Valen melangkah menuruni tangga, pagi itu makanan sudah memenuhi meja. Dia bagai putri kerajaan yang apa-apa saja selalu menyuruh orang lain dan hanya bisa bersolek. Kali ini ia sengaja berpakaian dinas untuk merayu suaminya.
Tangan putih membelai lembut pundak Yuda, beralih ke wajah, ia pun meraba lembut kumis tipisnya. Namun, pria itu masih fokus ke layar HP, tak memperdulikan. Menyadari suami yang acuh membuat Valen menghentikan diri kemudian memasang wajah masam. "Mas! Kamu sedang lihat apa sampai mengabaikanku?" Yuda berbalik dan mendapati wanita itu seperti kunti gentayangan, sama sekali tak terpesona. Seakan penglihatan dan hati pria itu sudah tersihir oleh Alina seorang. "Kamu ngapain berpakaian seperti itu?" "Aku sedang mengenang masa lalu. Dulu saat Aira masih hidup, aku sering menggoda kamu di depan dia dengan pakaian seperti ini, melihatnya cemburu dan sakit hati aku merasakan bahagia." "Sama sekali tidak lucu!" "Kenapa, Mas? Kamu masih mencintai dia?" Yuda tak menggubris kalimat istrinya dan kembali sibuk dengan ponsel. Valen yang jengkel akhirnya mengambil benda persegi panjang itu kemudian melihat siapa yang membuat suaminya sibuk sendiri. "Alina? Sekretaris baru kamu itu? Aku sudah bilang jauhi dia, Mas!" "Kamu kenapa sih? Aku juga butuh kesenangan!" ucapnya merebut kembali ponselnya. "Oke, aku tinggal bilang saja sama papa untuk mencabut saham dari perusahaan kamu." "Silahkan! Dan jika itu terjadi, kamu siap-siap kehilangan diriku selamanya!" Diancam balik. Ultimatum tersebut semakin menjadikan Valen tak berkutik, cintanya kepada Yuda sudah amat dalam, bahkan mengorbankan nyawa pun ia rela asalkan pria itu tetap di sampingnya. Namun sekarang Yuda sudah bisa mengancam balik dan tak takut akan ancaman yang menjadi senjata ampuhnya selama ini. Gawat, ini benar-benar akan berbahaya. Hal yang paling bisa perempuan itu lakukan hanya sedikit melunak dulu, dan mengikuti permainan Yuda. 🍁 Alina yang sudah tiba di kantor menaruh bawaannya ke dalam ruangan, ia berdecak lama. Jika begini terus akan butuh waktu lama untuknya mendapatkan informasi tentang Aira. Lebih baik ia mencoba menyinggung sedikit masalah itu pada karyawan yang lain, mungkin mereka mengetahui sesuatu. Ia bergegas keluar dan mendapati beberapa staf sedang sibuk dengan pekerjaan masing-masing, Alina mendekati seorang perempuan yang sudah menjadi karyawan lama di sana. "Permisi Bu Nawang," ucapnya mendekati. "Saya ingin bertanya sesuatu jika tidak sibuk." "Tidak sama sekali, Bu Alin. Silahkan saja." "Eeem, sedikit aneh sih pertanyaan saya. Tapi saya akan mati penasaran jika tak bertanya. Jadi, apa Bu Nawang pernah mendengar nama Aira?" Perempuan setengah baya itu menautkan alis, nama itu seperti familiar. "Aira?" Dia berpikir, "Aira ya?" "Iya, namanya Aira Purnamasari." "Kalau nggak salah ya, Bu. Aira itu nama pembantu Pak Yuda yang meninggal seminggu lalu." "Pembantu?" Alina memastikan dengan klimaks tinggi. "Iya. Dia pembantu Pak Yuda," jawabnya yakin. Kurang ajar! Dasar lelaki bajingan! Istrinya sendiri dia katakan pembantu? Apa ini alasan Aira sampai sekarang tak pernah memperkenalkan keluarganya kepada Alina? "Kalau boleh tahu meninggalnya karena apa?" "Dari berita yang beredar, Aira