Share

BAB 3

"Maaf sebelumnya, Anda siapa ya?” tanya perempuan di ambang pintu keheranan.

“Perkenalkan saya Alina, sekretaris Pak Yuda di kantor."

Seketika perempuan itu mundur mengenai kursi, terlihat jelas di matanya ada cermin kegelisahan.

"Ada apa ya, Mbak? Kok bisa sampai ke sini?" tanyanya sambil meminta Alina untuk duduk.

Alina akhirnya menceritakan maksud dan tujuannya ke sana. Ia berharap akan mendapat sedikit informasi terkait kejadian beberapa hari lalu di rumah yang atapnya bisa terlihat dari samping rumah Bu Gina.

"Saya benar-benar tidak tahu tentang kematian Aira," jawabnya sedikit gemetar. "Saya, saya hanya tahu setelah suaminya menikah lagi, dia sering diperlakukan tidak baik, kadang teriakannya terdengar dari dinding kamar mandi saya."

Alina mengepalkan tangan, seakan dadanya ingin pecah mendengar potongan kecil penderitaan Aira.

"Hanya itu yang saya tahu, sebelum pernikahan suaminya dengan Bu Valen, kami sering bertemu untuk mengobrol tapi setelah suaminya menikah lagi, Aira jarang keluar rumah."

Sudah jelas bahwa di rumah itu tempat yang paling mungkin Alina bisa mendapat kebenaran dan keadilan kakaknya.

"Mbak Gina bisa saya minta tolong? Jangan kasih tahu siapa pun kalau saya pernah ke sini menemui Mbak. Mungkin ke depannya saya akan sering meminta bantuan Mbak."

Tatapan perempuan bernama Gina terus menatap lekat Alina, gadis yang matanya amat mirip dengan tetangga sekaligus sahabatnya itu.

"Saya janji. Saya akan ada di pihak kamu jika membongkar kasus kematian Aira. Entah kamu siapa, tapi saya percaya kamu orang baik."

Untuk saat ini Alina tidak bisa jujur akan identitasnya. Kalimat itu pun sudah cukup membuat perempuan itu tenang, setidaknya ia punya dukungan. Alina pamit berlalu kembali ke kantor.

Ia duduk merenung sebentar. Alina tidak akan mendapat apa-apa jika hanya bertanya orang terdekat Aira, maka jalan satu-satunya adalah dia harus masuk dan menjadi salah satu anggota keluarga mereka.

Aku harus bisa masuk ke dalam hati Yuda dan masuk ke rumah itu!

Alina tersadar. Ia lupa bertanya tentang Dani, keponakannya. Pria kecil itu pun tak terlihat di rumahnya saat tadi pagi Alina ke sana. Di mana dia?

Sepertinya sekarang bukan waktu yang cocok untuk bertanya perihal Dani, aku akan tanya dilain waktu saja.

🍁

"Ini kue kukisnya, Bu."

"Terima kasih, Nin."

Alina memandang makanan yang masih terbungkus kotak kecil, ia ingat betul bahwa dulu Aira saat sedang mengandung Dani, ia pernah cerita bahwa suaminya suka kue kering. Siapa tahu dengan membawakannya makanan ini, ia bisa cepat mendapatkan hatinya.

Secepat mungkin Alina harus mengambil hati pria dengan rambut hitam itu. Ia kemudian keluar kantor dan bergegas menuju tempat kerjanya.

Alina mengetuk dua kali sebelum masuk, terlihat Yuda tengah menerima telpon dari seseorang. Gadis itu memilih duduk di sofa menunggu sampai selesai pembicaraan, selang beberapa menit pembicaraannya terhenti dan menghampiri. Kini Yuda pun duduk disebelah Alina yang mulai gugup, ia bingung kenapa bosnya itu seakan suka sekali berdekatan dengannya?

"Eekhm,"

Yuda memperbaiki posisi duduknya.

"Oh iya, Pak. Ini buat Pak Yuda," tukasnya menaruh kotak kecil di atas meja.

“Apa ini?"

"Kukis," jawabnya tersenyum simpul.

Lagi dan lagi. Pandangan Yuda begitu dalam, bahkan wajahnya semakin dekat dengan gadis itu. Dekat dan semakin mendekat.

Ohhh tidak, pria ini mau ngapain?

Hampir hidung mancung Alina menyentuh hidung lelaki dengan dasi putih itu jika seseorang tak membuka pintu secara paksa.

"Massss!" teriaknya.

Mereka terkaget dan batuk bersamaan. Ternyata itu Valen, sepertinya waktu yang pas untuk membuat perempuan berambut sebahu panas kepanasan, kalau bisa sampai rambutnya kribo!

Alina mendekati Yuda dan memegang kerah kemejanya, mencoba menggoda manja di depan mata Valen.

“Terima kasih atas waktunya hari ini, lain kali kita coba lagi."

Panas membara. Terlihat jelas wajah Valen terbakar api cemburu hingga tangannya tergenggam erat.

"Kalau begitu saya pergi, Pak. Oya, jangan lupa makan kukisnya," ucap Alina meninggalkan ruangan setelah melirik Valen.

