Tragedi Dini Hari
Jarum jam di dinding kamarku menunjukkan pukul sepuluh malam. Hari ini jadwal kepulangan Mas Divo, tapi belum ada tanda-tanda ia pulang. Aku resah dan bingung, tak biasanya ia tak menepati janji begini. Kalaupun ia telat, ia tak pernah lupa memberi kabar padaku. Namun, tidak untuk kali ini. Handphone-nya yang sedari tadi kucoba hubungi juga tidak menyala sama sekali.
Lama menunggu tanpa memejamkan mata sama sekali membuat aku kebelet ke kamar mandi. Sebenarnya aku risih untuk keluar dari kamar apalagi aku tahu, ada Mas Dion di rumah. Namun, apa dikata, kamar mandi satu-satunya untuk keluarga cuma kamar mandi yang berdekatan dengan dapur, selain kamar mandi di kamar Kak Dheea yang setiap harinya terkunci.
Desakan alam membuatku tak mampu lagi bertahan, akhirnya kuberanikan juga keluar kamar. Kubuka pintu pelan dan melangkahkan kaki menuju ruang keluarga yang tersambung dengan dapur dan kamar mandi. Suasana temaram membuat aku berjalan pelan.
Mataku menangkap cahaya lampu yang masih terang benderang dari ruang keluarga juga biasan cahaya warna warni yang bergantian, pertanda masih ada yang menghidupkan televis di sana. Pastinya itu Mas Dion. Ia terbiasa tidur paling akhir di rumah ini, dan selalu duduk di hadapan televisi sambil memegangi sebatang rokok untuk menemaninya.
Langkahku terhenti di pembatas ruang. Aku ragu untuk melewatinya. Kukumpulkan segala kekuatan dan nyali untuk tetap kesana. Namun, langkahku kembali terhenti. Tubuhku merinding. Netraku menangkap Mas Dion yang sedang fokus menatap layar televisi dengan tontonan yang membuat aku risih. Adegan yang menyesakkan dada. Namun, aku juga tak bisa bertahan dengan rasa sesak yang juga berpacu.
“U-huk! U-huk!” terpaksa alarm kubunyikan.
Mas Dion terkejut dan mendelik ke arahku. Tubuhnya yang tadi tergolek di kasur santai serta merta bangkit dan duduk. Secepat kilat tampilan layar berganti biru. Ia pura-pura mencari siaran baru. Aku pura-pura tak melihatnya. Kulintasi dia sambil menunduk.
“K-kamu b-belum tidur, ya?” tanyanya gagap. Terlihat ia berusaha menenangkan diri. Aku menoleh dan tersenyum tipis, “Belum, Mas. Habis bobo’in Bayu,” ujarku sambil terus berlalu tanpa melihat lagi padanya.
Usai menunaikan hajat, aku pun keluar dari kamar mandi, menutup rapat pintu dan membalikkan tubuh untuk kembali ke kamarku.
Lagi-lagi aku terkejut dan langkahku terhenti. Mas Dion telah berdiri tepat di depanku. Mematung sambil melipat dua tangannya dan menyandar di dinding dapur. Aku melotot sambil memegangi dadaku. Jantungku berdegub kencang, nafasku serasa sesak. Tubuhku sedikit gemetaran dan pikiranku langsung meliar kemana-mana. Cuplikan berita-berita menyeramkan langsung menari-nari di benakku.
Apa yang mau ia lakukan di sini? Apakah ia berniat jahat padaku? Atau jangan-jangan ia sedang mabuk atau menggunakan narkoba, karena beban fikiran yang tak mampu ia kendalikan? Mengapa ia berdiri di tempat gelap ini? Padahal ia tahu kalau aku tadi di kamar mandi. Pasti ia bermaksud jahat.
”M-mas, m-mau apa?’ tanyaku gugup dengan tangan mulai berkeringat, padahal cuaca sangat dingin.
“Ya, mau ke kamar mandi, lah!. Masa mau bobo. Kamu udah siap, ‘kan?” jawabnya dengan gaya slengek’an. Serta merta aku menghempaskan nafas lega sambil memejamkan mata sesaat. Gila! Padahal aku sudah berpikir terlalu jauh.
“U-udah, M-mas! A-aku sudah siap, kok,” jawabku lagi. Ia menyunggingkan senyuman di bibirnya. Kemudian berjalan melintasiku dengan jarak yang cukup dekat denganku. Hanya beberapa centi meter saja. Sehingga hembusan angin tubuhnya menerpa tangan dan tubuhku. Aroma parfum yang masih melekat kuat di bajunya, ikut menguar memasuki rongga penciumanku.
“Aku juga … kebelet!” ujarnya lagi sambil berlalu. Kemudian pintu itu tertutup rapat. Detik berikutnya terdengar bunyi air keran yang mengalir deras. Aku terdiam, sebelum akhirnya berlalu dari tempat itu. meninggalkan aku yang masih terpelongo dengan sikapnya.
Sampai di kamar, aku duduk di bibir ranjang. Pikiranku terusik dengan sikap Mas Dion beberapa waktu belakangan, termasuk yang terjadi barusan. Aku merasa ada sedikit kejanggalan dari sikapnya. Sepertinya, ia memang sengaja melakukan ini. Tapi untuk apa? Apa ia ingin mengangguku? Istri adik kandungnya sendiri?
Drrrt drrrt. Gawaiku bergetar. Aku melirik pada biasan cahaya yang merembes di sisi sarung bantal. Dengan cepat kuraih handphone itu. “Barangkali saja pesan dari Mas Divo,” bisikku dalam hati.
Kutatapi layar handphone itu berulangkali. Lagi-lagi aku dibuatnya kaget. Kelakuan pria itu benar-benar membuat otakku berpikir keras. Buat apa dia ngirim pesan malam-malam begini? Bukankah, barusan juga ketemu di luar?
“Vi besok kalau mas ketiduran, tolong bangunin mas jam delapan, ya?”
Aneh! Dia benar-benar bersikap aneh beberapa waktu belakangan. Padahal dulunya ia sangat berwibawa, terlalu menjaga adabnya padaku, Menegurku saja seperlunya. Namun, sejak tinggal di sini, ia sok akrab dan sok dekat. Bahkan, perbuatannya banyak yang di luar kelaziman. Mau apa sebenarnya lelaki itu?
Belum habis jelajah pikirku tentang sikap Mas Dion, tiba-tiba gawaiku berkedip lagi, sebuah notif kembali muncul.
“Vi, kog cuma dibaca doang? Emang nggak mau bantuin, Mas ya?” Aku tersentak, seakan tersadar dari sebuah mimpi, cepat-cepat kugerakkan jempol mengetikan balasan.
“Iya, Mas. Besok aku bangunin.” Langsung kukirim padanya. Kemudian gawai kuletakkan kembali di dekat bantal dan berniat menghempaskan tubuhku ke ranjang.
Namun, kembali niatku kuurungkan. Netraku kembali terusik. Gawaiku kembali berkedip diiringi lagu kesayangan yang kusetel sebagai nada panggilan lagu kesayangaku. Buru-buru kuraih lagi gawai itu.
“Mas Divo!” desisku sambil langsung meraihnya kasar dan mengusap tanda angkat pada panggilannya serta meletakkannya di telingaku.
“Assalammualaikum, Mas. Mas dimana? Kenapa, sih, dari tadi nggak bisa dihubungi?” tanyaku seakan merajuk.
“Buka pintu, Sayang, kok masih aktif jam segini?”
‘Astaga, Mas! Mas udah di depan, ya? Kok aku nggak dengar suara mobil Mas?”
“Yah! Ditanya nggak dijawab, malah balik tanya.”
“Iya, Mas. Soalnya aku benar-benar nggak denger,” sahutku kemudian.
“Iya, habisnya kamu asyik nge-chat, kan?”
“Enggak kok, Mas. Aku cuma ngeliatin bentar. Tadi udah tidur, trus kebangun, kebelet ke kamar mandi,” kilahku, tak ingin Mas Divo tahu yang kualami barusan.
“Ya, udah! Buruan bukain pintu, dingin di luar, nih.”
Aku tersenyum, meskipun itu tak terlihat sama sekali oleh Mas Divo. “Okey, Mas. Bentar aku bukain.” Handphone kumatikan dan bergegas keluar kamar mencari kunci pintu di ruang tamu. Kemudian membuka kunci dan grendel-nya. Benar saja, Mas Divo sudah berdiri di depan pintu. Pakaiannya kusut, wajahnya terlihat sangat lelah.
“Kok malam kali pulangnya, Mas?” rajukku manja. Kusalim punggung tangan suamiku dan menuntunnya masuk ke dalam.
“Lembur! Tadi ada pemeriksaan dari pusat. Mas nggak tahu kalau kamu masih bangun, kalau tau kan bisa bawain sesuatu.” Mas Divo mentowel hidungku mesra. Aku tersenyum.
“Nggak papa, Mas. Eh, Mas mau tidur langsung apa mau sesuatu dulu?” tanyaku dengan ekspresi lucu, sambil mengamit lengan Mas Divo manja.
“Mau minuman hangat saja. Dingin, mana di jalan sepi lagi,” curhat lelaki kesayanganku itu. Aku mengangguk sambil tersenyum. Kamipun langsung melangkah ke ruang keluarga.
Sampai di belakang, mataku jelalatan mencari keberadaan Mas Dion. Namun, aku tak menemukannya. Sepertinya ia telah masuk ke kamarnya setelah mengirim pesan padaku tadi. Aku pun menyiapkan minuman yang diminta Mas Divo, sementara suamiku itu, langsung berlalu ke kamar untuk menganti pakaiannya.
Jangan lupa vote, koment dan ratenya. Makasi telah membaca karyaku.
Bisikan GilaPagi ini, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Sebelum sholat subuh, aku telah bangkit dari ranjang meninggalkan Mas Divo dengan dengkuran halusnya. Ia tampak sangat kelelahan, sehingga tak menyadari kalau aku sudah beranjak dari sisinya.Memang, setiap ia berada disini, aku selalu mengusahakan yang terbaik untuknya. Meladeninya semaksimal mungkin, urusan ranjang, makan dan penampilan selalu kunomor-satukan, agar aku tetap istimewa di matanya, meski aku tak mendampinginya selama lima hari kerja.Sebelum Mas Divo bangun aku telah berpenampilan cantik, dan makanan kesukaan pun telah tersedia. Itulah target juga obsesi terindah dalam hidupku, sejak ijab suci itu ia lafadz-kan di depan ayah dan semua pihak keluargaku.Hal itu juga yang sering jadi bahan perbandingan di keluarga ini bila mereka telah membahas Mbak Vera pada Mas Dion, selalu aku yang di bawa-bawa. Padahal apa urusannya?
TertipuPagi ini, Senin, waktu yang amat berat bagiku, karena harus melepas Mas Divo kembali meninggalkan aku dan Bayu. Sedih dan rasa kehilangan. Dua malam melewati hari bersama sangat tidak cukup bagiku untuk merasakan dekapan hangat Mas Divo. Namun, apa daya, aku tak mampu berbuat apa-apa walau hanya mengulur waktu sehari lagi saja untuk memperpanjang kebersamaan kami.Aku kembali sedih melepasnya, padahal kalau di pikir-pikir, jarak kota kecil ini dengan ibu kota tidak terlalu jauh. Namun, itu lah aku, tak akan meminta bila tidak di tawarkan.“Sayang, Mas pergi, ya? Doakan Mas bisa cepat membawamu ikut serta.” Aku mengangguk haru, kucium punggung tangan Mas Divo takzim. Mas Divo mengecup keningku lagi. Ia pun melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman, kemudian melambaikan tangan padaku sambil membunyikan klaksonnya. Kupandangi laju kendaraannya yang sedikit demi sedikit mulai menghilang di belo
Ia Merenggutku“Nah, kan, melamun lagi. Udah! Jangan mikir macem-macem dulu. Nanti kalau banyak mikir, wajah cantik kamu memudar, lho?” kelakar Mas Divo yang membuat aku mengangkat dua alisku, kemudian tersenyum padanya. Ia selalu berhasil menghadirkan rasa senang dihatiku dengan semua pujiannya. Lebih dari segalanya.“Doakan mas, ya? Mas lagi rintis usaha kuliner sama teman mas, Fery di kota. Ntar, kalau dah di titik aman, Mas akan bopong kamu ke sana.”“Oh, ya?” Dimana, Mas?” tanyaku lagi antusias.“Ada, deh,” jawab Mas Divo sambil terus membelai rambutku.“Spesifiknya apa, Mas? Aku ikutan, ya? Aku ‘kan suka masak. Tapi, kog Mas nggak bilang-bilang sebelumnya?” tanyaku dengan wajah riang yang kemudian berganti manyun, pura-pura merajuk.“Udah, jangan nanya lagi. Kalau dah aman, kamu pasti akan Mas bawa kesana. Kamu
“Mas, jangan gila! Apa yang mau Mas lakukan? Aku bungkam, karena aku tak ingin merusak keluarga kalian!” teriakku diantara seretannya. Ia seperti acuh dengan ucapanku.Ia berhenti setelah kami berada di tempat sedikit tertutup. Kemudian ia kembali tersenyum. Sejenak mengalihkan pandangannya sambil mendengus kasar. “Aku cuma mau tahu, Viuna. Seberapa brengseknya aku dan seberapa tangguhnya kamu. Atau kamu memang sama saja?” Aku mengernyitkan keningku, tak paham dengan tujuan bicaranya.“Dengar!” ujarnya dengan mata sedikit membulat, dan wajah yang mengeras, ketika kini tubuhku dan tubuhnya sudah berdiri berdekatan di balik lemari. Aku terdiam dan terpaku menatapnya, seakan patuh dengan perintah gilanya. Tengkukan telunjuknya menopang daguku. Aku terdongak menatap wajahnya yang cukup tinggi dariku.“Berhentilah berpura-pura! Ini yang kamu inginkan, ‘kan? Kalian sama saja!” Ia menatapku
Semua BerubahSuasana rumah ini berubah sejak kejadian itu. Tak ada lagi senyum manis Mama padaku, seakan ada jarak diantara kami. Mama hanya bicara seadanya, tanpa basa-basi seperti biasanya. Semua ini membuat aku serba salah. Aku selalu kikuk saat Mama di rumah. Ketika membantu Mama di dapur rasanya di neraka. Mama seperti tak menghiraukanku, dan lebih suka mengerjakan segalanya sendiri. Aku jadi tak tahu apa yang harus aku lakukan. Sepertinya Mama membenciku. Semua berlangsung beberapa hari hingga kepulangan Mas Divo dari ibu kota.“Ini ada apa, ya? Kok aku ngerasa ada yang berubah? Kenapa sih, Sayang?” Tiba-tiba suara Mas Divo memecah keheningan ritual makan malam keluarga kami yang tanpa suara. Kebetulan Mas Dion juga sedang tak ada. Sejak kejadian itu ia jadi jarang pulang ke rumah.Aku terkejut dan menatap tatapan mesra suamiku sambil mengeluarkan senyum terpaksa. Mama juga menatap padaku sekilas, lalu kembali cuek
Hidup di Ibu Kota Mas Divo menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah minimalis dengan cat berwarna ungu muda. Pagar sepinggang membatasi halamannya dari jalanan. Namun, tak ada satu tanaman pun menghias teras, rumput di halaman sepertinya juga jarang dibersihkan.Mas Divo turun dari mobil dan membuka gerbang yang tergembok dengan kunci yang ada di tangannya. Kemudian kembali memajukan mobilnya pelan memasukkan halaman.Aku turun dari mobil itu dan melangkah pelan ke teras. Mas Divo membuka pintunya, serta mengangkat semua barang-barang yang kami bawa dari rumah Mama. Aku yang masih menggendong Bayu segera memasuki rumah itu dan langsung menuju kamarnya yang terletak di depan, setelah ruang tamu. Kamar yang cukup bersih dengan perabotan kamar yang masih basgus.Usai menidurkan Bayu di ranjang, segera kubereskan barang-barang yang telah diturunkan Mas Divo dari mobil. Kuteliti keadaan rumah sampai ke dapurnya
Mas, Maafkan akuMas Divo turun dari mobil, dan membuka pintu pagar yang sedikit ternganga. Kemudian kembali melajukan mobilnya memasuki pekarangan dengan pelan. Terdengar suara mesin yang menderu kuat, dan detik berikutnya suara itu hilang sama sekali. Mas Divo turun dari mobil sambil menghempaskan pintu mobil.Langkahnya terhenti saat mata kami beradu. Aku menatapnya penuh kasih dan menghiba. Tak terasa air mataku langsung menggenang, sehingga mengaburkan pandanganku. Tak terasa ia tumpah juga di belahan pipiku.Entah mengapa rasanya sedih sekali melihat ia kembali, setelah beberapa hari belakangan aku merasa ia menjauh dariku. Mas Divo menatapku dalam keheranan. Kemudian, tanpa peduli apapun sikapnya nanti, kuhamburkan tubuhku di dadanya sambil terisak.Mas Divo masih terdiam. Tubuhnya bergeming meski aku terisak di dadanya. Namun, perlahan kurasakan juga tangan kokohnya mengusap pucuk rambutku pelan. Kecupan hangat kurasaka
Bab. 10 Suara di Mobil Mas Divo Malam kian larut, aku dan Bayu belum tertidur. Hari ini anakku sangat rewel, ia terus-terusan menangis. Kalaupun ia terlelap sesaat, kemudian ia terbangun lagi. Aku sudah kehabisan akal jadinya. Kupeluk ia yang masih merengek dalam gendongan. Tadi bahkan sempat kukompres dengan air hangat. Badannya memang sedikit panas. Berulangkali kupeluk ia sambil menggoyang-goyangkan tubuhku dan berjalan hilir mudik dari depan hingga ke belakang. Namun usaha ini terasa sia-sia. Tak biasa-biasanya Bayu seperti ini. Mungkin perubahan cuaca yang membuat ia begini. Suhu di kota kelahiran papanya dan suhu di sini sangat jauh berbeda. Barangkali saja hal itu yang menjadi penyebab ia panas. Atau karena perjalanan panjang kemaren serta cuaca dingin ditambah terpaan AC mobil yang membuat Bayu begini. Atau malah karena kubawa barusan? Ah, sudahlah! Apapun penyebabnya, yang penting sekarang yang