Valen melangkah menuruni tangga, pagi itu makanan sudah memenuhi meja. Dia bagai putri kerajaan yang apa-apa saja selalu menyuruh orang lain dan hanya bisa bersolek. Kali ini ia sengaja berpakaian dinas untuk merayu suaminya.
Tangan putih membelai lembut pundak Yuda, beralih ke wajah, ia pun meraba lembut kumis tipisnya. Namun, pria itu masih fokus ke layar HP, tak memperdulikan. Menyadari suami yang acuh membuat Valen menghentikan diri kemudian memasang wajah masam. "Mas! Kamu sedang lihat apa sampai mengabaikanku?" Yuda berbalik dan mendapati wanita itu seperti kunti gentayangan, sama sekali tak terpesona. Seakan penglihatan dan hati pria itu sudah tersihir oleh Alina seorang. "Kamu ngapain berpakaian seperti itu?" "Aku sedang mengenang masa lalu. Dulu saat Aira masih hidup, aku sering menggoda kamu di depan dia dengan pakaian seperti ini, melihatnya cemburu dan sakit hati aku merasakan bahagia." "Sama sekali tidak lucu!" "Kenapa, Mas? Kamu masih mencintai dia?" Yuda tak menggubris kalimat istrinya dan kembali sibuk dengan ponsel. Valen yang jengkel akhirnya mengambil benda persegi panjang itu kemudian melihat siapa yang membuat suaminya sibuk sendiri. "Alina? Sekretaris baru kamu itu? Aku sudah bilang jauhi dia, Mas!" "Kamu kenapa sih? Aku juga butuh kesenangan!" ucapnya merebut kembali ponselnya. "Oke, aku tinggal bilang saja sama papa untuk mencabut saham dari perusahaan kamu." "Silahkan! Dan jika itu terjadi, kamu siap-siap kehilangan diriku selamanya!" Diancam balik. Ultimatum tersebut semakin menjadikan Valen tak berkutik, cintanya kepada Yuda sudah amat dalam, bahkan mengorbankan nyawa pun ia rela asalkan pria itu tetap di sampingnya. Namun sekarang Yuda sudah bisa mengancam balik dan tak takut akan ancaman yang menjadi senjata ampuhnya selama ini. Gawat, ini benar-benar akan berbahaya. Hal yang paling bisa perempuan itu lakukan hanya sedikit melunak dulu, dan mengikuti permainan Yuda. đ Alina yang sudah tiba di kantor menaruh bawaannya ke dalam ruangan, ia berdecak lama. Jika begini terus akan butuh waktu lama untuknya mendapatkan informasi tentang Aira. Lebih baik ia mencoba menyinggung sedikit masalah itu pada karyawan yang lain, mungkin mereka mengetahui sesuatu. Ia bergegas keluar dan mendapati beberapa staf sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Alina mendekati seorang perempuan yang sudah menjadi karyawan lama di sana. "Permisi Bu Nawang," ucapnya mendekati. "Saya ingin bertanya sesuatu jika tidak sibuk." "Tidak sama sekali, Bu Alin. Silahkan saja." "Eeem, sedikit aneh sih pertanyaan saya. Tapi saya akan mati penasaran jika tak bertanya. Jadi, apa Bu Nawang pernah mendengar nama Aira?" Perempuan setengah baya itu menautkan alis, nama itu seperti familiar. "Aira?" Dia berpikir, "Aira ya?" "Iya, namanya Aira Purnamasari." "Kalau nggak salah ya, Bu. Aira itu nama pembantu Pak Yuda yang meninggal seminggu lalu." "Pembantu?" Alina memastikan dengan klimaks tinggi. "Iya. Dia pembantu Pak Yuda," jawabnya yakin. Kurang ajar! Dasar lelaki bajingan! Istrinya sendiri dia katakan pembantu? Apa ini alasan Aira sampai sekarang tak pernah memperkenalkan keluarganya kepada Alina? "Kalau boleh tahu meninggalnya karena apa?" "Dari berita yang beredar, Aira terpeleset dari kamar mandi dan terkunci dalam waktu yang lama.â Alina tertawa gentir. Alasan yang sudah basi! Anehnya polisi percaya atau memang sudah kenyang dengan bayaran. "Aneh kan, Bu? Saya saja tidak percaya," ucap wanita itu. Bahkan siapa pun yang mendengar tak akan pernah masuk di akal. Alina mengepalkan tangan ingin melampiaskan kesal, beruntung semesta sedang mendukungnya. Kini Yuda baru saja muncul dari pintu. "Terima kasih Bu Nawang," Ia mendekati Yuda lantas meninju wajahnya. "Aauuu! Lin, sakit!" Gadis itu tersadar dan melebarkan mata, apalagi semua karyawan menatap ke arah mereka. âMaaf, Pak. T-tadi, tadi ada nyamuk," elaknya. Akan tetapi di ujung pintu masuk Alina melihat Valen yang harus diberi pelajaran. Akhirnya mau tidak mau Alina mencium pipi Yuda yang tadi kena gampar. "Sudah saya obati!" Meledakkk! Sebagian pegawai teriak histeris, yang lain malah mematung kaget akan tindakan sekretaris mereka. Sementara Valen hanya bisa berdiri dengan rasa yang tercabik-cabik. Ia tak terima lantas menghampiri dengan satu tangan sudah terangkat hendak menampar. âDasar perempuan dusta, tidak tahu diri!" "Valen!" Tangannya dicegat Yuda cepat. "Lepaskan aku, Mas! Kamu jangan berani membela wanita perusak rumah tangga orang ini!" Emosinya meraung, tapi lengan sudah dikunci suaminya. "Kondisikan dirimu. Ini kantor!" "Apa aku harus diam jika dia ingin merebut kamu? Aku akan bunuh dia!" "Dia tak seburuk yang kamu bicarakan. Alina calon istriku, kami akan menikah!" Pecah. Suasana penuh huru hara itu membuat semua orang terkesima, termasuk Alina. Hatinya sedang teriak, tertampar dan menyesal atas tindakannya tadi. Lagi pula apa alasan laki-laki sialan itu mengatakan hal demikian? Calon istri? Menikah? Ini petaka! Bersambung.....đ"Kita masuk ke ruangan! Apa kalian tidak malu dilihat oleh karyawan kalian di sini?" Alina mempersilahkan sepasang suami istri itu masuk. Pintu ditutup rapat-rapat. Di sana hanya ada mereka bertiga. Alina berpikir ketika suasana mereda Valen bisa berpikir jernih, nyatanya tanpa aba-aba ia mendekati Alina lalu menjambak rambutnya. "Sakit!" "Dasar perempuan tidak hau diri!" "Valen!" Yuda langsung menarik lengannya dan mendorong hingga terpental ke kursi. "Aaarrgggh," Alina memperbaiki rambutnya yang berantakan. "Mas! Kamu nggak sadar dia sudah pelet kamu?" "Diam! Apapun yang kamu bilang tidak akan merubah pendirianku untuk menikahi Alina." Sementara Alina pun kembali membulatkan mata, sepertinya ia sudah terlalu jauh masuk ke dalam hati pria itu. Tapi jika bukan dengan menikah dengannya, bagaimana ia bisa mengetahui insiden kematian Aira dengan jelas. Sudahlah, semua sudah terlanjur. Alina akan meneruskan permainan tanpa mundur. Ia tak akan menyerah sebelum dua bajingan ini men