Gadis itu menutup pintu dari luar dengan senyum.

"Masss! Kamu sudah gila? Apa hubungan kamu dengan perempuan itu?" tanyanya dengan menggebu gebu.

"Kamu jangan asal nuduh, ini masih pagi." Yuda duduk di meja kerja memperbaiki dasi.

"Sekarang kamu membela dia?"

“Bukan membela, tapi kamu juga jangan asal tuduh begitu dong. Kami hanya diskusi masalah pekerjaan.”

“Haruskah sedekat itu? Oh aku tahu, kamu mau selingkuh lagi? Setelah apa yang terjadi dengan Aira, sekarang kamu mau bertingkah lagi?”

“Valen! Jangan pernah sebut nama itu lagi!”

🍁

Alina berlalu setelah meninggalkan mereka berdua. Pasti pertengkaran hebat sedang terjadi, memang itu yang diinginkan Alina. Ia bahkan ingin lebih menyakiti mereka. Apa yang mereka rasakan harus sepadan dengan penderitaan Aira.

Gadis itu melangkah menjauh hendak ke kamar mandi, tapi notifikasi handphone miliknya membuat langkah terhenti, segera ia baca pesan yang masuk.

[Sayang, ketemuan yuk? Sudah dua minggu ini kamu tidak ada waktu buatku, selalu sibuk dengan kerjaan.]

Alina tersenyum tipis membaca secarik kalimat yang ia terima. Padahal pria itu pun selalu sibuk, menjadi salah satu dosen di kampus terbaik kedua di tanah air membuatnya memiliki sedikit waktu luang.

[Besok ya, jam makan siang.]

[Siap, bidadariku.]

Alina merasa geli sendiri mendapat balasan seperti itu dari seorang dosen yang selalu menjadi buah bibir mahasiswi di kampusnya, tapi bagaimana lagi, dia lelaki yang memiliki tempat khusus di hatinya.

Gadis itu memasukkan ponsel dan bergegas hendak masuk kamar mandi. Tapi…..

"Permisi, Bu. Bu Alina dipanggil Pak Yuda ke ruangannya."

Sedikit menautkan alis, Alina mengurungkan niat ke kamar mandi dan kembali ke ruangan. Apakah pertengkaran mereka sudah usai?

Kini ia membuka pintu dan mendapati Yuda di sana, pria itu berbalik dan tanpa aba-aba mencengkram lengannya.

"Kamu jangan coba-coba lagi menggoda saya apalagi depan istri saya! Paham?" Begitu kalimat yang terdengar lugas.

"Sekarang silahkan keluar," ucapnya menunjuk pintu.

Melihat wajah beringas Yuda, membuat Alina berpikir keras, mengapa dia tiba-tiba berubah sangar? Sebenarnya apa yang perempuan sialan itu lakukan padanya hingga begitu tunduk?

Tanpa ada kata yang terlontar, Alina menutup pintu dari luar. Ternyata keberadaan Valen tidak bisa diremehkan.

"Bagaimana?" ucap seseorang menghampiri dengan licik. "Apa kamu kira akan mudah merayu suamiku?"

Tatapan Alina tak teralihkan. Kini perempuan yang ketika Alina memandangnya terlihat wajah sang Kakak di sana berputar memperhatikan tubuhnya.

“Kamu masih muda, lihat semua yang kamu miliki masih disegel rapi, tapi kenapa mau saja menggoda suami orang?”

"Bukanlah sesuatu yang masih segelnya itu yang disukai pria?"

"Kurang ajar!" Tangannya sudah terangkat, tapi melihat banyak pegawai lalu lalang Valen menurunkan lagi.

"Apa kamu nggak laku? Kok malah jadi pelakor di rumah tangga orang?"

"Heh! Pelakor? Anda bilang saya pelakor? Lalu Anda apa? Kira-kira bahasa apa yang lebih buruk dari kata pelakor? Pezina? Atau pelakor titisan setan?"

“Tutup mulutmu!" Lagi-lagi telunjuknya mengarah ke wajah Alina. "Lagi pula atas dasar apa kamu mengatakan saya pelakor?"

"Kalau bukan pelakor kenapa Anda harus menikahi pria yang sudah beristri?"

Valen membulatkan mata seketika, ia menengok kiri kanan memastikan sesuatu.

"Dari mana kamu tahu itu?" tanyanya setengah berbisik.

Alina menyadari suasana, ini bukan saatnya, "hanya menebak."

"Dasar perempuan gila!" ucapnya berlalu pergi.

Alina masih mengumpulkan petunjuk, disaat gadis itu menyinggung masalah istri pertama Yuda pasti mereka seakan marah dan diliputi ketakutan. Hal ini membuat Alina semakin yakin bahwa kematian Aira memang direncanakan.

Tapi jika keadaannya tetap begini bagaimana ia bisa masuk ke dalam rumah dua manusia bejad itu?

Okey, jika cara agresif tak bisa. Maka sedikit membuat Yuda penasaran, sepertinya akan menarik.

Bersambung.....🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status