“Mas, jangan gila! Apa yang mau Mas lakukan? Aku bungkam, karena aku tak ingin merusak keluarga kalian!” teriakku diantara seretannya. Ia seperti acuh dengan ucapanku.
Ia berhenti setelah kami berada di tempat sedikit tertutup. Kemudian ia kembali tersenyum. Sejenak mengalihkan pandangannya sambil mendengus kasar. “Aku cuma mau tahu, Viuna. Seberapa brengseknya aku dan seberapa tangguhnya kamu. Atau kamu memang sama saja?” Aku mengernyitkan keningku, tak paham dengan tujuan bicaranya.
“Dengar!” ujarnya dengan mata sedikit membulat, dan wajah yang mengeras, ketika kini tubuhku dan tubuhnya sudah berdiri berdekatan di balik lemari. Aku terdiam dan terpaku menatapnya, seakan patuh dengan perintah gilanya. Tengkukan telunjuknya menopang daguku. Aku terdongak menatap wajahnya yang cukup tinggi dariku.
“Berhentilah berpura-pura! Ini yang kamu inginkan, ‘kan? Kalian sama saja!” Ia menatapku dalam dan lekat, seakan ingin mencoba menginformasikan sesuatu padaku.
“Maksudnya apa, Mas? Maaf aku tak ngerti.” Aku terdiam sesaat dengan nafas yang sesak. Kemudian, entah kekuatan dari mana aku berani menepisnya sambil berucap, “Aku tak mau ikut gila mengikuti kekonyolan kamu, Mas!” Kemudian kutepis keras lengannya yang masih menyangga daguku, sambil berlalu kencang darinya.
Namun tubuh ini terguncang ketika dengan sigap dua tangan kokohnya kembali mencengkeram bahuku.
“Apalagi, Mas? Mas membuat aku sakit, tau?”
“Aku mau kamu jawab, Viona! Sekali lagi aku ingin kamu jawab, jujur!” Nadanya sedikit meninggi, ia kembali menatapku dengan tatapan serius.
“Aku tak punya jawaban yang kamu cari dan inginkan, Mas!” seruku lagi sambil meronta ingin lepas darinya.
Namun tanpa kusadari, sesuatu yang hangat menempelkan di bibirku. Benda kenyal dan basah yang cukup membuat aku terperanjat. Aku meronta, namun, cengkeraman dua tanganya terasa tak bisa aku lawan. Sekuat tenaga aku berjuang untuk melepaskan diri dari rengkuhannya. Namun, bibir itu serasa membius gerakku, meskipun aku berupaya sekuat tenaga.
Dan entah kekuatan dari mana, akhirnya aku berhasil mendorong tubuhnya hingga ia terlempar ke belakang. Kuhapus bibirku secara kasar. Kutatap matanya dengan penuh amarah bercampur benci. Nafasku sesak, tubuhku gemetar menahan amarah. Ia juga menatapku ternganga.
“Viona! Dion!” Satu hardikan keras mengejutkan kami. Serta merta aku dan Mas Dion menoleh serentak ke arah asal suara.
“Mama?!” Serentak suara kami terdengar dengan nada keterkejutan. Aku membelalak demikian juga dia. Detik berikutnya kami saling berpandangan.
Mama berdiri dengan wajah dingin dan kaku di dekat pintu. Dua tangannya terpaku di pinggang. Ia menatapku dan Mas Dion secara bergantian dengan wajah penuh amarah. Buru-buru Mas Dion menghampirinya.
“Mom ...,” ucapnya kemudian. Sementara aku hanya mematung kaku mengamatinya. Aku gemetar. Hatiku gelisah, takut bila ternyata Mama telah berada disana semenjak tadi, dan menyaksikan semua. Aku takut Mama marah dan menganggapku wanita murahan, kemudian memberitahukan suamiku hingga suamiku membenciku.
Mama mengacuhkan pertanyaan Mas Dion, ia menatapku yang akhirnya tertunduk. Keringat dingin mengalir di pori-poriku. Kusatukan sepuluh jari, tak berani membalas tatapan Mama.
“Ngapain kalian disini berduaan?’ tanya Mama mengintimidasi. “Kamu kok dirumah jam segini, Dion?” tukasnya lagi sambil mengalihkan pandangan pada Mas Dion. Lelaki itu berjuang keras menetralkan sikapnya, mengumbar sebuah senyuman.