Ada rasa galau yang melanda gadis itu, pasalnya pernikahan dirinya dengan Yuda sudah ditentukan tanggal tapi ia belum berani untuk berkata jujur kepada Yasa. Pria yang selalu setia menunggunya beberapa tahun belakangan ini, tapi sekarang ia harus menelan pil pahit. Bukan bermaksud mengkhianati tapi memang takdir yang memaksanya. [Yas, aku mau bicara sama kamu. Bisa kita ketemu?] Beberapa menit kemudian baru ada balasan. [Boleh. Tapi aku sedang hadiri sidang salah satu mahasiswa bimbinganku. Bisa kita ketemu di kampus saja?] [Bisa. Sebentar lagi aku sampai.] [Makasih, Sayang kamu sudah ngerti.] Pandangan gadis itu menerawang. Pria seperti Yasa jarang ditemui, tak hanya memiliki kepedulian tinggi tapi dia juga humoris. Mobil itu sudah memasuki kampus, pun Alina sudah berada di tempat yang sudah dikirimkan Yasa. Ia sibuk sekali akhir-akhir ini. Duduk sendiri menghadap gedung Fakultas Teknik membuat gadis itu merasa tak tega jika harus berkata jujur pada Dimas, tapi akan lebih
Alina masih bersembunyi menghadap ruangan Yuda, sangat jelas sekali bahwa Yasa memasuki ruangan itu. Tapi ada urusan apa ia bertemu Yuda?Alina tak bisa tinggal diam, sepertinya harus bertanya lagi ke Bu Nawang."Pak Yasa adalah pemilik perusahaan ini. Sementara Pak Yuda adalah tangan kanannya, begitu kurang lebih," jawab perempuan bernama Nawang."Apakah mereka memiliki hubungan keluarga?""Saya kurang tahu soal itu, Bu Alina, soalnya keluarga mereka sangat privasi di kantor ini."Gadis itu kembali mengangguk. Jika Yasa pemilik perusahaan kenapa ia harus bekerja sebagai dosen juga?Menepis kebimbangan, Alina malah dikejutkan dengan dibukanya pintu ruangan Pak Yuda. Paling mencengangkan ialah ketika melihat wajah lelaki itu babak belur, mata, pelipis, pipi hingga dagu memerah. Pun di belakang Yasa ikut keluar dengan mengibaskan tangan. Apa dia yang melakukan itu?"Bu Alina jangan kaget. Hal itu sudah biasa di sini," tukas Nawang.Kembali Alina harus berlayar di laut lepas, apa mungki
"Ada apa, Bi? Kenapa Bibi terlihat pucat seperti itu?" Alina menatap tajam."Saya, saya....""Ada apa, Sayang?" Yasa menghampiri mereka."Ohh nggak, ini aku tanya masalah apa apa saja yang kamu suka.""Kamu kan sudah tahu semua kesukaan aku, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Lagi pula aku tidak pernah tinggal di sini. Ini rumah Yuda."Mampus mampus! Ngapain juga Alina beralasan klise seperti itu."Kan basa basi sama Bi Oni" tukasnya kemudian.Yasa tersenyum seadanya dan tak mempermasalahkan. Mereka berdua masuk kamar. Di sana sudah di desain sedemikian rupa ala pengantin baru."Ini kamar kita?" Keduanya saling pandang. Pasti ini kerjaan Yuda.Hasil dekorasi dari orang yang tersakiti ya begini. Hiasan penuh dengan gambar angsa, bebek atau bangkau? Tak kompeten."Pak Yuda dan istrinya lucu ya," tukas Alina duduk di kasur."Kamu kenapa peduli sekali sama laki-laki itu. Kamu suka sama dia?"Alina menaiki alis heran, kok Yasa jadi over thinking begini? "Kamu kenapa, Yas? Kok mendadak s
Yuda melotot kaget sembari menghindar dari cakaran benda tajam itu. "Kamu gila?!" ucapnya dengan napas yang naik turun. "Kamu nggak apa-apa kan, Mas?" Valen menghampiri suaminya ikut was was akan tindakan Yasa tadi. "Saya gila?" Yasa menghentikan sarapan lantas berdiri. "Kalau kalian anggap seperti itu silahkan, tapi sekali lagi saya dengar kamu sebut nama istri saya dari mulut kotormu, siap siap bernasib sama dengan garpu ini!"Pria dengan setelan piyama bergegas naik meninggalkan mereka."Dasar lelaki gila, apa obatnya sudah habis?" gerutu istrinya."Sssttt, jangan tambah masalah.""Aku capek, Mas. Kita selalu saja jadi budak dia!""Sudah sudah. Aku berangkat dulu."Yuda bergegas pergi, sementara Yasa malah enggan untuk beranjak. Maklum pengantin baru memang tak mau jauh jauh dari istrinya. Bukankah begitu?"Yas, cepat mandi. Nanti kamu telat loh!" protes Alina yang terus saja dipeluk suami."Hari ini tidak usah masuk saja. Nanti aku tinggal kasih mereka tugas, beres!""Bukannya
"Ohhh kamu nggak tahu ya?" pancingnya lagi."Valen, kamu jangan banyak bicara. Apa maksud perkataan kamu tadi?!"Wanita itu melangkah maju dengan wajah terangkat."Kamu cari tahu saja sendiri, suami seperti apa yang kamu nikahi!"Tangan Alina tergenggam, mulut licin Valen kalau tidak diajari akan makin licin. Mulut baunya ini pasti dulu juga pernah mendarat ke hati Aira. Dengan tenang Alina mendekati perempuan itu dari belakang dan menjambak rambutnya keras."Kamu berani berbicara kurang ajar tentang suami saya?" tukasnya santai."Aauu sakittt! Kamu gila ya? Lepas nggak, lepasss!""Saya tidak akan lepas jika kamu tidak minta maaf.""Kurang ajar! Aauu sakit Alina! Oke oke, aku minta maaf. Aku salah, tolong lepas," tukasnya melunak.Alina melepas cengkraman tangannya setelah melihat Valen kesakitan dan memohon."Saya tunggu di bawah. Saya mau dipijit sama kamu!" Alina berlalu pergi.Terlihat perempuan dengan rok selutut masih memperbaiki rambut yang compang-camping sembari mendengus ke
"Dari mana kamu tahu nama itu?" tanyanya gelagapan.Saat ini Alina juga harus pintar pintar mencari alasan. Kalau terbongkar hubungannya dengan Aira bisa gawat."Saya pernah membaca nama itu di gudang."Aduh, alasan yang klise sekali."Gudang? Gudang mana?""Gudang di rumah-lah. Lagian kalian juga pernah menyebutnya dibeberapa pembicaraan. Saya hanya ingin tahu saja.""Tidak pernah. Saya sama sekali tidak pernah menyebut itu.""Pernah, tapi kamu lupa."Yuda seperti orang panik, wajah pucat dan kini berjalan mengitari Alina."Siapa dia?!""Kamu tidak perlu tahu, dia tidak penting. Jadi jangan dibahas lagi.""Ohhh mau ingkar janji? Kalau begitu saya berhenti jadi sekretaris kamu dan jangan lagi temui saya!""Eh eh jangan begitu dong, Sayang. Kamu kok marah masalah sepele. Memang benar, Aira itu tidaklah penting, dia orang gila yang tak pantas namanya dibahas lagi."Apa? Berani sekali Yuda berbicara sembarangan terkait Aira. Pemilihan kata yang sangat tak layak untuk dikeluarkan saat ini
"Ini," ucapnya memberikan ke istri. "Tapi jangan buka ruangan atas ya?""Kenapa?""Yaa, nggak ada. Gudang soalnya."Aneh, tapi diikuti saja untuk saat ini. Main aman dulu."Aku bawa ya?""Eeit, tidak semudah itu." Yasa menarik lagi kunci yang hampir Alina ambil. "Cium dulu dong.""Apaan sih, Yas. Kayak anak muda saja.""Kita kan masih muda, belum kepala tiga.""Iya, tapi mau menuju ke sana kan?""Nggak mau cium suami? Ya sudah kuncinya aaaa....."Pria itu tak melanjutkan ucapan karena seketika mendapat rezki nomplok."Tuh, udah aku cium. Puas?""Puas dong. Nih, kunci dan rumah itu milik kamu sayangku...."Alina tersenyum, lelaki seperti Yasa seakan tak akan ia temukan lagi pada diri orang lain. Lelaki sempurna di matanya."Yas, berhenti!" Alina meminta suaminya berhenti di pinggir jalan yang masih kawasan kantor."Ada apa, Sayang?" tanyanya penasaran."Sebentar ya, aku turun dulu."Yasa membuka kaca mobil dan melihat Alina berjalan menuju seorang pengemis di pinggir jalan."Hy adik, k
