“Aku tidak akan menikah dengan Zahra, Ma!” Zyan langsung melayangkan protes pada Rania. Tidak terima dengan keputusan sepihak wanita yang sudah melahirkannya itu.
“Papa tidak pernah mendidik kamu jadi pria yang tidak bertanggung jawab, Zyan! Kalau berani berbuat, kamu harus bertanggung jawab!” Prabu yang sejak awal diam, akhirnya berbicara.
Zyan sontak memandang Prabu dengan tatapan protes. “Pa, aku tidak melakukan apa pun. Untuk apa aku bertanggung jawab? Aku mengatakan soal pacar dan tidur itu hanya untuk melindungi Zahra dari Aswin,” jelasnya untuk membela diri. Dia berharap sang papa lebih bijak dari mamanya.
“Tidak ada salahnya kamu menikah, Zy. Papa setuju dengan Mama, sudah saatnya kamu berhenti bermain-main. Lagian apa yang kamu dapat dengan sering berganti-ganti pacar? Bangga karena sudah meniduri banyak wanita?” Prabu menatap tajam putra sulungnya itu.
Zyan mengusap wajah lalu menyugar rambutnya. Dia merasa gusar. Niat baiknya untuk membantu Zahra malah menjadi bumerang untuknya. Zyan pikir dengan menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada papa dan mamanya akan beres, tapi malah jadi semakin pelik.
“Aku tidak seberengsek itu, Pa. Meskipun aku sering gonta-ganti pacar, tapi tak pernah sekali pun aku tidur dengan mereka.” Zyan menyangkal keras tuduhan papanya. Dia balas membalas tatapan tajam pria paruh baya itu.
“Terus sampai kapan kamu akan bermain-main dengan mereka, Zy? Ingat! Kamu punya adik perempuan. Kamu mau adikmu dipermainkan pria seperti kamu mempermainkan pacar-pacarmu itu?” Nada suara Prabu mulai naik. Tanda kalau kesabarannya mulai terkikis.
“Aku tidak pernah mempermainkan mereka, Pa! Kalau tidak cocok untuk apa dipaksakan bersama,” sanggah Zyan.
Prabu menggelengkan kepala. Tidak sependapat dengan yang dikatakan putra sulungnya itu.
“Kamu sudah dewasa. Sekarang waktunya membangun masa depanmu dengan menikah.” Suara pria paruh baya itu kembali normal dan kekeuh pada pendiriannya.
Prabu kemudian beralih pada sekretaris putranya yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. “Zahra, tolong bilang pada orang tuamu, nanti malam kami akan ke rumah untuk melamar kamu,” tandasnya.
Zahra terkejut saat namanya dipanggil. Gadis itu seketika mendongak dan memandang Prabu dengan tatapan yang tak bisa diartikan. “Apa, Pak? Melamar saya?”
“Ra, jangan dianggap serius. Kita kembali ke kantor sekarang. Urusan kita sudah selesai di sini,” tukas Zyan yang langsung berdiri setelah mengatakannya.
“Zyandru Darmawangsa, mana sopan santunmu?!” sentak Rania marah. Hal itu ditandai dengan memanggil nama lengkap sang putra sulung. “Satu langkah saja kamu beranjak dari sana, mama pastikan akan langsung mencoretmu dari kartu keluarga dan daftar ahli waris.” Wanita yang tetap cantik dan anggun saat marah itu akhirnya mengeluarkan senjata andalannya.
“Ini tidak adil, Ma!” protes Zyan yang tak terima akan dicoret sebagai ahli waris.
“Duduk atau mama telepon pengacara keluarga sekarang!” perintah Rania pada putra sulungnya. Tegas dan tidak mau dibantah.
Zyan kembali duduk. Dia tidak mau dicoret dari daftar ahli waris begitu saja. Selama ini dia sudah bekerja keras mengurus beberapa perusahaan keluarga. Jelas Zyan tak mau kerja kerasnya sia-sia. Dia sudah berjuang, masa mau didepak begitu saja. Tidak adil ‘kan?
Rania mulai terlihat tenang setelah Zyan duduk. Setelah beberapa saat mengatur napas, dia kembali berbicara.
“Zy, sebenarnya kami berniat baik. Kamu saja yang tidak mau membuka hati. Coba lihat Zahra baik-baik. Selain cantik, dia pekerja keras, jujur, baik hati, sopan dan Insya Allah akhlaknya bagus. Kamu pernah belajar agama ‘kan? Memilih istri yang utama itu adalah yang bagus agama dan akhlaknya. Nah, Zahra masuk dalam kriteria itu,” paparnya.
“Mama dan Papa tidak ingin kamu terus terjerumus dalam dosa, Zy. Karena itu menikah adalah jalan agar kamu tidak berzina lagi dengan wanita-wanita tidak jelas yang pakaiannya kurang bahan itu!” tandas Rania.
“Ma, jangan memandang orang hanya dari penampilannya saja! Mereka yang penampilannya terbuka belum tentu akhlaknya tidak bagus,” sanggah Zyan.
“Maksudmu seperti pacarmu yang artis itu?” tanya Rania dengan sinis.
Zyan mengangguk. “Namanya—” Belum selesai bicara, Rania sudah menyelanya.
“Mama tidak peduli, Zy. Dengar ya! Sampai kapan pun mama tidak akan merestui kamu menikah dengan wanita seperti pacarmu itu. Mereka hanya mengincar harta dan kekuasaan keluarga kita. Kamu harusnya menyadari hal itu. Mama hanya ingin kamu menikah dengan wanita seperti Zahra. Titik!” Rania mengakhiri ucapannya dengan tegas.
Zyan dan Zahra hanya diam. Keduanya tidak tahu harus mengatakan apa. Membantah Rania juga percuma karena dia akan tetap keukeuh pada keputusannya. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing hingga suasana di ruang tamu rumah yang megah dan mewah itu pun menjadi hening.
“Zy, sekarang kamu antar Zahra pulang. Bilang pada orang tuanya kalau keluarga kita akan datang melamar Zahra malam ini. Kalian tidak usah ke kantor lagi, biar Faisal dan asisten papa yang meng-handle pekerjaan,” perintah Prabu memecah keheningan di ruangan tersebut.
“Apa tidak terlalu mendadak lamarannya malam ini, Pa? Bagaimana kalau weekend saja?” Zyan coba bernegosiasi dengan papanya, agar ia punya waktu untuk memikirkan jalan keluar.
“Menikah itu hal yang baik, jadi harus disegerakan, Zy. Tidak baik menunda-nunda.”
Jawaban Prabu membuat bahu Zyan meluruh. Tidak ada yang bisa dilakukannya kalau papa dan mamanya sudah sepakat akan sesuatu.
***
Zyan terus diam dalam perjalanan mengantar Zahra pulang. Otaknya sedang berpikir mencari solusi untuk masalah yang sedang dihadapinya. Kadang niat baik itu tak selalu berakhir dengan baik. Lihat saja, niat baiknya melindungi Zahra malah dimanfaatkan oleh kedua orang tuanya dan dijadikan alasan agar dia menikahi sekretarisnya.
Pria tampan itu tak memungkiri kalau Zahra memang seperti yang Rania sebutkan tadi sebagai calon istri yang ideal. Sayangnya, dia tidak mencintai sekretarisnya itu.
Saat ini Zyan sedang menjalin kasih dengan Mila, seorang artis yang wajahnya kerap wara-wiri di televisi dan media sosial.
Hubungannya dengan Mila sudah berjalan selama beberapa bulan karena gadis itu tidak pernah menuntut apa pun darinya. Selama ini hubungan Zyan dengan mantan-mantannya paling lama hanya satu bulan karena dia tidak tahan selalu dituntut untuk menemani pacarnya ke mana saja.
Hei, Zyan itu bekerja. Bukan pengangguran yang bisa sewaktu-waktu pergi sesuka hati. Dia punya tanggung jawab besar di perusahaan dan tidak bisa meninggalkannya begitu saja.
“Ra, kamu dengar ‘kan kita tidak bisa menentang keinginan Papa dan Mama?” Zyan akhirnya memecah keheningan yang sejak tadi menyelimuti mereka.
“Iya, Pak,” jawab Zahra. Gadis itu lalu menoleh pada bosnya.
“Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka. Kita harus menikah, Ra,” lontar Zyan.
Zahra menggeleng tegas. "Saya tidak mau, Pak."
Zyan terkejut, sama sekali tidak menduga jawaban dari sekretarisnya. Setelah apa yang dia lakukan untuk menolongnya tadi, Zahra berani menolaknya seperti ini?
"Apa??" tanya Zyan sengit. Rahangnya mengeras, menahan gejolak amarah.
Zahra menelan ludah. "Maaf ... tapi saya tidak mau menikah dengan Bapak."
Zyan menyergah napas kasar. "Kita hanya menikah untuk sementara. Tidak selamanya," katanya, berusaha menelan kekesalannya bulat-bulat. "Karena itu, kita buat perjanjian."
"Perjanjian?" Zahra menatap bosnya bingung.
"Ya," sahut pria itu sekenanya. "Perjanjian kontrak menikah."
Zahra diam, tak langsung menanggapi pertanyaan Zyan. Gadis itu juga mengalihkan pandangan ke depan. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilontarkan oleh bosnya itu. Pernikahan kontrak? Seperti di novel-novel yang sering dia baca saja.“Kenapa diam? Kamu tidak setuju?” Zyan menaikkan sebelah alisnya seraya menoleh pada sekretarisnya.“Menikah itu ikatan yang suci, Pak. Perjanjian dengan Allah, tidak hanya dengan manusia. Kita tidak boleh mempermainkannya,” sergah Zahra. Menolak dengan tegas ide gila CEO di tempatnya bekerja itu.Rahang Zyan mengetat, tidak sependapat dengan jawaban sang sekretaris. “Terus maumu apa? Kita benar-benar menikah?” timpalnya dengan kesal.“Sama seperti jawaban saya tadi. Saya tidak mau menikah dengan Bapak,” tegas Zahra. Meskipun berhutang budi pada Zyan, dia tetap tidak mau mengorbankan masa depannya demi ambisi sang bos.Pria berusia 32 tahun itu mengembuskan napas kasar. Bagaimanapun dia harus menikah dengan Zahra agar tidak kehilangan warisan. Karena itu
Binsar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia memindai Zyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria yang lebih muda darinya itu mempunyai paras tampan. Pakaian dan aksesori yang melekat di tubuh tegap Zyan, semuanya tampak berkelas dan mahal. Membuat pria bertubuh tambun itu jadi kurang percaya diri karena kekayaan pria yang mengaku sebagai calon suami Zahra itu pasti jauh di atasnya. “Hei, Anak Muda. Jangan mengaku-aku. Lagian kamu tidak akan bisa menikahi gadis itu karena dia sudah setuju jadi penebus utang ayahnya,” ucapnya dengan pongah. Binsar juga tidak mau menyambut uluran tangan Zyan. Meskipun dalam hal apa pun kalah dari Zyan, dia tidak mau mengakuinya. Rentenir itu tetap mempertahankan wibawanya. Zyan pun menarik tangannya lalu tersenyum sinis. “Anda sedang berkhayal? Zahra tidak pernah setuju menikah dengan Anda.” “Dia tadi akan mengatakannya, tapi kamu tiba-tiba datang dan memotong ucapannya,” sergah Binsar yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Pria bertu
Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu la
Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.“Aku
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada
Zyan langsung masuk ke kamar begitu tiba di hotel tempatnya melangsungkan akad nikah dengan Zahra. Dia sengaja membawa keycard kamar waktu pergi tadi agar bisa masuk sendiri tanpa harus menunggu dibukakan pintu oleh wanita yang sudah dihalalkannya itu. Karena itu Zyan melarang Zahra keluar dari kamar.Betapa terkejutnya Zyan saat mendapati sekretaris yang juga istrinya sedang tertidur pulas di atas ranjang hotel. Dia tadi cemas memikirkan apa yang terjadi saat keluarga mereka datang, sampai mengebut agar cepat sampai di hotel, malah Zahra enak-enakan tidur.Pria berparas tampan itu sebenarnya ingin mengamuk dan membangunkan istrinya, tapi entah kenapa jadi tidak tega. Rasa bersalah karena menyeret Zahra dalam pernikahan kontrak mereka membuatnya urung melakukannya. Mama dan Papanya sama sekali tidak menghubunginya, bukankah itu artinya baik-baik saja? Kenapa dia jadi secemas tadi padahal juga sudah menjelaskan lewat pesan?CEO itu mendekat pada Zahra. B
Zahra terkejut karena wajah Zyan begitu dekat dengannya. Bahkan embusan napas saat pria itu berbicara, bisa dirasakannya. Tubuhnya seketika meremang apalagi melihat senyuman Zyan yang seolah mengejeknya.“Mak—sud Bapak apa?” tanyanya dengan gugup dan jantung berdebar.Melihat sekretarisnya jadi gugup, Zyan menjauhkan diri. Dia menikmati perubahan ekspresi gadis berhijab itu. Membuatnya gemas dan jadi ingin terus menggoda Zahra.“Masa kamu tidak tahu kegiatan yang biasa dilakukan penganti baru, Ra?” pancingnya.Zahra menelan ludah. Dia mulai waspada. Apa Zyan ingin menyentuhnya seperti suami pada umumnya? Bukankah dalam kontrak, mereka sudah sepakat tidak akan melakukan hubungan suami istri setelah menikah? Tidak mungkin ‘kan Zyan yang terkenal tegas dan disiplin itu mengingkari perjanjian mereka?Pria itu tersenyum miring. “Kenapa diam? Apa kamu sedang membayangkan kita melakukan kegiatan itu?” Zyan s
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama