Rambut ikal Alina berkibar cantik seiring dengan tiupan angin yang ringan. Rok hitam yang disertai dengan kemeja putih membuat tubuh rampingnya terlihat begitu elegan. Saat ini, di tangannya ada beberapa berkas yang harus segera ia berikan kepada bosnya.
Namun, Alina masih saja berdiri memandangi rumah megah yang baru beberapa hari lalu menjadi tempatnya mengamuk. Ia memang memutuskan untuk melamar pekerjaan sebagai sekretaris Yuda beberapa minggu lalu. Sebab, Liana menganggap posisi ini strategis untuk memata-matai kedua targetnya. Jujur, Alina masih bingung dan penasaran. Sebenarnya apa yang terjadi tiga hari lalu usai pernikahan kedua Pak Yuda hingga membuat Aira mengirim pesan singkat itu? Alina yakin kematian kakaknya pasti berhubungan dengan kedua manusia sialan itu. Sejenak ia menarik napas panjang dan mulai berjalan memasuki rumah. Untuk saat ini Alina harus bisa menampakkan sopan dan tata krama yang baik agar diterima. Bukankah pertemuan pertama akan mempengaruhi hubungan mereka ke depan? Pintu itu lantas diketuknya dua kali dan tak lama kemudian, seorang asisten rumah tangga membukanya dengan cepat. Setelah dipersilakan masuk, Alina langsung berjalan dengan anggun menuju ke ruang tamu. "Selamat pagi, Pak," sapa Alina sembari tersenyum simpul. Dia sebenarnya merinding karena entah kenapa rumah ini seperti mengandung banyak misteri. Yuda yang sedang duduk segera berdiri untuk menyambut Liana. Lama pria itu terpaku sambil menatap ke arah sekretarisnya yang tiba-tiba datang. ‘Yuda hanya sarapan dengan secangkir kopi. Di mana anggota keluarga yang lain?’ "Oh! Alina ya? Silakan duduk." Tak lama kemudian, seorang perempuan muda, tinggi, putih dan berhidung mancung menghampiri meja makan. Tubuhnya yang berbentuk gitar spanyol membuat pinggulnya berlenggak-lenggok saat berjalan. "Siapa, Mas?" tanya wanita itu sembari menatap Alina dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. "Dia Alina, sekretaris baruku." Perkataan Yuda hampir membuat perempuan dengan bulu mata lentik itu memuntahkan air yang sudah ia minum. Pernyataan suaminya membuatnya bingung. "Kamu kok nggak kasih tahu? Memangnya Nina ke mana?" "Dia tiba-tiba berhenti." Kedua alis perempuan itu, Valen, berkerut. Ada raut keheranan dan curiga mengarah pada suaminya. Setelah melihat tanda-tanda kalau Valen akan kembali berbicara, Liana segera menyela sembari menyodorkan berkas di tangannya, "Ini berkas yang harus ditandatangani." "Kenapa tidak tunggu saya di kantor? Sebentar lagi saya akan berangkat." "Sepertinya tidak bisa, Pak, karena berkas ini harus segera dikirim. Kalau saya menunggu Bapak, maka tidak akan keburu." Yuda menatap Alina takjud untuk sekian kali. "Kamu memang cekatan. Jarang ada sekretaris saya yang langsung ke rumah," pujinya. Pria itu tak tahu saja bahwa istrinya sudah tampak terbakar emosi. Itu merupakan reaksi yang bagus, karena semakin perempuan itu terbakar amarah, maka Alina akan semakin senang. Dengan begitu, semua akan menjadi lebih mudah. Alina kemudian pamit untuk pergi. Di depan gerbang, ia memberikan berkas itu pada salah satu staf dan memintanya untuk mengantarkan berkas itu pada klien. Beberapa saat kemudian, mobil milik Yuda pun bergerak keluar gerbang. "Alina? Kenapa masih di sani?" "Saya ada yang mau dibeli, Pak. Jadi pakai ojek online saja." "Sama saya saja," ajaknya. "Tidak perlu, Pak." Tanpa mendengar jawaban Alina, pria itu langsung membuka pintu mobil. "Ayo naik. Jangan menolak." Memang ini yang diinginkan Alina. Dari kejauhan ia melirik ke arah rumah Yuda, dan seperti yang diharapkannya, di sana Valen berdiri dengan wajah merah dan tangan terkepal erat. Alina lantas tersenyum tipis ke arah wanita itu sebelum kemudian masuk mobil Yuda. Kini mereka hanya berdua di dalam mobil. Sebab, Yuda memang tak suka memakai sopir sehingga ia selalu mengendarai mobilnya sendiri. "Kita mau ke mana?" tanyanya kemudian. Alina memandang pria berkumis tipis di sampingnya itu dengan heran. Ketika melihatnya, Alina seakan bisa menatap masa lalunya dengan Aira. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah kakaknya benar-benar meninggal karena jatuh dari kamar mandi? Heh, alasan yang klise, tapi mampu membuat polisi tidak menindaklanjuti. "Toko kacamata, Pak." jawab Alina. Mobil itu pun kemudian melesat ke sebuah toko yang dimaksud. Alina mengambil satu yang warna putih dan mencoba memasangnya di wajahnya. "Bagaimana? Bagus tidak, Pak?" tanya Alina kepada Yuda. Pria itu menatapnya lama sebelum kemudian bergerak mendekati diri Alina. Yuda lalu mengangkat tangan merapikan rambut Alina yang menjuntai melewati mata. "Cantik," jawabnya. Alina tersenyum, sebelum kemudian beranjak ke kasir untuk membayar. Namun, sebelum ia sempat beranjak dari sana, lengan Yuda telah lebih dulu menangkap tangannya. "Ada apa, Pak?" "Kamu mengingatkan saya kepada istri saya." jawab Yuda. Matanya masih lurus memandang Alina sedangkan tangannya yang menggenggam lengan gadis itu telah terlepas. "Bu Valen?" "Bukan," kata Yuda. "Lantas istri yang mana, Pak?" "Tidak ada, lupakan." Alina berdecak kesal dalam hati. Sebab, hampir saja ia mendapat informasi, tapi pria itu malah mengurungkan niat. Lihat saja, Alina akan membuat hari-hari Yuda seakan terus terbayang wajah Aira. "Apa Bapak punya istri lain selain Bu Valen?" Pertanyaan Alina sontak membuat wajah pria itu menggelap. Setelah merasa bahwa ucapannya keliru, Alina langsung mengatupkan mulut. "Maaf, Pak. Saya sudah lancang." "Kita langsung ke kantor saja." Alina langsung mengangguk dan berjalan mengikuti Yuda. Pun apa yang ingin dibeli tak jadi, karena suasana di antara mereka telah berubah menjadi canggung. Sikap Yuda yang seperti ini semakin menambah kecurigaan Alina. Sejenak, Alina bereksplorasi ke memori lama dan kemudian teringat sesuatu. Ya, mungkin akan ada petunjuk di sana. "Eemmm, Pak," panggilnya pelan. "Apa saya boleh turun di sini?" Tatapan tajam Yuda membuat Alina memasang wajah datar. "Saya lupa ada sesuatu yang harus saya selesaikan. Jadi, saya izin agak telat ke kantor." lanjut Alina. Mobil itu masih berjalan dan Yuda tak terlihat ingin angkat bicara. Namun, tanpa diduga, beberapa detik kemudian Pria itu mau memberhentikan mobil di pinggir jalan. "Hanya satu jam!" ketus Yuda. "Baik, Pak." Kini pria menyeramkan itu telah menghilang. Alina sedikit kesal, karena ternyata Yuda menakutkan saat ia sedang marah. Alina lalu mengikat rambut yang membuatnya merasa gerah, sebelum kemudian menaiki ojek. Alamat yang dituju kali ini agak berdekatan, bahkan bisa dibilang hanya berbeda beberapa km dengan rumah sang Bos. Ia mencoba mengetuk pintu, tapi baru di ketukan kelima pintu itu terbuka. Kini keduanya saling berhadapan. Di hadapan Alina, berdiri perempuan seumuran Aira yang tersenyum singkat, karena tak mengenali siapa yang datang. Bersambung...."Maaf sebelumnya, Anda siapa ya?” tanya perempuan di ambang pintu keheranan. “Perkenalkan saya Alina, sekretaris Pak Yuda di kantor." Seketika perempuan itu mundur mengenai kursi, terlihat jelas di matanya ada cermin kegelisahan. "Ada apa ya, Mbak? Kok bisa sampai ke sini?" tanyanya sambil meminta Alina untuk duduk. Alina akhirnya menceritakan maksud dan tujuannya ke sana. Ia berharap akan mendapat sedikit informasi terkait kejadian beberapa hari lalu di rumah yang atapnya bisa terlihat dari samping rumah Bu Gina. "Saya benar-benar tidak tahu tentang kematian Aira," jawabnya sedikit gemetar. "Saya, saya hanya tahu setelah suaminya menikah lagi, dia sering diperlakukan tidak baik, kadang teriakannya terdengar dari dinding kamar mandi saya." Alina mengepalkan tangan, seakan dadanya ingin pecah mendengar potongan kecil penderitaan Aira. "Hanya itu yang saya tahu, sebelum pernikahan suaminya dengan Bu Valen, kami sering bertemu untuk mengobrol tapi setelah suaminya menikah lagi, Ai
Rambut ikal melewati bahu tergerai cantik, langkahnya anggun mendekati nomor meja yang sudah dipilihkan Yasa untuk mereka bertemu. Beberapa kali mencari, baru ia melihat lambaian tangan pria itu di bagian ujung cafe. Alina menghampiri dan akhirnya bertemu sosok pria yang sudah lama tak melihat senyum manisnya."Kenapa kamu menatapku seperti itu?""Aku terpesona," jawab lelaki dengan mata bulat itu tanpa mengalihkan pandangan."Ihhh gombal sekali."“Duduk dong, Sayang."Pria bernama Yasa menarik kursi untuk sang kekasih. Kini pandangannya tak lepas dari gadis yang ia kenal tiga tahun lalu. Wajah rupawan dan manis membuat lelaki itu punya daya tarik tersendiri."Kamu kok tambah cantik, Lin?" imbuhnya."Apaan sih, Yas. Stop ya, jangan ganggu aku dengan kalimat nggak ngefek kamu itu.""Memang benar, Sayang. Iya sudah jangan dipikirkan. Ini aku sudah pesan makan."Keduanya mengobrol lama usai makanan datang, terlihat jelas bahwa kedua sejoli itu tengah menikmati waktu yang terbuang. Alina
Valen melangkah menuruni tangga, pagi itu makanan sudah memenuhi meja. Dia bagai putri kerajaan yang apa-apa saja selalu menyuruh orang lain dan hanya bisa bersolek. Kali ini ia sengaja berpakaian dinas untuk merayu suaminya.Tangan putih membelai lembut pundak Yuda, beralih ke wajah, ia pun meraba lembut kumis tipisnya. Namun, pria itu masih fokus ke layar HP, tak memperdulikan. Menyadari suami yang acuh membuat Valen menghentikan diri kemudian memasang wajah masam."Mas! Kamu sedang lihat apa sampai mengabaikanku?"Yuda berbalik dan mendapati wanita itu seperti kunti gentayangan, sama sekali tak terpesona. Seakan penglihatan dan hati pria itu sudah tersihir oleh Alina seorang."Kamu ngapain berpakaian seperti itu?""Aku sedang mengenang masa lalu. Dulu saat Aira masih hidup, aku sering menggoda kamu di depan dia dengan pakaian seperti ini, melihatnya cemburu dan sakit hati aku merasakan bahagia.""Sama sekali tidak lucu!""Kenapa, Mas? Kamu masih mencintai dia?"Yuda tak menggubris
"Kita masuk ke ruangan! Apa kalian tidak malu dilihat oleh karyawan kalian di sini?" Alina mempersilahkan sepasang suami istri itu masuk. Pintu ditutup rapat-rapat. Di sana hanya ada mereka bertiga. Alina berpikir ketika suasana mereda Valen bisa berpikir jernih, nyatanya tanpa aba-aba ia mendekati Alina lalu menjambak rambutnya. "Sakit!" "Dasar perempuan tidak hau diri!" "Valen!" Yuda langsung menarik lengannya dan mendorong hingga terpental ke kursi. "Aaarrgggh," Alina memperbaiki rambutnya yang berantakan. "Mas! Kamu nggak sadar dia sudah pelet kamu?" "Diam! Apapun yang kamu bilang tidak akan merubah pendirianku untuk menikahi Alina." Sementara Alina pun kembali membulatkan mata, sepertinya ia sudah terlalu jauh masuk ke dalam hati pria itu. Tapi jika bukan dengan menikah dengannya, bagaimana ia bisa mengetahui insiden kematian Aira dengan jelas. Sudahlah, semua sudah terlanjur. Alina akan meneruskan permainan tanpa mundur. Ia tak akan menyerah sebelum dua bajingan ini men