"Nikahi Clara sekarang juga," ucapnya lagi dengan nada lebih mengancam. "Saya hitung mundur. Tiga...."Suasana semakin ricuh, Bima masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran saat ini. Jika menikah dengan Clara maka ia seakan menyakiti Alina bertubi tubi. Tapi jika tidak dilakukan, maka ia menyepelekan tugas dan mengorbankan Ririn."Dua....Saaa.....""Baik, saya akan menikahi Clara."Jawaban Bima membuat semua menatap dirinya tak percaya."Kak, apa yang sedang Kak Bima katakan? Tarik lagi, Kak. Ini semua jebakan, jangan percaya ucapan lelaki ini. Kak Bimaaa!" Berontak Ririn masih tidak berdaya."Bagus. Pilihan yang sangat bijak.""Kak Bima!""Diam!" gertak lelaki itu ke Ririn.Sementara Clara yang masih terbengong, kembali duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya lelaki bertubuh kekar juga ikut duduk dan langsung menjabat tangan penghulu. Kuncoro sebagai wali nikah menyaksikan pernikahan anaknya dengan desir."Kak Bimaaaa, hentikan Kaaaak!"Teriakan Ririn tidak diperhatikan, Bima den
Pernikahan tiba.......Alina sudah selesai di rias dengan gaun putih melilit tubuhnya. Pilihan Ririn untuknya memang yang terbaik. Rasanya menikah untuk kedua kali tak pernah ia bayangkan, tapi takdir yang membawa perempuan itu pada pilihan."Kak Alina cantik sekali, kayak putri kerajaan," imbuh Ririn."Bisa aja mujinya.""Lah, memang benar, Kak. Ya sudah, kita turun. Sebentar," ucapnya menghampiri pintu kamar. Saat ia buka ternyata Bu Nuri."Sudah siap? Bima dan Bu Lila sudah datang.""Mama sudah datang?" tanya Ririn memastikan."Sudah, Rin. Mereka menunggu kalian turun. Dipercepat ya."Bu Nuri kembali berlalu, kini Alina berjalan keluar dibantu oleh Ririn. Semua mata menuju ke arahnya, apalagi Bima. Ia terus saja memandang secara bergantian wajah calon istri dan jam tangan. Team wedding Clara sudah menunggu di sana, kalau Bima tidak cepat akan sangat fatal. Sementara sang Mama masih menahan rasa yang bergejolak. Cantik memang cantik menantunya ini, tapi melihat perutnya yang mengg
Dengan gerakan panik, Bima menyetir mobil kecepatan tinggi. Sesaat sudah sampai, ia langsung bergegas menghampiri pintu. Namun belum saja diketuk, pintu sudah terbuka lebar."Happy birthday Om Biiiim....." teriak Dani mengibas ngibaskan balon ke atas.Hah? Lelaki itu malah menaikkan alis, ia saja tidak ingat tanggal kelahirannya sendiri."Tante Alina baik baik saja kan, Dan?" Ia masih saja mencemaskan perempuan itu.Alina begitu disebut namanya seketika nongol di belakang Dani dengan senyum."Lin, kamu nggak apa apa? Aku ditelpon Ibu, katanya kamu kesakitan.""Buktinya aku baik baik aja. Ibu sengaja bilang gitu, aku yang suruh.""Tidak lucu bercandanya Alina, aku panik.""Ide Ririn, aku juga ikut idenya dia."Hah? Bima memandang ke samping, baru wajah adiknya kembali terlihat."Kamu juga di sini?""Iya dong. Surprise buat Kakakku tercinta."Bima mendekat dan menyentil keningnya."Ya sudah, kita makan malam saja di dalam, ayok." Di meja makan sudah dipenuhi beberapa menu, tentunya mas