terpeleset dari kamar mandi dan terkunci dalam waktu yang lama.” Alina tertawa gentir. Alasan yang sudah basi! Anehnya polisi percaya atau memang sudah kenyang dengan bayaran. "Aneh kan, Bu? Saya saja tidak percaya," ucap wanita itu. Bahkan siapa pun yang mendengar tak akan pernah masuk di akal. Alina mengepalkan tangan ingin melampiaskan kesal, beruntung semesta sedang mendukungnya. Kini Yuda baru saja muncul dari pintu. "Terima kasih Bu Nawang," Ia mendekati Yuda lantas meninju wajahnya. "Aauuu! Lin, sakit!" Gadis itu tersadar dan melebarkan mata, apalagi semua karyawan menatap ke arah mereka. “Maaf, Pak. T-tadi, tadi ada nyamuk," elaknya. Akan tetapi di ujung pintu masuk Alina melihat Valen yang harus diberi pelajaran. Akhirnya mau tidak mau Alina mencium pipi Yuda yang tadi kena gampar. "Sudah saya obati!" Meledakkk! Sebagian pegawai teriak histeris, yang lain malah mematung kaget akan tindakan sekretaris mereka. Sementara Valen hanya bisa berdiri dengan rasa yang tercabik-cabik. Ia tak terima lantas menghampiri dengan satu tangan sudah terangkat hendak menampar. “Dasar perempuan dusta, tidak tahu diri!" "Valen!" Tangannya dicegat Yuda cepat. "Lepaskan aku, Mas! Kamu jangan berani membela wanita perusak rumah tangga orang ini!" Emosinya meraung, tapi lengan sudah dikunci suaminya. "Kondisikan dirimu. Ini kantor!" "Apa aku harus diam jika dia ingin merebut kamu? Aku akan bunuh dia!" "Dia tak seburuk yang kamu bicarakan. Alina calon istriku, kami akan menikah!" Pecah. Suasana penuh huru hara itu membuat semua orang terkesima, termasuk Alina. Hatinya sedang teriak, tertampar dan menyesal atas tindakannya tadi. Lagi pula apa alasan laki-laki sialan itu mengatakan hal demikian? Calon istri? Menikah? Ini petaka! Bersambung.....🍁"Kita masuk ke ruangan! Apa kalian tidak malu dilihat oleh karyawan kalian di sini?" Alina mempersilahkan sepasang suami istri itu masuk. Pintu ditutup rapat-rapat. Di sana hanya ada mereka bertiga. Alina berpikir ketika suasana mereda Valen bisa berpikir jernih, nyatanya tanpa aba-aba ia mendekati Alina lalu menjambak rambutnya. "Sakit!" "Dasar perempuan tidak hau diri!" "Valen!" Yuda langsung menarik lengannya dan mendorong hingga terpental ke kursi. "Aaarrgggh," Alina memperbaiki rambutnya yang berantakan. "Mas! Kamu nggak sadar dia sudah pelet kamu?" "Diam! Apapun yang kamu bilang tidak akan merubah pendirianku untuk menikahi Alina." Sementara Alina pun kembali membulatkan mata, sepertinya ia sudah terlalu jauh masuk ke dalam hati pria itu. Tapi jika bukan dengan menikah dengannya, bagaimana ia bisa mengetahui insiden kematian Aira dengan jelas. Sudahlah, semua sudah terlanjur. Alina akan meneruskan permainan tanpa mundur. Ia tak akan menyerah sebelum dua bajingan ini men
Ada rasa galau yang melanda gadis itu, pasalnya pernikahan dirinya dengan Yuda sudah ditentukan tanggal tapi ia belum berani untuk berkata jujur kepada Yasa. Pria yang selalu setia menunggunya beberapa tahun belakangan ini, tapi sekarang ia harus menelan pil pahit. Bukan bermaksud mengkhianati tapi memang takdir yang memaksanya. [Yas, aku mau bicara sama kamu. Bisa kita ketemu?] Beberapa menit kemudian baru ada balasan. [Boleh. Tapi aku sedang hadiri sidang salah satu mahasiswa bimbinganku. Bisa kita ketemu di kampus saja?] [Bisa. Sebentar lagi aku sampai.] [Makasih, Sayang kamu sudah ngerti.] Pandangan gadis itu menerawang. Pria seperti Yasa jarang ditemui, tak hanya memiliki kepedulian tinggi tapi dia juga humoris. Mobil itu sudah memasuki kampus, pun Alina sudah berada di tempat yang sudah dikirimkan Yasa. Ia sibuk sekali akhir-akhir ini. Duduk sendiri menghadap gedung Fakultas Teknik membuat gadis itu merasa tak tega jika harus berkata jujur pada Dimas, tapi akan lebih
Alina masih bersembunyi menghadap ruangan Yuda, sangat jelas sekali bahwa Yasa memasuki ruangan itu. Tapi ada urusan apa ia bertemu Yuda?Alina tak bisa tinggal diam, sepertinya harus bertanya lagi ke Bu Nawang."Pak Yasa adalah pemilik perusahaan ini. Sementara Pak Yuda adalah tangan kanannya, begitu kurang lebih," jawab perempuan bernama Nawang."Apakah mereka memiliki hubungan keluarga?""Saya kurang tahu soal itu, Bu Alina, soalnya keluarga mereka sangat privasi di kantor ini."Gadis itu kembali mengangguk. Jika Yasa pemilik perusahaan kenapa ia harus bekerja sebagai dosen juga?Menepis kebimbangan, Alina malah dikejutkan dengan dibukanya pintu ruangan Pak Yuda. Paling mencengangkan ialah ketika melihat wajah lelaki itu babak belur, mata, pelipis, pipi hingga dagu memerah. Pun di belakang Yasa ikut keluar dengan mengibaskan tangan. Apa dia yang melakukan itu?"Bu Alina jangan kaget. Hal itu sudah biasa di sini," tukas Nawang.Kembali Alina harus berlayar di laut lepas, apa mungki
"Ada apa, Bi? Kenapa Bibi terlihat pucat seperti itu?" Alina menatap tajam."Saya, saya....""Ada apa, Sayang?" Yasa menghampiri mereka."Ohh nggak, ini aku tanya masalah apa apa saja yang kamu suka.""Kamu kan sudah tahu semua kesukaan aku, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Lagi pula aku tidak pernah tinggal di sini. Ini rumah Yuda."Mampus mampus! Ngapain juga Alina beralasan klise seperti itu."Kan basa basi sama Bi Oni" tukasnya kemudian.Yasa tersenyum seadanya dan tak mempermasalahkan. Mereka berdua masuk kamar. Di sana sudah di desain sedemikian rupa ala pengantin baru."Ini kamar kita?" Keduanya saling pandang. Pasti ini kerjaan Yuda.Hasil dekorasi dari orang yang tersakiti ya begini. Hiasan penuh dengan gambar angsa, bebek atau bangkau? Tak kompeten."Pak Yuda dan istrinya lucu ya," tukas Alina duduk di kasur."Kamu kenapa peduli sekali sama laki-laki itu. Kamu suka sama dia?"Alina menaiki alis heran, kok Yasa jadi over thinking begini? "Kamu kenapa, Yas? Kok mendadak s
Yuda melotot kaget sembari menghindar dari cakaran benda tajam itu. "Kamu gila?!" ucapnya dengan napas yang naik turun. "Kamu nggak apa-apa kan, Mas?" Valen menghampiri suaminya ikut was was akan tindakan Yasa tadi. "Saya gila?" Yasa menghentikan sarapan lantas berdiri. "Kalau kalian anggap seperti itu silahkan, tapi sekali lagi saya dengar kamu sebut nama istri saya dari mulut kotormu, siap siap bernasib sama dengan garpu ini!"Pria dengan setelan piyama bergegas naik meninggalkan mereka."Dasar lelaki gila, apa obatnya sudah habis?" gerutu istrinya."Sssttt, jangan tambah masalah.""Aku capek, Mas. Kita selalu saja jadi budak dia!""Sudah sudah. Aku berangkat dulu."Yuda bergegas pergi, sementara Yasa malah enggan untuk beranjak. Maklum pengantin baru memang tak mau jauh jauh dari istrinya. Bukankah begitu?"Yas, cepat mandi. Nanti kamu telat loh!" protes Alina yang terus saja dipeluk suami."Hari ini tidak usah masuk saja. Nanti aku tinggal kasih mereka tugas, beres!""Bukannya
"Ohhh kamu nggak tahu ya?" pancingnya lagi."Valen, kamu jangan banyak bicara. Apa maksud perkataan kamu tadi?!"Wanita itu melangkah maju dengan wajah terangkat."Kamu cari tahu saja sendiri, suami seperti apa yang kamu nikahi!"Tangan Alina tergenggam, mulut licin Valen kalau tidak diajari akan makin licin. Mulut baunya ini pasti dulu juga pernah mendarat ke hati Aira. Dengan tenang Alina mendekati perempuan itu dari belakang dan menjambak rambutnya keras."Kamu berani berbicara kurang ajar tentang suami saya?" tukasnya santai."Aauu sakittt! Kamu gila ya? Lepas nggak, lepasss!""Saya tidak akan lepas jika kamu tidak minta maaf.""Kurang ajar! Aauu sakit Alina! Oke oke, aku minta maaf. Aku salah, tolong lepas," tukasnya melunak.Alina melepas cengkraman tangannya setelah melihat Valen kesakitan dan memohon."Saya tunggu di bawah. Saya mau dipijit sama kamu!" Alina berlalu pergi.Terlihat perempuan dengan rok selutut masih memperbaiki rambut yang compang-camping sembari mendengus ke
"Dari mana kamu tahu nama itu?" tanyanya gelagapan.Saat ini Alina juga harus pintar pintar mencari alasan. Kalau terbongkar hubungannya dengan Aira bisa gawat."Saya pernah membaca nama itu di gudang."Aduh, alasan yang klise sekali."Gudang? Gudang mana?""Gudang di rumah-lah. Lagian kalian juga pernah menyebutnya dibeberapa pembicaraan. Saya hanya ingin tahu saja.""Tidak pernah. Saya sama sekali tidak pernah menyebut itu.""Pernah, tapi kamu lupa."Yuda seperti orang panik, wajah pucat dan kini berjalan mengitari Alina."Siapa dia?!""Kamu tidak perlu tahu, dia tidak penting. Jadi jangan dibahas lagi.""Ohhh mau ingkar janji? Kalau begitu saya berhenti jadi sekretaris kamu dan jangan lagi temui saya!""Eh eh jangan begitu dong, Sayang. Kamu kok marah masalah sepele. Memang benar, Aira itu tidaklah penting, dia orang gila yang tak pantas namanya dibahas lagi."Apa? Berani sekali Yuda berbicara sembarangan terkait Aira. Pemilihan kata yang sangat tak layak untuk dikeluarkan saat ini
"Ini," ucapnya memberikan ke istri. "Tapi jangan buka ruangan atas ya?""Kenapa?""Yaa, nggak ada. Gudang soalnya."Aneh, tapi diikuti saja untuk saat ini. Main aman dulu."Aku bawa ya?""Eeit, tidak semudah itu." Yasa menarik lagi kunci yang hampir Alina ambil. "Cium dulu dong.""Apaan sih, Yas. Kayak anak muda saja.""Kita kan masih muda, belum kepala tiga.""Iya, tapi mau menuju ke sana kan?""Nggak mau cium suami? Ya sudah kuncinya aaaa....."Pria itu tak melanjutkan ucapan karena seketika mendapat rezki nomplok."Tuh, udah aku cium. Puas?""Puas dong. Nih, kunci dan rumah itu milik kamu sayangku...."Alina tersenyum, lelaki seperti Yasa seakan tak akan ia temukan lagi pada diri orang lain. Lelaki sempurna di matanya."Yas, berhenti!" Alina meminta suaminya berhenti di pinggir jalan yang masih kawasan kantor."Ada apa, Sayang?" tanyanya penasaran."Sebentar ya, aku turun dulu."Yasa membuka kaca mobil dan melihat Alina berjalan menuju seorang pengemis di pinggir jalan."Hy adik, k