Ada rasa galau yang melanda gadis itu, pasalnya pernikahan dirinya dengan Yuda sudah ditentukan tanggal tapi ia belum berani untuk berkata jujur kepada Yasa. Pria yang selalu setia menunggunya beberapa tahun belakangan ini, tapi sekarang ia harus menelan pil pahit. Bukan bermaksud mengkhianati tapi memang takdir yang memaksanya. [Yas, aku mau bicara sama kamu. Bisa kita ketemu?] Beberapa menit kemudian baru ada balasan. [Boleh. Tapi aku sedang hadiri sidang salah satu mahasiswa bimbinganku. Bisa kita ketemu di kampus saja?] [Bisa. Sebentar lagi aku sampai.] [Makasih, Sayang kamu sudah ngerti.] Pandangan gadis itu menerawang. Pria seperti Yasa jarang ditemui, tak hanya memiliki kepedulian tinggi tapi dia juga humoris. Mobil itu sudah memasuki kampus, pun Alina sudah berada di tempat yang sudah dikirimkan Yasa. Ia sibuk sekali akhir-akhir ini. Duduk sendiri menghadap gedung Fakultas Teknik membuat gadis itu merasa tak tega jika harus berkata jujur pada Dimas, tapi akan lebih
Alina masih bersembunyi menghadap ruangan Yuda, sangat jelas sekali bahwa Yasa memasuki ruangan itu. Tapi ada urusan apa ia bertemu Yuda?Alina tak bisa tinggal diam, sepertinya harus bertanya lagi ke Bu Nawang."Pak Yasa adalah pemilik perusahaan ini. Sementara Pak Yuda adalah tangan kanannya, begitu kurang lebih," jawab perempuan bernama Nawang."Apakah mereka memiliki hubungan keluarga?""Saya kurang tahu soal itu, Bu Alina, soalnya keluarga mereka sangat privasi di kantor ini."Gadis itu kembali mengangguk. Jika Yasa pemilik perusahaan kenapa ia harus bekerja sebagai dosen juga?Menepis kebimbangan, Alina malah dikejutkan dengan dibukanya pintu ruangan Pak Yuda. Paling mencengangkan ialah ketika melihat wajah lelaki itu babak belur, mata, pelipis, pipi hingga dagu memerah. Pun di belakang Yasa ikut keluar dengan mengibaskan tangan. Apa dia yang melakukan itu?"Bu Alina jangan kaget. Hal itu sudah biasa di sini," tukas Nawang.Kembali Alina harus berlayar di laut lepas, apa mungki
"Ada apa, Bi? Kenapa Bibi terlihat pucat seperti itu?" Alina menatap tajam."Saya, saya....""Ada apa, Sayang?" Yasa menghampiri mereka."Ohh nggak, ini aku tanya masalah apa apa saja yang kamu suka.""Kamu kan sudah tahu semua kesukaan aku, dari bangun tidur sampai tidur lagi. Lagi pula aku tidak pernah tinggal di sini. Ini rumah Yuda."Mampus mampus! Ngapain juga Alina beralasan klise seperti itu."Kan basa basi sama Bi Oni" tukasnya kemudian.Yasa tersenyum seadanya dan tak mempermasalahkan. Mereka berdua masuk kamar. Di sana sudah di desain sedemikian rupa ala pengantin baru."Ini kamar kita?" Keduanya saling pandang. Pasti ini kerjaan Yuda.Hasil dekorasi dari orang yang tersakiti ya begini. Hiasan penuh dengan gambar angsa, bebek atau bangkau? Tak kompeten."Pak Yuda dan istrinya lucu ya," tukas Alina duduk di kasur."Kamu kenapa peduli sekali sama laki-laki itu. Kamu suka sama dia?"Alina menaiki alis heran, kok Yasa jadi over thinking begini? "Kamu kenapa, Yas? Kok mendadak s
Yuda melotot kaget sembari menghindar dari cakaran benda tajam itu. "Kamu gila?!" ucapnya dengan napas yang naik turun. "Kamu nggak apa-apa kan, Mas?" Valen menghampiri suaminya ikut was was akan tindakan Yasa tadi. "Saya gila?" Yasa menghentikan sarapan lantas berdiri. "Kalau kalian anggap seperti itu silahkan, tapi sekali lagi saya dengar kamu sebut nama istri saya dari mulut kotormu, siap siap bernasib sama dengan garpu ini!"Pria dengan setelan piyama bergegas naik meninggalkan mereka."Dasar lelaki gila, apa obatnya sudah habis?" gerutu istrinya."Sssttt, jangan tambah masalah.""Aku capek, Mas. Kita selalu saja jadi budak dia!""Sudah sudah. Aku berangkat dulu."Yuda bergegas pergi, sementara Yasa malah enggan untuk beranjak. Maklum pengantin baru memang tak mau jauh jauh dari istrinya. Bukankah begitu?"Yas, cepat mandi. Nanti kamu telat loh!" protes Alina yang terus saja dipeluk suami."Hari ini tidak usah masuk saja. Nanti aku tinggal kasih mereka tugas, beres!""Bukannya