Home / CEO / Suamiku Tukang Tahu / Bab 1 : Punggahan

Share

Suamiku Tukang Tahu
Suamiku Tukang Tahu
Author: Diyah Islami

Bab 1 : Punggahan

Author: Diyah Islami
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

[Nanti sore datang ke rumah, mau punggahan]

Aku yang baru saja selesai menjemur pakaian sontak tersenyum senang mendapati pesan itu di ponselku. Dari Bapak.

[Iya, Pak nanti Amira datang bersama Mas Haris]

Kukirimkan pesan, langsung dibaca oleh Bapak. Kemungkinan beliau menunggu pesan balasanku sejak tadi. Lalu setelahnya, tak ada balasan darinya.

Aku menghela nafas sembari duduk di tepi ranjang. Tak mudah membuat Bapak menerima pernikahanku dengan Mas Haris dulu. Katanya, aku membuat harga dirinya yang seorang juragan tanah terluka karena hanya bersuamikan tukang tahu. Beliau bahkan sempat tak ingin mengakuiku sebagai anaknya.

Namun, lambat laun entah sejak kapan Bapak mulai luluh. Selain karena aku dahulu begitu dekat dengan Bapak. Atas saran Mas Haris aku selalu menegurnya melalui pesan atau berkunjung ke rumah. Lalu, Bapak mulai tenang walau banyak diam kala aku dan Mas Haris datang.

Hanya Ibu dan Kak Ita yang masih menampakkan genderang permusuhan ketika melihat aku bersama Mas Haris. Entahlah, aku masih tak mengerti. Apa yang salah dari bersuamikan tukang tahu. Aku seperti melakukan dosa besar yang tak termaafkan.

“Dik, dicari dari tadi ternyata di sini. Mas pamit mau berangkat jualan.“

Aku tersentak dan menoleh, tersadar dari lamunan. Mas Haris muncul dari balik pintu. Sekilas kutatap jam di layar ponsel menunjukkan pukul setengah tujuh.

“Maaf, Mas, habis balas pesan dari Bapak.“

“Bapak?“ Mas Haris masuk ke dalam kamar dan duduk tepat di sebelahku. Satu tangannya terulur memasukkan satu helai rambutku di bagian dahi yang ke luar dari hijab.

“Ah gak sadar kalau terlihat,” ucapku setelah Mas Haris selesai membenarkan letak hijabku kembali. 

“Gak apa-apa untung Mas yang lihat.“ Dia mengelus kepalaku dengan lembut. “Bapak mengirim pesan apa?“

“Mau punggahan di rumah nanti sore, Mas, jadi kita disuruh ke sana.“ Aku mengulurkan ponsel di tangan. Mas Haris mengangguk-angguk sembari mengeluarkan dompet dari dalam saku celananya.

“Kalau begitu harus bawa sesuatu yang Bapak dan Ibu suka. Nanti beli sekalian ke pasar, ya!“ Mas Haris menyodorkan dua lembar uang pecahan seratus ribuan padaku. Sontak aku menolak dengan halus.

“Tadi Mas sudah ngasih Mira seratus ribu, itu sudah cukup kok.“

“Yang itu untuk keperluan di rumah. Yang ini untuk dibawa ke rumah Ibu dan Bapak. Belikan bolu kesukaan Ibu dan Bika ambon kesukaan Bapak. Pasti mereka senang kalau kita bawa penganan kesukaan mereka, Dik. Salah satu cara meluluhkan hati Ibu dan Bapak dengan memberikan apa yang mereka suka. Jangan lupa beli buat Kak Ita juga.“

“Kamu baik sekali, Mas,  pada keluargaku meski mereka selalu memperlakukanmu dengan buruk.“

“Mereka begitu karena belum  mengenaliku lebih jauh Dik. Mungkin kalau lebih ….“ Perkataan Mas Haris terhenti membuat aku menatap ke arahnya.

“Kalau lebih?“ ulangku penasaran.

