Menutup pintu agak keras. Ana kemudian melangkah menuju meja belajarnya. Meredakan rasa kesalnya didadanya. Mengabaikan notifikasi di ponselnya. Ana mulai melihat pekerjaan rumahnya. Huufff, banyak batinnya. Mencari laporan sementara praktikum minggu kemarin. Lalu menyiapkan lembar laporannya. Ana menulis cepat dan teliti mendeskripsikan semua yang harus dia paparkan dalam lporannya. Karena harus menulis secara manual, membuat waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya lebih lama.
Walau terkesan rumit dan kompleks, tapi Ana suka dengan jurusan biogi. Makanya dia memutuskan masuk jurusan tersebut. Bersama dengan para sahabat yang sudah Ana kenal sejak SMA.
Mencari bab yang membahas soal pratikum tumbuhan, lalu kembali menulis. Ketika dia mencari buku taksonomi tumbuhan. Ana baru ingat, jika tidak semua bukunya ikut terbawa waktu pindah kesini. Tidak kehabisan akal, Ana kemudian menyalakan laptopnya. Dia mencari jurnal yang membahas taksonomi.
Setelah lama berkutat dengan lembar-lembar laporannya, akhirnya selesai juga. Ana menyatukan lembar-lembar tersebut dengan klip. Lalu menyimpannya di map putih bening. Dia melihat jam sudah diangka 9, tapi pekerjaan rumahnya masih banyak.
“Ana lo pasti bisa,” gumamnya pada diri sendiri. Kemudian mulai mengerjakan bab skripsi yang harus dia revisi. Yang akan dia serahkan untuk bimbingan besok.
Tepat sebelum jam menunjuk angka 12. Ana sudah merampungkan seluruh pekerjaan rumahnya. Tentu saja dengan sedikit bantuan dari Rama, teman sekaligus kekasih Ana. Mereka berada dijurusan yang sama, jadi bisa saling membantu dalam hal akademik. Contohnya soal revisi habis-habis hari ini. Tentang molekuler dan lain-lain. Cukup menguras tenaga dan kesabaran Ana.
“Ingat Ana, besok ambil buku ke rumah nggak boleh lupa,” ujurnya. Mengingatkan diri sendiri, sembari mengatur alarm di jam 5 pagi. Menghela napas, setelah berbaring di ranjang kamar barunya. Memandang langit-langit kamar, yang dilukis paronama langit. Membuatnya sedikit rileks. Mulai sekarang harus terbiasa mandiri, batinnya.
POV Ana.
“Kalau biasanya semuanya disiapin Mama. Sekarang gue harus bisa apa-apa sendiri,” gumamnya. Bercerita, dengan boneka kelinci kecil dihadapannya.
“Hem, kenapa ya Mama nikahin aku tiba-tiba kayak gini?” gumamnya lagi. “Sama Om tua modelan kayak Angga lagi,” katanya kini lebih jelas. “Huffft, rasanya kayak gini ya jadi istri,” ucapnya cemberut. “Ini aja belum semuanya, belum tugas-tugas istri yang lain,” ucapnya lirih, dengan mata berkaca-kaca. “Nggak lagi deh gue nakal, kalau jadi istri seberat ini,” katanya lirih, meluruhkan setetes air mata. Berkali-kali Ana menguap, lalu terlelap dengan boneka kelinci dalam pelukannya.
POV end.
Angga sedikit mendorong pintu kamar Ana hingga terbuka. Terlihat gadis tersebut sudah tidur seperti bayi, meringkuk lucu. Dia mengulas senyum tipis, lega. Dia sempat mengira Ana belum tidur, karena mendengar suara percakapan antara dua orang. Dengan sepelan mungkin, dia menutup kembali pintu kamar Ana.