Bima duduk di ruang tengah ditemani Clara, seorang pembantu menyuguhkan minuman hangat untuknya. Beberapa saat perempuan dengan model rambut di gerai ikal datang, ia ikut duduk berhadapan dengan lelaki itu. "Bima ya?" tanyanya dengan wajah berbinar. "Iya benar Tante." "Memang semua cerita dari Clara tidak cacatnya. Kamu ganteng, cool, manis, abdi negara lagi. Cocok dengan Clara yang seorang aktivis muda," ucapnya memuji. Lelaki itu hanya tersenyum simpul. "Ya sudah kalau memang sudah sama sama cocok, pernikahan kalian dipercepat saja." Bima berusaha memikirkan celah, lebih cepat lebih baik. "Dua hari lagi, bagaimana?" Lelaki yang sedang meneguk segelas minuman seketika tersedak, bahkan hampir mengeluarkannya lagi. "Kamu kenapa?" "Nggak nggak, cuma tersedak saja." "Makanya hati hati kalau minum." Clara terlihat cemas. Akan rumit jika pernikahan mereka dilakukan cepat, takutnya akan tabrakan dengan pernikahannya dengan Alina. "Sepertinya harus di undur beberapa hari. Karena a
"Lagi bahas apa?" Seketika Agung dan Wawan datang mengacaukan pembicaraan mereka."Ini loh lagi bahas Kak Agung.""Bahas saya? Ada apa?"Lelaki itu melirik ke arah Bima dan Wawan secara bergantian."Ngapain lihat saya? Kita berdua baru datang," sanggah Wawan tak terima dengan tatapan curiga."Ririn, sebenarnya Agung itu....." Clara kembali melanjutkan tapi dengan cepat Agung menarik tangan Ririn menjauh."Eeh eh Kak Agung, mau ke mana?" ucapnya menurut.Keduanya berhenti di area agak jauh dari mereka."Kamu dengarkan apa kata saya, apapun yang mereka katakan sama kamu, jangan pernah percaya sebelum saya yang mengatakannya. Paham?""Memangnya mereka mau mengatakan apa, Kak?""Yaaaa," lelaki itu terlihat berpikir. "Apapun itu. Intinya jangan percaya."Ririn seperti orang polos yang tak tahu menahu apa tujuan pembicaraan Agung kali ini."Sudah bicaranya? Sekarang kita pulang," Bima menarik lengan adiknya menuju mobil."Tunggu, Kak. Mobilnya mana muat untuk kita berenam. Muat sih, tapi d
Badannya tiba tiba menggigil, dadanya sesak begitu hebat. Tidak hanya dirinya, Ririn juga mendadak kaget. Seorang perempuan cantik, pakaian rapi tertutup, jilbab ungu kalem, dan tatapannya begitu teduh. Bima melepas tangannya, bukan tanpa alas, hanya lengan yang terbungkus baju panjang yang ia pegang."Hy Riiiin...." sapa Wawan saat mereka sudah semakin dekat. "Sudah lama?"Pertanyaan yang tidak terdengar oleh Alina, fokus matanya hanya menuju ke arah Bima dan perempuan itu."B-baru saja, Kak," jawab Ririn tak mengalihkan pandangan dari Kakaknya.Sementara Bima baru saja bertemu pandang dengan Alina, ia juga terlihat menahan rindu yang berkecamuk dalam dada, namun terhalang berjarak oleh suasana mendung hari ini."Kak Bima," sapa Ririn mendaratkan kalimat datar."Rin?"Lelaki itu tersadar dan mengetahui arti tatapan dua perempuan di depannya ini. Namun bagaimana kabar Alina yang masih mematung di sana?"Alina," sapa Bima dengan sorot mata yang dalam. Melihat perempuan yang amat ia c
Bagian 2Yang mengikuti kisah Alina sampai bagian kedua, terima kasih banyak teman teman....Dijamin bagian ini akan pecahhhh, selamat membaca đľâ˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘â˘"Bagaimana, Dok?"Alina yang ditemani oleh ibunya memeriksa kandungan terus memancarkan harap harap cemas. Tinggal lima hari kandungannya genap sembilan bulan, pantas ada raut tak sabaran terlihat."Kandungan Bu Alina baik, sehat juga Alhamdulillah. Dan tanggal lahiran sudah saya tulis di sini," tunjuknya di sebuah buku. "Nanti Ibu cek saja, tapi mendekati hari lahiran, kandungan harus dijaga betul betul. Kalau bisa minta suami untuk tetap ada di samping.""Baik, Dok."Alina berdiri dibantu ibunya, mereka berjalan keluar ruangan."Dengar tuh kata dokter, jaga kandungan dan jangan terlalu capek. Kamu juga mulai hari ini jangan ke kantor. Suruh saja Nina untuk menghandle semua.""Tapi nggak betah juga kalau di rumah terus.""Jangan protes," sanggah ibunya memasuki mobil."Sekalian jemput Dani di sekolah, Bu."
Apakah Alina tidak salah dengar?Melihat Bima seperti menahan tawa, ia angkat tas kecilnya lalu menimpuk lengannya."Aaaaa, sakit, Lin.""Eeh, lengan kamu masih sakit ya? Maaf maaf," ucapnya merasa bersalah."Lagian kamu bicara tidak bisa serius.""Iya iya, saya cuma bercanda kok."Tuh kan, padahal Alina berharap kalimat tadi sebuah tanda keseriusan atau setidaknya dia mengungkapkan perasaannya."Meskipun tadi itu benar, mana mungkin saya bisa menggeser nama Pak Yasa di hati kamu. Dia akan tetap menduduki posisi pertama di sana. Iya kan?"Bima menyalakan mobil dan menembus jalanan kota. Ia tidak tahu saja perasaan terdalam Alina seperti apa.Beberapa saat mereka sampai di depan rumah, perut yang semakin besar membuat perempuan itu harus ekstra hati-hati dalam melakukan segala hal."Lin," panggil Bima saat mereka sudah turun. "Ada yang ingin saya katakan."Mendadak wajah berkharisma itu berubah tegang. Apa dia ingin mengatakan sesuatu atau ingin mengungkapkan perasaan?"Besok pagi saya
"Lalu siapa yang harus aku salahkan? Ini bukan tentang Kak Aira atau Dani, tapi menyangkut banyak orang. Wiwin, Pak Tono, dan anak anak yang sudah meninggal karena ulahmu. Lantas siapa yang harus disalahkan, Mas?""Apa kamu membenciku?"Belum ada jawaban atas pertanyaan itu, lebih tepatnya Alina bingung dengan perasaan sendiri."Aku salah, aku menyesal Alina. Andaikan waktu ini bisa diputar, aku akan memilih untuk hidup di jalanan dengan sepotong roti dari pada harus kehilangan perempuan yang aku sayangi.""Sudah terlambat," jawabnya tertunduk."Apa maksud kamu?"Satu tarikan napas terdengar amat panjang, penjelasan suaminya sudah cukup untuk ia dengar. Meski kata maaf dan penyesalan tidak bisa merubah apa apa, setidaknya Yasa sudah mengaku dirinya salah."Sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu. Mas, aku hamil. Aku sedang hamil anak kamu."Guncangan hebat melanda Yasa kali ini, entah bahagia atau rasa sedih."Apa kamu hamil?"Alina berdiri, "aku akan menunggu kamu keluar dari penjar