“Kalau lebih mungkin mereka akan jatuh cinta denganku sama sepertimu.“ Mas Haris menyentuh hidungku sembari tertawa.

“Halah gombal, Mas.“

“Serius, Dik, kan ada pepatahnya. Tak kenal maka tak sayang. Pernikahan kita baru satu tahun. Perlu sedikit waktu untuk mereka menerimaku.“

“Iya-iya, sudah ayo berangkat nanti Mas terlambat buat jualan ke pasar. Ini sudah hampir jam tujuh loh.“ Aku menunjuk jam dinding di kamar yang jarum panjangnya sudah menunjukkan pukul tujuh kurang lima belas. 

“Ya Allah, sampai lupa. Yaudah ayo sekalian Mas antar pergi ke pasar.“

***

Beberapa belanjaan sudah di tangan. Makanan kesukaan Ibu dan Bapak serta untuk Kak Ita juga. Di pasar ini semuanya lengkap, jadi aku tak perlu jauh-jauh pergi ke berbagai tempat guna mencari satu persatu barang dalam nota belanjaku.

“Mang ayamnya satu ekor, ya!“ 

“Iya Mbak.“

“Eh, eh, eh … istrinya tukang tahu beli ayam juga? Kenapa gak masak tahu aja sih? Kasihan, tahunya kurang laku ya? Kulitasnya jelek?“

Aku menoleh ke asal suara. Seketika menggeleng tanpa menghiraukan ucapannya. Beberapa orang di depan tukang potong ayam itu mulai memperhatikan kami.

Dewi tampak kepanasan saat aku tak merespon dia yang mencoba memancing keributan. Dari dulu tak pernah berubah. Teman SMA sekaligus masih sepupu itu selalu merasa kalah saing denganku, entah dalam hal apa. Ia selalu melihatku dengan kacamata permusuhan.

“Istri tukang tahu mau beli ayam? Memangnya cukup duitnya? Ayam lagi naik harga loh. Nanti kurang lagi, mana belinya satu ekor. Kalau uangnya kurang nanti malu, mumpung aku di sini aku bayarin aja gimana?“ 

Nadanya halus namun terkesan meremehkan. Dewi berulangkali mengangkat tangannya saat berbicara. Gemerincing gelas emas yang hampir memenuhi pegelangan tangan terdengar nyaring di telinga, karena ia berdiri tepat di sebelahku.

“Gak usah, Wi, duitku masih cukup kok kalau cuma beli ayam.“ 

“Belagu banget, memangnya berapa sih jatah belanja istri tukang tahu? Paling cuma dua puluh ribu, kan? Ngaku kamu! Gak usah belagak sok kaya deh kalau masih miskin. Mending kayak aku, memang orang kaya. Duit belanjaku lima ratus ribu sehari.“

“Mbak yang kaya kalau mbaknya yang ini gak mau dibayarin, punya saya saja bayarin juga gak papa kok. Mbak kelihatan banyak uang emasnya sampai banyak gitu.“

Baru saja mulutku terbuka ingin membalas ucapannya. Seorang Ibu dengan songkok di kepalanya membalas ucapan Dewi sembari berkedip ke arahku.

“Dih, Ibu siapa? Main minta bayarin-bayarin aja. Saya memang banyak uang, tapi bukan buat bayarin belanjaan Ibu-Ibu.“

“Lah katanya situ orang kaya, niat bayarin lagi.“

“Ya memang saya orang kay—”

“Mbak ini ayamnya jadi dua puluh lima ribu.“

Ucapan Dewi terputus begitu saja dipotong tukang ayam. Ia mengeluarkan dompetnya dan menunjukkan di depanku berlembar-lembar uang pecahan seratus ribuan.

“Lah katanya orang kaya, beli ayam kok cuma setengah kilo?“

Aku menatap ibu-ibu dengan songkok tadi. Sekilas kulihat Dewi melotot dengan mata hampir keluar dari tempatnya.

