Kuhampiri Mas Haris yang sedari tadi menepuk tangan dan kakinya karena nyamuk yang hinggap. Laki-laki itu masih tetap berada di depan pintu selama beberapa waktu.
“Mas, kita pulang saja, ya!“ ucapku padanya tak tega.
“Loh kenapa? Kan, makan-makannya belum mulai, Dik.“
“Kita gak usah ikut. Yang penting udah datang.“
“Kamu kasihan sama, Mas?“
Aku mengigit bibir dengan mata berkaca. Mas Haris tahu keresahanku.
“Kalau kita pulang sekarang Bapak bakalan sedih karena anaknya pulang cepat. Bapak pasti masih rindu sama Mira.“
“Tapi Bapak seperti tak peduli. Mereka juga terus menghasutku untuk meninggalkan Mas. Aku tak tahan lagi, mau pulang Mas.“
“Sebentar lagi ya! Gak enak sama keluarga kamu. Nanti Mas juga yang dianggap salah karena kita pulang duluan.“
Mau tak mau aku mengangguk, perkataan Mas Haris ada benarnya. Sudah cukup selama ini mereka membenci Mas Haris, jangan sampai karena keegoisanku rasa benci Bapak dan Ibu pada Mas Haris semakin memupuk.
“Mas mau shalat maghrib di masjid?“
“Iya, kamu di sini saja ya!“
Aku mengangguk, “Jangan lama-lama.“
“Iya.“
***
Satu jam berlalu dan maghrib telah lewat dan aku juga telah selesai shalat, tapi Mas Haris tak kunjung kembali ke rumah Bapak. Ponselnya juga tak aktif meski aku berulangkali mencoba memanggil.
Makan-makan bersama keluarga sudah dimulai. Aku duduk dengan perasaan tak tenang. Kuputuskan untuk bangkit dari meja makan dan beranjak ke depan rumah.
“Mira mau ke mana?“ Kak Ita memanggil membuat langkahku terhenti.
“Mau ke depan, Kak, lihat Mas Haris. Sampai sekarang belum juga datang ke sini.“
“Udahlah biarin aja! Bapak nunggu kamu dari tadi tuh nyariin.“
“Tapi kak ….“
“Mungkin suamimu pulang ke rumah karena minder kali, secara tukang tahu makan di rumah orang kaya. Gak bisa pasti makan-makanan enak,” celetuk Dewi asal.
Aku menggeleng, mencoba mengabaikan mereka, berjalan menuju ke depan rumah meski Kak Ita terus memanggiliku. Perasaanku mulai tak enak. Saat sampai di pekarangan kulihat David berjalan dari pintu pagar dan kami berpapasan.
“David, kamu lihat Mas Haris di depan sana?“ tanyaku padanya.
“Gak ada.“
Aku berdecak, berjalan melewatinya. Lagi-lagi David dengan lancang menahan tanganku. Geram, kutepis tangannya dengan kuat.
“Jangan sembarangan menyentuhku David, aku sudah bersuami, dan kamu tahu kita bukan mahram.“
“Aku tahu, tak perlu berkoar-koar aku tahu kamu sudah punya suami.“
“Lantas kenapa kamu tetap melewati batas, Dav? Aku sudah bersuami dan kamu sudah beristri. Dewi juga sepupuku, cobalah untuk bersikap biasa saja. Aku tak ingin Dewi menganggapku bermain belakang dengan suaminya.“
“Aku masih menyukaimu, Mir, sampai sekarang.“
“Kamu uda gila?“
“Ya, aku memang udah gila. Andai dulu kamu menikah denganku, bukan dengan tukang tahu itu.“
“Namanya Mas Haris, dia punya nama.“
“Aku gak peduli, toh dia tetap tukang tahu, kan?“
Aku berdecak, menatapnya dengan tajam karena nada bicaranya terkesan merendahkan Mas Haris.
Oke, aku tahu dia kaya raya. David mewarisi perusahaan sabun milik papanya. Dia juga punya beberapa hektar kebun sawit. Namun, itu tak lantas membuatnya bisa menghina pekerjaan seseorang.
Hal ini yang selalu tak kusuka darinya meski dulu Bapak dan Ibu berusaha menjodohkanku dengannya diiming-imingi hidup enak dan tenang karena David kaya raya.
Dia memang kaya harta, sayang akhlaknya minus. Itu yang membuatku tak menyukainya dan lebih memilih Mas Haris.
“Tukang tahu atau tukang-tukang yang lain. Yang jelas dia tetap suamiku, minggir!“ ucapku penuh penekanan dan mencoba melewatinya. Bukannya menurut, saat aku berjalan ke kanan David juga ke kanan begitu juga sebaliknya.
“David, apa sih maumu?“ seruku tak sabar. Aku harus mencari Mas Haris secepat mungkin karena perasaanku mulai tak enak sekarang.
“Aku ingin menikah denganmu.“
David menarik tanganku, memaksa untuk memeluk walau aku meronta. David gila, dia sudah tidak waras.
Bugh!“
Tubuh David terhuyung ke samping dan terkapar di halaman saat tiba-tiba Mas Haris muncul dan meninju wajahnya. Tubuhku ditarik Mas Haris dan laki-laki itu melihatku lekat.
“Kamu gak apa-apa, Dik?“ tanyanya cemas sembari memegang kedua pundakku. Aku menggeleng dan melihat sesuatu yang aneh di wajah Mas Haris. Wajahnya penuh dengan lebam.
“Mas, kamu ken—”
“Brengsek! Kenapa lo bisa lolos?“ David berteriak nyaring sembari memegangi pipi. Kulihat darah mengalir di sudut bibirnya.
Mas Haris menarikku untuk berdiri di belakang tubuhnya saat David berjalan mendekat.
“Kamu lancang! Itu saja belum cukup untukmu. Jangan pernah dekati istriku, seharusnya kamu sadar kalau kamu sudah punya istri, David!“ Mas Haris berucap keras, wajahnya memerah dengan urat leher menonjol. Baru kali ini kulihat dia bertingkah begitu.
“Haris! Apa yang kamu lakukan? Beraninya kamu memukul menantuku!“
“Astaga, Mas David!“
Aku memejam saat mendengar suara nyaring Ibu dan jeritan Dewi. Lalu semua orang mulai datang dan menghampiri kami. Lebih tepatnya menodong Mas Haris seolah-olah dialah yang paling salah di sini.
“Tanyakan padanya, apa yang dia lakukan pada istriku!“
“Istrimu? Seharusnya terbalik, aku yang bertanya apa yang dia lakukan pada suamiku. Dia pasti menggoda David, kan, ngaku kamu Mira?“ Dewi berucap histeris.
“Benar, itu, Mira?“
“Ibu percaya padanya?“ tanyaku tak percaya.
“Kali saja kamu kekurangan uang dan berusaha mendekati suamiku, kan? Suami kamu yang cuma tukang tahu ini gak berikan kamu uang yang cukup.“
“Wi—“
“Jaga mulutmu sebelum aku merobeknya!“ Mas Haris memotong ucapanku. Genggamannya semakin mengerat, aku tahu dia sedang sangat marah saat ini. Dewi terlihat takut, ia langsung mengatupkan bibirnya melihat Mas Haris bersuara.
“Jangan menjadi sok jagoan kamu Haris. Seharusnya kamu sadar kalau apa yang dikatakan Dewi itu benar. Kamu cuma tukang tahu, apa yang bisa kamu andalkan. Cukup kamu menghidupi anakku sampai sekarang?“
Aku terpancing, membuka mulut ingin menjawab perkataan Ibu, namun Mas Haris menahanku. Laki-laki menggeleng pelan.
“Walau aku cuma tukang tahu, aku tak pernah membiarkan Mira hidup kekurangan, Bu. Seharusnya Ibu bisa mengetahui hal itu saat melihat kehidupan kami. Apa pernah kami tidak makan satu harian? Tidak, Bu. Aku menjaganya karena dia tanggung jawabku. Lagipula apa masalahnya menjadi tukang tahu? Itu pekerjaan halal.“
“Sudah berani menjawab kamu sama Ibu, Haris? Kamu tahu, ini Ibu mertua kamu?“
“Saya tahu Kak Ita, tapi saat ini harga diri saya sebagai suami sedang dipertaruhkan. Menjadi tukang tahu bukan hal yang memalukan. Saya juga harus menyelamatkan istri saya dari laki-laki busuk yang terobsesi dengan istri orang.“
Kulihat sekilas Mas Haris melirik ke arah David. Keduanya saling menatap tajam beberapa saat.
“Ayo, Dik, kita pulang!“ ucap Mas Haris padaku. Tangannya menarikku untuk pergi.
“Mira berhenti! Kamu lebih milih suamimu dari pada Ibu dan Bapak?“
“Maaf Ibu, tapi surgaku sekarang ada pada suami dan Mas Haris benar. Apa yang salah dari profesi tukang tahu?“ balasku sembari berbalik. “Kami pamit, Assalammu'alaikum.“ Kulihat Ibu menunjukku dengan amarah. Di belakang sana, Bapak memperhatikan kami dalam diam. Saat bersitatap denganku, beliau berbalik dan masuk ke dalam rumah.
“Anak durhaka kamu, lebih memilih suamimu yang miskin itu daripada Ibu. Lihat nanti kalau kamu butuh bantuan, jangan pernah datang ke rumah ini.“ Kak Ita berseru nyaring, namun aku tak menghiraukan ucapannya.
”Mira! Kembali kamu!“ Aku memejam kala Ibu menjerit memanggil. Aku ingin kembali, aku menyayangi Ibu, Bapak dan Kak Ita. Tapi, tingkah mereka yang membuatku berbuat demikian.
Andai mereka bisa menerima Mas Haris dengan lapang dada. Andai bisa melihat hal lain dari Mas Haris selain materinya. Mereka pasti sangat menyayangi Mas Haris seperti aku menyayanginya.
Sesampainya di rumah, aku bergegas mengambil kotak P3K dan mengobati lebam di mata dan sudut bibirnya Mas Haris yang belum berani kutanyakan apa sebabnya. “Pelan-pelan, Dik!“ ucapnya bersuara lagi setelah beberapa saat kami saling diam. Gerakan tanganku terhenti, aku menatapnya dengan rasa penasaran yang amat sangat. “Mas sebenarnya tadi darimana saja? Kenapa lama sekali baru kembali. Keadaannya begini pula, ponsel Mas juga gak aktif berulangkali Mira hubungi.“ “Mas dari masjid, Dik, adik, kan tahu sendiri“ “Kok bisa babak belur.“ Mas Haris menghela nafas sembari menatapku lekat.“Mas bohong?“ Selidikku menatapnya. “Sebenarnya setelah shalat maghrib dan dalam perjalanan menuju rumah Bapak, Mas dicegat beberapa orang dan dipukuli oleh mereka. Ponsel Mas diinjak hingga rusak seperti ini.“ Mas Haris menunjukkan ponselnya padaku. Layar retak-retak dan sepertinya sudah tak bisa digunakan lagi. “Astagfirullah? Kenapa mereka memukuli Mas? Siapa mereka sebenarnya? Perampok? Apa yang me
Dari pagi sampai sore ini kuperhatikan. Mobil David sama sekali tak tampak di depan rumah walau aku masih tak berani ke luar. Entahlah, setelah aku memikirkan perkataan Mas Haris kemarin, dia akan membuat David jera. Memangnya apa yang bisa dilakukan suamiku. Suara air yang sudah matang dari arah dapur membuatku tersentak kemudian berlari pergi secepat mungkin. Teko air sudah mendidih dan menimbulkan bunyi nyaring. Aku segera mematikan kompor. Aku membalik jumput-jumput yang sedang kugoreng. Sedikit kehitaman karena aku meninggalkannya cukup lama tadi. Cukup banyak pisang yang ada di dalam kulkas, aku memutuskan membuat penganan ini untuk berbuka nanti.Kupilih beberapa yang tidak gosong dan menatanya dalam piring. Terlalu banyak juga tak akan habis, aku berniat membagi ke tetangga. Aku ke luar dari rumah dengan piring berisi jumput-jumput di tangan, hendak berjalan menuju rumah Bu Gia, namun sedikit bingung saat melihat rumah yang berada di sebelah kiri rumahku tampak berbeda dar
“Mas kenal dengan tetangga sebelah?“ tembakku langsung saat aku dan Mas Haris sudah selesai shalat maghrib dan sekarang sedang menyantap nasi. “Yang mana?“ “Yang baru pindah.“ “Loh, Mas mana tahu, kan baru pindah. Lihat orangnya juga belum.“ “Terus kenapa tadi dia tahu kalau aku istri Mas ya?“ “Asal tebak mungkin.“ “Gak mungkin.“ “Tahu dari tetangga yang lain.“ Ah benar saja, tak terpikir olehku. Mungkin saja gadis itu tahu dari Bu Gia. Tapi, kenapa saat kutanya kembali gadis itu terlihat takut? Dan lagi, sekarang Mas Haris tak berani menatap ke arahku saat berbicara. Hal yang ia lakukan setiap kali ia berbohong. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentang hal jelek Mas Haris dan gadis yang tinggal di sebelah. Jangan-jangan …. “Dik!“ Aku tersentak, menoleh ke arah Mas Haris yang tengah melambaikan tangan di depan wajahku. “Kenapa, Mas?“ “Dari tadi dipanggilin gak nyahut, mikirin apa?“ “Bukan apa-apa, Mas bilang apa tadi?“ “Besok, gimana kalau kita buka di luar?“ “B
Acara reuni tetap berlanjut dan aku tak melihat Dewi di manapun. Entah mungkin ia sedang berganti baju atau bagaimana aku tak terlalu memperdulikannya. “Lama lagi ya waktu berbuka?“ Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini. “Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel. “Hai Mira, Fitri, apa kabar?“ Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu. “Baik Viola, kamu bagaimana?“ jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit. “Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“ “Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti
“Kalau begitu, Mas akan mengatakan, sebenarnya ….“ Aku menunggu dengan tidak sabar dan jantung berdebar. Setiap perkataan yang ke luar dari mulut Mas Haris entah kenapa malah terasa lambat. “Sebenarnya ….“ “Ya.“ “Mas ….“ “Hm?“ “Tadi minum kopi tiga gelas di warkop Mbah Ruslam saat buka puasa karena kamu gak ada di rumah, Dik.“ Aku terpaku dengan mulut terbuka, walau perkataan Mas Haris sedikit membuatku kaget karena dia memang kularang minum kopi banyak dikarenakan asam lambungnya, namun bukan hal ini yang ingin kudengar. “Mas?“ ucapku tak mampu lagi mengatakan apa pun. Aku hanya bangkit dari tempat duduk sembari memegangi cincin yang tertaut di jemari. “Dik kamu gak marah, kan?“ tanya Mas Haris menahan tanganku hingga membuatku berbalik. Aku menjawab pertanyaannya dengan gelengan. “Enggak Mas, aku cuma capek saja.“ Mungkin … apa yang dikatakan Viola tak benar adanya. Mas Haris cuma tukang tahu, laki-laki yang menjadi suamiku itu tak mungkin punya uang sebanyak lima ratus
Mataku mengerjap kala mendengar suara seseorang sedang berbicara. Pusing yang melanda kepala membuat sedikit sulit untuk membuka mata sementara bias cahaya di atas sana sedikit membuat silau mata. Samar-samar saat aku menoleh ke samping, kulihat Ghea sedang berdiri tak jauh dariku dengan posisi membelakangi. Ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. “Baik Pak, saya memastikan Bu Mira aman bersama saya.“ Sayup-sayup kudengar suaranya terlintas dalam benak. Pak? Siapa yang tengah gadis itu telpon bahkan dengan membawa-bawa namaku. “Ghea, itu kamu?“ tanyaku memastikan dengan suara lirih. Perlahan Ghea berbalik, dapat kulihat wajahnya tampak panik saat menoleh ke arahku. Dengan cepat ia menutup panggilan dan berjalan cepat menghampiriku. “Bu Mir— maksud saya Mbak Mira sudah sadar?“ tanyanya sembari memperhatikanku dengan lekat, lalu tampak bernafas lega setelahnya. “Saya di mana?“ tanyaku sembari memegangi belakang kepala yang sedikit nyeri, rasa pusing masih samar-samar kurasa
Aku terpaku setelah ke luar dari taksi. Pintu rumahku tengah diperbaiki oleh seseorang dan ada Bu Gia di sebelahnya. Kualihkan pandangan pada Ghea yang juga baru keluar dari taksi. Dia hanya tersenyum saat tahu arti dari tatapanku“Kamu bayar orang buat perbaikin pintu rumah Mbak, Ghe?“ tanyaku lagi-lagi terkejut atas tindakannya. “Iya, gak apa-apa, kan, Mbak? Aku juga yang minta Bu Gia buat nengokin rumah Mbak sekalian mengokin yang kerja perbaikin pintu. Soalnya pintunya rusak dan gak bisa dikunci.““Ya, gak apa-apa, sih, tapi kamu harusnya bilang Mbak dulu kalau mau ngelakuin apa-apa. Persis yang kayak kamu lakuin tadi di rumah sakit. Bukannya Mbak gak menghargai niat baikmu tapi kalau kamu membantu sampai segininya Mbak jadi ngerasa gak enak dan bingung gimana mau gantinya.““Kan, aku udah bilang Mbak gak perlu ganti uang aku.““Tetap gak bisa gitu dong!“ Aku menatapnya sembari menghela nafas. Merinci setiap pengeluaran pada hari ini tiba-tiba saja membuat pikiranku sedikit kacau
Aku masih terpaku menatap layar ponsel Ghea yang terus berdering. Berbagai pikiran mulai berkecamuk dalam kepala.Haris? Nama yang sama dengan suamiku, tapi ... mungkinkah?"Eh, Mbak, ponsel Ghea bunyi, ya?"Ghea datang tiba-tiba, menyambar ponselnya secepat kilat tanpa kuketahui kapan dia mulai masuk ke dalam rumah."Sebentar, ya, Mbak, aku angkat telpon dulu!"Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Entahlah, aku merespon cepat tindakannya yang aneh. Mulai dari nama di ponselnya yang sama dengan Mas Haris, suamiku dan juga Ghea yang mengangkat telpon sampai ke luar dari ruang dapur, menjauh dariku.Bukankah, ini sedikit ... mencurigakan.Aku jadi penasaran dengan orang yang menelpon Ghea sekarang. Perlukah aku mengikutinya dan mendengarkan pembicaraan mereka? Tapi itu sungguh tidak sopan. Menguping pembicaraan orang lain bukanlah tindakan yang benar.Lalu, haruskah aku bertanya?"Maaf ya, Mbak, itu tadi bos Ghea nelpon mendadak nanyain urusan kerjaan." Ghea muncul kembali ke dapur d