Hari pernikahanku dengan Mas Danny, sekaligus resepsi pernikahan akhirnya datang juga. Semua persiapan sudah sangat rampung. Seluruh dekorasi dan segala pernak pernik pernikahan telah tertata dengan indah di ball room hotel yang cukup luas itu. Aku duduk anggun di kursi penganten yang diapit Mas Danny dan Mama yang tak henti tersenyum sumringah menatapi suasana pesta yang cukup elegan ini. Sementara aku juga ikut menatapi suasana pesta yang terkesan lumayan akbar itu dari tempat aku duduk.
Menatapi suasana pesta dengan dekorasi interior bernuansa out door itu membuat rasa haruku bermunculan. Tatanan yang didominasi warna putih dipadu cream dan lumut itu sangat menyejukkan mata. Semua persiapan ini hanya inisiatif Mas Danny tanpa sepengetahuanku. Aku salut dengan nilai estetika yang dia miliki. Iringan Sound system ruangan yang menyentuh telinga dengan kekuatan yang nyaman untuk di dengar membuat aku kian terbuai. Aku merasa sangat beruntung bisa menjadi ratu di pesta in
Semua telah usai, juga pestaku. Malam ini kami sekeluarga masih menginap di hotel ini, termasuk aku dan Mas Danny yang mendapat kamar khusus penganten. Aku yang masih dibingungkan dengan kejadian tadi siang masih terpana memikirkan semua yang terjadi. Sementara, Mas Danny masih sedang membereskan diri di kamar mandi yang ada di room penganten tempat kami menghabiskan malam ini.Mas Danny keluar sambil mengibaskan handuk berwarna putih bersih di rambutnya yang basah. Tubuh berototnya yang hanya tertutup sebatas pinggang membuat aku sedikit merasakan sesuatu yang tak bisa aku ungkapkan. Tubuh tinggi itu benar-benar sempurna dan penuh pesona.“Hai! Ngapain bengong? Kaget melihat tubuh suami sendiri?” ujarnya mengejutkan lamunanku. Aku yang duduk di bibir ranjang ukuran king size itu segera mengalihkan pandangan sambil tersipu. Wajahku memerah kurasa. Masih sempat kulihat senyum terkembang di wajah tampan itu.Detik berikutnya aku terkejut saat merasakan
Beberapa saat menunggu, akhirnya sebuah mobil Avanza keluaran lama muncul dari gerbang masuk. Mas Danny melangkah beberapa langkah mendekat sambil melirik ke mobil itu. kaca mobil terbuka, seraut wajah melongok di sana. Kemudian mobil berhenti di hadapan kami. Laki-laki yang tadinya berada di balik kemudi menyerahkan kunci mobil pada Mas Danny. “Sekalian, gue isikan bahan bakar tadi. Ada apaan, sih? Masa’, malam pertama lu masih ada urusan emergency begini?” tanya lelaki itu. “Saudara bini gue masuk rumah sakit, Gem. Sedang darurat,” sahut Mas Danny. Lelaki itu menoleh padaku dan mengangguk sopan. Aku membalasnya dengan senyum sungkan. “Okey! Hati-hati, ya? Mobil gue udah tua. Kebetulan yang stand by tinggal ini. Take care.” Habis berkata begitu lelaki itu berpamitan dan menaiki sebuah motor yang sudah menantinya di gerbang hotel. Mas Danny kemudian mengajakku naik ke mobil. Mobil pun melaju keluar dari pelataran. Belum beberapa menit
Suasana rumah berlantai dua ini sepi. Hanya ada aku dan Bayu—bayi Sembilan bulanku yang telah tertidur pulas, usai kuberikan asupan ASI hampir setengah jam lamanya. Bayu kubiarkan tertidur di dalam Box Bayi, yang terletak di ruang tengah. Sementara aku di dapur menyiapkan semua pekerjaan yang masih terbengkalai. Tak lupa semua pintu kukunci, agar aku terbebas dari rasa was-was saat asyik bekerja nanti. Kuraih piring kotor yang menumpuk di wastafel, dan mencucinya dengan cekatan. Karena, masih banyak pekerjaan yang menantiku setelahnya. Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh bunyi ketukan beruntun dipintu, diiringi suara laki-laki yang memanggil namaku. Aku melirik ke pintu kaca yang berada di sisi kiriku. Wajah lesu Mas Dion membias dari balik kaca, sambil memberikan isyarat padaku untuk membukakan pintu. Bergegas kucuci tangan yang masih berlumuran busa sabun, mematikan air keran, dan menyeka kedua tangan pada wash