Melangkah menuju kamarnya sendiri. Duduk ditepi ranjang, kemudian menyimpan ponselnya diatas nakas. Dia melihat potret pernikahannya, yang disimpan Mamanya dalam sebuah pigora. Beruntung dia memang tidak menyimpan foto Yuri. Dia bahkan tak yakin menyimpan foto wanita itu dalam ponsel. Bisa repot kalau Ana tau ada foto wanita lain dikamarnya. Walau hampir setahun menjalani hubungan, tapi Angga belum menganggap Yuri salah satu orang penting dihidupnya. Terlalu banyak kejanggalan membuatnya enggan, hanya untuk menyimpan selembar fotonya.
Berbaring lalu menyelimuti tubuhnya. Menatap langit-langit kamar berhias bintang. Menatap langit malam, selalu dapat menenangkannya. Entahlah apa yang dia pikirkan, yang pasti. Sebelum dia jatuh dalam arus mimpi. Dia melihat siluet gadis cantik tersenyum ke arahnya.
.
Esok hari Ana terbangun dengan kantuk yang masih menggelayuti matanya. Memaksa tubuh untuk bangun, meraih alarm dan mematikannya. Seperti hari sebelumnya, dia memasak kemudian menyiapkan bekal untuk Angga. Beserta termos kecil, yang nanti diisi kopi kesukaan Angga. Dia mengetahui sebagian kebiasaan Angga dari mertuanya, Mama Indira.
Selesai kemudian berlalu cepat menuju kamarnya. Mandi dengan sabun aroma mawar kesukaannya. Kemudian memakai seragamnya, sedikit make up natural diwajah membuatnya tampak segar dan cerah. Meletakkan tas ranselnya di kursi makan. Lalu mendekat kearah kamar Angga.
“Kakak,” panggilnya seraya mengetuk pintu.
Berulang kali dia memanggil disertai ketukan. Belum juga mendapat sahutan dari si punya kamar. Dia membuka pintu kamar Angga pelan. Masih terlihat Angga meringkuk dalam selimut.
“ Om, lo hobi banget si molornya,” omelnya. Mendekat meraih alarm, untuk dimatikan lalu menyingkap selimut.
“Ck,” Ana berdecak lalu duduk disisi tempat tidur. “Om bangun dong, kebo banget si,” gerutunya, sambil menepuk-nepuk pipi Angga.
“Hm, apaan si lo, pagi-pagi udah berisik aja,” ucap Angga serak, khas bangun tidur.
Jika dalam keadaan lain, mungkin Ana akan merinding mendengar nada serak maskulin tersebut. Tapi tidak saat ini, karena Angga sudah menyulut emosinya di pagi hari.
“Om tuh ya kebo banget. Makasih kek udah dibangunin, malah balik ngomel,” balas Ana kesal. Secepat kilat Ana keluar dari kamar tersebut, dengan sedikit menghentak kaki.
“Ck, bocah,” dengan sedikit kesal dia memaksa tubuhnya bangun.
Melirik jam diatas nakas, Angga kembali berdecak lalu segera membersihkan diri secepat mungkin. Keluar dari kamar mandi, dia segera memilih setelan kerja untuknya.
POV Ana.
“Om tua nyebelin, besok gue ogah bangunin dia. Biarin aja kesiangan,” omelnya sepanjang melangkah menuju meja makan.
Melirik tas bekal diatas meja kembali menyulut kekesalannya, “Dasar Om tua.” Teriaknya, menyalurkan kekesalannya.
Kemudian kembali melanjutkan sarapan paginya. Setelah Ana membereskan bekas makannya. Terlihat Angga mendekat sudah siap menuju kantor. Ana tampak acuh, meraih tas ranselnya. Namun sebelum dia dapat beranjak, langkahnya dihadang oleh tubuh jangkung Angga.
Ana berdecak malas, lalu melangkah ke sisi lain. Namun kembali dihadang oleh Angga. “Lo maunya apa sih Om,” katanya ketus. Tidak ingin kembali emosi dihadapan Angga.
