“Hai, Cantik,” sapa seorang pria bermata sipit saat Zahra baru keluar dari toilet wanita. Pria itu berdiri menyandar di dinding luar toilet dengan senyum menyeringai dan tatapan menggoda.
“Pak Aswin!?” seru Zahra terkejut melihat sosok rekan bisnis bosnya di sana.
“Lama banget di toiletnya. Aku pikir kamu tidur di dalam,” ucap pria yang dipanggil Aswin itu sambil berjalan mendekati Zahra.
“Mau apa Bapak ke sini? Toilet pria di sebelah sana, Pak!” Zahra menunjuk ke arah di belakang pria itu.
“Siapa yang mau ke toilet? Aku ke sini sengaja menunggumu, Cantik.” Aswin mulai melancarkan rayuan.
“Ke-kenapa menunggu saya? Bukannya pembicaraan dengan Pak Zyan sudah selesai?” cecar Zahra setengah gugup. Gadis berhijab itu mulai bersikap waspada karena tak ada orang selain mereka di sana.
“Pembicaraanku dengan Zyan memang sudah selesai. Aku di sini karena ingin bicara secara pribadi denganmu.” Pria yang lebih tua itu mendekatkan wajahnya pada Zahra.
Zahra sontak melangkah mundur. Menjauhkan wajahnya. “Maaf, Pak. Saya rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan apalagi soal pribadi. Permisi, saya mau kembali ke dalam. Pak Zyan pasti sudah menunggu saya.”
Gadis itu hendak beranjak, tapi segera dihalangi oleh rekan bosnya itu. Saat Zahra bergerak ke kiri, Aswin mengikuti, begitu juga saat ke arah sebaliknya. “Pak, tolong jangan menghalangi jalan saya,” pintanya dengan suara gemetar sekaligus geram.
“Buat apa buru-buru? Kita bisa bersenang-senang dulu di sini.” Aswin kembali mendekat membuat gadis itu terus mundur sampai akhirnya membentur dinding.
“Jangan macam-macam atau saya akan berteriak!” ancam Zahra yang sudah terpojok. Wajahnya terlihat pias.
Bukannya takut, lawan bicaranya itu malah tertawa. “Coba saja teriak! Tidak akan ada yang mendengar teriakanmu,” tantangnya dengan seringai licik.
Letak toilet itu memang di belakang restoran dan tak banyak yang berlalu-lalang di sana. Tempat yang agak tertutup dan sepi, semakin melancarkan aksi Aswin untuk mendekati sekretaris Zyan itu.
“To—” Aswin membekap mulut Zahra saat gadis itu akan berteriak minta tolong.
"Diam atau kamu akan menyesal!"
Ancaman itu seketika membuat Zahra terdiam. Tubuhnya gemetar karena takut, tak berani bersuara.
"Kamu tidak usah sok jual mahal! Aku akan memberi apa pun yang kamu inginkan plus investasi besar di proyek Zyan," ucap Aswin setengah berbisik di dekat telinganya, membuat Zahra merinding ketakutan.
Gadis itu menggeleng, lidahnya terasa kelu hingga tak bisa bersuara.
Aswin menurunkan tangannya dari mulut gadis itu dan berdecak. "Ck, kamu tidak mau? Yang benar saja! Aku tahu kamu tidak sealim penampilanmu. Kamu tidak jauh beda seperti wanita lain yang suka berpakaian seksi dan terbuka. Bilang saja berapa pengusaha lain memberimu uang setiap kali tidur? Aku akan memberimu dua kali bahkan tiga kali lipatnya!" ucapnya pongah.
"Saya memang seorang sekretaris, tapi saya bukan pelacur! Silakan Bapak cari wanita lain yang bersedia tidur dengan Bapak!" tegasnya dengan mata memerah menahan tangis.
Aswin malah tersenyum mengejek. "Halah, nggak usah sok suci! Aku tahu tipe wanita seperti kamu ini awalnya pura-pura nolak, tapi kalau harga sudah cocok juga bakal mau dibawa ke mana saja. Banyak wanita yang penampilannya tertutup seperti kamu, tapi diam-diam open BO!"
Zahra sudah muak mendengar ucapan tidak sopan pria itu. Perasaannya campur aduk, jantungnya berdebar kencang dan badannya gemetar. Namun dia mengumpulkan keberanian dan menginjak kaki Aswin sekuat tenaga.
