat dia cuci.
“Lo masak apa?” Tanya Angga, seraya mendekati meja makan. “Wah kayaknya enak nih,” ucapnya menilai.
“Tamu Om udah pulang?” Tanya Ana sembari mengeringkan tangannya.
“Hem,” jawab Angga acuh. Masih memindai makanan dihadapannya.
“Baru juga mau gue tawarin makan malam bareng. Eh udah pulang,” katanya. Mulai mengambilkan sepiring makanan untuk Angga.
“Maksud lo?” Tanya Angga bingung. Karena tadi tidak fokus mendengarkan perkataan Ana.
“Makan bareng Om, sama Kakak tadi,” kata Ana. Meletakkan sepiring makanan dihadapan Angga.
Angga menatap Ana, yang masih mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Nih anak polos apa gimana?, tanyanya dalam hati. Tapi bener sih, gue nggak ada jelasin apa-apa soal Yuri, katanya dalam hati.
“Kenapa liat gue gitu banget?” Tanya Ana heran.
“Em nggak kok,” jawab Angga lalu mulai makan.
Mereka makan malam dengan hening. Hanya terdengar denting alat makan diruang tersebut. Setelah selesai Angga minum air putih, yang disiapkan Ana. Melihat Ana sudah selesai dan tampak membereskan bekas makan mereka.
Angga menikmati pemandangan tersebut dengan seksama, tanpa melepaskan tatapannya sedikitpun. Sambil menikmati kopi hangatnya. Memindahi lekuk tubuh Ana, yang tampak menggiurkan ketika sedang mencuci piring. Seringai nakal muncul, dasar eror otak lo Ga, batinnya dalam hati. Semakin melebarkan seringainya.
POV Angga
Ana masih muda, bahkan sangat muda untuk ukuran wanitanya. Hah, nikmat juga ternyata punya istri yang bisa merawatku. Masih dengan seringai menghias bibirnya.
Aku Angga Pradana Wiliam. Seorang lelaki matang diumur 32 tahun, harus terpaksa menikah. Dengan gadis SMA, yang masih berumur 20 tahun, Ana Pradipta Wiliam. Pikir sendiri, jarak tahun yang terbentang diantara kami.
Ini hari kedua setelah pernikahan kami. Dan yang aku rasakan adalah lebih banyak keuntungan dari pada kerugiannya.
Ana seperti remaja seusianya, atau dewasa awal. Mengingat Ana sudah masuk 20 tahun. Tapi dia masih terkesan lucu walau sedikit acuh. Dia terlihat menggemaskan, ketika sedang kesal saat aku goda. Membuatku kembali ingin menggodanya.
“An, bersihin kamar gue ya,” kataku ketika sudah disebelahnya.
“Siapa gue lo suruh kek gitu,” jawabnya ketus. Terlihat dia sudah menekuk wajahnya.
“Kata Mama, bibi yang biasa bersihin nih apartemen udah berhenti. Terus Mama bilang biar lo aja yang bersihin,” ujarku masih berdiri didekatnya.
Dia berdecak malas, lalu melangkah keluar dapur. Setelah mengeringkan tangannya. Melangkah kearah kamarku. Seringaiku terbit, tapi langsung aku normalkan. Ketika dia melirik sinis kearahku. Aku berjalan mendahuluinya menuju kamarku.
POV end.
Pintu kamar dibuka. Terlihat seberapa berantakan kamar Angga. Ana diam melihat kekacauan itu, menatap Angga yang tak merasa bersalah sedikitpun.
“Lo habis ngapain si Om, bisa berantakan kayak gini,” kata Ana sebal, sambil berkacak pinggang.
“Ya namanya juga cowok,” jawabnya singkat.
Ana menghela napas, lalu mulai membereskan kamar Angga. Meletakkan kaos dan celana dikeranjang kotor. Menata sprei lalu mengembalikan handuk ke kamar mandi. Melihat selimut yang sedikit basah, akibat tertimpa haduk basah. Membuat Ana harus mengganti selimut tersebut, dengan yang baru.
Selama Ana sibuk mondar mandir membereskan kamar. Angga hanya duduk santai disofa sebrang tempat tidur. Tanpa melepaskan pandangannya, dari tubuh molek Ana. Tatapan Angga menyorot dalam tubuh Ana. Yang hanya dilapisi tanktop dan celana pendek. Memperlihatkan bahu dan kaki jenjang yang putih mulus.
Angga keluar kamar, menyadari pikirannya sudah tak lagi jernih. Membayangkan rambut hitam nan panjang Ana terhampar diranjangnya. Dia meneguk segelas air hingga tandas. Duduk merenung dikursi meja makan.
“Om, udah aku beresin ya kamarnya,” suara Ana terdengar lantang. Menembus dinding apartemen.
Setelah cukup tenang Angga, lalu beranjak keluar. “Beres Na?” Tanya Angga. Melihat Ana kembali dari arah pintu depan.
“Ya.., Om kalau sampai tuh, sepatunya langsung taro dirak. Jangan ditaro sembarangan gitu,” omelnya panjang. Pipinya tampak mengembung lucu, ditambah wajah cemberut itu.
Angga tertawa, “Hehe iya kalau gue inget.”
“Ck, lo ya Om,” sungut Ana. Kemudian berlalu meninggalkan Angga ke kamar.
Angga masih tertawa sambil menggeleng. Bakal awet muda nih gue, batinnya. Selanjutnya beranjak masuk ke kamarnya.
Menutup pintu agak keras. Ana kemudian melangkah menuju meja belajarnya. Meredakan rasa kesalnya didadanya. Mengabaikan notifikasi di ponselnya. Ana mulai melihat pekerjaan rumahnya. Huufff, banyak batinnya. Mencari laporan sementara praktikum minggu kemarin. Lalu menyiapkan lembar laporannya. Ana menulis cepat dan teliti mendeskripsikan semua yang harus dia paparkan dalam lporannya. Karena harus menulis secara manual, membuat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya lebih lama. Walau terkesan rumit dan kompleks, tapi Ana suka dengan jurusan biogi. Makanya dia memutuskan masuk jurusan tersebut. Bersama dengan para sahabat yang sudah Ana kenal sejak SMA. Mencari bab yang membahas soal pratikum tumbuhan, lalu kembali menulis. Ketika dia mencari buku taksonomi t
Mobil Alpart tersebut menepi, tepat didepan gerbang kampus. Ana masih tetap menekuk wajahnya, membuat Angga terkekeh pelan. Tangan Ana sudah akan membuka pintu, namun ditahan oleh Angga. “Pamit dulu dong sama suaminya,” kata Angga. Yang membuat Ana semakin bad mood. Menghela napas, Ana kemudian meraih tangan kanan Angga ogah-ogahan. Mencium cepat punggung tangan Angga, lalu melepasnya. Namun tangan lembut tersebut tetap digenggam oleh Angga. “Jangan pulang malam-malam. Jangan pecicilan saat nggak ada gue,” mata Ana memicing tak suka. “Suka-suka mata gue, mau pecicilan atau nggak. Itu bukan urusan lo Om. Da
”Na lo dijemput,” tanya Vita ketika mereka berjalan bersama keluar. “Nggak Vit, naik taksi aja mungkin,” jawabnya. Dari arah lain Rama mendekati mereka. Menepuk pundak Ana, ketika mereka sudah bersisian. “Eh Ram,” ucap Ana pulih dari rasa kejutnya. “Pulang sama Rama aja Na, daripada naik taksi,” kata Tasya mengusulkan. “Kamu nggak bawa mobil sayang?” Tanya Rama. “Eh udah ya gaess, Ram jaga sahabat kita ya,” ucap Lira. Berpamitan sebelum masuk kedalam mobil. “Dah An,” ucap Han
Ana beranjak keluar kamar. Untuk mengambilkan baju ganti Angga. Beruntung kamar Anjar tidak dikunci, jadi bisa dengan mudah masuk. Segera keluar, setelah mengambil apa yang Ana butuhkan. Kembali ke kamar, meletakkan baju tersebut diatas ranjang. “Pas nggak ya, di pakek Kak Angga,” gumam Ana. Menatap baju tersebut sambil bersedekap. Mengendikan bahu, lalu kembali membereskan bukunya. Menata buku-bukunya kedalam kardus dan kotak. Angga keluar kamar mandi, dengan handuk melilit sebatas pinggangnya. Memperlihatkan abs, yang tampak menggiurkan untuk disentuh. Jangan lupa tato di atas dada kanan. Menggosok rambutnya yang basah. Ana tampak masih sibuk dengan bukunya.&
Keesokan paginya, Ana bangun lebih pagi seperti biasa. Mengacuhkan Angga yang masih tertidur pulas. Setelah mandi, dia memeriksa tugasnya yang tampak sudah rapi. Dan selesai tanpa terkecuali. Ana melirik Angga sekilas, menghela napas. Ana memasukan tugasnya ke tas ransel. Memastikan semua tugasnya sudah dia bawa. Duduk di tepi ranjang, melihat wajah damai Angga. Menepuk pipi Angga pelan. Berusaha membangunkan suaminya yang jago molor. “Bangun kak,” ujar Ana masih menepuk pelan pipi Angga. Mengerjabkan mata. Melihat wajah manis Ana, “An,” lirih Angga serak. “Udah siang kak. Aku tunggu dibawah ya,&r
Ana masuk apartemen lebih dulu, setelah di bukakan pintu oleh Angga. beranjak masuk ke kamarnya. Ana segera membersihkan diri, dengan sedikit cepat. Karena waktu sudah semakin malam. Angga bisa terlambat makan malam. Kalau Ana beraktivitas semakin lama. Selesai dengan membersihkan diri. Memakai piama panjang, menutupi setiap jengkal tubuhnya. Menggulung rambut panjangnya, lalu beranjak keluar menuju dapur. Memasak pasta carbonara untuk mereka berdua. Dengan cekatan Ana dapat menuntaskannya dengan cepat. Angga melangkah mendekati Ana. Ketika melihat sepiring besar pasta sudah tersaji di meja. Berdiri disebelah Ana, melihatnya masih meracik kopi. Angga tersenyum, mengusap lembut tengkuk Ana. Membuat y
Esok hari, ketika Ana keluar dengan ransel di tangannya. Angga sudah duduk di kursi meja makan. Telah rapi dengan setelan kantornya. Ana melirik sekilas, lalu meletakkan secangkir kopi hangat didepan Angga. Ana tidak membuka mulutnya sama sekali. Dengan diam mengambil sarapan untuk mereka. “Lo kaget liat gue udah rapi gini. Nggak lagi molor kayak biasanya,” ucap Angga. Ana menatap Angga, tapi tak mengeluarkan kalimat apapun. Angga tersenyum, melanjutkan sarapan. “Gue nggak mau liat lo ngomel tiap pagi An,” kata Angga sambil tersenyum. Setelah menyelesaikan sarapannya. “Syukur deh, kalau lo nyadar
Kelas hari ini sudah berakhir, Ana berjalan bersama Vita. Tak lama setelahnya disusul oleh yang lain. Melangkah bersisian, mereka kemudian terpisah di area parkiran. Kebetulan hari ini Hana bawa motor. Sebagai sahabat yang baik, Hana menawarkan diri untuk mengantar dan menemani Ana. Yang katanya akan berbelanja terlebih dahulu sebelum pulang. “Kita mau belanja dimana Na?” Tanya Hana, seraya memberikan helm pada Ana. “Supermarket aja kali ya, sekalian belanja bahan yang lain,” jawab Ana. “Oke,” balas Hana. Mulai melajukan motornya keluar area kampus. 
Sambil mengobrol, ibu dan menantu tersebut menyiapkan makan malam. Seperti sebuah reuni, Indira benar-benra bersuka cita menyambut kedatangan putra dan menantunya. Karena ini kunjungan pertama mereka setelah resmi menikah. Walau sempat tertunda, namun tak melunturkan kebahagiaan Indira. “Angga masih mandi An?” “Iya Ma,” Mulai menata hidangan dimeja makan. Henri, Papa Angga mulai bergabung dimeja makan. Melihat dihadapannya sudah tersaji berbagai makanan menggugah selera. Melengkungkan senyum tipis, melihat perempuan beda generasi tengah berbincang ria. Sudah seperti teman lama. Padahal seingatnya, Indira baru mengenal Ana. Tapi mereka bisa langsung akrab seperti ini. &nb
“Aku sudah sampai, kamu dimana An?” Sebuah pesan masuk, membuat Ana tidak lagi fokus pada obrolan Vita dan Tasya. Yang sibuk menceritakan bimbingan beberapa waktu lalu. “Gue balik dulu ya guys, kak Angga udah sampai katanya,” ujar Ana lalu membawa tasnya. Jangan lupa draft yang sudah penuh coretan Pak Hari. Tadi Ana sempat sedikit bercerita sikap dosen pembimbing pada para sahabatnya. Yang kemudian mendapat reaksi beragam dari mereka. Sekilas lebih banyak keterkejutan, beda dengan Rama yang datar saja mendengar cerita itu. Tidak memberi komentar lebih, tetapi menatap sedikit lama ke arah Ana. Yang jelas disadari oleh gadis itu. &
Vita sudah berpesan untuk menunggu di lobi apartemen saja. Padahal niatnya Ana ingin mengendarai mobilnya sendiri. Sebelumnya mereka kurang setuju jika hari ini mencari bahan. Karena pastinya mereka hanya akan sempat membeli bahan penelitian. Tidak sekaligus bisa hang out menjernihkan pikiran yang sudah kusut oleh proses penelitian dan bimbingan. Ana masih bersiap, setelah berendam air hangat dengan aroma terapi. Sedikit meringankan pikiran yang sebelumnya penat disebabkan Angga. Memakai dress selutut berlengan panjang. Dengan bahan yang dingin sungguh terasa nyaman memeluk kulitnya. Memakai make up natural seperti biasa, dia melirik lipstik baru yang belum pernah dipakai. Memakai lipstik warna marun yang cocok dengan hitam rambutnya. Memindahi penampilannya di depan cermin. &
Mendengar dering panggilan, Angga hanya melirik ponselnya yang tergeletak dinakas. Tanpa ada niat untuk melihat dari mana panggilan itu berasal. Ponsel itu kembali berdering, mendengus malas. Akhirnya Angga meraih ponselnya dengan penampilan yang masih berantakan. Kancing kemeja belum terpasang sempurna, apalagi dasi. Dasinya masih terlipat rapi diatas ranjang. Menggeser tanda hijau, sambil berlalu keluar dengan jas dan tas kerja di tangannya. Dia lebih terlihat seksi dengan tampilan berantakan seperti itu. ”Iya Dinar,” sapanya selagi berjalan mendekati meja makan. Meletakkan tas kerja dan jasnya di kursi. Ana melirik Angga yang masih berantakan, sambil menerima telpon. Melanjutkan pekerjaannya, menata hidangan di meja makan. Ana tinggal menunggu air
Menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, Angga sesekali melirik Ana yang sudah terlelap. Tidak pernah terbayang jika Ana akan bermalam dikamarnya. Yang bahkan sebelumnya gadis itu tidak pernah tinggal setelah menyelesaikan urusannya. Bibirnya sedikit melengkung, ditengah kesunyian hanya ditemani suara ketikan keyboard. Hampir tengah malam ketika Angga selesai, membereskan berkas-berkasnya. Menatanya dimeja untuk besok dibawa ke kantor. Melangkah mendekati ranjang, Angga seakan belum percaya dengan pemandangan ini. Dengan lelap Ana tidur, menghadap ke arahnya. Angga bergerak naik, ikut bergabung disamping Ana. Berhadapan tepat, mereka berada dalam balutan selimut yang sama. Angga tidak bisa menjelaskan euforia dalam hatinya. Meski dalam diam, dia terus menatap istrinya lekat. Memastikan bahwa sosok didepan matanya ini nyata, bukan hayalan.
Mengartikan apa yang dia rasakan. Ana menikmati ritme detakan ini. Ikut menghangatkan suasana antara keduanya. Sampai kilasan para wanita yang dibawa Angga ke apartemen. Mengganggu pikiran sekaligus menyentil hatinya. Mendorong dada itu sampai tercipta jarak antara keduanya. Pandangan mereka saling menumbuk. Sungguh ada banyak tanya dalam hati Ana. Yang selama ini hanya berlalu, tanpa ingin diungkapkan. Berpikir semua itu bukan menjadi urusannya. Tapi setelah Angga menjelaskan demikian. Seakan menganggap kehadirannya adalah penting bagi kehidupan laki-laki itu. Membuatnya memikirkan kembali semua sikap acuhnya selama ini. “Apakah Nabila hanyalah sebatas mantan kekasih?” Tanya Ana seraya menaikkan salah satu alisnya. Mencoba tidak menunjukan keingintahuan yang mencolok.
Angga masih memperhatikan Ana, yang kini memalingkan mukanya. Menghindari tatapan mata Angga. Seakan ada kebingungan pada kilasan pandangan Ana. Baiklah Ana masih butuh waktu, katanya dalam hati. Melepaskan genggaman tangannya. Menoleh pelan. Ana memandang bertanya Angga. Tapi dia tak kunjung mengeluarkan suara. Perlahan sebelah tangan Angga meraih bandul kalungnya. Mengamati benda tersebut, lalu kembali menatapnya. “Lanjutkan masaknya. Aku akan membersihkan diri dulu,” ucapnya kemudian melepaskan bandul itu. Angga beranjak setelah mengelus puncak kepala Ana. Menimbulkan tanya di hati Ana, walau terlalu sulit untuk menerka. Sikap seperti apa itu? tanyannya dalam
Bertepatan tanggal merah, di hari Jum’at. Para sahabat Ana sudah dalam perjalanan menuju ke apartemen. Angga sudah berangkat untuk menghadiri meeting. Memang hari libur, tapi tampaknya tidak berpengaruh pada laki-laki itu. Dia tetap ada jadwal kerja. Ana sudah membuat beberapa camilan untuk sahabat-sahabatnya. Belajar tanpa ditemani camilan berasa ada yang kurang. Menata camilan dan es di meja ruang santai. Ruangan ini jarang terpakai. Karena para penghuni apartemen, yang lebih sering beraktivitas dalam kamar. Atau memang jarang berada di apartemen. Bell disertai ketukan pintu terdengar. Ana segera melangkah untuk membuka pintu. Menyambut para sahabatnya dengan senyum senang. Mempersilahkan mereka untuk masuk.  
Lama berkutat dengan tugas. Tepat pukul sebelas Ana berhasil menyelesaikannya. Tetap dibantu oleh Angga. Meskipun setelah menerima pesan dari Gio. Ana menjadi pendiam. Ana tidak bereaksi apapun. Setelah mereka bertatapan lama. Dia yang memutus kontak mata itu. Angga yakin, Ana pasti mendengar gumamannya. Angga masih duduk di tepi ranjang. Mengamati Ana yang sedang membereskan meja belajarnya. “Makasih Kakak udah mau bantuin aku,” ujar Ana. Dengan posisi membelakangi Angga. Angga tidak membalas. Angga sedang berpikir, apakah ini saat yang tepat untuk menjelaskan tentang Yuri dan Nabila. Tapi ini sudah terlalu larut, batin Angga. Ana harus segera istirahat. Angga sempat me