Angga memandangi wajah menggemaskan dihadapannya. Pagi-pagi sudah disambut omelan dari bidadari kecil, batinnya . Dengan gerakan cepat dia meraih wajah Ana. Lalu mencium bibirnya lembut. Hanya sesaat lalu menjauh, mengamati kembali wajah bidadarinya.
“Om habis ngapain?” Lirih Ana. Menatap dada bidang berbalut jas dihadapannya.
“Ngomel lagi gue cium,” kata Angga. Setengah menyeringai menikmati keterdiaman gadis didepannya.
“Ih Om resek banget si,” omel Ana lagi dengan memukul dada Angga.
Ana memukul Angga bertubi-tubi yang hanya dibalas tawa puas. “Udah dong, Ana,” katanya. Masih sambil menerima berbagai pukulan dari tangan kecil Ana.
Ana berhenti, terlihat ngos-ngosan. Kemudian menuang segelas air untuknya. Menghabiskannya dengan sekali teguk. Kembali menghadap Angga dengan mata memicing.
“Itu firs kiss lo kan?” tanya Angga. Menaik turunkan alisnya menggoda.
“Ih Om,” kembali Ana berteriak kesal.
Tanpa banyak bicara Angga menarik tangan Ana, meraih tas bekal. Walaupun Ana menolak keras, tapi Angga tetap bersikeras mengantarnya kekampus.
Mobil Alpart tersebut menepi, tepat didepan gerbang kampus. Ana masih tetap menekuk wajahnya, membuat Angga terkekeh pelan. Tangan Ana sudah akan membuka pintu, namun ditahan oleh Angga. “Pamit dulu dong sama suaminya,” kata Angga. Yang membuat Ana semakin bad mood. Menghela napas, Ana kemudian meraih tangan kanan Angga ogah-ogahan. Mencium cepat punggung tangan Angga, lalu melepasnya. Namun tangan lembut tersebut tetap digenggam oleh Angga. “Jangan pulang malam-malam. Jangan pecicilan saat nggak ada gue,” mata Ana memicing tak suka. “Suka-suka mata gue, mau pecicilan atau nggak. Itu bukan urusan lo Om. Da
”Na lo dijemput,” tanya Vita ketika mereka berjalan bersama keluar. “Nggak Vit, naik taksi aja mungkin,” jawabnya. Dari arah lain Rama mendekati mereka. Menepuk pundak Ana, ketika mereka sudah bersisian. “Eh Ram,” ucap Ana pulih dari rasa kejutnya. “Pulang sama Rama aja Na, daripada naik taksi,” kata Tasya mengusulkan. “Kamu nggak bawa mobil sayang?” Tanya Rama. “Eh udah ya gaess, Ram jaga sahabat kita ya,” ucap Lira. Berpamitan sebelum masuk kedalam mobil. “Dah An,” ucap Han
Ana beranjak keluar kamar. Untuk mengambilkan baju ganti Angga. Beruntung kamar Anjar tidak dikunci, jadi bisa dengan mudah masuk. Segera keluar, setelah mengambil apa yang Ana butuhkan. Kembali ke kamar, meletakkan baju tersebut diatas ranjang. “Pas nggak ya, di pakek Kak Angga,” gumam Ana. Menatap baju tersebut sambil bersedekap. Mengendikan bahu, lalu kembali membereskan bukunya. Menata buku-bukunya kedalam kardus dan kotak. Angga keluar kamar mandi, dengan handuk melilit sebatas pinggangnya. Memperlihatkan abs, yang tampak menggiurkan untuk disentuh. Jangan lupa tato di atas dada kanan. Menggosok rambutnya yang basah. Ana tampak masih sibuk dengan bukunya.&
Keesokan paginya, Ana bangun lebih pagi seperti biasa. Mengacuhkan Angga yang masih tertidur pulas. Setelah mandi, dia memeriksa tugasnya yang tampak sudah rapi. Dan selesai tanpa terkecuali. Ana melirik Angga sekilas, menghela napas. Ana memasukan tugasnya ke tas ransel. Memastikan semua tugasnya sudah dia bawa. Duduk di tepi ranjang, melihat wajah damai Angga. Menepuk pipi Angga pelan. Berusaha membangunkan suaminya yang jago molor. “Bangun kak,” ujar Ana masih menepuk pelan pipi Angga. Mengerjabkan mata. Melihat wajah manis Ana, “An,” lirih Angga serak. “Udah siang kak. Aku tunggu dibawah ya,&r
Ana masuk apartemen lebih dulu, setelah di bukakan pintu oleh Angga. beranjak masuk ke kamarnya. Ana segera membersihkan diri, dengan sedikit cepat. Karena waktu sudah semakin malam. Angga bisa terlambat makan malam. Kalau Ana beraktivitas semakin lama. Selesai dengan membersihkan diri. Memakai piama panjang, menutupi setiap jengkal tubuhnya. Menggulung rambut panjangnya, lalu beranjak keluar menuju dapur. Memasak pasta carbonara untuk mereka berdua. Dengan cekatan Ana dapat menuntaskannya dengan cepat. Angga melangkah mendekati Ana. Ketika melihat sepiring besar pasta sudah tersaji di meja. Berdiri disebelah Ana, melihatnya masih meracik kopi. Angga tersenyum, mengusap lembut tengkuk Ana. Membuat y
Esok hari, ketika Ana keluar dengan ransel di tangannya. Angga sudah duduk di kursi meja makan. Telah rapi dengan setelan kantornya. Ana melirik sekilas, lalu meletakkan secangkir kopi hangat didepan Angga. Ana tidak membuka mulutnya sama sekali. Dengan diam mengambil sarapan untuk mereka. “Lo kaget liat gue udah rapi gini. Nggak lagi molor kayak biasanya,” ucap Angga. Ana menatap Angga, tapi tak mengeluarkan kalimat apapun. Angga tersenyum, melanjutkan sarapan. “Gue nggak mau liat lo ngomel tiap pagi An,” kata Angga sambil tersenyum. Setelah menyelesaikan sarapannya. “Syukur deh, kalau lo nyadar
Kelas hari ini sudah berakhir, Ana berjalan bersama Vita. Tak lama setelahnya disusul oleh yang lain. Melangkah bersisian, mereka kemudian terpisah di area parkiran. Kebetulan hari ini Hana bawa motor. Sebagai sahabat yang baik, Hana menawarkan diri untuk mengantar dan menemani Ana. Yang katanya akan berbelanja terlebih dahulu sebelum pulang. “Kita mau belanja dimana Na?” Tanya Hana, seraya memberikan helm pada Ana. “Supermarket aja kali ya, sekalian belanja bahan yang lain,” jawab Ana. “Oke,” balas Hana. Mulai melajukan motornya keluar area kampus. 
