Syifa terdiam memperhatikan apa yang Tito bawakan untuknya, setumpuk beberapa buku tebal. "Mas, seharusnya. Mas Tito nggak perlu bawain buku sebanyak ini?" "Nggak apa-apa, Mas tau jurusan yang kamu ambil membutuhkan buku yang nggak dikit, jurusan kita sama, jadi ini ada beberapa buku punya Mas. Yang sudah nggak di pakai, kamu bisa pakai aja, dari pada kamu belikan. Ya memang sih kamu masih harus beli buku yang baru, karena kadang ada yang nggak sama materinya, tapi paling nggak. Buku Mas bisa bantu,* ujar Tito panjang lebar. Syifa meringis malu. Ia tidak enak selalu saja merepotkan pria yang begitu baik dengannya. "Tapi Mas, aku sudah bilang kemarin. Aku nggak enak, ini pasti buku-buku mahal,""Justru itu, karena buku ini mahal. Mas mau kasih ke kamu, supaya bisa berguna. Kalau cuma Mas pajang di perpus rumah Mas, nggak ada gunanya. Malah nanti rusak nggak bisa di pakai."Berpikir sejenak, sebelum ia menerima pemberian Tito. "Udah terima aja," keduanya kompak menoleh, ketika suara Da
Waktu terasa begitu cepat bergulir, Aya sudah bisa melewati masa masa sulit ketika hamil muda, seperti mual dan pusing, kini kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Dan perempuan itu semakin manja dengan Dafa, ngidamnya pun kadang semakin aneh aneh, untung saja Dafa itu tidak pernah protes. Ada waktu itu, Aya ngidam meminta Dafa masak namun menggunakan pakaian wanita, awalnya pria itu menolak. Tapi berhubung Aya memohon dan wanita itu sudah ingin menangis, akhirnya Dafa menuruti, sebab. Ia tidak suka dan tidak ingin jika Aya menangis, ada juga Aya pernah ngidam buah rambutan, yang jadi masalah bukan karena buahnya, tapi karena Aya ngidam di saat buah tersebut belum musimnya. Jadilah Dafa keliling kota, bahkan sampai keluar kota untuk mencarikan buah tersebut, akhirnya setelah berjuang Dafa menemukan buah tersebut di salah satu desa terpencil di daerah kota karawang, entah bagaimana bisa Dafa bisa masuk kedalam pelosok sebuah desa, yang tidak terlalu kecil, namun tidak terlalu
Kerutan di kening Aya semakin dalam, ketika Dafa mengajaknya pulang, namun ia di bawa ke belakang tempat restoran itu. "Kenapa kita kesini Mas?" Aya menahan tangan Dafa, menatap pria itu penuh tanda tanya. "Ehmm," Dafa menggaruk keningnya bingung, "Eh ini sayang. Apa? ituloh jalanannya lagi di perbaiki, banyak debu. Aku nggak mau kamu kena debunya, kan nanti bisa bahaya buat dedeknya,""Perasaan tadi kita datang nggak ada yang ngerjain apa-apa Mas, tapi kenapa sekarang ada?""Ya Mas kurang tau, tadi Mas juga baru dapat informasi nya pas makan siang." bohong Dafa dengan terpaksa. Aya mengangguk beberapa kali, meskipun dia masih heran. "udah yuk," lagi Aya mengangguk patuh. Dafa mencari jalan alternatif, yang membuatnya tidak lewat jalan utama, melewati perkampungan dengan ukuran jalan yang sempit. Aya sempat heran dan ingin bertanya lagi, namun ketika sudah menggerakkan tangan, Dafa mendapatkan telepon yang membuatnya urung bertanya. Lagipula, suaminya itu tengah fokus menyetir
Belum lama masuk, Syifa sudah keluar lagi dengan membawa satu kotak p3k, gadis itu buru buru duduk di samping pria yang terus menatapnya dengan senyum di balik luka lebam di bibirnya. "Biar aku obatin ya Mas?" izin Syifa yang mulai menaruh cairan alkohol ke kapas putih, Tito hanya mengangguk mempersilahkan gadis itu. "Tahan Mas," Tito sedikit membulatkan matanya ketika jarak mereka begitu dekat, bukan hanya menahan sakit jika seperti ini, namun menahan napas pun Tito lakukan. Pria tersebut begitu gugup, apalagi dengan jarak sedekat itu, fokus matanya bukan lagi ke wajah, tapi ke bibir ranum Syifa, susah payah Tito menelan ludah, dia adalah pria normal, jika berdekatan seperti ini, hasratnya pun bergejolak. "Syifa?" panggil Tito dengan suara beratnya. "Ehm?" gadis itu belum menyadari atau memang Syifa jya terlalu polos. Tersadar dari pikiran buruknya, Tito menjauhkan kepalanya, ia memalingkan wajah dengan napas yang memburu. Syifa yang memang tidak mengerti, tersentak kaget samb
Semenjak Rama datang mengacak acak restonya, Dafa tidak mengizinkan Aya keluar rumah, atau ikut dengan lagi ketika ia ingin ke resto atau cafenya.Meskipun kadang perempuan itu ngeyel sampai harus marah, namun Dafa tetap tegas menolak permintaan istrinya, bukan dia tidak sayang dan tidak mau, ini semua demi kebaikan Aya, sayangnya dia tidak berani mengatakan sesungguhnya. Seperti saat ini, wanita itu tengah merajuk dan merengek minta ikut suaminya yang akan pergi ke resto. "Ayolah Mas, sekali aja. Aku mau ikut, aku janji nggak akan ganggu." mohon Aya, dengan wajah berbinar. "Nggak sayang, pokoknya kamu tetap di rumah. Tolong ngertiin aku dan jangan bandel, ini demi kamu dan anak kita." ujar Dafa tegas tak ingin di bantah. "Sebenarnya Mas kenapa? aku punya salah ya?" ucap Aya berwajah sendu. "Maafin aku Mas, kalau aku hamil malah bikin Mas Dafa kesal dan nggak suka," sambung Aya lagi, gerakan tangan pun pelan. Dafa menarik dan membuang napasnya begitu pelan, sembari memijat kenin
Ivan sepertinya adalah tipe pria keras kepala dan suka berbelit belit, selama dalam pemeriksaan. Lelaki itu tidak ada seriusnya sama sekali, setiap di tanya siapa yang menyuruhnya. Maka jawabannya selalu sama, yaitu tidak tau, namun setelah beberapa menit di tanya lagi. Jawabannya berubah, katanya yang menyuruhnya adalah bos besar. Melihat tidak ada kata serius dari Ivan, membuat Dafa geram, apalagi Tito yang memang memiliki kesabaran tipis dan mudah emosian. Jika saja tidak di kantor polisi, Ivan sudah babak belur, di tangannya, atau bahkan sudah tidak memiliki nyawa. "Jawab yang jujur!" hardik polisi begitu tegas. "Lho, gimana sih Pak. Saya sudah jujur."BUGH! Satu pukulan telak mengenai rahangnya, dan tonjokan itu berasal dari tangan Dafa, pria itu pun sama seperti Tito yang sudah tidak bisa bersabar lagi. "Sabar Pak, jangan main hakim sendiri." hardik petugas kepolisian itu. "Saya bukan main hakim sendiri, Pak. Tapi saya sudah kesal karena dia nggak mau jujur!" tuding Dafa
"Tadi katanya ada yang marah-marah," goda Dafa ketika pria itu masuk kamar, dan melihat istrinya tengah duduk di kursi menghadap kearah luar jendela. Perempuan itu menoleh, senyumannya terbit begitu cerah mengetahui jika suaminya sudah pulang, ia berlari kecil lalu memeluk bergelanyut manja di dada bidang Dafa. "Kenapa nggak kasih tau aku, kalau kamu mau makan Pancake, sayang?" Aya sedikit menjauh lalu menggerakkan tangannya. "Aku pengin coba masak sendiri, di bantu Ibu. Tapi ternyata rasanya nggak seenaknya buatan Mas Dafa, aku kesal sama diri aku sendiri. Padahal takaran dan bahan-bahannya sama, tapi kenapa rasanya beda." ucap Aya berbahasa isyarat, wajahnya pun tertekuk lesu. Hal itu mengundang tawa dari Dafa, istrinya ini kenapa selalu membuatnya gemas. "Nggak boleh nyalahin diri sendiri gitu Ah! setiap orang-orang kan beda, aku tadi sudah makan pancake buatan kamu kok, dan rasanya enak. Siapa bilang nggak enak? Ehmm." Dafa mencolek ujung hidung Aya. "Aku buatin lagi ya?" Aya
Tak ingin melihat Syifa bersedih, Tito berusaha menghibur gadis itu, entah ucapan ataupun tindakan. Padahal tanpa dia sadari, hal itu semakin membuat Syifa berdebar dan salah tingkah, seperti saat ini. Pria itu belum mau mengajak Syifa pulang, mereka mampir ke kesai es krim yang cukup terkenal di kota Jakarta, tentu Syifa senang. Siapa yang tidak senang, datang ke tempat makanan favoritnya, ia paling hobi makan es krim dengan rasa coklat ataupun tiramisu. Tapi ada satu hal yang membuat Syifa kesal, yaitu. Banyak anak remaja atau pun perempuan yang cukup berumur menatap kagum pada Tito, ada juga yang terang-terangan minta di goda oleh pria tersebut, siapa juga yang tidak terpesona dengan penampilan Tito. Pria itu menggunakan kemeja hitam yang di gulung sampai siku, dengan satu kancing bagian atas terbuka, di tambah aksen rambut sedikit berantakan. "Kenapa sih? Mas ajak kesini masih di tekuk gitu mukanya?" goda Tito mencolek dagu gadis itu. "Mas lihat kita jadi pusat perhatian pen
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel
Brak!! Suara gebrakan terdengar begitu keras di salah satu tempat kecil dan sedikit gelap. Di sana ada satu perempuan tengah duduk di kursi tangan dalam keadaan terikat di belakang tubuhhya. Tangisan pun terdengar lirih di sela keheningan yang ada, perempuan itu tidak sendiri, ada dua laki-laki berjas hitam. "Maksud kamu apa datang ke toilet ketika sepi, dan ingin melabrak pacar saya?!" ujar suara bariton di hadapan perempuan itu, dan suara pria tersebut tak lain adalah Tito. Ia menyuruh anak buahnya untuk menculik Felly dan membawanya di salah satu gedung kosong, Tito hanya ingin sedikit memberi pelajaran kepada wanita yang sudah membuat sang kekasih ketakutan. "Kamu mau celakai Syifa? IYA?!" Felly terlonjak kaget mendengar bentakan dari Tito. "Kamu nggak tau berhadapan dengan siapa? kamu pikir saya diam aja, ketika ada orang yang mau menyakiti pacar saya."Tubuh Felly menegang, ia begitu ketakutan melihat raut wajah Tito, yang biasanya ia lihat begitu tampan, kini berubah men
"Syifa. Kamu nggak apa-apa kan dek?" tiba di rumah Syifa langsung di lihat kondisinya oleh sang Kakak. Tadi Dafa mendapatkan kabar dari Tito, Syifa di ganggu oleh salah satu mahasiswi di sana, tentu Dafa langsung kalang kabut bahkan ia ingin menyusul Syifa ke kampus. Namun urung, saat Tito mengatakan jika masalah ini biar dia yang mengurus. "Aku nggak apa-apa, Mas. Tadi aku telepon pihak keamanan di kampus, jadi alhamdulillah sebelum aku kenapa-napa, satpam sudah datang dan tolongin aku. Lagian tadi juga ada teman aku yang bantuin, kalau nggak ada siapa-siapa, ya aku nggak tau nasib aku." ujar Syifa. "Alhamdulillah, Mas khawatir banget sama kamu dek.""Tenang aja, Daf. Syifa aman kalau sama gue." timpal Tito. "Tolong ya ngaca. Lo ya sumber dari masalah ini," sungut Dafa kesal. "Lah kok gue?'" Iyalah, coba lo nggak caper ke mereka. Nggak ada yang bakal ganggu adek gue!""Astagfirullah_ siapa yang caper coba?!" jawab Tito tak terima. "Halah sok-sokan. Nggak mau ngaku lagi," Tito
Syifa berada di kamar mandi bersama satu gadis bernama Weni, dia adalah teman satu bangku dengang Syifa, keduanya terlihat asyik bercanda hingga suara bantingan pintu terdengar cukup keras membuat dua gadis itu terlonjak kaget. "Kalian apa-apaan sih! mau ngapain Hah?!" bentak Weni yang begitu berani. Syifa membulatkan matanya melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam kearahnya. Gadis itu mundur beberapa langkah, ingat pesan dari sang kekasih Syifa buru-buru masuk kedalam satu bilik kamar mandi dan menguncinya dari dalam. "Jangan sembunyi lo! keluar." bentak seorang gadis. "Kenapa, lo takut! dasar cupu." Syifa tak memperdulikan teriakan yang tak lain adalah Felly. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas, Syifa menelpon nomer keamanan kampus, beruntung pihak kampus bisa memberi nomer jika terjadi sesuatu pada mahasiswa atau mahasiswinya. "Hai! mau ngapain kalian di sini. Kalian ke kampus untuk belajar, bukan sok jadi pahlawan seperti ini!" bentak pak Rahmat, m