Akibat salah paham, Zahra dipaksa menikah dengan Zyan, bosnya di kantor. Keduanya tak bisa menolak karena alasan masing-masing. Zyan terancam tidak akan mendapat warisan, sementara Zahra terdesak oleh keadaan. Mereka pun akhirnya sepakat membuat perjanjian sebelum menikah, yang menuntut Zahra agar menurut dan melakukan apa pun yang Zyan inginkan. Lantas, apakah Zahra bisa bertahan dalam pernikahan itu, sementara ia harus menyaksikan Zyan tetap menjalin hubungan dengan wanita lain? Atau akankah Zahra berpaling pada seorang pengusaha muda yang gencar mendekatinya?
View MoreSaat usia kehamilannya hampir menginjak sembilan bulan, Zahra memutuskan mengambil cuti. Selain karena semakin mudah lelah, dia juga sibuk menyiapkan banyak hal untuk calon anaknya. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan perdebatan, akhirnya Zyan dan Zahra memutuskan membuat kamar untuk calon anak mereka.Zahra awalnya menolak ide suaminya tersebut. Namun Rania dan Maryam membantu Zyan memberi pengertian padanya. Dengan adanya kamar itu bukan berarti sang anak akan tidur terpisah dengannya dan Zyan. Kamar tersebut digunakan untuk menyimpan pakaian, perlengkapan, dan mainan selama sang anak belum tidur sendiri di sana. Akhirnya setelah membaca banyak artikel dan mendengarkan cerita dari yang sudah berpengalaman, Zahra pun setuju.Kamar bayi itu dibuat di sebelah kamar mereka yang terhubung dengan connecting door. Jadi mereka bisa masuk ke kamar bayi tanpa harus keluar dari kamar mereka. Selama proses pembuatan kamar dan renovasi, keduanya tidur di kamar tamu. Begitu selesai, mereka
"Assalamu'alaikum." Zahra mengucap salam ketika masuk ke ruang keluarga di mana Rania, Prabu, dan Saffa sedang berkumpul di sana."Wa'alaikumussalam. Wah, menantu kesayangan mama sudah pulang." Rania gegas menghampiri sang menantu. Mencium kedua pipi dan memeluk setelah Zahra menyalaminya."Mama, sehat 'kan?" tanya Zahra usai mengurai pelukan."Alhamdulillah. Mama sangat sehat. Kamu dan anakmu juga sehat 'kan?" sahut Rania."Alhamdulillah berkat doa semuanya, kami berdua sehat," jawab Zahra sambil mengulas senyum di bibir."Aku ga ditanyain kabarnya, Ma," protes Zyan yang baru masuk karena harus mengambil tas belanjaan terlebih dahulu. Rania melirik sekilas pada putra sulungnya. "Kalau kamu sudah jelas terlihat sangat sehat," ucapnya seraya mengajak Zahra bergabung dengannya di sofa."Astaghfirullah, anak sendiri dicuekin. Sebenarnya yang anak kandung aku apa Zahra sih?" Zyan menggeleng melihat sikap sang mama yang cenderung cuek padanya. Beda bila dengan Zahra, mamanya sangat perhat
Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, Zyan dan Zahra akhirnya pergi berdua ke pusat perbelanjaan yang cukup tersohor di Jakarta. Sejak dari rumah Umar, mereka dikawal oleh dua orang bodyguard yang mengikuti dengan sepeda motor. Dua pria itu sengaja mengendarai motor agar lebih mudah bergerak dibandingkan dengan mobil.Zyan dan Zahra memasuki salah satu toko perlengkapan ibu dan bayi yang terkenal dan cabangnya di mana-mana. Pria bercambang tipis itu terus menggandeng tangan istrinya sejak keluar dari mobil. Sesekali juga memeluk pinggang Zahra seperti saat masuk ke dalam lift atau naik ke eskalator.Pramuniaga menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Dia menanyakan barang apa yang ingin dicari. Saat Zahra mengatakannya, mereka kemudian diantar ke tempa di mana barang itu berada."Bagusnya warna apa ya?" Zahra melihat beberapa setelan panjang yang terpajang di sana."Maaf, Bu. Kalau boleh tahu perkiraan jenis kelaminnya apa?" tanya sang pramuniaga."Laki-laki, Mbak," jawab Zahra
