Viona tak menyangka keputusannya untuk bersedia tinggal di rumah mertua, membuat ia terpuruk dalam permasalahan pelik. Ia terperangkap dalam sikap konyol dan nakal Dion. Hingga akhirya ia tenggelam dalam permasalahan berat yang mengancam keutuhan rumah-tangganya. Upaya Viona memperbaiki keadaan, membawa Viona pada satu fakta yang sangat mengejutkan. Sanggupkah Viona bertahan? Mengapa Dion terlalu berani mengganggu Viona yang merupakan adik iparnya sendiri? Siapa Dion sebenarnya? Selamat membaca
View MoreSuasana rumah berlantai dua ini sepi. Hanya ada aku dan Bayu—bayi Sembilan bulanku yang telah tertidur pulas, usai kuberikan asupan ASI hampir setengah jam lamanya. Bayu kubiarkan tertidur di dalam Box Bayi, yang terletak di ruang tengah. Sementara aku di dapur menyiapkan semua pekerjaan yang masih terbengkalai. Tak lupa semua pintu kukunci, agar aku terbebas dari rasa was-was saat asyik bekerja nanti.
Kuraih piring kotor yang menumpuk di wastafel, dan mencucinya dengan cekatan. Karena, masih banyak pekerjaan yang menantiku setelahnya.
Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh bunyi ketukan beruntun dipintu, diiringi suara laki-laki yang memanggil namaku. Aku melirik ke pintu kaca yang berada di sisi kiriku. Wajah lesu Mas Dion membias dari balik kaca, sambil memberikan isyarat padaku untuk membukakan pintu.
Bergegas kucuci tangan yang masih berlumuran busa sabun, mematikan air keran, dan menyeka kedua tangan pada washlap yang menggantung di hadapanku, lalu melangkah cepat ke pintu. Lelaki itu menatapku lesu.
Pintu kubuka pelan, sambil mengamati wajah Mas Dion—lelaki itu. Pasti ia mau ngetem lagi di kamar lamanya pagi ini. Padahal setiap ia pulang ke rumah di jam-jam segini, hatiku selalu risih, karena hanya ada aku, dia dan bayi sembilan bulanku di rumah yang cukup besar ini.
Mas Dion adalah kakak iparku yang kedua setelah Kak Dea, yang kini mengikuti suaminya tinggal di Jakarta. Kemudian baru suamiku—Mas Divo.
Mertuaku dua-duanya masih bekerja, Papa tahun ini pensiun sementara Mama dua tahun lagi. Nyaris setiap hari mereka tak pernah di rumah, selain hari libur kerja. Suamiku sendiri sudah dua bulan dipindah-tugaskan ke ibu kota. Ia hanya bisa pulang di hari Sabtu saja. Minggu sore sudah harus berangkat kembali ke ibu kota. Sementara itu, Mas Dion? Dua bulan sudah ia juga tinggal disini.
Bertepatan dengan kepindahan suamiku, Mas Dion malah mendapatkan permasalahan dalam rumah tangganya. Hubungannya dengan Mbak Vera sedang dalam masa ujian berat. Khabar yang kudengar, Mas Dion telah mengucapkan kata cerai padanya.
Sebenarnya, Mas Dion itu ganteng. Tubuhnya atletis, kulit putih dan berhidung mancung. Walaupun ia dan Mas Divo sama-sama putih, tapi aku harus akui, Mas Dion lebih unggul selangkah dilihat dari face dan tubuhnya. Keunggulan itulah yang membuat seorang putri konglomerat tergila-gila padanya. Mbak Vera yang merupakan putri tunggal pengusaha property di ibu kota. Sayang, hubungan mereka sedang melewati masa sulitnya.
“Nggaka kerja ya, Mas?” tanyaku setelah pintu kubuka.
“Enggak! Mas masih pusing.” jawabnya singkat, masih dengan ekspresi lesu. Ia melangkah ke dalam, kemudian duduk di kursi santai ruang keluarga yang terpajang televisi ukuran cukup besar di dindingnya.
“Vi, bikinkan Mas minum, ya?” pintanya kemudian setelah bobotnya ia henyakkan di lantai. Ia menyandarkan punggungnya di bibir kursi.
“Iya, Mas.” jawabku kemudian. Aku langsung menuju dapur, mengambil gelas dan wadah. Kemudian memasukkan gula, kopi dan menyiramnya dengan air panas. Asap mengepul dari kopi yang kuseduh. Kemudian kuaduk dan membawanya ke hadapan Mas Dion.
“Makasi, ya? Kamu memang isteri idaman,” ucapnya sambil tersenyum. Aku terkejut. Kulihat ia kembali tersenyum sambil menatap padaku.
“Sayangnya ….”
“Sayangnya apa, Mas?” tanyaku heran.
“Sayangnya aku tak menemukan perempuan seperti kamu.” Aku makin kaget. Sambil mengernyitkan keningku, aku pun berlalu darinya. Sudut mataku masih dapat menangkap sunggingan senyum di bibirnya.
Kemudian aku kembali larut dengan pekerjaanku, tanpa peduli lagi apa yang ia kerjakan di ruang itu. Pekerjaan yang menumpuk menguras konsentrasiku.
Beberapa menit berikutnya, aku dikejutkan dengan tangisan Bayu dari ruang tengah. Setengah berlari kuhampiri putra semata wayangku itu. Namun, tiba-tiba langkahku terhenti. Bayu sudah dalam gendongan Mas Dion. Ia memeluk dan menciumi bayu dengan hangat. Melebihi sikap yang pernah dilakukan Mas Divo. Aku terdiam mengamatinya. Menyadari kehadiranku, ia mengangkat wajahnya menatapku, sambil mengusap-usap punggung Bayu yang menghadap padanya. Aku tersenyum, dia balas tersenyum.
Bayu masih saja merengek. Tak sanggup membiarkan anakku dengan tangisannya, kuulurkan tangan meraih Bayu dari gendongan Mas Dion. Ia menyerahkan Bayu padaku. Tanpa sadar tangannya sedikit menyentuh tubuh bagian depanku. Aku terperanjat. Namun, ekspresi lelaki itu hanya datar saja. Ia seakan tak menyadarinya. Walau awalnya aku kaget, tapi melihat ia seperti tak menyadasinya, aku pun mengacuhkannya. Kurasa aku tak perlu membesar-besarkan masalah ini. Mungkin ia memang tak sengaja.
“Hai, ganteng. Jangan nangjs lagi! Kasian Mimi, capek kerja sendirian,” ujarnya pada Bayu. Aku cuma tersenyum. Kemudian bersipa-siap hendak berlalu darinya. Namun, lagi-lagi langkahku terhenti. Mas Dion meraih jemari Bayu, dan mengajak Bayu bermain.
“Ganteng, sayang Papa Dion. Ci-luk ... ba! Ci-luk ... ba!” Aku tetsenyum, sekedar menghargai itikad baiknya menenangkan Bayu.
Bayu tertawa, Mas Dion ikut tertawa melihat tawa lucu anakku. Ia kemudian mendekat dan menciumi Bayu yang sedang dalam gendonganku. Aku terperanjat. Wajahnya terasa amat dekat denganku. Rambut ikalnya yang masih menguarkan aroma shampo, berada tepat di bawah wajahku. Aku merenggangkan tubuh dari Bayu. Menghindari rasa tak nyamanku.
“M-maaf, M-mas. A-aku bawa Bayu dulu, ya? Sepertinya dia haus,” ujarku menghentikan keteganganku. Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum, “Oh …. ya udah! Disini aja!” Aku mendelik. What!
“N-nggak, Mas. Di dalam aja. Bayu biasa sambil tiduran,” kilahku padanya. Kemudian tanpa menunggu jawabannya, aku pun berlalu darinya dengan mentralkan rasa bergidik yang kurasakan. Masih dapat kulihat sungingan senyuman yang tiba-tiba hadir di sudut bibirnya. Entah apa maksudnya.
Beberapa saat menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza keluaran lama muncul dari gerbang masuk. Mas Danny melangkah beberapa langkah mendekat sambil melirik ke mobil itu. kaca mobil terbuka, seraut wajah melongok di sana. Kemudian mobil berhenti di hadapan kami. Laki-laki yang tadinya berada di balik kemudi menyerahkan kunci mobil pada Mas Danny. “Sekalian, gue isikan bahan bakar tadi. Ada apaan, sih? Masa’, malam pertama lu masih ada urusan emergency begini?” tanya lelaki itu. “Saudara bini gue masuk rumah sakit, Gem. Sedang darurat,” sahut Mas Danny. Lelaki itu menoleh padaku dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan senyum sungkan. “Okey! Hati-hati, ya? Mobil gue udah tua. Kebetulan yang stand by tinggal ini. Take care.” Habis berkata begitu lelaki itu berpamitan dan menaiki sebuah motor yang sudah menantinya di gerbang hotel. Mas Danny kemudian mengajakku naik ke mobil. Mobil pun melaju keluar dari pelataran. Belum beberapa menit
Semua telah usai, juga pestaku. Malam ini kami sekeluarga masih menginap di hotel ini, termasuk aku dan Mas Danny yang mendapat kamar khusus penganten. Aku yang masih dibingungkan dengan kejadian tadi siang masih terpana memikirkan semua yang terjadi. Sementara, Mas Danny masih sedang membereskan diri di kamar mandi yang ada di room penganten tempat kami menghabiskan malam ini.Mas Danny keluar sambil mengibaskan handuk berwarna putih bersih di rambutnya yang basah. Tubuh berototnya yang hanya tertutup sebatas pinggang membuat aku sedikit merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Tubuh tinggi itu benar-benar sempurna dan penuh pesona.“Hai! Ngapain bengong? Kaget melihat tubuh suami sendiri?” ujarnya mengejutkan lamunanku. Aku yang duduk di bibir ranjang ukuran king size itu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu. Wajahku memerah kurasa. Masih sempat kulihat senyum terkembang di wajah tampan itu.Detik berikutnya aku terkejut saat merasakan
Hari pernikahanku dengan Mas Danny, sekaligus resepsi pernikahan akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah sangat rampung. Seluruh dekorasi dan segala pernak pernik pernikahan telah tertata dengan indah di ball room hotel yang cukup luas itu. Aku duduk anggun di kursi penganten yang diapit Mas Danny dan Mama yang tak henti tersenyum sumringah menatapi suasana pesta yang cukup elegan ini. Sementara aku juga ikut menatapi suasana pesta yang terkesan lumayan akbar itu dari tempat aku duduk.Menatapi suasana pesta dengan dekorasi interior bernuansa out door itu membuat rasa haruku bermunculan. Tatanan yang didominasi warna putih dipadu cream dan lumut itu sangat menyejukkan mata. Semua persiapan ini hanya inisiatif Mas Danny tanpa sepengetahuanku. Aku salut dengan nilai estetika yang dia miliki. Iringan Sound system ruangan yang menyentuh telinga dengan kekuatan yang nyaman untuk di dengar membuat aku kian terbuai. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi ratu di pesta in
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
"Hai!" sapanya sambil membuka kaca mata hitam yang menutupi dua netranya itu pelan. Dua sudut bibirnya langsung merekah di rahang kokohnya. Namun, senyum itu seketika memudar seiring tatapannya yang makin lekat ke arahku. Dua netranya menyipit.“Kamu kenapa?” tanyanya heran. Aku menggeleng lemah sambil pura-pura mengalihkan wajah ke samping dan menghapus jejak air mata yang masih terasa basah di antara bulu mata.“Nggak, Mas! Nggak ada apa-apa, kok! Ayo, masuk!” ajakku mengalihkan. Namun, lelaki itu masih terpaku di tempatnya, menatapku dengan raut heran. Beberapa detik kemudian, ia juga mengikutiku masuk ke dalam ruang tamu dan duduk di sofa berseberangan denganku. “Ada apa, Vi?” tanyanya kemudian dengan nada pelan. Membuat aku luruh juga, tak mungkin lagi menyembunyikan keadaan ini pada calon suamiku sendiri. Sebuah permulaan yang didasari kebohongan tentu akan mendatangkan permasalahan di waktu mendatang. Lagia