Tragedi Dini Hari Jarum jam di dinding kamarku menunjukkan pukul sepuluh malam. Hari ini jadwal kepulangan Mas Divo, tapi belum ada tanda-tanda ia pulang. Aku resah dan bingung, tak biasanya ia tak menepati janji begini. Kalaupun ia telat, ia tak pernah lupa memberi kabar padaku. Namun, tidak untuk kali ini. Handphone-nya yang sedari tadi kucoba hubungi juga tidak menyala sama sekali. Lama menunggu tanpa memejamkan mata sama sekali membuat aku kebelet ke kamar mandi. Sebenarnya aku risih untuk keluar dari kamar apalagi aku tahu, ada Mas Dion di rumah. Namun, apa dikata, kamar mandi satu-satunya untuk keluarga cuma kamar mandi yang berdekatan dengan dapur, selain kamar mandi di kamar Kak Dheea yang setiap harinya terkunci. Desakan alam membuatku tak mampu lagi bertahan, akhirnya kuberanikan juga keluar kamar. Kubuka pintu pelan dan melangkahkan kaki menuju ruang keluarga yang tersambung dengan dapur dan kamar mandi. Suasa
Bisikan GilaPagi ini, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Sebelum sholat subuh, aku telah bangkit dari ranjang meninggalkan Mas Divo dengan dengkuran halusnya. Ia tampak sangat kelelahan, sehingga tak menyadari kalau aku sudah beranjak dari sisinya.Memang, setiap ia berada disini, aku selalu mengusahakan yang terbaik untuknya. Meladeninya semaksimal mungkin, urusan ranjang, makan dan penampilan selalu kunomor-satukan, agar aku tetap istimewa di matanya, meski aku tak mendampinginya selama lima hari kerja.Sebelum Mas Divo bangun aku telah berpenampilan cantik, dan makanan kesukaan pun telah tersedia. Itulah target juga obsesi terindah dalam hidupku, sejak ijab suci itu ia lafadz-kan di depan ayah dan semua pihak keluargaku.Hal itu juga yang sering jadi bahan perbandingan di keluarga ini bila mereka telah membahas Mbak Vera pada Mas Dion, selalu aku yang di bawa-bawa. Padahal apa urusannya?
TertipuPagi ini, Senin, waktu yang amat berat bagiku, karena harus melepas Mas Divo kembali meninggalkan aku dan Bayu. Sedih dan rasa kehilangan. Dua malam melewati hari bersama sangat tidak cukup bagiku untuk merasakan dekapan hangat Mas Divo. Namun, apa daya, aku tak mampu berbuat apa-apa walau hanya mengulur waktu sehari lagi saja untuk memperpanjang kebersamaan kami.Aku kembali sedih melepasnya, padahal kalau di pikir-pikir, jarak kota kecil ini dengan ibu kota tidak terlalu jauh. Namun, itu lah aku, tak akan meminta bila tidak di tawarkan.“Sayang, Mas pergi, ya? Doakan Mas bisa cepat membawamu ikut serta.” Aku mengangguk haru, kucium punggung tangan Mas Divo takzim. Mas Divo mengecup keningku lagi. Ia pun melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman, kemudian melambaikan tangan padaku sambil membunyikan klaksonnya. Kupandangi laju kendaraannya yang sedikit demi sedikit mulai menghilang di belo
Ia Merenggutku“Nah, kan, melamun lagi. Udah! Jangan mikir macem-macem dulu. Nanti kalau banyak mikir, wajah cantik kamu memudar, lho?” kelakar Mas Divo yang membuat aku mengangkat dua alisku, kemudian tersenyum padanya. Ia selalu berhasil menghadirkan rasa senang dihatiku dengan semua pujiannya. Lebih dari segalanya.“Doakan mas, ya? Mas lagi rintis usaha kuliner sama teman mas, Fery di kota. Ntar, kalau dah di titik aman, Mas akan bopong kamu ke sana.”“Oh, ya?” Dimana, Mas?” tanyaku lagi antusias.“Ada, deh,” jawab Mas Divo sambil terus membelai rambutku.“Spesifiknya apa, Mas? Aku ikutan, ya? Aku ‘kan suka masak. Tapi, kog Mas nggak bilang-bilang sebelumnya?” tanyaku dengan wajah riang yang kemudian berganti manyun, pura-pura merajuk.“Udah, jangan nanya lagi. Kalau dah aman, kamu pasti akan Mas bawa kesana. Kamu
“Mas, jangan gila! Apa yang mau Mas lakukan? Aku bungkam, karena aku tak ingin merusak keluarga kalian!” teriakku diantara seretannya. Ia seperti acuh dengan ucapanku.Ia berhenti setelah kami berada di tempat sedikit tertutup. Kemudian ia kembali tersenyum. Sejenak mengalihkan pandangannya sambil mendengus kasar. “Aku cuma mau tahu, Viuna. Seberapa brengseknya aku dan seberapa tangguhnya kamu. Atau kamu memang sama saja?” Aku mengernyitkan keningku, tak paham dengan tujuan bicaranya.“Dengar!” ujarnya dengan mata sedikit membulat, dan wajah yang mengeras, ketika kini tubuhku dan tubuhnya sudah berdiri berdekatan di balik lemari. Aku terdiam dan terpaku menatapnya, seakan patuh dengan perintah gilanya. Tengkukan telunjuknya menopang daguku. Aku terdongak menatap wajahnya yang cukup tinggi dariku.“Berhentilah berpura-pura! Ini yang kamu inginkan, ‘kan? Kalian sama saja!” Ia menatapku