Share

BAB 4

Rambut ikal melewati bahu tergerai cantik, langkahnya anggun mendekati nomor meja yang sudah dipilihkan Yasa untuk mereka bertemu. Beberapa kali mencari, baru ia melihat lambaian tangan pria itu di bagian ujung cafe. Alina menghampiri dan akhirnya bertemu sosok pria yang sudah lama tak melihat senyum manisnya.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu?"

"Aku terpesona," jawab lelaki dengan mata bulat itu tanpa mengalihkan pandangan.

"Ihhh gombal sekali."

“Duduk dong, Sayang."

Pria bernama Yasa menarik kursi untuk sang kekasih. Kini pandangannya tak lepas dari gadis yang ia kenal tiga tahun lalu. Wajah rupawan dan manis membuat lelaki itu punya daya tarik tersendiri.

"Kamu kok tambah cantik, Lin?" imbuhnya.

"Apaan sih, Yas. Stop ya, jangan ganggu aku dengan kalimat nggak ngefek kamu itu."

"Memang benar, Sayang. Iya sudah jangan dipikirkan. Ini aku sudah pesan makan."

Keduanya mengobrol lama usai makanan datang, terlihat jelas bahwa kedua sejoli itu tengah menikmati waktu yang terbuang. Alina merasa beban terlepas jika berbincang-bincang dengannya, laki-laki humoris dan banyak menyimpan cinta selalu membuat hatinya bergejolak.

"Lin, kenapa sih kamu masih belum mau menikah? Padahal aku sudah menunggu selama dua tahun terakhir ini."

"Kan aku sudah bilang ada misi yang harus aku selesaikan dulu."

“Misi apa? Dari dulu kamu selalu bilang begitu. Apa misi kamu adalah memindahkan Gunung Bromo ke dekat Gunung Rinjani? Atau menguras air Danau Toba?"

Alina terkekeh mendengar pernyataan pria di depannya kini.

"Ngawur!"

Selang beberapa menit, keseruan keduanya malah terpecahkan, mereka kedatangan dua orang yang berhenti di meja makan miliknya.

"Eeh Pak Yasa?" sapa satu dari dua gadis cantik.

"Saya Wiwin, Pak. Mahasiswi bimbingan Bapak. Ternyata pantas skripsi saya belum kelar kelar direvisi, sibuk kencan toh."

"Ssttt, berani banget kamu bilang gitu ke dosen pembimbing," sela salah satu sahabatnya.

"Bu, Pak, maafkan teman saya." Begitu kata gadis disebelahnya. "Mulutnya kadang nggak bisa direm."

Hah? Alina dipanggil ibu? Oh tidak, wajah cantik, penampilan oke, dan masih muda kok dipanggil ibu? Nggak salah?

"Kalau aku ditanya mau pilih antara Albert Einstein atau Nikola Tesla, kayaknya aku akan pilih Nikola Tesla deh," ucapnya ngelantur.

“Kenapa, Win?"

"Agar bisa masuk ke mesin waktu Pak Nikola terus gantiin Ibu duduk di samping Pak Yasa. Hahahaa..."

Dia terkekeh sendiri, yang lain malah menatapnya aneh dan agak tak beres.

"Sinting kamu yaa!" Sahabatnya malah melentikkan jari ke keningnya.

Yasa dan Alina memutar kepala pening, pertemuan mereka harus diganggu para gadis yang kuliahnya belum kelar-kelar, pasti mereka jadi begini karena terlalu lama menjadi mahasiswa.

"Hitungan ketiga kalian tidak pergi dari sini, saya pastikan skripsi kalian tidak akan selesai dua tahun ke depan. Satu,"

"Maaf Paaaaakkkk...."

Baru saja hitungan pertama dua gadis itu berlari terbirit-birit. 

"Maafkan mereka Bu Alina," ledek Yasa kemudian. Hal itu malah membuatnya mendapat kepalan tangan.

“Jangan galak galak jadi dosen. Lagian mahasiswa kamu kocak dan cantik cantik."

"Secantik cantiknya mereka, tetap di mata dan di hatiku hanya kamu nomor satu."

"Mulai deh!"

Ia malah tertawa lepas.

  🍁

Pernah mendengar bahwa sifat lelaki itu penasarannya tinggi? Kali ini Alina akan mencoba itu, sedikit menjauh dan mengabaikan Yuda mungkin akan membuat hubungan mereka membaik kembali. Pulang dari tempat makan bersama Yasa, ia langsung beraksi.

[Alina, bawa berkas kerja sama dengan perusahaan Pena Group ke ruangan saya.]

Oke. Ini waktunya. Sebelum masuk Alina memperbaiki rambut dan menarik napas dalam, demi kesuksesan balas dendam ia akan membuat pria sialan di dalam sana bertekuk lutut.

Dua kali ketuk pintu, ia masuk. Tanpa ada ucapan atau hal lain Alina meletakkan berkas ke meja kemudian berlalu tanpa melirik. Gadis itu tidak tahu kalau Yuda kini memandangi punggungnya yang hilang di balik pintu. 

Sorenya ada meeting mendadak yang mengharuskan Alina turun tangan. Mau tidak mau ia harus bertemu Yuda, semakin dipancing semakin lelaki penasaran.

"Kamu presentasikan yang ini," jelasnya. "Lalu bagian ini jabarkan per-point," tunjuknya ke layar komputer.

Alina mengangguk kedua kali tanpa suara.

“Lalu bagian ini lompat saja."

Anggukan ketiga terlihat.

"Alina, kamu paham kan?"

"Iya," jawabnya singkat. Tanpa ekspresi dan tanpa reaksi yang berarti.

Gadis itu langsung mengambil alih berkas di meja dan menuju ruang meeting. Saat itu Yuda mulai terusik bahkan tidak tenang. Jika seperti ini mereka tak akan bisa bekerja sama dengan baik, apalagi hatinya. Sungguh berdetak kencang ketika menatap wajah gadis itu amat dekat.

Ini tidak bisa dibiarkan. Yuda galau sendiri dengan kegelisahan yang melanda. Diabaikan Alina seperti meriam yang ganas, menakutkan. 

Usai meeting sore itu, Yuda langsung menarik lengan Alina ke ruangan. Pria itu mendorongnya hingga bertemu ke dinding, kini wajah mereka kembali dekat dengan jarak hanya setengah jengkal.

"Jangan menghindar lagi!"

Bravoo! Pria buaya ini sudah masuk jebakan. Lagian siapa yang tahan dengan pesona sekretaris barunya itu?

"Saya mohon, jangan menghukum saya dengan tak memperdulikan saya Alina."

"Bapak apa-apaan? Kemarin bentak saya agar menjauhi Anda, sekarang memaksa saya untuk tidak menghindar?"

"Itu karena ada Valen, jika tidak ada dia kita bisa habiskan waktu berdua."

Dasar lelaki mesum! Apa pria seperti ini yang dulu Aira nikahi? Bahkan Alina merasa amat jijik harus disentuh olehnya.

"Heh! Pria beristri ingin main api rupanya? Saya bukan perempuan semacam itu!" Alina mendorong keras tubuh Yuda hingga terlepas dari cengkeramannya.

"Lalu apa yang kamu inginkan?" Alina terdiam sejenak. “Kalau kamu mau, kita bisa jalani hubungan ini diam diam tanpa sepengetahuan Valen.”

Alina tercengang luar biasa. Apa harus sejauh ini dalam bersandiwara?

“Jawab saya Alina, kamu mau kan?”

Kak Aira, apa yang harus aku katakan sekarang? Jika bukan demi Kakak aku sudah merobek mulut suamimu ini dan akan kukasih kucing.

"Saya tidak bisa menjalani hubungan tanpa status."

"Kalau begitu mulai hari ini kita pacaran. Bagaimana?"

Alina tersenyum singkat tapi tak berani menatap wajahnya.

"Tapi ada syaratnya, saya boleh kapan pun ke rumah Bapak. Bagaimana?"

"Buat apa?"

“Yaa, untuk berkunjung," jawab Alina sedikit gugup.

"Oke. Deal!"

Kenapa jadi serumit ini? Tapi tidak apa-apa, demi Kak Aira aku ikhlas. Sekarang jalan untuk mengungkap kejahatan dua manusia iblis ini semakin mudah. Rumah itu, pasti ada sesuatu di dalamnya.

Yas. Ini hanya sandiwara saja.

Bersambung....🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status