“Mom? Emang Dion nggak boleh pulang ke rumah ini, lagi? Jadi Dion hanya boleh pulang jam tertentu saja?” Wanita lima puluh tahunan itu terdiam. Namun, raut amarah masih terlukis nyata diwajahnya. Biasanya, panggilan spesial Mas Dion itu selalu bisa membujuk Mama yang marah padanya, tapi entahlah kali ini.
Mama melirikku, tepatnya menelisikku, seakan sedang mempelajari apa yang ditangkap netranya dariku. Aku risih dengan tatapan itu, tatapan yang merendahkan. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran Mama. Andai ia melihat dari awal, ia pasti tahu bukan aku yang salah, tapi bila ia hanya melihat separuhnya, pastinya ia akan menganggap akulah penyebabnya.
Ya, Allah. Bagaimana kalau iya? Apakah aku akan disalahkannya sebagai istri yang tak bisa menjaga martabat dan amanah suamiku? Bagaimana kalau Mama beranggapan aku yang memulai semua ini? Bagaimana kalau Mama memberitahu Mas Divo? Pastinya ia akan membenciku karena menikahi perempuan murahan. Ya, Allah, tolong! Selamatkanlah aku.
“Apa kalian pikir, berduaan seperti ini, pantas? Kamu Dion! Bukankah semestinya kamu di percetakan? Ngapain sepi-sepi begini disini? Berduaan saling dekat di rumah,” tegasnya lagi.
Mas Dion menatap padaku sejenak, mungkin mengamati raut ketakutanku. Kemudian berucap, “Mom ... Mommy mikir apaan, sih?” Aku tertunduk sambil menggigit bibirku cukup keras. Berharap Mas Dion menyelamatkanku dari pandangan hina mertuaku. Tak kuat rasanya menerima kenyataan mertua yang dulunya sangat sayang dan menghargaiku selama ini, kini berubah menampakkan wajah jijiknya padaku.
Kulirik lelaki itu sekilas, berharap ia memberikan jawaban yang memihak padaku, karena semua ini memang salah dia. ‘Kamu harus mempertanggung-jawabkannya, Mas. Gara-gara kamu aku merasa sehina ini.’ Tak sengaja wajah geram kuarahkan pada Mas Dion yang masih mematung di samping Mama.
“Ma …,” ucapnya pelan. “Semua nggak seperti yang Mama lihat. Mama percaya aku, ‘kan? Ada yang kutanyakan sama Viona. Uang dan ATM-ku ketinggalan di saku celana. Viona ‘kan beresin cucian. Makanya aku tanyain sama dia. Belum dijawab, Mama udah datang. Ohya, Mama kok cepat pulang?” Pernyataan terakhir lelaki itu membuat aku menoleh padanya. Pinter juga ia mengelak.
“Kalau cuma mau nanyain uang dan ATM, kan nggak harus ngomong sedekat itu, Yon?!” Aku menatap Mama yang masih ragu. Mama mengalihkan pandangan pada Mas Dion. Menelisik anaknya yang tetap berupaya rileks. Dasar!
“Yah! Dekat apaan? Mama salah liat, kali. Suer! Dion cuma nanyain duit Dion.”
Mertuaku terdiam. Namun ia melirik padaku. Entah ia percaya kebohongan yang baru saja dilontarkan Mas Dion entah tidak, aku tak tahu. Namun, raut wajahnya sedikit lebih tenang.
“Vi, ketemu nggak duit, Mas?” Aku terpelongo, sementara Mama kembali menoleh padaku. Kugelengkan kepala dalam kebingungan, “Nggak, Mas. Aku nggak nemuin apa-apa.” Mas dion menepuk jidatnya sambil menghembuskan nafas panjang.
“Aduh! Trus tinggal dimana, ya? Ya, udah, Ma, Vi, aku coba cari dulu di percetakan.” Mas Dion melangkah meninggalkan aku dan Mama yang masih terdiam. Detik berikutnya Mama pun berlalu dariku, setelah sebelumnya berucap, “Jaga harga diri kamu dengan baik, Viona!”
Aku terdiam, mencerna ucapan Mama. Mencoba mengartikan kemana tujuan kalimat itu. Beberapa detik setelah mereka berlalu, sebuah notif wathsapp masuk ke gawaiku yang sedari tadi tergeletak di meja.
“Viona, urusan kita belum selesai. Tapi tenang, aku akan melindungimu kamu dari apapun. Ohya, yang tadi itu kenang-kenangan buat kamu.” Mukaku mengeras membaca pesan dari Mas Dion. Masih berani juga dia. Aku menghela nafas berat. Lelah rasanya berhadapan dengan lelaki seperti dia.
Semua BerubahSuasana rumah ini berubah sejak kejadian itu. Tak ada lagi senyum manis Mama padaku, seakan ada jarak diantara kami. Mama hanya bicara seadanya, tanpa basa-basi seperti biasanya. Semua ini membuat aku serba salah. Aku selalu kikuk saat Mama di rumah. Ketika membantu Mama di dapur rasanya di neraka. Mama seperti tak menghiraukanku, dan lebih suka mengerjakan segalanya sendiri. Aku jadi tak tahu apa yang harus aku lakukan. Sepertinya Mama membenciku. Semua berlangsung beberapa hari hingga kepulangan Mas Divo dari ibu kota.“Ini ada apa, ya? Kok aku ngerasa ada yang berubah? Kenapa sih, Sayang?” Tiba-tiba suara Mas Divo memecah keheningan ritual makan malam keluarga kami yang tanpa suara. Kebetulan Mas Dion juga sedang tak ada. Sejak kejadian itu ia jadi jarang pulang ke rumah.Aku terkejut dan menatap tatapan mesra suamiku sambil mengeluarkan senyum terpaksa. Mama juga menatap padaku sekilas, lalu kembali cuek
Hidup di Ibu Kota Mas Divo menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah minimalis dengan cat berwarna ungu muda. Pagar sepinggang membatasi halamannya dari jalanan. Namun, tak ada satu tanaman pun menghias teras, rumput di halaman sepertinya juga jarang dibersihkan.Mas Divo turun dari mobil dan membuka gerbang yang tergembok dengan kunci yang ada di tangannya. Kemudian kembali memajukan mobilnya pelan memasukkan halaman.Aku turun dari mobil itu dan melangkah pelan ke teras. Mas Divo membuka pintunya, serta mengangkat semua barang-barang yang kami bawa dari rumah Mama. Aku yang masih menggendong Bayu segera memasuki rumah itu dan langsung menuju kamarnya yang terletak di depan, setelah ruang tamu. Kamar yang cukup bersih dengan perabotan kamar yang masih basgus.Usai menidurkan Bayu di ranjang, segera kubereskan barang-barang yang telah diturunkan Mas Divo dari mobil. Kuteliti keadaan rumah sampai ke dapurnya
Mas, Maafkan akuMas Divo turun dari mobil, dan membuka pintu pagar yang sedikit ternganga. Kemudian kembali melajukan mobilnya memasuki pekarangan dengan pelan. Terdengar suara mesin yang menderu kuat, dan detik berikutnya suara itu hilang sama sekali. Mas Divo turun dari mobil sambil menghempaskan pintu mobil.Langkahnya terhenti saat mata kami beradu. Aku menatapnya penuh kasih dan menghiba. Tak terasa air mataku langsung menggenang, sehingga mengaburkan pandanganku. Tak terasa ia tumpah juga di belahan pipiku.Entah mengapa rasanya sedih sekali melihat ia kembali, setelah beberapa hari belakangan aku merasa ia menjauh dariku. Mas Divo menatapku dalam keheranan. Kemudian, tanpa peduli apapun sikapnya nanti, kuhamburkan tubuhku di dadanya sambil terisak.Mas Divo masih terdiam. Tubuhnya bergeming meski aku terisak di dadanya. Namun, perlahan kurasakan juga tangan kokohnya mengusap pucuk rambutku pelan. Kecupan hangat kurasaka
Bab. 10 Suara di Mobil Mas Divo Malam kian larut, aku dan Bayu belum tertidur. Hari ini anakku sangat rewel, ia terus-terusan menangis. Kalaupun ia terlelap sesaat, kemudian ia terbangun lagi. