Share

Bab 3 : Mas Haris Hilang

Maghrib di rumah Ibu berlangsung. Aku bangkit dari duduk dengan kuping panas mendengar ocehan dari keluarga yang sedari tadi tak berhenti.

Kuhampiri Mas Haris yang sedari tadi menepuk tangan dan kakinya karena nyamuk yang hinggap. Laki-laki itu masih tetap berada di depan pintu selama beberapa waktu.

“Mas, kita pulang saja, ya!“ ucapku padanya tak tega. 

“Loh kenapa? Kan, makan-makannya belum mulai, Dik.“

“Kita gak usah ikut. Yang penting udah datang.“

“Kamu kasihan sama, Mas?“

Aku mengigit bibir dengan mata berkaca. Mas Haris tahu keresahanku.

“Kalau kita pulang sekarang Bapak bakalan sedih karena anaknya pulang cepat. Bapak pasti masih rindu sama Mira.“

“Tapi Bapak seperti tak peduli. Mereka juga terus menghasutku untuk meninggalkan Mas. Aku tak tahan lagi, mau pulang Mas.“

“Sebentar lagi ya! Gak enak sama keluarga kamu. Nanti Mas juga yang dianggap salah karena kita pulang duluan.“

Mau tak mau aku mengangguk, perkataan Mas Haris ada benarnya. Sudah cukup selama ini mereka membenci Mas Haris, jangan sampai karena keegoisanku rasa benci Bapak dan Ibu pada Mas Haris semakin memupuk.

“Mas mau shalat maghrib di masjid?“

“Iya, kamu di sini saja ya!“

Aku mengangguk, “Jangan lama-lama.“

“Iya.“

***

Satu jam berlalu dan maghrib telah lewat dan aku juga telah selesai shalat, tapi Mas Haris tak kunjung kembali ke rumah Bapak. Ponselnya juga tak aktif meski aku berulangkali mencoba memanggil.

Makan-makan bersama keluarga sudah dimulai. Aku duduk dengan perasaan tak tenang. Kuputuskan untuk bangkit dari meja makan dan beranjak ke depan rumah.

“Mira mau ke mana?“ Kak Ita memanggil membuat langkahku terhenti.

“Mau ke depan, Kak, lihat Mas Haris. Sampai sekarang belum juga datang ke sini.“

“Udahlah biarin aja! Bapak nunggu kamu dari tadi tuh nyariin.“

“Tapi kak ….“

“Mungkin suamimu pulang ke rumah karena minder kali, secara tukang tahu makan di rumah orang kaya. Gak bisa pasti makan-makanan enak,” celetuk Dewi asal. 

Aku menggeleng, mencoba mengabaikan mereka, berjalan menuju ke depan rumah meski Kak Ita terus memanggiliku. Perasaanku mulai tak enak. Saat sampai di pekarangan kulihat David berjalan dari pintu pagar dan kami berpapasan.

“David, kamu lihat Mas Haris di depan sana?“ tanyaku padanya.

“Gak ada.“

Aku berdecak, berjalan melewatinya. Lagi-lagi David dengan lancang menahan tanganku. Geram, kutepis tangannya dengan kuat.

“Jangan sembarangan menyentuhku David, aku sudah bersuami, dan kamu tahu kita bukan mahram.“

“Aku tahu, tak perlu berkoar-koar aku tahu kamu sudah punya suami.“

“Lantas kenapa kamu tetap melewati batas, Dav? Aku sudah bersuami dan kamu sudah beristri. Dewi juga sepupuku, cobalah untuk bersikap biasa saja. Aku tak ingin Dewi menganggapku bermain belakang dengan suaminya.“

“Aku masih menyukaimu, Mir, sampai sekarang.“

“Kamu uda gila?“

“Ya, aku memang udah gila. Andai dulu kamu menikah denganku, bukan dengan tukang tahu itu.“

“Namanya Mas Haris, dia punya nama.“

“Aku gak peduli, toh dia tetap tukang tahu, kan?“

Aku berdecak, menatapnya dengan tajam karena nada bicaranya terkesan merendahkan Mas Haris.

Oke, aku tahu dia kaya raya. David mewarisi perusahaan sabun milik papanya. Dia juga punya beberapa hektar kebun sawit. Namun, itu tak lantas membuatnya bisa menghina pekerjaan seseorang.

Hal ini yang selalu tak kusuka darinya meski dulu Bapak dan Ibu berusaha menjodohkanku dengannya diiming-imingi hidup enak dan tenang karena David kaya raya.

Dia memang kaya harta, sayang akhlaknya minus. Itu yang membuatku tak menyukainya dan lebih memilih Mas Haris.

“Tukang tahu atau tukang-tukang yang lain. Yang jelas dia tetap suamiku, minggir!“ ucapku penuh penekanan dan mencoba melewatinya. Bukannya menurut, saat aku berjalan ke kanan David juga ke kanan begitu juga sebaliknya.

“David, apa sih maumu?“ seruku tak sabar. Aku harus mencari Mas Haris secepat mungkin karena perasaanku mulai tak enak sekarang.

“Aku ingin menikah denganmu.“

David menarik tanganku, memaksa untuk memeluk walau aku meronta. David gila, dia sudah tidak waras.

Bugh!“

Tubuh David terhuyung ke samping dan terkapar di halaman saat tiba-tiba Mas Haris muncul dan meninju wajahnya. Tubuhku ditarik Mas Haris dan laki-laki itu melihatku lekat.

“Kamu gak apa-apa, Dik?“ tanyanya cemas sembari memegang kedua pundakku. Aku menggeleng dan melihat sesuatu yang aneh di wajah Mas Haris. Wajahnya penuh dengan lebam.

“Mas, kamu ken—”

“Brengsek! Kenapa lo bisa lolos?“ David berteriak nyaring sembari memegangi pipi. Kulihat darah mengalir di sudut bibirnya.

Mas Haris menarikku untuk berdiri di belakang tubuhnya saat David berjalan mendekat.

“Kamu lancang! Itu saja belum cukup untukmu. Jangan pernah dekati istriku, seharusnya kamu sadar kalau kamu sudah punya istri, David!“ Mas Haris berucap keras, wajahnya memerah dengan urat leher menonjol. Baru kali ini kulihat dia bertingkah begitu.  

“Haris! Apa yang kamu lakukan? Beraninya kamu memukul menantuku!“

“Astaga, Mas David!“

Aku memejam saat mendengar suara nyaring Ibu dan jeritan Dewi. Lalu semua orang mulai datang dan menghampiri kami. Lebih tepatnya menodong Mas Haris seolah-olah dialah yang paling salah di sini.

“Tanyakan padanya, apa yang dia lakukan pada istriku!“ 

“Istrimu? Seharusnya terbalik, aku yang bertanya apa yang dia lakukan pada suamiku. Dia pasti menggoda David, kan, ngaku kamu Mira?“ Dewi berucap histeris. 

“Benar, itu, Mira?“ 

“Ibu percaya padanya?“ tanyaku tak percaya. 

“Kali saja kamu kekurangan uang dan berusaha mendekati suamiku, kan? Suami kamu yang cuma tukang tahu ini gak berikan kamu uang yang cukup.“

“Wi—“

“Jaga mulutmu sebelum aku merobeknya!“ Mas Haris memotong ucapanku. Genggamannya semakin mengerat, aku tahu dia sedang sangat marah saat ini. Dewi terlihat takut, ia langsung mengatupkan bibirnya melihat Mas Haris bersuara.

“Jangan menjadi sok jagoan kamu Haris. Seharusnya kamu sadar kalau apa yang dikatakan Dewi itu benar. Kamu cuma tukang tahu, apa yang bisa kamu andalkan. Cukup kamu menghidupi anakku sampai sekarang?“

Aku terpancing, membuka mulut ingin menjawab perkataan Ibu, namun Mas Haris menahanku. Laki-laki menggeleng pelan.

“Walau aku cuma tukang tahu, aku tak pernah membiarkan Mira hidup kekurangan, Bu. Seharusnya Ibu bisa mengetahui hal itu saat melihat kehidupan kami. Apa pernah kami tidak makan satu harian? Tidak, Bu. Aku menjaganya karena dia tanggung jawabku. Lagipula apa masalahnya menjadi tukang tahu? Itu pekerjaan halal.“

“Sudah berani menjawab kamu sama Ibu, Haris? Kamu tahu, ini Ibu mertua kamu?“

“Saya tahu Kak Ita, tapi saat ini harga diri saya sebagai suami sedang dipertaruhkan. Menjadi tukang tahu bukan hal yang memalukan. Saya juga harus menyelamatkan istri saya dari laki-laki busuk yang terobsesi dengan istri orang.“

Kulihat sekilas Mas Haris melirik ke arah David. Keduanya saling menatap tajam beberapa saat. 

“Ayo, Dik, kita pulang!“ ucap Mas Haris padaku. Tangannya menarikku untuk pergi.

“Mira berhenti! Kamu lebih milih suamimu dari pada Ibu dan Bapak?“

“Maaf Ibu, tapi surgaku sekarang ada pada suami dan Mas  Haris benar. Apa yang salah dari profesi tukang tahu?“ balasku sembari berbalik. “Kami pamit, Assalammu'alaikum.“ Kulihat Ibu menunjukku dengan amarah. Di belakang sana, Bapak memperhatikan kami dalam diam. Saat bersitatap denganku, beliau berbalik dan masuk ke dalam rumah.

“Anak durhaka kamu, lebih memilih suamimu yang miskin itu daripada Ibu. Lihat nanti kalau kamu butuh bantuan, jangan pernah datang ke rumah ini.“ Kak Ita berseru nyaring, namun aku tak menghiraukan ucapannya.

”Mira! Kembali kamu!“ Aku memejam kala Ibu menjerit memanggil. Aku ingin kembali, aku menyayangi Ibu, Bapak dan Kak Ita. Tapi, tingkah mereka yang membuatku berbuat demikian.

Andai mereka bisa menerima Mas Haris dengan lapang dada. Andai bisa melihat hal lain dari Mas Haris selain materinya. Mereka pasti sangat menyayangi Mas Haris seperti aku menyayanginya. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status