“Suka-suka saya dong, Bu. Saya ini orang kaya levelnya bukan ayam potong begini. Ini mah buat pembantu saya di rumah. Saya habis ini mau beli daging dua kilo. Ibu-ibu belum tentu mampu, kan? Apalagi kamu Mira, cuma istri jual tahu.“

“Iya-iya, Wi. Aku cuma mampu beli ayam doang gak kayak kamu,” ucapku berusaha menengahi pembicaraan ini. Ibu-ibu dengan songkok di kepalanya seperti berniat untuk membalas. Kutahan tangannya agar ia tak kelepasan.

“Nah, gitu dong. Udah miskin sadar diri.“ 

Aku menggeleng begitu Dewi berjalan meninggalkan tempat potong ayam. Seketika suasana memanas tadi tampak damai dan tentram.

“Orang kayak gitu mah mesti dibalas Mbak, jangan terlalu sabar. Dia selalu merasa hidupnya di atas terus. Padahal roda itu, kan, berputar.“

“Iya, Bu, biar saja, biar cape sendiri.“

“Ih saya mah gergetan atuh lihat mbaknya sabar banget.“

Aku tak membalas lagi, ayamku sudah selesai dipotong. Setelah berpamitan dengan si ibu tadi aku bergegas ke luar dari pasar.

Sampai di parkiran aku celingukan mencari tukang becak untuk membawaku pulang. Malah tak sengaja bersitatap dengan seseorang. Buru-buru aku berbalik pergi sebelum dia menyadari keberadaanku.

“Mira!“

Aku menghela nafas, berusaha memprcepat langkah tapi dia lebih cepat dari dugaan dan menghalang jalanku kini. 

“Minggir David!“ ucapku penuh penekanan dengan mata berkilat marah. Namun lelaki di depanku seolah tak gentar, ia tetap tak bergerak dari tempatnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Feri
Cakep ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 2 : Tersisihkan

    “Minggir David!“ “Kamu mau pulang, kan? Ayo aku antar.“ Dia berucap tanpa memperdulikan perkataanku barusan. Tangannya terulur berusaha mengambil alih belanjaanku. Sontak aku mundur ke belakang guna menghindari tangannya bersentuhan denganku. Aku memutuskan berbalik dan lewat dari arah lain. Tapi David kembali menghadang jalanku. “David minggir! Kenapa kamu terus-terusan menghalangi jalanku?“ “Aku berniat membantu Mira. Kamu nampak kesusahan, suami kamu mana? Kenapa dia biarin kamu belanja sendirian?“ “Aku gak butuh bantuan kamu, tentang di mana suami aku saat ini bukan urusan kamu. Yang jelas sekarang dia lagi cari nafkah dengan bekerja, bukan ongkang-ongkang kaki nikmatin hasil kerja keras orang tua.“ Perkataanku sepertinya sedikit menyinggung David. Dia diam seketika dan itu kumanfaatkan untuk pergi dari hadapannya. Tak kusangka David nekat. Ia menahan tanganku yang buru-buru kutepis keras hingga belanjanku jatuh. “Kenapa sih, kamu selalu nolak keberadaanku Mir. Kenapa kamu

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 3 : Mas Haris Hilang

    Maghrib di rumah Ibu berlangsung. Aku bangkit dari duduk dengan kuping panas mendengar ocehan dari keluarga yang sedari tadi tak berhenti. Kuhampiri Mas Haris yang sedari tadi menepuk tangan dan kakinya karena nyamuk yang hinggap. Laki-laki itu masih tetap berada di depan pintu selama beberapa waktu. “Mas, kita pulang saja, ya!“ ucapku padanya tak tega. “Loh kenapa? Kan, makan-makannya belum mulai, Dik.“ “Kita gak usah ikut. Yang penting udah datang.“ “Kamu kasihan sama, Mas?“ Aku mengigit bibir dengan mata berkaca. Mas Haris tahu keresahanku. “Kalau kita pulang sekarang Bapak bakalan sedih karena anaknya pulang cepat. Bapak pasti masih rindu sama Mira.“ “Tapi Bapak seperti tak peduli. Mereka juga terus menghasutku untuk meninggalkan Mas. Aku tak tahan lagi, mau pulang Mas.“ “Sebentar lagi ya! Gak enak sama keluarga kamu. Nanti Mas juga yang dianggap salah karena kita pulang duluan.“ Mau tak mau aku mengangguk, perkataan Mas Haris ada benarnya. Sudah cukup selama ini mereka

