Pernikahan tiba.......Alina sudah selesai di rias dengan gaun putih melilit tubuhnya. Pilihan Ririn untuknya memang yang terbaik. Rasanya menikah untuk kedua kali tak pernah ia bayangkan, tapi takdir yang membawa perempuan itu pada pilihan."Kak Alina cantik sekali, kayak putri kerajaan," imbuh Ririn."Bisa aja mujinya.""Lah, memang benar, Kak. Ya sudah, kita turun. Sebentar," ucapnya menghampiri pintu kamar. Saat ia buka ternyata Bu Nuri."Sudah siap? Bima dan Bu Lila sudah datang.""Mama sudah datang?" tanya Ririn memastikan."Sudah, Rin. Mereka menunggu kalian turun. Dipercepat ya."Bu Nuri kembali berlalu, kini Alina berjalan keluar dibantu oleh Ririn. Semua mata menuju ke arahnya, apalagi Bima. Ia terus saja memandang secara bergantian wajah calon istri dan jam tangan. Team wedding Clara sudah menunggu di sana, kalau Bima tidak cepat akan sangat fatal. Sementara sang Mama masih menahan rasa yang bergejolak. Cantik memang cantik menantunya ini, tapi melihat perutnya yang mengg
"Nikahi Clara sekarang juga," ucapnya lagi dengan nada lebih mengancam. "Saya hitung mundur. Tiga...."Suasana semakin ricuh, Bima masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran saat ini. Jika menikah dengan Clara maka ia seakan menyakiti Alina bertubi tubi. Tapi jika tidak dilakukan, maka ia menyepelekan tugas dan mengorbankan Ririn."Dua....Saaa.....""Baik, saya akan menikahi Clara."Jawaban Bima membuat semua menatap dirinya tak percaya."Kak, apa yang sedang Kak Bima katakan? Tarik lagi, Kak. Ini semua jebakan, jangan percaya ucapan lelaki ini. Kak Bimaaa!" Berontak Ririn masih tidak berdaya."Bagus. Pilihan yang sangat bijak.""Kak Bima!""Diam!" gertak lelaki itu ke Ririn.Sementara Clara yang masih terbengong, kembali duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya lelaki bertubuh kekar juga ikut duduk dan langsung menjabat tangan penghulu. Kuncoro sebagai wali nikah menyaksikan pernikahan anaknya dengan desir."Kak Bimaaaa, hentikan Kaaaak!"Teriakan Ririn tidak diperhatikan, Bima den
Satu map yang jatuh dari meja membuat fokus gadis itu terpecah-belah. Entah mengapa, perasaan tak enak langsung menyeruak cepat hingga ke relung hatinya. Perempuan bernama Alina itu berusaha untuk mengambil lagi map yang jatuh ke sela meja, tapi bersamaan dengan itu sebuah pesan masuk ke ponselnya.[Balaskan dendam Kakak kepada Yuda dan siapa pun yang berkaitan dengannya. Tolong jaga Dani untuk Kakak, Lin.]Pesan itu membuat Alina langsung berdiri tak berkutik dan seketika membuatnya panik attack. Ia segera menghubungi nomor Aira, tapi nomor itu sudah tidak aktif."Kak Aira, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa tiba-tiba mengirim pesan seperti ini?" Alina berujar sembari berdiri dengan cemas. Baru saja hendak kembali menelepon kakaknya, ia kembali dikagetkan dengan panggilan masuk dari seseorang."Halo. Kenapa, Bu?""Lin! Kakakmu, Lin! Aira.. Aira meninggal!" Isak tangis ibunya di seberang telepon membuat tubuh Aira bergetar hebat, terguncang begitu keras.Tanpa pikir panjang, ia langs
Rambut ikal Alina berkibar cantik seiring dengan tiupan angin yang ringan. Rok hitam yang disertai dengan kemeja putih membuat tubuh rampingnya terlihat begitu elegan. Saat ini, di tangannya ada beberapa berkas yang harus segera ia berikan kepada bosnya. Namun, Alina masih saja berdiri memandangi rumah megah yang baru beberapa hari lalu menjadi tempatnya mengamuk. Ia memang memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai sekretaris Yuda beberapa minggu lalu. Sebab, Liana menganggap posisi ini strategis untuk memata-matai kedua targetnya.Jujur, Alina masih bingung dan penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi tiga hari lalu usai pernikahan kedua Pak Yuda hingga membuat Aira mengirim pesan singkat itu? Alina yakin kematian kakaknya pasti berhubungan dengan kedua manusia sialan itu.Sejenak ia menarik napas panjang dan mulai berjalan memasuki rumah. Untuk saat ini Alina harus bisa menampakkan sopan dan tata krama yang baik agar diterima. Bukankah pertemuan pertama akan mempengaruhi hubungan me
"Maaf sebelumnya, Anda siapa ya?” tanya perempuan di ambang pintu keheranan. “Perkenalkan saya Alina, sekretaris Pak Yuda di kantor." Seketika perempuan itu mundur mengenai kursi, terlihat jelas di matanya ada cermin kegelisahan. "Ada apa ya, Mbak? Kok bisa sampai ke sini?" tanyanya sambil meminta Alina untuk duduk. Alina akhirnya menceritakan maksud dan tujuannya ke sana. Ia berharap akan mendapat sedikit informasi terkait kejadian beberapa hari lalu di rumah yang atapnya bisa terlihat dari samping rumah Bu Gina. "Saya benar-benar tidak tahu tentang kematian Aira," jawabnya sedikit gemetar. "Saya, saya hanya tahu setelah suaminya menikah lagi, dia sering diperlakukan tidak baik, kadang teriakannya terdengar dari dinding kamar mandi saya." Alina mengepalkan tangan, seakan dadanya ingin pecah mendengar potongan kecil penderitaan Aira. "Hanya itu yang saya tahu, sebelum pernikahan suaminya dengan Bu Valen, kami sering bertemu untuk mengobrol tapi setelah suaminya menikah lagi, Ai
Rambut ikal melewati bahu tergerai cantik, langkahnya anggun mendekati nomor meja yang sudah dipilihkan Yasa untuk mereka bertemu. Beberapa kali mencari, baru ia melihat lambaian tangan pria itu di bagian ujung cafe. Alina menghampiri dan akhirnya bertemu sosok pria yang sudah lama tak melihat senyum manisnya."Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Aku terpesona," jawab lelaki dengan mata bulat itu tanpa mengalihkan pandangan."Ihhh gombal sekali."“Duduk dong, Sayang."Pria bernama Yasa menarik kursi untuk sang kekasih. Kini pandangannya tak lepas dari gadis yang ia kenal tiga tahun lalu. Wajah rupawan dan manis membuat lelaki itu punya daya tarik tersendiri."Kamu kok tambah cantik, Lin?" imbuhnya."Apaan sih, Yas. Stop ya, jangan ganggu aku dengan kalimat nggak ngefek kamu itu.""Memang benar, Sayang. Iya sudah jangan dipikirkan. Ini aku sudah pesan makan."Keduanya mengobrol lama usai makanan datang, terlihat jelas bahwa kedua sejoli itu tengah menikmati waktu yang terbuang. Alina
Valen melangkah menuruni tangga, pagi itu makanan sudah memenuhi meja. Dia bagai putri kerajaan yang apa-apa saja selalu menyuruh orang lain dan hanya bisa bersolek. Kali ini ia sengaja berpakaian dinas untuk merayu suaminya.Tangan putih membelai lembut pundak Yuda, beralih ke wajah, ia pun meraba lembut kumis tipisnya. Namun, pria itu masih fokus ke layar HP, tak memperdulikan. Menyadari suami yang acuh membuat Valen menghentikan diri kemudian memasang wajah masam."Mas! Kamu sedang lihat apa sampai mengabaikanku?"Yuda berbalik dan mendapati wanita itu seperti kunti gentayangan, sama sekali tak terpesona. Seakan penglihatan dan hati pria itu sudah tersihir oleh Alina seorang."Kamu ngapain berpakaian seperti itu?""Aku sedang mengenang masa lalu. Dulu saat Aira masih hidup, aku sering menggoda kamu di depan dia dengan pakaian seperti ini, melihatnya cemburu dan sakit hati aku merasakan bahagia.""Sama sekali tidak lucu!""Kenapa, Mas? Kamu masih mencintai dia?"Yuda tak menggubris
"Kita masuk ke ruangan! Apa kalian tidak malu dilihat oleh karyawan kalian di sini?" Alina mempersilahkan sepasang suami istri itu masuk. Pintu ditutup rapat-rapat. Di sana hanya ada mereka bertiga. Alina berpikir ketika suasana mereda Valen bisa berpikir jernih, nyatanya tanpa aba-aba ia mendekati Alina lalu menjambak rambutnya. "Sakit!" "Dasar perempuan tidak hau diri!" "Valen!" Yuda langsung menarik lengannya dan mendorong hingga terpental ke kursi. "Aaarrgggh," Alina memperbaiki rambutnya yang berantakan. "Mas! Kamu nggak sadar dia sudah pelet kamu?" "Diam! Apapun yang kamu bilang tidak akan merubah pendirianku untuk menikahi Alina." Sementara Alina pun kembali membulatkan mata, sepertinya ia sudah terlalu jauh masuk ke dalam hati pria itu. Tapi jika bukan dengan menikah dengannya, bagaimana ia bisa mengetahui insiden kematian Aira dengan jelas. Sudahlah, semua sudah terlanjur. Alina akan meneruskan permainan tanpa mundur. Ia tak akan menyerah sebelum dua bajingan ini men
"Nikahi Clara sekarang juga," ucapnya lagi dengan nada lebih mengancam. "Saya hitung mundur. Tiga...."Suasana semakin ricuh, Bima masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran saat ini. Jika menikah dengan Clara maka ia seakan menyakiti Alina bertubi tubi. Tapi jika tidak dilakukan, maka ia menyepelekan tugas dan mengorbankan Ririn."Dua....Saaa.....""Baik, saya akan menikahi Clara."Jawaban Bima membuat semua menatap dirinya tak percaya."Kak, apa yang sedang Kak Bima katakan? Tarik lagi, Kak. Ini semua jebakan, jangan percaya ucapan lelaki ini. Kak Bimaaa!" Berontak Ririn masih tidak berdaya."Bagus. Pilihan yang sangat bijak.""Kak Bima!""Diam!" gertak lelaki itu ke Ririn.Sementara Clara yang masih terbengong, kembali duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya lelaki bertubuh kekar juga ikut duduk dan langsung menjabat tangan penghulu. Kuncoro sebagai wali nikah menyaksikan pernikahan anaknya dengan desir."Kak Bimaaaa, hentikan Kaaaak!"Teriakan Ririn tidak diperhatikan, Bima den
Pernikahan tiba.......Alina sudah selesai di rias dengan gaun putih melilit tubuhnya. Pilihan Ririn untuknya memang yang terbaik. Rasanya menikah untuk kedua kali tak pernah ia bayangkan, tapi takdir yang membawa perempuan itu pada pilihan."Kak Alina cantik sekali, kayak putri kerajaan," imbuh Ririn."Bisa aja mujinya.""Lah, memang benar, Kak. Ya sudah, kita turun. Sebentar," ucapnya menghampiri pintu kamar. Saat ia buka ternyata Bu Nuri."Sudah siap? Bima dan Bu Lila sudah datang.""Mama sudah datang?" tanya Ririn memastikan."Sudah, Rin. Mereka menunggu kalian turun. Dipercepat ya."Bu Nuri kembali berlalu, kini Alina berjalan keluar dibantu oleh Ririn. Semua mata menuju ke arahnya, apalagi Bima. Ia terus saja memandang secara bergantian wajah calon istri dan jam tangan. Team wedding Clara sudah menunggu di sana, kalau Bima tidak cepat akan sangat fatal. Sementara sang Mama masih menahan rasa yang bergejolak. Cantik memang cantik menantunya ini, tapi melihat perutnya yang mengg
Dengan gerakan panik, Bima menyetir mobil kecepatan tinggi. Sesaat sudah sampai, ia langsung bergegas menghampiri pintu. Namun belum saja diketuk, pintu sudah terbuka lebar."Happy birthday Om Biiiim....." teriak Dani mengibas ngibaskan balon ke atas.Hah? Lelaki itu malah menaikkan alis, ia saja tidak ingat tanggal kelahirannya sendiri."Tante Alina baik baik saja kan, Dan?" Ia masih saja mencemaskan perempuan itu.Alina begitu disebut namanya seketika nongol di belakang Dani dengan senyum."Lin, kamu nggak apa apa? Aku ditelpon Ibu, katanya kamu kesakitan.""Buktinya aku baik baik aja. Ibu sengaja bilang gitu, aku yang suruh.""Tidak lucu bercandanya Alina, aku panik.""Ide Ririn, aku juga ikut idenya dia."Hah? Bima memandang ke samping, baru wajah adiknya kembali terlihat."Kamu juga di sini?""Iya dong. Surprise buat Kakakku tercinta."Bima mendekat dan menyentil keningnya."Ya sudah, kita makan malam saja di dalam, ayok." Di meja makan sudah dipenuhi beberapa menu, tentunya mas
Bima duduk di ruang tengah ditemani Clara, seorang pembantu menyuguhkan minuman hangat untuknya. Beberapa saat perempuan dengan model rambut di gerai ikal datang, ia ikut duduk berhadapan dengan lelaki itu. "Bima ya?" tanyanya dengan wajah berbinar. "Iya benar Tante." "Memang semua cerita dari Clara tidak cacatnya. Kamu ganteng, cool, manis, abdi negara lagi. Cocok dengan Clara yang seorang aktivis muda," ucapnya memuji. Lelaki itu hanya tersenyum simpul. "Ya sudah kalau memang sudah sama sama cocok, pernikahan kalian dipercepat saja." Bima berusaha memikirkan celah, lebih cepat lebih baik. "Dua hari lagi, bagaimana?" Lelaki yang sedang meneguk segelas minuman seketika tersedak, bahkan hampir mengeluarkannya lagi. "Kamu kenapa?" "Nggak nggak, cuma tersedak saja." "Makanya hati hati kalau minum." Clara terlihat cemas. Akan rumit jika pernikahan mereka dilakukan cepat, takutnya akan tabrakan dengan pernikahannya dengan Alina. "Sepertinya harus di undur beberapa hari. Karena a
"Lagi bahas apa?" Seketika Agung dan Wawan datang mengacaukan pembicaraan mereka."Ini loh lagi bahas Kak Agung.""Bahas saya? Ada apa?"Lelaki itu melirik ke arah Bima dan Wawan secara bergantian."Ngapain lihat saya? Kita berdua baru datang," sanggah Wawan tak terima dengan tatapan curiga."Ririn, sebenarnya Agung itu....." Clara kembali melanjutkan tapi dengan cepat Agung menarik tangan Ririn menjauh."Eeh eh Kak Agung, mau ke mana?" ucapnya menurut.Keduanya berhenti di area agak jauh dari mereka."Kamu dengarkan apa kata saya, apapun yang mereka katakan sama kamu, jangan pernah percaya sebelum saya yang mengatakannya. Paham?""Memangnya mereka mau mengatakan apa, Kak?""Yaaaa," lelaki itu terlihat berpikir. "Apapun itu. Intinya jangan percaya."Ririn seperti orang polos yang tak tahu menahu apa tujuan pembicaraan Agung kali ini."Sudah bicaranya? Sekarang kita pulang," Bima menarik lengan adiknya menuju mobil."Tunggu, Kak. Mobilnya mana muat untuk kita berenam. Muat sih, tapi d
Badannya tiba tiba menggigil, dadanya sesak begitu hebat. Tidak hanya dirinya, Ririn juga mendadak kaget. Seorang perempuan cantik, pakaian rapi tertutup, jilbab ungu kalem, dan tatapannya begitu teduh. Bima melepas tangannya, bukan tanpa alas, hanya lengan yang terbungkus baju panjang yang ia pegang."Hy Riiiin...." sapa Wawan saat mereka sudah semakin dekat. "Sudah lama?"Pertanyaan yang tidak terdengar oleh Alina, fokus matanya hanya menuju ke arah Bima dan perempuan itu."B-baru saja, Kak," jawab Ririn tak mengalihkan pandangan dari Kakaknya.Sementara Bima baru saja bertemu pandang dengan Alina, ia juga terlihat menahan rindu yang berkecamuk dalam dada, namun terhalang berjarak oleh suasana mendung hari ini."Kak Bima," sapa Ririn mendaratkan kalimat datar."Rin?"Lelaki itu tersadar dan mengetahui arti tatapan dua perempuan di depannya ini. Namun bagaimana kabar Alina yang masih mematung di sana?"Alina," sapa Bima dengan sorot mata yang dalam. Melihat perempuan yang amat ia c
Bagian 2Yang mengikuti kisah Alina sampai bagian kedua, terima kasih banyak teman teman....Dijamin bagian ini akan pecahhhh, selamat membaca 🌵••••••••••••••••••••••••••••••••••"Bagaimana, Dok?"Alina yang ditemani oleh ibunya memeriksa kandungan terus memancarkan harap harap cemas. Tinggal lima hari kandungannya genap sembilan bulan, pantas ada raut tak sabaran terlihat."Kandungan Bu Alina baik, sehat juga Alhamdulillah. Dan tanggal lahiran sudah saya tulis di sini," tunjuknya di sebuah buku. "Nanti Ibu cek saja, tapi mendekati hari lahiran, kandungan harus dijaga betul betul. Kalau bisa minta suami untuk tetap ada di samping.""Baik, Dok."Alina berdiri dibantu ibunya, mereka berjalan keluar ruangan."Dengar tuh kata dokter, jaga kandungan dan jangan terlalu capek. Kamu juga mulai hari ini jangan ke kantor. Suruh saja Nina untuk menghandle semua.""Tapi nggak betah juga kalau di rumah terus.""Jangan protes," sanggah ibunya memasuki mobil."Sekalian jemput Dani di sekolah, Bu."
Apakah Alina tidak salah dengar?Melihat Bima seperti menahan tawa, ia angkat tas kecilnya lalu menimpuk lengannya."Aaaaa, sakit, Lin.""Eeh, lengan kamu masih sakit ya? Maaf maaf," ucapnya merasa bersalah."Lagian kamu bicara tidak bisa serius.""Iya iya, saya cuma bercanda kok."Tuh kan, padahal Alina berharap kalimat tadi sebuah tanda keseriusan atau setidaknya dia mengungkapkan perasaannya."Meskipun tadi itu benar, mana mungkin saya bisa menggeser nama Pak Yasa di hati kamu. Dia akan tetap menduduki posisi pertama di sana. Iya kan?"Bima menyalakan mobil dan menembus jalanan kota. Ia tidak tahu saja perasaan terdalam Alina seperti apa.Beberapa saat mereka sampai di depan rumah, perut yang semakin besar membuat perempuan itu harus ekstra hati-hati dalam melakukan segala hal."Lin," panggil Bima saat mereka sudah turun. "Ada yang ingin saya katakan."Mendadak wajah berkharisma itu berubah tegang. Apa dia ingin mengatakan sesuatu atau ingin mengungkapkan perasaan?"Besok pagi saya
"Lalu siapa yang harus aku salahkan? Ini bukan tentang Kak Aira atau Dani, tapi menyangkut banyak orang. Wiwin, Pak Tono, dan anak anak yang sudah meninggal karena ulahmu. Lantas siapa yang harus disalahkan, Mas?""Apa kamu membenciku?"Belum ada jawaban atas pertanyaan itu, lebih tepatnya Alina bingung dengan perasaan sendiri."Aku salah, aku menyesal Alina. Andaikan waktu ini bisa diputar, aku akan memilih untuk hidup di jalanan dengan sepotong roti dari pada harus kehilangan perempuan yang aku sayangi.""Sudah terlambat," jawabnya tertunduk."Apa maksud kamu?"Satu tarikan napas terdengar amat panjang, penjelasan suaminya sudah cukup untuk ia dengar. Meski kata maaf dan penyesalan tidak bisa merubah apa apa, setidaknya Yasa sudah mengaku dirinya salah."Sebelumnya, aku ingin mengatakan sesuatu. Mas, aku hamil. Aku sedang hamil anak kamu."Guncangan hebat melanda Yasa kali ini, entah bahagia atau rasa sedih."Apa kamu hamil?"Alina berdiri, "aku akan menunggu kamu keluar dari penjar