"Bang, kira-kira Mama bakal marah atau tidak ya kalau kita belanjanya sama Ibu? Anak kita ini 'kan cucu Mama juga. Siapa tahu Mama juga ingin ikut belanja," lontar Zahra sambil mengelus perut saat mereka duduk berdua di ruang tengah.Zyan mengedikkan bahu. "Abang juga tidak tahu. Coba saja kamu tanya sendiri sama Mama, mau ikut belanja atau tidak. Tapi kamu tahu sendiri kalau Mama ikut, semua pasti ingin dibeli. Daftar yang kamu buat ini ga akan ada fungsinya," ucapnya."Benar juga ya, Bang. Tapi Ibu bilang, aku juga harus mempertimbangkan perasaan Mama. Nanti aku dianggap pilih kasih karena belanja sama Ibu saja," timpal Zahra."Biar kamu ga pusing dan ga ada yang iri antara Ibu dan Mama, kita belanjanya berdua saja. Tidak usah mengajak Ibu atau Mama. Gimana?" Zyan memberi usul pada istrinya."Bisa juga seperti itu, Bang. Tapi nanti kalau aku bingung memilih, siapa yang harus aku tanya?" Bumil itu tak dapat menyembunyikan kegundahannya."Kan ada Abang yang bisa kamu mintai pendapat.
“Ayah dan Ibu sedang pergi ke pengajian teman Ayah yang mau naik haji,” jawab Zahra. “Jadi, kamu di rumah sendirian sekarang?” Zyan memastikan. Wanita yang sedang berbadan dua itu pun mengangguk. “Tadi sendirian, tapi sekarang ‘kan sama Abang,” jawabnya sambil tersenyum. “Ke kamar yuk, mumpung cuma di rumah berdua.” Zyan menaikturunkan kedua alisnya. Memberi kode pada sang belahan jiwa. “Memangnya Abang ga capek?” tanya Zahra dengan wajah tersipu. “Capek abang langsung hilang begitu melihat kamu. Ayo, buruan ke kamar. Keburu Ayah dan Ibu pulang nanti.” Zyan merangkul sang istri masuk ke rumah. Tak lupa kopernya juga dibawa. Setelah mengunci pintu, keduanya menuju kamar Zahra untuk melepas rindu. Gawai Zyan bergetar beberapa kali kala mereka baru saja merengkuh nirwana. Napas keduanya masih sama-sama tersengal-sengal setelah melakukan kegiatan yang membakar kalori. Peluh juga masih membasahi tubuh polos mereka. “Siapa yang menelepon, Bang?” tanya Zahra sambil mengatur napas. “Ab
Terdengar tepuk tangan yang meriah kala Zyan dan seorang pejabat daerah bersamaan menggunting pita, sebagai tanda bahwa hotel telah resmi dibuka dan siap menerima tamu yang akan menginap di sana. Setelah itu pejabat daerah memberikan ucapan selamat atas dibukanya hotel tersebut. Dia berharap dengan adanya hotel ini bisa menarik lebih banyak orang untuk datang ke daerahnya dan mengurangi pengangguran karena menyerap tenaga kerja dari warga sekitar.Zyan dan pejabat daerah itu kemudian berkeliling untuk melihat-lihat suasana di sana. Manajer hotel yang mengikuti mereka memberikan penjelasan ruang-ruang yang mereka lewati dan fasilitas apa saja yang ada di hotel dan bisa dinikmati oleh para tamu.Usai berkeliling, mereka beramah-ramah sambil menikmati hidangan yang disajikan dan dibuat oleh koki hotel. Zyan berbincang dengan pejabat daerah dan beberapa pengusaha dalam satu meja bundar. Mereka membicarakan peluang usaha apa saja yang masih terbuka di sana. Pejabat tersebut mengatakan aka
Malam ini Zyan mengenakan setelan blazer dengan dalaman kemeja putih. Dia tidak menggunakan dasi karena acara makan malam tidak bersifat formal. Tujuan pertemuan malam ini hanya sekedar untuk berkenalan dan berbagi pengalaman, tidak untuk membicarakan bisnis atau kerja sama. Walaupun obrolan para pengusaha pasti tak jauh dari bisnis, tapi suasananya cenderung santai.Zyan melangkahkan kaki ke area restoran dengan tegap dan penuh wibawa. Di belakangnya ada Faisal yang selalu setia mengikuti ke mana pun dia pergi.Para pengusaha lokal yang sudah menunggu kedatangannya langsung berdiri menyambut begitu melihat sosok Zyan yang berkarisma."Selamat malam, Pak Zyan. Perkenalkan nama saya Syamsudin. Usaha saya saat ini di bidang properti." Seorang pengusaha yang berusia sekitar 40-an menyapa Zyan dan mengulurkan tangan terlebih dahulu.Zyan mengangguk dan menyambut uluran tangan tersebut. "Malam, juga," sahutnya.Satu per satu dari kelima pengusaha itu pun bergantian menyapa dan menyalami Zy
Zahra tak mengindahkan pesan terakhir suaminya. Dia lelah terus berbalas pesan dengan Zyan. Jadi bumil itu memutuskan melakukan panggilan video agar tidak perlu mengetik pesan dan bisa melihat wajah tampan yang begitu dirindukannya. Tidak hanya Zyan yang rindu, Zahra juga. Hanya saja Zahra lebih bisa menyembunyikan perasaannya."Assalamu'alaikum, Raja Pemilik Hatiku," sapa Zahra begitu panggilan videonya diangkat oleh Zyan. Wanita yang sedang hamil itu menampakkan senyum termanisnya."Wa'alaikumussalam, Bidadari Surga Abang." Zyan membalas salam yang pujaan hati. Senyum di wajahnya mengembang dengan sempurna. "Maaf ya, Bang, aku video call Abang duluan," ucap Zahra kemudian."Gapapa, abang senang kok bisa melihat wajah cantikmu lagi," sahut Zyan yang berhasil membuat istrinya jadi tersipu malu."Alhamdulillah, kalau abang ga marah. Padahal aku takut tadi Abang marah." Zahra mengungkapkan kekhawatirannya."Abang ga akan marah hanya karena masalah kecil seperti itu," kilah Zyan. Henin
Maryam mengernyit. “Maksudmu apa? Ibu juga membelikan barang-barang seperti Bu Rania?” Zahra mengangguk. “Iya.”Maryam menggeleng. “Ibu juga antusias menyambut kelahiran cucu pertama, tapi tidak dengan membelikan barang-barang. Ibu lebih mendoakan kamu dan anak yang ada di kandunganmu. Ibu memohon kesehatan dan keselamatan untuk kalian. Ibu tidak punya banyak uang seperti Bu Rania, jadi hanya doa yang bisa ibu berikan. Kalau membelikan sesuatu, ibu takut tidak sesuai sama seleramu atau Nak Zyan,” ungkapnya.Zahra menoleh pada ibunya. “Masya Allah, Ibu memang yang paling baik. Justru doa itu yang paling aku butuhkan. Terima kasih sudah selalu mendoakan kami, Bu.” Dia pun memeluk wanita yang sudah melahirkannya itu. “Aku minta maaf karena menanyakan soal tadi. Aku hanya ingin tahu, bukan bermaksud membandingkan Ibu dan Mama,” sesalnya.Maryam mengelus punggung putrinya. “Ibu tahu. Ibu tidak marah, jadi tidak ada yang perlu dimaafkan.”‘Terima kasih, Bu. Aku sayang sama Ibu,” ucap Zahra
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.