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 4 :Penguntit

    Sesampainya di rumah, aku bergegas mengambil kotak P3K dan mengobati lebam di mata dan sudut bibirnya Mas Haris yang belum berani kutanyakan apa sebabnya. “Pelan-pelan, Dik!“ ucapnya bersuara lagi setelah beberapa saat kami saling diam. Gerakan tanganku terhenti, aku menatapnya dengan rasa penasaran yang amat sangat. “Mas sebenarnya tadi darimana saja? Kenapa lama sekali baru kembali. Keadaannya begini pula, ponsel Mas juga gak aktif berulangkali Mira hubungi.“ “Mas dari masjid, Dik, adik, kan tahu sendiri“ “Kok bisa babak belur.“ Mas Haris menghela nafas sembari menatapku lekat.“Mas bohong?“ Selidikku menatapnya. “Sebenarnya setelah shalat maghrib dan dalam perjalanan menuju rumah Bapak, Mas dicegat beberapa orang dan dipukuli oleh mereka. Ponsel Mas diinjak hingga rusak seperti ini.“ Mas Haris menunjukkan ponselnya padaku. Layar retak-retak dan sepertinya sudah tak bisa digunakan lagi. “Astagfirullah? Kenapa mereka memukuli Mas? Siapa mereka sebenarnya? Perampok? Apa yang me

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 5 :Tetangga Baru

    Dari pagi sampai sore ini kuperhatikan. Mobil David sama sekali tak tampak di depan rumah walau aku masih tak berani ke luar. Entahlah, setelah aku memikirkan perkataan Mas Haris kemarin, dia akan membuat David jera. Memangnya apa yang bisa dilakukan suamiku. Suara air yang sudah matang dari arah dapur membuatku tersentak kemudian berlari pergi secepat mungkin. Teko air sudah mendidih dan menimbulkan bunyi nyaring. Aku segera mematikan kompor. Aku membalik jumput-jumput yang sedang kugoreng. Sedikit kehitaman karena aku meninggalkannya cukup lama tadi. Cukup banyak pisang yang ada di dalam kulkas, aku memutuskan membuat penganan ini untuk berbuka nanti.Kupilih beberapa yang tidak gosong dan menatanya dalam piring. Terlalu banyak juga tak akan habis, aku berniat membagi ke tetangga. Aku ke luar dari rumah dengan piring berisi jumput-jumput di tangan, hendak berjalan menuju rumah Bu Gia, namun sedikit bingung saat melihat rumah yang berada di sebelah kiri rumahku tampak berbeda dar

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 6 : Curiga

    “Mas kenal dengan tetangga sebelah?“ tembakku langsung saat aku dan Mas Haris sudah selesai shalat maghrib dan sekarang sedang menyantap nasi. “Yang mana?“ “Yang baru pindah.“ “Loh, Mas mana tahu, kan baru pindah. Lihat orangnya juga belum.“ “Terus kenapa tadi dia tahu kalau aku istri Mas ya?“ “Asal tebak mungkin.“ “Gak mungkin.“ “Tahu dari tetangga yang lain.“ Ah benar saja, tak terpikir olehku. Mungkin saja gadis itu tahu dari Bu Gia. Tapi, kenapa saat kutanya kembali gadis itu terlihat takut? Dan lagi, sekarang Mas Haris tak berani menatap ke arahku saat berbicara. Hal yang ia lakukan setiap kali ia berbohong. Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku. Tentang hal jelek Mas Haris dan gadis yang tinggal di sebelah. Jangan-jangan …. “Dik!“ Aku tersentak, menoleh ke arah Mas Haris yang tengah melambaikan tangan di depan wajahku. “Kenapa, Mas?“ “Dari tadi dipanggilin gak nyahut, mikirin apa?“ “Bukan apa-apa, Mas bilang apa tadi?“ “Besok, gimana kalau kita buka di luar?“ “B

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 7 : Cincin 500 Juta

    Acara reuni tetap berlanjut dan aku tak melihat Dewi di manapun. Entah mungkin ia sedang berganti baju atau bagaimana aku tak terlalu memperdulikannya. “Lama lagi ya waktu berbuka?“ Pertanyaan Fitri membuatku menoleh dari layar ponsel. Mas Haris mengirim pesan dan menanyakan keberadaanku. Kasihan juga dia pasti sedang berbuka sendirian di rumah. Aku jadi menyesal ikut bukber di sini. “Lima belas menit lagi, Fit, sabar ya!“ ucapku menepuk bahunya. Ia hanya menghela nafas sembari mematikan ponsel. “Hai Mira, Fitri, apa kabar?“ Seorang wanita cantik menghampiri meja kami. Viola, salah satu teman yang merupakan istri dari pengusaha berlian. Dulu, dia begitu akrab dengan kami. Berbeda dengan Dewi, Viola yang lebih kaya saja gayanya tidak sesombong wanita itu. “Baik Viola, kamu bagaimana?“ jawabku dengan senyuman. Ia menyibakkan gamisnya dan menampilkan perutnya yang buncit. “Alhamdulillah lagi hamil anak kembar.“ “Wah selamat, Vi,” ucap Fitri sembari memeluk Viola, aku mengikuti

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 8 : David Sudah Gila

    “Kalau begitu, Mas akan mengatakan, sebenarnya ….“ Aku menunggu dengan tidak sabar dan jantung berdebar. Setiap perkataan yang ke luar dari mulut Mas Haris entah kenapa malah terasa lambat. “Sebenarnya ….“ “Ya.“ “Mas ….“ “Hm?“ “Tadi minum kopi tiga gelas di warkop Mbah Ruslam saat buka puasa karena kamu gak ada di rumah, Dik.“ Aku terpaku dengan mulut terbuka, walau perkataan Mas Haris sedikit membuatku kaget karena dia memang kularang minum kopi banyak dikarenakan asam lambungnya, namun bukan hal ini yang ingin kudengar. “Mas?“ ucapku tak mampu lagi mengatakan apa pun. Aku hanya bangkit dari tempat duduk sembari memegangi cincin yang tertaut di jemari. “Dik kamu gak marah, kan?“ tanya Mas Haris menahan tanganku hingga membuatku berbalik. Aku menjawab pertanyaannya dengan gelengan. “Enggak Mas, aku cuma capek saja.“ Mungkin … apa yang dikatakan Viola tak benar adanya. Mas Haris cuma tukang tahu, laki-laki yang menjadi suamiku itu tak mungkin punya uang sebanyak lima ratus

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 9 : Siapa Sebenarnya Ghea?

    Mataku mengerjap kala mendengar suara seseorang sedang berbicara. Pusing yang melanda kepala membuat sedikit sulit untuk membuka mata sementara bias cahaya di atas sana sedikit membuat silau mata. Samar-samar saat aku menoleh ke samping, kulihat Ghea sedang berdiri tak jauh dariku dengan posisi membelakangi. Ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. “Baik Pak, saya memastikan Bu Mira aman bersama saya.“ Sayup-sayup kudengar suaranya terlintas dalam benak. Pak? Siapa yang tengah gadis itu telpon bahkan dengan membawa-bawa namaku. “Ghea, itu kamu?“ tanyaku memastikan dengan suara lirih. Perlahan Ghea berbalik, dapat kulihat wajahnya tampak panik saat menoleh ke arahku. Dengan cepat ia menutup panggilan dan berjalan cepat menghampiriku. “Bu Mir— maksud saya Mbak Mira sudah sadar?“ tanyanya sembari memperhatikanku dengan lekat, lalu tampak bernafas lega setelahnya. “Saya di mana?“ tanyaku sembari memegangi belakang kepala yang sedikit nyeri, rasa pusing masih samar-samar kurasa

Latest chapter

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 85 : Pergi

    POV Haris"Mas," panggil Kanya membuatku menoleh. Tanpa sadar sedari tadi selama duduk di kursi, aku hanya melamun tanpa terganggu dengan lalu lalang orang yang lewat dan pesta dengan banyak orang ramai ini.Lagipula, tak ada satupun yang aku kenal di pesta ini. Semua yang menyalamiku hanya memberikan ucapan selamat sebagai basa-basi. Tak ada yang dikenal dekat kecuali satu orang yang sedari tadi membuatku kepikiran. Seseorang itulah yang membuat pikiranku sedikit kacau dan banyak melamun sejak tadi.Pak Fadlan, lelaki paruh baya dan kata-katanya sangat membuatku kepikiran. Rasanya tak mungkin orang biasa bisa seberani itu mengutarakan hal yang menurutku sedikit tidak sopan."Semuanya hanyalah tipu muslihat, Haris. Saya tak bisa berbuat banyak. Wanita itu telah melakukan banyak hal untuk merenggut hampir seluruh hidupmu. Yang bisa kulakukan hanya berdoa semoga ingatanmu cepat pulih karena yang kau lakukan saat ini adalah sebuah kesalahan besar."Wanita mana yang Pak Fadlan maksud? Seme

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 84 : Siapa Lelaki Paruh Baya Itu?

    POV HarisAwalnya kupikir memang ada yang disembunyikan oleh Kanya. Namun, saat melihat isi dalam gudang di halaman belakang pagi ini dengan rasa penasaran yang begitu menggebu, akhirnya aku tahu kalau Kanya memang tak menyembunyikan apapun.Tak ada apa-apa di sana. Hanya barang rongsokan berdebu yang disusun acak. Kecurigaanku sama sekali tak terbukti. Mungkin Kanya dan Mbak Wati hanya sedang berbicara serius tentang suatu hal hingga harus pergi ke halaman belakang, di mana tak ada orang.Aku menghela nafas, perasaan bersalah itu kembali menyelimuti. Entah benarkah ini, aku selalu berprasangka buruk pada Kanya."Tak ada jejak apapun yang membuktikan prasangkaku," ucapku menelisik sekali lagi isi ruangan yang berdebu tersebut. Lantas berbalik dan pergi keluar dari gudang belakang.Sesampainya di kamar, aku menemukan beberapa pesan dan panggilan tak terjawab dari Kanya. Tanpa pikir panjang aku segera menelponnya kembali."Ada apa?""Kamu gak lupa hari ini acara kita, kan, Mas?" tanya Ka

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 83 : Gagal

    POV Mira"Dia mengubah gedung yang ia sewa untuk pernikahan demi mengecoh kita."Aku bergeming. "Kalau begitu pernikahannya ...?"Aku menggeleng, berusaha mengenyahkan pikiran buruk dari kepala. Aku tak ingin memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Tidak sebelum aku membuktikannya."Jalu, apa Kanya tahu kalau kau berusaha merusak acaranya? Apa dia sempat melihatmu? Atau bahkan mata-matanya pernah memergokimu?""Saya pikir itu tidak mungkin, Bu Mira. Karena saya sudah sangat berhati-hati melakukannya. Termasuk membayar orang-orang yang saya percayai."Aku mengusap wajah dengan kasar, membenarkan letak hijab yang sudah tak karuan bentuknya."Jadi, kau melakukannya dengan bantuan orang lain juga?""Kita tak bisa melakukannya sendiri, Mbak. Untuk masuk ke dalam gedung, kami harus punya akses yang dipegang oleh orang-orang Kanya," ujar Ghea mewakili Jalu berbicara."Kalau begitu, secara tidak langsung kalian telah melakukan persekongkolan dengan orang-orang Kanya?""Y

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 82 : Hari Pernikahan

    POV MiraAku menggeleng tak habis pikir, namun juga tak menyalahkan. Mbak Wati berhasil menukar foto dalam gudang itu dengan foto Kanya bersama Mas Haris.Aku tahu, Mbak Wati melakukan hal itu karena terpaksa, dia juga menuruti Kanya karena takut dengan ancaman wanita itu.Untung saja aku sempat memeriksanya. Meski itu harus membuatku tidur hanya beberapa jam saja dan berusaha bangun sepagi ini. Saat langin masih gelap dan adzan subuh belum berkumandang.Aku tahu Kanya pasti merencanakan sesuatu dengan foto ini. Salah satu kemungkinan yang ada dalam pikiranku. Dia tak ingin Mas Haris secara tak sengaja menemukan foto ini dan ingatannya kembali."Wanita itu sangat licik," gumamku dengan tangan terkepal. Meski berusaha keras untuk tak memasukkan hal-hal negatif yang bisa memengaruhi pikiran dan nantinya akan berpengaruh ke janinku. Aku tetap tak bisa mencegahnya.Tingkah Kanya benar-benar sudah di luar batas. Dia dengan keegoisannya berusaha untuk meraih apa yang dia inginkan walau deng

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 81 : Foto-Foto Pernikahan

    POV Haris"Tuan ... sedang apa?" Aku terpekik kaget, saat melihat Ira tiba-tiba muncul di hadapanku. Segera aku menariknya untuk ikut bersembunyi di balik meja karena pekikanku tadi, mungkin sedikit terdengar oleh Kanya dan Mbak Wati."Kenapa kita bersembunyi, Tuan?" tanya Ira sesaat setelah kami terdiam cukup lama dalam keadaan saling bertatapan. Aku bergeming, tidak mungkin kujelaskan aku sedang menguntit Kanya. Bisa-bisa Ira menaruh curiga padaku. "B--bukan apa-apa sebenarnya. Tadi ada tikus, jadi saya sedikit terkejut.""Benarkah? Di mana? Baru kali ini saya mendengar ada tikus di rumah ini," ucap Ira sembari celingukan."Kamu, kan, baru kerja dua hari. Tidak tahu kalau di rumah ini sering banyak tikusnya."Ira menatapku dengan dua alis saling bertaut. Sepertinya masih cukup bingung. Entahlah, aku tak mengerti apa yang ada di pikirannya saat ini."Sebaiknya kamu kembali ke kamar untuk beristirahat. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu kalau kau terlalu banyak bergerak ke san

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 80 : Tingkah Aneh Kanya

    POV Haris"Ira pulanglah, aku yang akan menemani Mas Haris di rumah sakit," ujar Kanya usai beberapa dokter dan perawat yang tadi datang memeriksa keluar dari ruangan."Aku akan pulang," ujarku cepat. "Lagipula kondisiku tak terlalu parah sampai harus dirawat di rumah sakit.""T--tapi Mas, ini juga untuk memastikan kalau kondisi kamu dalam keadaan baik-baik saja. Besok juga sudah hari pernikahan kita, kamu harus dalam keadaan sehat.""Kanya, apa kau lihat kondisiku memburuk?" ucapku penuh penekanan. Wanita berambut lurus itu menggeleng."Kalau begitu aku tetap pulang. Berada di rumah sakit ini juga tak memastikan kalau aku bisa beristirahat dengan baik.""Baiklah kalau begitu aku antar, ya," pinta Kanya sembari hendak memeluk lenganku.Aku menepisnya, tak kupedulikan gerutuan Kanya yang mengganggu telinga. Kulirik Ira yang sedikit terkejut."Ayo Ira, kau juga harus pulang bersama kami."****"Mas berubah!" Aku menoleh, menghela nafas saat menatap Kanya dengan bibir mencebik tengah me

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 79 : Kamu Siapa Sebenarnya Ira?

    POV HarisRasanya lega, kelegaan yang datang dari hati tanpa terpaksa. Usai kutunaikan kewajibanku sebagai umat muslim, seolah angin sejuk itu datang. Mengguyur dan menyiram rohani hingga ke kalbu."Tak pernah sedamai ini sejak aku bangun usai kecelakaan itu," ucapku sembari menatap sajadah yang masih terbentang. "Aku seolah kehilangan diriku sendiri di tengah hiruk pikuknya masalah."Aku bangkit, merapikan sajadah dan kopiah yang tersimpan di sudut lemari. Tertumpuk oleh banyaknya pakaian dan barang-barangku yang tak terpakai, seperti sudah sangat lama aku meninggalkannya.Aku menatap nanar pada cermin di hadapan. Pada diriku yang tampak tak kukenali. Pandanganku beralih pada dinding di samping.Bekas pigura yang hendak kucari tahu, namun terhenti karena Mbak Wati seperti mencegahku melakukannya. Jujur aku begitu penasaran.Mbak Wati, orang yang kupercaya itu sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku. Bekas pigura yang kutanyakan padanya itu pasti adalah sesuatu yang ia rahasiakan. Ka

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 78 : Kebiasaan

    POV HarisAku tak tahu entah apa yang terjadi dengan diriku saat ini. Pertama kali wanita ini datang ke rumah setelah Mbak Wati meminta untuk menambah asisten rumah tangga baru, aku seperti merasakan sesuatu hal yang aneh padanya.Tatapannya, mata itu, meski aku tak mengingatnya sama sekali tapi aku sangat yakin. Ira, adalah sesorang yang kukenal atau dia yang mengenaliku. Karena tatapan itu ... penuh dengan kerinduan.Dan seharusnya, tatapan itu tidak ditujukan padaku orang yang baru dia kenali. Aku yakin ada sesuatu tentang Ira. Awalnya begitu, sampai dia mengatakan hal yang membantahkan pikiranku. Apalagi perkataan Kanya yang membuat perasaanku semakin bimbang.Aku membuka lengan yang menutup mata. Menatap langit-langit kamar. Perasaan asing itu mulai kembali lagi. Ingatan yang bahkan tak kuketahui sekalipun. "Rasanya hampa, seperti ada yang hilang dariku," bisikku sembari menghembuskan nafas perlahan. Pikiranku kacau, tapi aku sama sekali tak bisa tidur. Aku bangkit dari atas r

  • Suamiku Tukang Tahu   Bab 77: Telur Orak Arik

    "Gimana Mbak? Kalau Mbak setuju dengan rencana kami, Jalu akan segera melakukannya. Dia ada di gedung tepat di mana pesta pernikahan Pak Haris dan Kanya akan dilangsungkan."Aku tersenyum, bahkan tanpa lama berpikir atau mempertimbangkan perkataan Ghea, aku segera mengangguk untuk menyetujui perkataannya.Sedikit ekstrim, tapi rasanya hal itu pantas dilakukan karena memang pernikahan Mas Haris dan Kanya tak boleh dilaksanakan. Pernikahan mereka atas dasar kebohongan. Dan aku sebagai istri sahnya tak akan pernah menyetujui hal tersebut, sampai kapanpun!"Lakukan Ghea, katakan pada Jalu untuk melakukan apapun. Semua hal yang bisa membatalkan pernikahan suamiku dengan wanita tak waras itu. Aku mengizinkannya," tukasku seraya menggebu-gebu.Ada emosi yang terasa dalam setiap ucapanku. Yah, tak dipungkiri aku masih merasa marah atas semua hal yang terjadi saat ini. Dan ini semua terjadi setelah Kanya masuk dalam hidup kami."Mbak tenang saja, Jalu berada di pihak Mbak. Dia juga sangat seti

DMCA.com Protection Status