Yuda melotot kaget sembari menghindar dari cakaran benda tajam itu. "Kamu gila?!" ucapnya dengan napas yang naik turun. "Kamu nggak apa-apa kan, Mas?" Valen menghampiri suaminya ikut was was akan tindakan Yasa tadi. "Saya gila?" Yasa menghentikan sarapan lantas berdiri. "Kalau kalian anggap seperti itu silahkan, tapi sekali lagi saya dengar kamu sebut nama istri saya dari mulut kotormu, siap siap bernasib sama dengan garpu ini!"Pria dengan setelan piyama bergegas naik meninggalkan mereka."Dasar lelaki gila, apa obatnya sudah habis?" gerutu istrinya."Sssttt, jangan tambah masalah.""Aku capek, Mas. Kita selalu saja jadi budak dia!""Sudah sudah. Aku berangkat dulu."Yuda bergegas pergi, sementara Yasa malah enggan untuk beranjak. Maklum pengantin baru memang tak mau jauh jauh dari istrinya. Bukankah begitu?"Yas, cepat mandi. Nanti kamu telat loh!" protes Alina yang terus saja dipeluk suami."Hari ini tidak usah masuk saja. Nanti aku tinggal kasih mereka tugas, beres!""Bukannya
"Ohhh kamu nggak tahu ya?" pancingnya lagi."Valen, kamu jangan banyak bicara. Apa maksud perkataan kamu tadi?!"Wanita itu melangkah maju dengan wajah terangkat."Kamu cari tahu saja sendiri, suami seperti apa yang kamu nikahi!"Tangan Alina tergenggam, mulut licin Valen kalau tidak diajari akan makin licin. Mulut baunya ini pasti dulu juga pernah mendarat ke hati Aira. Dengan tenang Alina mendekati perempuan itu dari belakang dan menjambak rambutnya keras."Kamu berani berbicara kurang ajar tentang suami saya?" tukasnya santai."Aauu sakittt! Kamu gila ya? Lepas nggak, lepasss!""Saya tidak akan lepas jika kamu tidak minta maaf.""Kurang ajar! Aauu sakit Alina! Oke oke, aku minta maaf. Aku salah, tolong lepas," tukasnya melunak.Alina melepas cengkraman tangannya setelah melihat Valen kesakitan dan memohon."Saya tunggu di bawah. Saya mau dipijit sama kamu!" Alina berlalu pergi.Terlihat perempuan dengan rok selutut masih memperbaiki rambut yang compang-camping sembari mendengus ke
"Dari mana kamu tahu nama itu?" tanyanya gelagapan.Saat ini Alina juga harus pintar pintar mencari alasan. Kalau terbongkar hubungannya dengan Aira bisa gawat."Saya pernah membaca nama itu di gudang."Aduh, alasan yang klise sekali."Gudang? Gudang mana?""Gudang di rumah-lah. Lagian kalian juga pernah menyebutnya dibeberapa pembicaraan. Saya hanya ingin tahu saja.""Tidak pernah. Saya sama sekali tidak pernah menyebut itu.""Pernah, tapi kamu lupa."Yuda seperti orang panik, wajah pucat dan kini berjalan mengitari Alina."Siapa dia?!""Kamu tidak perlu tahu, dia tidak penting. Jadi jangan dibahas lagi.""Ohhh mau ingkar janji? Kalau begitu saya berhenti jadi sekretaris kamu dan jangan lagi temui saya!""Eh eh jangan begitu dong, Sayang. Kamu kok marah masalah sepele. Memang benar, Aira itu tidaklah penting, dia orang gila yang tak pantas namanya dibahas lagi."Apa? Berani sekali Yuda berbicara sembarangan terkait Aira. Pemilihan kata yang sangat tak layak untuk dikeluarkan saat ini
"Ini," ucapnya memberikan ke istri. "Tapi jangan buka ruangan atas ya?""Kenapa?""Yaa, nggak ada. Gudang soalnya."Aneh, tapi diikuti saja untuk saat ini. Main aman dulu."Aku bawa ya?""Eeit, tidak semudah itu." Yasa menarik lagi kunci yang hampir Alina ambil. "Cium dulu dong.""Apaan sih, Yas. Kayak anak muda saja.""Kita kan masih muda, belum kepala tiga.""Iya, tapi mau menuju ke sana kan?""Nggak mau cium suami? Ya sudah kuncinya aaaa....."Pria itu tak melanjutkan ucapan karena seketika mendapat rezki nomplok."Tuh, udah aku cium. Puas?""Puas dong. Nih, kunci dan rumah itu milik kamu sayangku...."Alina tersenyum, lelaki seperti Yasa seakan tak akan ia temukan lagi pada diri orang lain. Lelaki sempurna di matanya."Yas, berhenti!" Alina meminta suaminya berhenti di pinggir jalan yang masih kawasan kantor."Ada apa, Sayang?" tanyanya penasaran."Sebentar ya, aku turun dulu."Yasa membuka kaca mobil dan melihat Alina berjalan menuju seorang pengemis di pinggir jalan."Hy adik, k
"Kamu gila? Kenapa menamparku?""Kamu pantas mendapatkannya! Perempuan seperti kamu bahkan pantas untuk dibunuh!" Alina pergi begitu saja."Dasar perempuan gila! Keluar nggak! Mas, turun, kalian mau ke mana?" ucapnya histeris, tapi mobil sudah berlalu jauh meninggalkannya."Kamu kenapa terlihat benci sekali dengan Valen?"Bukan hanya Valen, kau pun amat di benci Alina."Saya tidak suka saja sama perempuan perebut suami orang!""Apa? Memangnya siapa yang direbut oleh Valen?"Alina tersadar atas ucapannya. "Tidak ada. Tapi saya tidak suka saja dengannya, wajah dan perilaku sama sama bermuka dua.""Haha. Kamu tahu saja, kalau saya bagaimana?""Kamu....." Kali ini perempuan itu ingin sekali menghajar wajahnya. "Saya tidak tahu."Mobil mereka melaju kencang dan berhenti di sebuah restauran mewah. Meja dan tempat sudah dipesan dengan dekorasi yang cantik. Heh, kalau saja bukan karena Aira, mana mau Alina di ajak ke sini."Kamu suka? Kita makan dulu."Seketika Alina menggebrak meja, "saya t
Lelaki dengan badan tegap, berisi, dan kekar pastinya terlihat kikuk. Mungkin bingung harus menjawab bagaimana."Mungkin pernah, tapi saya lupa." Begitu jawabnya."Oh ya mungkin perasaan saya saja. Sekali lagi terima kasih, Mas."Alina memilih untuk meninggalkan lelaki itu, tapi dia malah mengejar balik."Maaf sebelumnya, tapi saya boleh bicara sebentar dengan Anda?""Bicara apa?""Sesuatu yang penting."Akhirnya Alina duduk di kursi tepi jalan. Aneh, baru pertama bertemu tapi ingin berbicara hal penting?"Jadi ingin bicara masalah apa?""Begini," tukasnya. "Apakah ibu....Dengan ibu siapa?""Alina.""Iya Ibu Alina,""Panggil saja Alina, sepertinya kita beda beberapa tahun saja.""Baik Ali-na, mungkin ini sedikit privat, apakah kamu sudah punya suami?"Perempuan itu malah menautkan alis lantas mengangguk. Pertanyaan yang sangat personal sekali."Kalau boleh tahu siapa namanya?""Yasa Aditya Kusuma."Mimik wajah berubah seketika dari lelaki itu."Memangnya kenapa? Suami saya melakukan s
Alamat yang dikirim Wiwin sudah benar, kalau tidak salah pasti yang cat tembok warna abu rumahnya. Nomor 39? Memang itu rumahnya. Alina turun dan mengucapkan salam. Seorang perempuan keluar dengan wajah ramah."Cari siapa Neng?""Eee mau tanya saja, Bi. Ini benar rumahnya Pak Yasa?""Oh ya benar. Ini mahasiswanya Tuan ya? Mau antar laporan, tugas atau bingkisan?""Ah bukan, Bi. Mau bertamu saja ke dalam.""Silahkan masuk, Neng."Tidak ada penolakan atau hal mencurigakan. Sampai Alina masuk ke dalam pun tak ada hal atau benda benda yang terlihat aneh."Kamar Pak Yasa di mana, Bi?""Ada di atas, Neng. Tunggu ya, Bibi buatkan minum."Alina bangkit dan melihat lihat, seperti rumah pada umumnya. Ada foto, ada vas bunga, dapur, kamar mandi dan yang lain. Apa Alina sudah aalah mencurigai suami sendiri?Alina berjalan menuju kamar Yasa, siapa tahu tidak dikunci. Ia tekan dan hampir terbuka."Neng, ini minumnya."Kaget. Perempuan itu menelan ludah kasar. Ia urungkan niat dan meminum air yang
Alina masih menikmati tidur sore, entah kenapa usai mual mual dia mengantuk dan tertidur pulas. Namun tak disangka bunyi handphone miliknya berdering. Pertama tak diangkat dan panggilan kedua baru Alina sadar.Nomor tak dikenal? Baru saja ia mau angkat malah mati lagi. Sejenak ia mengerutkan alis, ada beberapa pesan dari Wiwin lima belas menit lalu. Baru saja ia mau buka tapi malah nomor tadi menelpon lagi."Halo dengan siapa?""Bu, Bu Alinaaa...." Suara panik dan serak. "Bu, ini aku Ririn.""Ada apa Ririn? Kenapa suara kamu seperti sedang menangis?""Wiwin, Bu....Wiwin.....""Wiwin kenapa? Bicara yang jelas." Alina ikut panik."Wiwin, dia meninggal, Bu."Apa? Seketika Alina seakan ditikam belati tajam."Ma-maksud kamu apa? Jangan bercanda Ririn.""Nanti aku jelaskan. Bu Alina lihat sendiri, aku sudah kirim alamat rumah Wiwin."Telepon itu dimatikan, Alina diserbu cemas dan banyak pertanyaan. Ia ambil tas dan bergegas pergi ke alamat tujuan.Jarak rumah Wiwin dengan kampusnya lumayan