"Argh!" Pria itu berteriak kesakitan. "Heh, sekretaris belagu! Aku bisa saja menarik investasiku sekarang kalau kamu bersikap tidak sopan!" Aswin mulai mengeluarkan ancamannya. Matanya nyalang menatap Zahra karena tak terima ditolak oleh gadis berhijab itu.
"Bukan saya yang tidak sopan, tapi Bapak yang sudah melecehkan saya!" tukas Zahra tegas, mulai berani melawan pria itu meskipun sekujur tubuhnya terasa kebas.
“Melecehkan katamu? Memangnya aku mencium atau menyentuhmu? Ah, jangan-jangan itu kode biar aku melakukannya?" Aswin terkekeh-kekeh. "Baiklah kalau itu yang kamu inginkan!”
Pria itu menyeringai licik sambil memegang kedua bahu gadis itu agar tidak bergerak. Zahra bisa merasakan embusan napas pria itu mengenai wajahnya.
Zahra memberontak, tapi tenaganya kalah kuat. “Lepaskan saya, Pak! Saya bukan pela—"
“Apa yang kamu lakukan pada sekretarisku?” Sebuah suara bariton dari arah samping berhasil membuat Aswin menjauhkan wajahnya dari Zahra.
“Pak Zyan—” suara Zahra tercekat. Namun dia seketika merasa lega melihat kedatangan bosnya itu.
“Jauhkan tangan kotormu darinya,” ujar Zyan dengan suara tenang, tapi aura dingin menguar begitu tajam, membuat Aswin mendengkus dan melepaskan Zahra dengan kasar.
Setelah terlepas, Zahra langsung bersembunyi di belakang punggung tegap bosnya. Dia mencengkeram sisi jas Zyan, mencari perlindungan.
"Sekretarismu ini jual mahal banget, Yan. Aku cuma mau ajak dia bersenang-senang," lontar Aswin santai.
Rahang Zyan mengeras mendengar ucapan rekan bisnisnya itu. Tatapan matanya menghunus tajam. Nada suaranya masih terdengar tenang tapi mematikan ketika berkata, "Bersenang-senang? Kamu sudah salah memilih orang."
Aswin tertawa meremehkan. "Salah pilih orang? Kenapa? Apa karena kamu juga menidurinya, makanya tidak mau Zahra tidur dengan orang lain?"
"Memangnya kenapa kalau aku tidur dengan sekretarisku? Ada masalah?" tantang Zyan, membuat Zahra seketika menegang.
Gadis itu hendak mengucapkan sesuatu, tapi Zyan kembali bersuara.
"Aku tidak suka ada yang menyentuh milikku," tegasnya sambil menarik Zahra agar berdiri di sampingnya lalu merangkul pinggang sekretarisnya itu posesif.
"Pak—" Zahra hendak melayangkan protes tapi dipotong oleh Zyan.
"Tidak apa-apa orang tahu hubungan kita, Sayang. Yang penting kamu tidak diganggu lagi." Zyan memberi kode pada Zahra lewat tatapan mata agar sekretarisnya itu mengikuti permainannya.
Aswin pun bertepuk tangan sambil tertawa sinis. "Hah! Sudah kuduga kalau dia bukan wanita baik-baik seperti tampilan luarnya. Ternyata dia sudah bermain dengan bosnya sendiri.”
Sindiran itu sungguh membuat harga diri Zahra terinjak-injak. Dia mengepalkan tangan dengan kuat, ingin membela diri.
Namun, usapan lembut pada pinggangnya membuat gadis itu terpaku. Dia mendongak dan bertemu tatap dengan Zyan yang menggeleng samar, membuat Zahra mengurungkan niatnya untuk membalas ucapan Aswin.
“Baiklah, aku tidak akan menggodanya lagi. Tapi kalau kamu sudah bosan dengannya, kabari aku ya. Aku mau menerima sekretarismu itu meskipun dia bekasmu," seloroh Aswin ringan.
Pria itu berjalan mendekat, lalu berdiri di dekat Zyan yang masih menatapnya tajam. Aswin lantas berkata dengan setengah berbisik. "Aku selalu penasaran dengan wanita yang berpakaian tertutup. Biasanya orang sepertinya akan liar di atas ranjang," katanya sambil menyeringai, menatap Zahra dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Selamat bersenang-senang!" ujar Aswin, menepuk pundak Zyan sebelum berlalu dari sana.
Zahra baru bisa menghela napas lega setelah pria bermata sipit itu tidak kelihatan lagi. Namun, belum sempat mengucapkan sepatah kata pada bosnya itu, sebuah suara yang sangat familier terdengar dari arah belakang, membuat Zahra dan Zyan membatu.
"Jadi kalian diam-diam pacaran dan sudah tidur bersama?"
Zyan lekas menarik tangannya dari pinggang Zahra. CEO dan sekretarisnya itu pun langsung membalikkan badan dan terkejut melihat sosok wanita paruh baya yang berdiri dengan wajah yang sulit diartikan. Zyan menggeleng. “Bukan begitu, Ma,” sanggah pria itu sambil menatap Rania, ibunya.Wanita berhijab dan berpenampilan anggun itu mengerutkan kening. “Tidak benar maksudmu? Pendengaran mama masih bagus, Zy. Kamu jangan menyangkal!”Pria tampan itu mendengkus. “Mama salah paham.”Rania semakin mengernyit. “Salah paham?”“Nanti aku jelaskan, Ma,” ujar Zyan, bersiap untuk beranjak dari sana. "Zahra, ayo."“Mama mau dengar penjelasanmu sekarang!” tegas Rania.“Aku harus kembali ke kantor, Ma. Nanti malam saja,” lontar Zyan sambil menghela napas. “Mama ingin bicara dengan kalian sekarang, Zyan. Masalah ini lebih penting daripada arisan mama atau pekerjaanmu. Kita pulang sekarang!”“Tapi masih ada kerjaan yang harus—"“Buat apa punya asisten kalau semua pekerjaan kamu handle sendiri?!” tukas R
“Aku tidak akan menikah dengan Zahra, Ma!” Zyan langsung melayangkan protes pada Rania. Tidak terima dengan keputusan sepihak wanita yang sudah melahirkannya itu. “Papa tidak pernah mendidik kamu jadi pria yang tidak bertanggung jawab, Zyan! Kalau berani berbuat, kamu harus bertanggung jawab!” Prabu yang sejak awal diam, akhirnya berbicara. Zyan sontak memandang Prabu dengan tatapan protes. “Pa, aku tidak melakukan apa pun. Untuk apa aku bertanggung jawab? Aku mengatakan soal pacar dan tidur itu hanya untuk melindungi Zahra dari Aswin,” jelasnya untuk membela diri. Dia berharap sang papa lebih bijak dari mamanya. “Tidak ada salahnya kamu menikah, Zy. Papa setuju dengan Mama, sudah saatnya kamu berhenti bermain-main. Lagian apa yang kamu dapat dengan sering berganti-ganti pacar? Bangga karena sudah meniduri banyak wanita?” Prabu menatap tajam putra sulungnya itu.Zyan mengusap wajah lalu menyugar rambutnya. Dia merasa gusar. Niat baiknya untuk membantu Zahra malah menjadi bumerang u
Zahra diam, tak langsung menanggapi pertanyaan Zyan. Gadis itu juga mengalihkan pandangan ke depan. Dia tak habis pikir dengan apa yang dilontarkan oleh bosnya itu. Pernikahan kontrak? Seperti di novel-novel yang sering dia baca saja.“Kenapa diam? Kamu tidak setuju?” Zyan menaikkan sebelah alisnya seraya menoleh pada sekretarisnya.“Menikah itu ikatan yang suci, Pak. Perjanjian dengan Allah, tidak hanya dengan manusia. Kita tidak boleh mempermainkannya,” sergah Zahra. Menolak dengan tegas ide gila CEO di tempatnya bekerja itu.Rahang Zyan mengetat, tidak sependapat dengan jawaban sang sekretaris. “Terus maumu apa? Kita benar-benar menikah?” timpalnya dengan kesal.“Sama seperti jawaban saya tadi. Saya tidak mau menikah dengan Bapak,” tegas Zahra. Meskipun berhutang budi pada Zyan, dia tetap tidak mau mengorbankan masa depannya demi ambisi sang bos.Pria berusia 32 tahun itu mengembuskan napas kasar. Bagaimanapun dia harus menikah dengan Zahra agar tidak kehilangan warisan. Karena itu
Binsar tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia memindai Zyan dari ujung kepala sampai ujung kaki. Pria yang lebih muda darinya itu mempunyai paras tampan. Pakaian dan aksesori yang melekat di tubuh tegap Zyan, semuanya tampak berkelas dan mahal. Membuat pria bertubuh tambun itu jadi kurang percaya diri karena kekayaan pria yang mengaku sebagai calon suami Zahra itu pasti jauh di atasnya. “Hei, Anak Muda. Jangan mengaku-aku. Lagian kamu tidak akan bisa menikahi gadis itu karena dia sudah setuju jadi penebus utang ayahnya,” ucapnya dengan pongah. Binsar juga tidak mau menyambut uluran tangan Zyan. Meskipun dalam hal apa pun kalah dari Zyan, dia tidak mau mengakuinya. Rentenir itu tetap mempertahankan wibawanya. Zyan pun menarik tangannya lalu tersenyum sinis. “Anda sedang berkhayal? Zahra tidak pernah setuju menikah dengan Anda.” “Dia tadi akan mengatakannya, tapi kamu tiba-tiba datang dan memotong ucapannya,” sergah Binsar yang tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Pria bertu
Zahra langsung mengiakan tanpa berpikir lagi. Dia mengajak Zyan keluar agar pembicaraan mereka tidak didengar ayah dan ibunya. Keduanya pergi setelah berpamitan pada Maryam, ibu Zahra.“Sebelum membahas soal perjanjian, saya ingin tahu kenapa Pak Zyan tiba-tiba kembali ke rumah saya?” tanya Zahra saat mobil mewah yang mereka naiki sudah melaju di jalanan.“Untuk bertemu orang tuamu,” sahut Zyan tanpa mengalihkan pandangan dari jalan.Jawaban dari bosnya itu membuat Zahra mengernyit. “Untuk apa?”“Memberi tahu kalau nanti malam Papa dan Mama akan melamar kamu.” Wajah Zyan sangat datar untuk seseorang yang ingin berniat melamar wanita.“Walaupun saya tidak setuju menikah, Pak Zyan tetap akan melamar?” Zahra memandang wajah pria yang duduk di belakang kemudi itu.“Itu urusanmu sama Papa dan Mama. Aku hanya menyampaikan pesan mereka saja,” jawab Zyan tanpa beban. Pria itu la
Zahra menelan ludah mendengar pertanyaan Zyan. Gadis itu jadi semakin gugup karena bosnya malah berdiri menghadap ke arahnya hingga semakin tampak jelas otot-otot yang terbentuk di bagian atas tubuh pria itu. “Bukan begitu, Pak. Saya hanya merasa kurang nyaman karena tidak terbiasa,” ucapnya dengan terbata-bata.“Kalau begitu mulai dibiasakan,” tukas Zyan tanpa mengindahkan permintaan sang sekretaris yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya.Karena Zyan tetap akan memakai pakaiannya di dalam kamar, Zahra memutuskan masuk ke kamar mandi. Lebih baik mengalah daripada dia jadi canggung sendiri. Gadis itu sebenarnya ingin mandi sekalian. Namun karena belum membawa baju ganti, dia memutuskan duduk di atas toilet sambil menunggu Zyan selesai berpakaian.“Zahra,” panggil Zyan sambil mengetuk pintu kamar mandi.“Ya, Pak,” sahut Zahra tanpa membuka pintu. Dia takut bosnya belum selesai berpakaian.“Aku
“Bunny, kamu melamun?” Suara Mila berhasil membuat Zyan kembali ke alam nyata. Dia tersenyum tipis pada kekasihnya itu.“Aku sedang berpikir apa yang akan aku lakukan kalau kamu tidak di sini,” kilah Zyan untuk menutupi apa yang sebenarnya tadi dia pikirkan. Sementara ini, Zyan memutuskan menutupi pernikahannya dengan Zahra dari Mila. Toh, pernikahan mereka hanya sementara dan tak banyak yang tahu. Jadi, Mila pun tak akan tahu selama tak ada yang memberi tahu.“Daripada memikirkan soal itu lebih baik kita melakukan hal yang menyenangkan, Bunny. I miss your touch.” Mila memandang Zyan dengan tatapan menggoda. Dia menangkup wajah sang kekasih dengan kedua tangan lalu menautkan bibir mereka. Ciuman yang semula pelan itu jadi semakin intens dan membuat kedua tangan mereka bergerak, menyentuh apa pun yang ingin disentuh.***Zahra baru saja berpakaian saat bel kamar hotel berbunyi. Dia beranjak menuju pintu dan meli
Zyan mondar-mandir di balkon apartemen Mila dengan gawai di samping telinga. Setelah membaca pesan dari Zahra kalau kedua keluarga mendatangi kamar hotel mereka, dia merasa gelisah sekaligus penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karenanya pria berwajah rupawan itu menghubungi sekretaris yang juga istrinya. Namun sayangnya, setelah beberapa kali melakukan panggilan, tak ada satu pun yang dijawab oleh Zahra."Apa dia sedang di kamar mandi? Kenapa teleponku tidak diangkat?" gumam Zyan dengan kening mengerut.CEO muda itu kemudian menghubungi asistennya. Berbeda dengan Zahra, panggilan pada Faisal itu langsung dijawab."Apa Papa atau Mama telepon kamu?" tanya Zyan tanpa basa-basi begitu sang asisten menjawab panggilannya."Tidak, Pak. Apa ada masalah?" sahut Faisal dari seberang telepon.Zyan menghela napas lega setelah mendengar jawaban asistennya. "Tidak ada. Ingat, Fai! Kalau Papa dan Mama tanya soal aku, kamu jawab seperti yang aku katakan tadi," pesannya."Baik, Pak. Apa ada
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Waktu tak terasa cepat berlalu, keempat anak Zyan dan Zahra tumbuh dengan baik. Semuanya jadi anak yang aktif, cerdas, dan kritis. Zayyan sudah kelas 3 SD, Zyel dan Zyra sekolah TK besar, sedangkan Zeza di PAUD. Untuk merayakan ulang tahun pernikahan yang ke 10, Zyan mengajak Zahra liburan. Mereka hanya pergi berdua, tanpa mengajak anak-anak. Tentu saja di sela liburan tersebut tetap ada agenda bisnis yang harus Zyan lakukan. Ya, ibarat kata menyelam sambil minum air. Kalau untuk urusan bisnis, anak-anak memang tidak pernah diajak. Namun mereka tetap mengagendakan liburan dengan anak-anak minimal setahun sekali.“Abang menepati janji membawamu ke tempat ini lagi,” ucap Zyan kala mereka tiba kamar hotel yang terletak di Kota Cappadocia, Turki. Dia menarik istrinya menuju jendela kaca besar, di mana mereka bisa melihat banyak balon udara yang sedang melayang di angkasa. Pria itu berdiri di belakang sang belahan jiwa lantas memeluknya. Diletakkannya dagu di bahu sang istri.“Kamu ‘kan
“Hore! Mama dan Papa pulang.” Zayyan berteriak sambil berlari kala melihat kedua orang tuanya keluar dari pintu kedatangan. Dia ikut sopir keluarga yang menjemput Zyan dan Zahra di bandara.Lelaki kecil itu langsung menghampiri dan memeluk perut mamanya. “Ma, aku kangen,” ungkapnya.“Mama juga kangen sama Kak Zayyan,” sahut Zahra seraya mengelus punggung putra pertamanya itu.“Kak Zayyan, tidak kangen sama papa?” lontar Zyan yang berada di samping istrinya.“Kangen Papa juga.” Zayyan melepas pelukannya pada Zahra lantas berganti memeluk papanya.Zyan tersenyum mendapat pelukan dari sang putra tercinta. Dia kemudian menggendong Zayyan.“Pa, turunin. Aku ‘kan sudah besar. Tidak boleh digendong lagi,” protes Zayyan.“Tapi papa mau gendong Kak Zayyan. Masa tidak boleh? Papa kangen. Lama tidak gendong Kakak.” Zyan beralasan.“Tapi aku udah besar, Pa,” tukas Zayyan.“Buat papa, kamu tetap masih bayi.” Zyan menciumi pipi putra sulungnya itu.“Papa, please. Jangan cium-cium lagi!” Zayyan meng
“Mama sama Papa kapan pulang?” tanya Zayyan saat Zahra melakukan panggilan video pada pengasuh putra pertamanya itu saat mereka dalam perjalanan ke tempat pertemuan dengan para pengusahan dari Kota Malang.“Lusa, Kak,” jawab Zyan yang duduk di samping istrinya.“Katanya cuma sebentar, kok sampai lusa,” protes lelaki kecil yang wajahnya mirip dengan papanya itu.“Pekerjaan papa sama mama belum selesai, Kak, jadi tidak bisa pulang besok. Kalau Kak Zayyan sama adek-adek kangen ‘kan tinggal video call papa atau mama,” timpal Zyan.“Gimana sekolahnya tadi, Kak.” Zahra memilih mengalihkan pembicaraan daripada melihat wajah sendu putranya. Zayyan biasanya sangat antusias bila menceritakan kegiatannya di sekolah, jadi Zahra ingin membuat sulungnya itu kembali ceria. Dia sebenarnya juga sedih berjauhan dengan keempat anaknya, tapi demi menemani suami dan menjalankan pekerjaan, Zahra harus menjalaninya.Benar seperti dugaan Zahra, putra sulungnya itu langsung ceria begitu memberi tahu sang mama