Pagi hari Ana sudah beraktivitas seperti biasa. Bangun subuh, memasak dan menyiapkan keperluan untuk dibawa ke kampus. Sengaja tidak membangunkan Angga. Ana sudah menyiapkan sarapan dan bekal makan siang untuk Angga. Tertata rapi di sisi lain meja makan. Masih terlalu pagi untuk berangkat ke kampus. Kelasnya baru akan dimulai beberapa jam lagi. Tapi Ana harus berangkat lebih dulu sebelum Angga siap. Meninggalkan beberapa stiki note didekat sarapan. Dan lainnya disisipkan dalam tas bekal. Ana berangkat ke kampus tanpa mempedulikan Angga. Dengan acuh Ana meninggalkan apartemen. Setengah jam selanjutnya Angga baru bangun. Melihat jam, dia kesiangan rupanya. Mengusak rambut frustasi, Angga segera berlalu ke kamar mandi. &nbs
Sambil mengobrol, ibu dan menantu tersebut menyiapkan makan malam. Seperti sebuah reuni, Indira benar-benra bersuka cita menyambut kedatangan putra dan menantunya. Karena ini kunjungan pertama mereka setelah resmi menikah. Walau sempat tertunda, namun tak melunturkan kebahagiaan Indira. “Angga masih mandi An?” “Iya Ma,” Mulai menata hidangan dimeja makan. Henri, Papa Angga mulai bergabung dimeja makan. Melihat dihadapannya sudah tersaji berbagai makanan menggugah selera. Melengkungkan senyum tipis, melihat perempuan beda generasi tengah berbincang ria. Sudah seperti teman lama. Padahal seingatnya, Indira baru mengenal Ana. Tapi mereka bisa langsung akrab seperti ini. &nb
“Aku sudah sampai, kamu dimana An?” Sebuah pesan masuk, membuat Ana tidak lagi fokus pada obrolan Vita dan Tasya. Yang sibuk menceritakan bimbingan beberapa waktu lalu. “Gue balik dulu ya guys, kak Angga udah sampai katanya,” ujar Ana lalu membawa tasnya. Jangan lupa draft yang sudah penuh coretan Pak Hari. Tadi Ana sempat sedikit bercerita sikap dosen pembimbing pada para sahabatnya. Yang kemudian mendapat reaksi beragam dari mereka. Sekilas lebih banyak keterkejutan, beda dengan Rama yang datar saja mendengar cerita itu. Tidak memberi komentar lebih, tetapi menatap sedikit lama ke arah Ana. Yang jelas disadari oleh gadis itu. &
Vita sudah berpesan untuk menunggu di lobi apartemen saja. Padahal niatnya Ana ingin mengendarai mobilnya sendiri. Sebelumnya mereka kurang setuju jika hari ini mencari bahan. Karena pastinya mereka hanya akan sempat membeli bahan penelitian. Tidak sekaligus bisa hang out menjernihkan pikiran yang sudah kusut oleh proses penelitian dan bimbingan. Ana masih bersiap, setelah berendam air hangat dengan aroma terapi. Sedikit meringankan pikiran yang sebelumnya penat disebabkan Angga. Memakai dress selutut berlengan panjang. Dengan bahan yang dingin sungguh terasa nyaman memeluk kulitnya. Memakai make up natural seperti biasa, dia melirik lipstik baru yang belum pernah dipakai. Memakai lipstik warna marun yang cocok dengan hitam rambutnya. Memindahi penampilannya di depan cermin. &
Mendengar dering panggilan, Angga hanya melirik ponselnya yang tergeletak dinakas. Tanpa ada niat untuk melihat dari mana panggilan itu berasal. Ponsel itu kembali berdering, mendengus malas. Akhirnya Angga meraih ponselnya dengan penampilan yang masih berantakan. Kancing kemeja belum terpasang sempurna, apalagi dasi. Dasinya masih terlipat rapi diatas ranjang. Menggeser tanda hijau, sambil berlalu keluar dengan jas dan tas kerja di tangannya. Dia lebih terlihat seksi dengan tampilan berantakan seperti itu. ”Iya Dinar,” sapanya selagi berjalan mendekati meja makan. Meletakkan tas kerja dan jasnya di kursi. Ana melirik Angga yang masih berantakan, sambil menerima telpon. Melanjutkan pekerjaannya, menata hidangan di meja makan. Ana tinggal menunggu air
Menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, Angga sesekali melirik Ana yang sudah terlelap. Tidak pernah terbayang jika Ana akan bermalam dikamarnya. Yang bahkan sebelumnya gadis itu tidak pernah tinggal setelah menyelesaikan urusannya. Bibirnya sedikit melengkung, ditengah kesunyian hanya ditemani suara ketikan keyboard. Hampir tengah malam ketika Angga selesai, membereskan berkas-berkasnya. Menatanya dimeja untuk besok dibawa ke kantor. Melangkah mendekati ranjang, Angga seakan belum percaya dengan pemandangan ini. Dengan lelap Ana tidur, menghadap ke arahnya. Angga bergerak naik, ikut bergabung disamping Ana. Berhadapan tepat, mereka berada dalam balutan selimut yang sama. Angga tidak bisa menjelaskan euforia dalam hatinya. Meski dalam diam, dia terus menatap istrinya lekat. Memastikan bahwa sosok didepan matanya ini nyata, bukan hayalan.
Mengartikan apa yang dia rasakan. Ana menikmati ritme detakan ini. Ikut menghangatkan suasana antara keduanya. Sampai kilasan para wanita yang dibawa Angga ke apartemen. Mengganggu pikiran sekaligus menyentil hatinya. Mendorong dada itu sampai tercipta jarak antara keduanya. Pandangan mereka saling menumbuk. Sungguh ada banyak tanya dalam hati Ana. Yang selama ini hanya berlalu, tanpa ingin diungkapkan. Berpikir semua itu bukan menjadi urusannya. Tapi setelah Angga menjelaskan demikian. Seakan menganggap kehadirannya adalah penting bagi kehidupan laki-laki itu. Membuatnya memikirkan kembali semua sikap acuhnya selama ini. “Apakah Nabila hanyalah sebatas mantan kekasih?” Tanya Ana seraya menaikkan salah satu alisnya. Mencoba tidak menunjukan keingintahuan yang mencolok.
Angga masih memperhatikan Ana, yang kini memalingkan mukanya. Menghindari tatapan mata Angga. Seakan ada kebingungan pada kilasan pandangan Ana. Baiklah Ana masih butuh waktu, katanya dalam hati. Melepaskan genggaman tangannya. Menoleh pelan. Ana memandang bertanya Angga. Tapi dia tak kunjung mengeluarkan suara. Perlahan sebelah tangan Angga meraih bandul kalungnya. Mengamati benda tersebut, lalu kembali menatapnya. “Lanjutkan masaknya. Aku akan membersihkan diri dulu,” ucapnya kemudian melepaskan bandul itu. Angga beranjak setelah mengelus puncak kepala Ana. Menimbulkan tanya di hati Ana, walau terlalu sulit untuk menerka. Sikap seperti apa itu? tanyannya dalam
Bertepatan tanggal merah, di hari Jum’at. Para sahabat Ana sudah dalam perjalanan menuju ke apartemen. Angga sudah berangkat untuk menghadiri meeting. Memang hari libur, tapi tampaknya tidak berpengaruh pada laki-laki itu. Dia tetap ada jadwal kerja. Ana sudah membuat beberapa camilan untuk sahabat-sahabatnya. Belajar tanpa ditemani camilan berasa ada yang kurang. Menata camilan dan es di meja ruang santai. Ruangan ini jarang terpakai. Karena para penghuni apartemen, yang lebih sering beraktivitas dalam kamar. Atau memang jarang berada di apartemen. Bell disertai ketukan pintu terdengar. Ana segera melangkah untuk membuka pintu. Menyambut para sahabatnya dengan senyum senang. Mempersilahkan mereka untuk masuk.  
Lama berkutat dengan tugas. Tepat pukul sebelas Ana berhasil menyelesaikannya. Tetap dibantu oleh Angga. Meskipun setelah menerima pesan dari Gio. Ana menjadi pendiam. Ana tidak bereaksi apapun. Setelah mereka bertatapan lama. Dia yang memutus kontak mata itu. Angga yakin, Ana pasti mendengar gumamannya. Angga masih duduk di tepi ranjang. Mengamati Ana yang sedang membereskan meja belajarnya. “Makasih Kakak udah mau bantuin aku,” ujar Ana. Dengan posisi membelakangi Angga. Angga tidak membalas. Angga sedang berpikir, apakah ini saat yang tepat untuk menjelaskan tentang Yuri dan Nabila. Tapi ini sudah terlalu larut, batin Angga. Ana harus segera istirahat. Angga sempat me