Aku yang baru saja selesai menjemur pakaian sontak tersenyum senang mendapati pesan itu di ponselku. Dari Bapak.
[Iya, Pak nanti Amira datang bersama Mas Haris]
Kukirimkan pesan, langsung dibaca oleh Bapak. Kemungkinan beliau menunggu pesan balasanku sejak tadi. Lalu setelahnya, tak ada balasan darinya.
Aku menghela nafas sembari duduk di tepi ranjang. Tak mudah membuat Bapak menerima pernikahanku dengan Mas Haris dulu. Katanya, aku membuat harga dirinya yang seorang juragan tanah terluka karena hanya bersuamikan tukang tahu. Beliau bahkan sempat tak ingin mengakuiku sebagai anaknya.
Namun, lambat laun entah sejak kapan Bapak mulai luluh. Selain karena aku dahulu begitu dekat dengan Bapak. Atas saran Mas Haris aku selalu menegurnya melalui pesan atau berkunjung ke rumah. Lalu, Bapak mulai tenang walau banyak diam kala aku dan Mas Haris datang.
Hanya Ibu dan Kak Ita yang masih menampakkan genderang permusuhan ketika melihat aku bersama Mas Haris. Entahlah, aku masih tak mengerti. Apa yang salah dari bersuamikan tukang tahu. Aku seperti melakukan dosa besar yang tak termaafkan.
“Dik, dicari dari tadi ternyata di sini. Mas pamit mau berangkat jualan.“
Aku tersentak dan menoleh, tersadar dari lamunan. Mas Haris muncul dari balik pintu. Sekilas kutatap jam di layar ponsel menunjukkan pukul setengah tujuh.
“Maaf, Mas, habis balas pesan dari Bapak.“
“Bapak?“ Mas Haris masuk ke dalam kamar dan duduk tepat di sebelahku. Satu tangannya terulur memasukkan satu helai rambutku di bagian dahi yang ke luar dari hijab.
“Ah gak sadar kalau terlihat,” ucapku setelah Mas Haris selesai membenarkan letak hijabku kembali.
“Gak apa-apa untung Mas yang lihat.“ Dia mengelus kepalaku dengan lembut. “Bapak mengirim pesan apa?“
“Mau punggahan di rumah nanti sore, Mas, jadi kita disuruh ke sana.“ Aku mengulurkan ponsel di tangan. Mas Haris mengangguk-angguk sembari mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya.
“Kalau begitu harus bawa sesuatu yang Bapak dan Ibu suka. Nanti beli sekalian ke pasar, ya!“ Mas Haris menyodorkan dua lembar uang pecahan seratus ribuan padaku. Sontak aku menolak dengan halus.
“Tadi Mas sudah ngasih Mira seratus ribu, itu sudah cukup kok.“
“Yang itu untuk keperluan di rumah. Yang ini untuk dibawa ke rumah Ibu dan Bapak. Belikan bolu kesukaan Ibu dan Bika ambon kesukaan Bapak. Pasti mereka senang kalau kita bawa penganan kesukaan mereka, Dik. Salah satu cara meluluhkan hati Ibu dan Bapak dengan memberikan apa yang mereka suka. Jangan lupa beli buat Kak Ita juga.“
“Kamu baik sekali, Mas, pada keluargaku meski mereka selalu memperlakukanmu dengan buruk.“
“Mereka begitu karena belum mengenaliku lebih jauh Dik. Mungkin kalau lebih ….“ Perkataan Mas Haris terhenti membuat aku menatap ke arahnya.
“Kalau lebih?“ ulangku penasaran.
“Kalau lebih mungkin mereka akan jatuh cinta denganku sama sepertimu.“ Mas Haris menyentuh hidungku sembari tertawa.
“Halah gombal, Mas.“
“Serius, Dik, kan ada pepatahnya. Tak kenal maka tak sayang. Pernikahan kita baru satu tahun. Perlu sedikit waktu untuk mereka menerimaku.“
“Iya-iya, sudah ayo berangkat nanti Mas terlambat buat jualan ke pasar. Ini sudah hampir jam tujuh loh.“ Aku menunjuk jam dinding di kamar yang jarum panjangnya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas.
“Ya Allah, sampai lupa. Yaudah ayo sekalian Mas antar pergi ke pasar.“
***
Beberapa belanjaan sudah di tangan. Makanan kesukaan Ibu dan Bapak serta untuk Kak Ita juga. Di pasar ini semuanya lengkap, jadi aku tak perlu jauh-jauh pergi ke berbagai tempat guna mencari satu persatu barang dalam nota belanjaku.
“Mang ayamnya satu ekor, ya!“
“Iya Mbak.“
“Eh, eh, eh … istrinya tukang tahu beli ayam juga? Kenapa gak masak tahu aja sih? Kasihan, tahunya kurang laku ya? Kulitasnya jelek?“
Aku menoleh ke asal suara. Seketika menggeleng tanpa menghiraukan ucapannya. Beberapa orang di depan tukang potong ayam itu mulai memperhatikan kami.
Dewi tampak kepanasan saat aku tak merespon dia yang mencoba memancing keributan. Dari dulu tak pernah berubah. Teman SMA sekaligus masih sepupu itu selalu merasa kalah saing denganku, entah dalam hal apa. Ia selalu melihatku dengan kacamata permusuhan.
“Istri tukang tahu mau beli ayam? Memangnya cukup duitnya? Ayam lagi naik harga loh. Nanti kurang lagi, mana belinya satu ekor. Kalau uangnya kurang nanti malu, mumpung aku di sini aku bayarin aja gimana?“
Nadanya halus namun terkesan meremehkan. Dewi berulangkali mengangkat tangannya saat berbicara. Gemerincing gelas emas yang hampir memenuhi pegelangan tangan terdengar nyaring di telinga, karena ia berdiri tepat di sebelahku.
“Gak usah, Wi, duitku masih cukup kok kalau cuma beli ayam.“
“Belagu banget, memangnya berapa sih jatah belanja istri tukang tahu? Paling cuma dua puluh ribu, kan? Ngaku kamu! Gak usah belagak sok kaya deh kalau masih miskin. Mending kayak aku, memang orang kaya. Duit belanjaku lima ratus ribu sehari.“
“Mbak yang kaya kalau mbaknya yang ini gak mau dibayarin, punya saya saja bayarin juga gak papa kok. Mbak kelihatan banyak uang emasnya sampai banyak gitu.“
Baru saja mulutku terbuka ingin membalas ucapannya. Seorang Ibu dengan songkok di kepalanya membalas ucapan Dewi sembari berkedip ke arahku.
“Dih, Ibu siapa? Main minta bayarin-bayarin aja. Saya memang banyak uang, tapi bukan buat bayarin belanjaan Ibu-Ibu.“
“Lah katanya situ orang kaya, niat bayarin lagi.“
“Ya memang saya orang kay—”
“Mbak ini ayamnya jadi dua puluh lima ribu.“
Ucapan Dewi terputus begitu saja dipotong tukang ayam. Ia mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan di depanku berlembar-lembar uang pecahan seratus ribuan.
“Lah katanya orang kaya, beli ayam kok cuma setengah kilo?“
Aku menatap ibu-ibu dengan songkok tadi. Sekilas kulihat Dewi melotot dengan mata hampir keluar dari tempatnya.
“Suka-suka saya dong, Bu. Saya ini orang kaya levelnya bukan ayam potong begini. Ini mah buat pembantu saya di rumah. Saya habis ini mau beli daging dua kilo. Ibu-ibu belum tentu mampu, kan? Apalagi kamu Mira, cuma istri jual tahu.“
“Iya-iya, Wi. Aku cuma mampu beli ayam doang gak kayak kamu,” ucapku berusaha menengahi pembicaraan ini. Ibu-ibu dengan songkok di kepalanya seperti berniat untuk membalas. Kutahan tangannya agar ia tak kelepasan.
“Nah, gitu dong. Udah miskin sadar diri.“
Aku menggeleng begitu Dewi berjalan meninggalkan tempat potong ayam. Seketika suasana memanas tadi tampak damai dan tentram.
“Orang kayak gitu mah mesti dibalas Mbak, jangan terlalu sabar. Dia selalu merasa hidupnya di atas terus. Padahal roda itu, kan, berputar.“
“Iya, Bu, biar saja, biar cape sendiri.“
“Ih saya mah gergetan atuh lihat mbaknya sabar banget.“
Aku tak membalas lagi, ayamku sudah selesai dipotong. Setelah berpamitan dengan si ibu tadi aku bergegas ke luar dari pasar.
Sampai di parkiran aku celingukan mencari tukang becak untuk membawaku pulang. Malah tak sengaja bersitatap dengan seseorang. Buru-buru aku berbalik pergi sebelum dia menyadari keberadaanku.
“Mira!“
Aku menghela nafas, berusaha memprcepat langkah tapi dia lebih cepat dari dugaan dan menghalang jalanku kini.
“Minggir David!“ ucapku penuh penekanan dengan mata berkilat marah. Namun lelaki di depanku seolah tak gentar, ia tetap tak bergerak dari tempatnya.
“Minggir David!“ “Kamu mau pulang, kan? Ayo aku antar.“ Dia berucap tanpa memperdulikan perkataanku barusan. Tangannya terulur berusaha mengambil alih belanjaanku. Sontak aku mundur ke belakang guna menghindari tangannya bersentuhan denganku. Aku memutuskan berbalik dan lewat dari arah lain. Tapi David kembali menghadang jalanku. “David minggir! Kenapa kamu terus-terusan menghalangi jalanku?“ “Aku berniat membantu Mira. Kamu nampak kesusahan, suami kamu mana? Kenapa dia biarin kamu belanja sendirian?“ “Aku gak butuh bantuan kamu, tentang di mana suami aku saat ini bukan urusan kamu. Yang jelas sekarang dia lagi cari nafkah dengan bekerja, bukan ongkang-ongkang kaki nikmatin hasil kerja keras orang tua.“ Perkataanku sepertinya sedikit menyinggung David. Dia diam seketika dan itu kumanfaatkan untuk pergi dari hadapannya. Tak kusangka David nekat. Ia menahan tanganku yang buru-buru kutepis keras hingga belanjanku jatuh. “Kenapa sih, kamu selalu nolak keberadaanku Mir. Kenapa kamu
Maghrib di rumah Ibu berlangsung. Aku bangkit dari duduk dengan kuping panas mendengar ocehan dari keluarga yang sedari tadi tak berhenti. Kuhampiri Mas Haris yang sedari tadi menepuk tangan dan kakinya karena nyamuk yang hinggap. Laki-laki itu masih tetap berada di depan pintu selama beberapa waktu. “Mas, kita pulang saja, ya!“ ucapku padanya tak tega. “Loh kenapa? Kan, makan-makannya belum mulai, Dik.“ “Kita gak usah ikut. Yang penting udah datang.“ “Kamu kasihan sama, Mas?“ Aku mengigit bibir dengan mata berkaca. Mas Haris tahu keresahanku. “Kalau kita pulang sekarang Bapak bakalan sedih karena anaknya pulang cepat. Bapak pasti masih rindu sama Mira.“ “Tapi Bapak seperti tak peduli. Mereka juga terus menghasutku untuk meninggalkan Mas. Aku tak tahan lagi, mau pulang Mas.“ “Sebentar lagi ya! Gak enak sama keluarga kamu. Nanti Mas juga yang dianggap salah karena kita pulang duluan.“ Mau tak mau aku mengangguk, perkataan Mas Haris ada benarnya. Sudah cukup selama ini mereka
Sesampainya di rumah, aku bergegas mengambil kotak P3K dan mengobati lebam di mata dan sudut bibirnya Mas Haris yang belum berani kutanyakan apa sebabnya. “Pelan-pelan, Dik!“ ucapnya bersuara lagi setelah beberapa saat kami saling diam. Gerakan tanganku terhenti, aku menatapnya dengan rasa penasaran yang amat sangat. “Mas sebenarnya tadi darimana saja? Kenapa lama sekali baru kembali. Keadaannya begini pula, ponsel Mas juga gak aktif berulangkali Mira hubungi.“ “Mas dari masjid, Dik, adik, kan tahu sendiri“ “Kok bisa babak belur.“ Mas Haris menghela nafas sembari menatapku lekat.“Mas bohong?“ Selidikku menatapnya. “Sebenarnya setelah shalat maghrib dan dalam perjalanan menuju rumah Bapak, Mas dicegat beberapa orang dan dipukuli oleh mereka. Ponsel Mas diinjak hingga rusak seperti ini.“ Mas Haris menunjukkan ponselnya padaku. Layar retak-retak dan sepertinya sudah tak bisa digunakan lagi. “Astagfirullah? Kenapa mereka memukuli Mas? Siapa mereka sebenarnya? Perampok? Apa yang me
Dari pagi sampai sore ini kuperhatikan. Mobil David sama sekali tak tampak di depan rumah walau aku masih tak berani ke luar. Entahlah, setelah aku memikirkan perkataan Mas Haris kemarin, dia akan membuat David jera. Memangnya apa yang bisa dilakukan suamiku. Suara air yang sudah matang dari arah dapur membuatku tersentak kemudian berlari pergi secepat mungkin. Teko air sudah mendidih dan menimbulkan bunyi nyaring. Aku segera mematikan kompor. Aku membalik jumput-jumput yang sedang kugoreng. Sedikit kehitaman karena aku meninggalkannya cukup lama tadi. Cukup banyak pisang yang ada di dalam kulkas, aku memutuskan membuat penganan ini untuk berbuka nanti.Kupilih beberapa yang tidak gosong dan menatanya dalam piring. Terlalu banyak juga tak akan habis, aku berniat membagi ke tetangga. Aku ke luar dari rumah dengan piring berisi jumput-jumput di tangan, hendak berjalan menuju rumah Bu Gia, namun sedikit bingung saat melihat rumah yang berada di sebelah kiri rumahku tampak berbeda dar
“Mas kenal dengan tetangga sebelah?“ tembakku langsung saat aku dan Mas Haris sudah selesai shalat maghrib dan sekarang sedang menyantap nasi. “Yang mana?“ “Yang baru pindah.“ “Loh, Mas mana tahu, kan baru pindah. Lihat orangnya juga belum.“ “Terus kenapa tadi dia tahu kalau aku istri Mas ya?“ “Asal tebak mungkin.“ “Gak mungkin.“ “Tahu dari tetangga yang lain.“ Ah benar saja, tak terpikir olehku. Mungkin saja gadis itu tahu dari Bu Gia. Tapi, kenapa saat kutanya kembali gadis itu terlihat takut? Dan lagi, sekarang Mas Haris tak berani menatap ke arahku saat berbicara. Hal yang ia lakukan setiap kali ia berbohong. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentang hal jelek Mas Haris dan gadis yang tinggal di sebelah. Jangan-jangan …. “Dik!“ Aku tersentak, menoleh ke arah Mas Haris yang tengah melambaikan tangan di depan wajahku. “Kenapa, Mas?“ “Dari tadi dipanggilin gak nyahut, mikirin apa?“ “Bukan apa-apa, Mas bilang apa tadi?“ “Besok, gimana kalau kita buka di luar?“ “B
Acara reuni tetap berlanjut dan aku tak melihat Dewi di manapun. Entah mungkin ia sedang berganti baju atau bagaimana aku tak terlalu memperdulikannya. “Lama lagi ya waktu berbuka?“ Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini. “Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel. “Hai Mira, Fitri, apa kabar?“ Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu. “Baik Viola, kamu bagaimana?“ jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit. “Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“ “Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti
“Kalau begitu, Mas akan mengatakan, sebenarnya ….“ Aku menunggu dengan tidak sabar dan jantung berdebar. Setiap perkataan yang ke luar dari mulut Mas Haris entah kenapa malah terasa lambat. “Sebenarnya ….“ “Ya.“ “Mas ….“ “Hm?“ “Tadi minum kopi tiga gelas di warkop Mbah Ruslam saat buka puasa karena kamu gak ada di rumah, Dik.“ Aku terpaku dengan mulut terbuka, walau perkataan Mas Haris sedikit membuatku kaget karena dia memang kularang minum kopi banyak dikarenakan asam lambungnya, namun bukan hal ini yang ingin kudengar. “Mas?“ ucapku tak mampu lagi mengatakan apa pun. Aku hanya bangkit dari tempat duduk sembari memegangi cincin yang tertaut di jemari. “Dik kamu gak marah, kan?“ tanya Mas Haris menahan tanganku hingga membuatku berbalik. Aku menjawab pertanyaannya dengan gelengan. “Enggak Mas, aku cuma capek saja.“ Mungkin … apa yang dikatakan Viola tak benar adanya. Mas Haris cuma tukang tahu, laki-laki yang menjadi suamiku itu tak mungkin punya uang sebanyak lima ratus
Mataku mengerjap kala mendengar suara seseorang sedang berbicara. Pusing yang melanda kepala membuat sedikit sulit untuk membuka mata sementara bias cahaya di atas sana sedikit membuat silau mata. Samar-samar saat aku menoleh ke samping, kulihat Ghea sedang berdiri tak jauh dariku dengan posisi membelakangi. Ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. “Baik Pak, saya memastikan Bu Mira aman bersama saya.“ Sayup-sayup kudengar suaranya terlintas dalam benak. Pak? Siapa yang tengah gadis itu telpon bahkan dengan membawa-bawa namaku. “Ghea, itu kamu?“ tanyaku memastikan dengan suara lirih. Perlahan Ghea berbalik, dapat kulihat wajahnya tampak panik saat menoleh ke arahku. Dengan cepat ia menutup panggilan dan berjalan cepat menghampiriku. “Bu Mir— maksud saya Mbak Mira sudah sadar?“ tanyanya sembari memperhatikanku dengan lekat, lalu tampak bernafas lega setelahnya. “Saya di mana?“ tanyaku sembari memegangi belakang kepala yang sedikit nyeri, rasa pusing masih samar-samar kurasa