“Ma!” ucapku tanpa menoleh pada Mama. “Mama kenal ‘kan sama Tante Widia Anggita? Putri tunggal Bapak Baskoro, teman SMA Mama dulu!” ucapku dengan nada dingin.Ada api benci yang tiba-tiba menjalar mengingat apa yang pernah Mama lakukan dulu, sehngga aku juga mendapatkan hal yang sama dalam hidupku ini. Namun, yang paling aku benci, aku tidak suka penjahat wanita itu ternyata mamaku. Aku benci mengingat rasa sakit yang Mama Mbak Venya rasakan dahulu. Aku benci mengingat kakakku yang baik itu sekian lama harus meredam rasa sakit karena orang yang kupanggil Mama ini.Tak ada jawaban yang bisa aku dengar dari mulut Mama. Hanya suara hening malam yang kian beranjak. Aku menoleh ke arah Mama, setelah beberapa detik jawaban yang kunanati tak kunjung ada. Kutatapi Mama yang terdiam dengan wajah terpekur ke lantai dengan wajah sendu. Aku ikut terpaku menatapnya.“Ada apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Ada hubungan apa Mama sama Tante Wd
Usai menjaga Mbak Venya beberapa hari dan sempat juga menjaga bayinya di ruang rawat bayi, aku kembali ke rumah. Usaha yang telah hampir semnggu kutinggalkan tidak kuketahui lagi bagaimana perkembangannya. Kepulanganku ke kampung halaman yang sempat kuberitahukan pada Mama, ternyata juga diketahui oleh Mas Danny. Sesampai di rumah, aku sudah disambut dengan kehadirannya di ruang tamuku. Ia menatapku dengan wajah tenang. Seonggok undangan pernkahan telah tergeletak di atas meja tamuku. Aku menatapinya dengan keheranan .“Mas Danny?” tanyaku dengan langkah terhenti beberapa langkah dari pintu rumahku. Bayu yang langsung riang melihat kemunculan Mama di pintu pembatas ruang tamu dan ruang tengah, langsung saja melepaskan genggamanku. Ia memeluk Mama dengan hangat yang dibalas Mama dengan manis pula.“Sayang, cucu Oma. Oma kangen,” ucap Mama sambil memeluk Bayu. Kemudian membawa Bayu ke dalam, meninggalkan aku dan Mas Danny yang masih menatapku deng
“Vi, Mbak senang kamu masih di sini,” ucap Mbak Venya kala aku mendampinginya saat ia sudah berada di tempat yang baru. Ia mash terlihat lemah. Namun, beberapa selang sudah tidak terpasang di tubuhnya. Mas Dion duduk di sisi kanannya, sementara aku berada di sisi kiri. Ia tersenyum padaku kemudian pada Mas Dion.“Aku ingin Mbak cepat sembuh,” ujarku. Ia kembali tersenyum padaku. Mas Dion meraih jemarinya dan mengusap punggung tangan Mbak Venya.“Mengapa kamu selalu berusaha menyembunyikan semua dariku, Ve? Bukankah aku suamimu, aku berhak tahu tentang semuanya,” sela Mas Dion dengan tatapan penuh kasih. Mbak Venya kembali tersenyum.“Aku cuma tidak anak keberadaan anak kita terancam, Mas. Aku ingin bayi kita baik-baik saja,” sambungnya lagi. Mas Dion bangkit dari duduknya dan mengecup kening Mbak Venya hangat. Kemudian, kembali duduk di bangku yang ada di samping ranjang Mbak Venya. Mbak Venya memejamkan mata
Seorang lelaki berwajah tampan dan bertubuh tegap melangkah ke arahku dan Mas Dion. Lelaki yang ditemani wanita paruh baya itu berbelok dari persimpangan yang ada di belakangku. Ternyata ia melihatku ketika melangkah melintasi persimpangan itu. Karena ia berasal dari arah kiriku. Wajahnya terlihat menahan geram menatapku kemudian Mas Dion yang ada di sampingku. Sementara, wanita yang berjalan di sampingnya menatap dengan wajah tegang. Wanita itu bermata sembab dan berusaha menahan lengan lelak itu. Tanpa di duga, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Mas Dion yang tetap menatapnya tenang.Aku terperanjat melihat hal itu. Demikian juga wanita yang ada di sebelahnya. Ia bahkan sempat berteriak ketika lelaki itu mendekat dan melayangkan sebuah pukulan di wajah Mas Dion. Seakan ingin menghentikan gerakan lelaki yang ada di sampingnya. Sementara, Bayu yang berada di sampingku juga tak luput dari keterkejutan. Ia terlihat ketakutan dan berbalik menyembunyikan wajah di tubuhku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments