Share

BAB 2

Rambut ikal Alina berkibar cantik seiring dengan tiupan angin yang ringan. Rok hitam yang disertai dengan kemeja putih membuat tubuh rampingnya terlihat begitu elegan. Saat ini, di tangannya ada beberapa berkas yang harus segera ia berikan kepada bosnya. 

Namun, Alina masih saja berdiri memandangi rumah megah yang baru beberapa hari lalu menjadi tempatnya mengamuk. Ia memang memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai sekretaris Yuda beberapa minggu lalu. Sebab, Liana menganggap posisi ini strategis untuk memata-matai kedua targetnya.

Jujur, Alina masih bingung dan penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi tiga hari lalu usai pernikahan kedua Pak Yuda hingga membuat Aira mengirim pesan singkat itu? Alina yakin kematian kakaknya pasti berhubungan dengan kedua manusia sialan itu.

Sejenak ia menarik napas panjang dan mulai berjalan memasuki rumah. Untuk saat ini Alina harus bisa menampakkan sopan dan tata krama yang baik agar diterima. Bukankah pertemuan pertama akan mempengaruhi hubungan mereka ke depan?

Pintu itu lantas diketuknya dua kali dan tak lama kemudian, seorang asisten rumah tangga membukanya dengan cepat. Setelah dipersilakan masuk, Alina langsung berjalan dengan anggun menuju ke ruang tamu.

"Selamat pagi, Pak," sapa Alina sembari tersenyum simpul. Dia sebenarnya merinding karena  entah kenapa rumah ini seperti mengandung banyak misteri.

Yuda yang sedang duduk segera berdiri untuk menyambut Liana. Lama pria itu terpaku sambil menatap ke arah sekretarisnya yang tiba-tiba datang. ‘Yuda hanya sarapan dengan secangkir kopi. Di mana anggota keluarga yang lain?’

"Oh! Alina ya? Silakan duduk."

Tak lama kemudian, seorang perempuan muda, tinggi, putih dan berhidung mancung menghampiri meja makan. Tubuhnya yang berbentuk gitar spanyol membuat pinggulnya berlenggak-lenggok saat berjalan.

"Siapa, Mas?" tanya wanita itu sembari menatap Alina dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.

"Dia Alina, sekretaris baruku."

Perkataan Yuda hampir membuat perempuan dengan bulu mata lentik itu memuntahkan air yang sudah ia minum. Pernyataan suaminya membuatnya bingung. 

"Kamu kok nggak kasih tahu? Memangnya Nina ke mana?"

"Dia tiba-tiba berhenti."

Kedua alis perempuan itu, Valen, berkerut. Ada raut keheranan dan curiga mengarah pada suaminya.

Setelah melihat tanda-tanda kalau Valen akan kembali berbicara, Liana segera menyela sembari menyodorkan berkas di tangannya, "Ini berkas yang harus ditandatangani."

"Kenapa tidak tunggu saya di kantor? Sebentar lagi saya akan berangkat."

"Sepertinya tidak bisa, Pak, karena berkas ini harus segera dikirim. Kalau saya menunggu Bapak, maka tidak akan keburu."

Yuda menatap Alina  takjud untuk sekian kali. "Kamu memang cekatan. Jarang ada sekretaris saya yang langsung ke rumah," pujinya.

Pria itu tak tahu saja bahwa istrinya sudah tampak terbakar emosi. Itu merupakan reaksi yang bagus, karena semakin perempuan itu terbakar amarah, maka Alina akan semakin senang. Dengan begitu, semua akan menjadi lebih mudah.

Alina kemudian pamit untuk pergi. Di depan gerbang, ia memberikan berkas itu pada salah satu staf dan memintanya untuk mengantarkan berkas itu pada klien. Beberapa saat kemudian, mobil milik Yuda pun bergerak keluar gerbang.

"Alina? Kenapa masih di sani?"

"Saya ada yang mau dibeli, Pak. Jadi pakai ojek online saja."

"Sama saya saja," ajaknya.

"Tidak perlu, Pak."

Tanpa mendengar jawaban Alina, pria itu langsung membuka pintu mobil. "Ayo naik. Jangan menolak."

Memang ini yang diinginkan Alina. Dari kejauhan ia melirik ke arah rumah Yuda, dan seperti yang diharapkannya, di sana Valen berdiri dengan wajah merah dan tangan terkepal erat. Alina lantas tersenyum tipis ke arah wanita itu sebelum kemudian masuk mobil Yuda.

Kini mereka hanya berdua di dalam mobil. Sebab, Yuda memang tak suka memakai sopir sehingga ia selalu mengendarai mobilnya sendiri.

"Kita mau ke mana?" tanyanya kemudian.

Alina memandang pria berkumis tipis di sampingnya itu dengan heran. Ketika melihatnya, Alina seakan bisa menatap masa lalunya dengan Aira. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kakaknya benar-benar meninggal karena jatuh dari kamar mandi?

Heh, alasan yang klise, tapi mampu membuat polisi tidak menindaklanjuti.

"Toko kacamata, Pak." jawab Alina.

Mobil itu pun kemudian melesat ke sebuah toko yang dimaksud. Alina mengambil satu yang warna putih dan mencoba memasangnya di wajahnya.

"Bagaimana? Bagus tidak, Pak?" tanya Alina kepada Yuda.

Pria itu menatapnya lama sebelum kemudian bergerak mendekati diri Alina. Yuda lalu mengangkat tangan merapikan rambut Alina yang menjuntai melewati mata.

"Cantik," jawabnya.

Alina tersenyum, sebelum kemudian beranjak ke kasir untuk membayar. Namun, sebelum ia sempat beranjak dari sana, lengan Yuda telah lebih dulu menangkap tangannya. 

"Ada apa, Pak?"

"Kamu mengingatkan saya kepada istri saya." jawab Yuda. Matanya masih lurus memandang Alina sedangkan tangannya yang menggenggam lengan gadis itu telah terlepas.

"Bu Valen?"

"Bukan," kata Yuda.

"Lantas istri yang mana, Pak?"

"Tidak ada, lupakan."

Alina berdecak kesal dalam hati. Sebab, hampir saja ia mendapat informasi, tapi pria itu malah mengurungkan niat. Lihat saja, Alina akan membuat hari-hari Yuda seakan terus terbayang wajah Aira.

"Apa Bapak punya istri lain selain Bu Valen?"

Pertanyaan Alina sontak membuat wajah pria itu menggelap. Setelah merasa bahwa ucapannya keliru, Alina langsung mengatupkan mulut. "Maaf, Pak. Saya sudah lancang."

"Kita langsung ke kantor saja."

Alina langsung mengangguk dan berjalan mengikuti Yuda. Pun apa yang ingin dibeli tak jadi, karena suasana di antara mereka telah berubah menjadi canggung. Sikap Yuda yang seperti ini semakin menambah kecurigaan Alina.

Sejenak, Alina bereksplorasi ke memori lama dan kemudian teringat sesuatu. Ya, mungkin akan ada petunjuk di sana.

"Eemmm, Pak," panggilnya pelan. "Apa saya boleh turun di sini?" Tatapan tajam Yuda membuat Alina memasang wajah datar. "Saya lupa ada sesuatu yang harus saya selesaikan. Jadi, saya izin agak telat ke kantor." lanjut Alina.

Mobil itu masih berjalan dan Yuda tak terlihat ingin angkat bicara. Namun, tanpa diduga, beberapa detik kemudian Pria itu mau  memberhentikan mobil di pinggir jalan.

"Hanya satu jam!" ketus Yuda.

"Baik, Pak."

Kini pria menyeramkan itu telah menghilang. Alina sedikit kesal, karena ternyata Yuda menakutkan saat ia sedang marah.

Alina lalu  mengikat rambut yang membuatnya merasa gerah, sebelum kemudian menaiki ojek. Alamat yang dituju kali ini agak berdekatan, bahkan bisa dibilang hanya berbeda beberapa km dengan rumah sang Bos.

Ia mencoba mengetuk pintu, tapi baru di ketukan kelima pintu itu terbuka. Kini keduanya saling berhadapan. Di hadapan Alina, berdiri perempuan seumuran Aira yang tersenyum singkat, karena tak mengenali siapa yang datang.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status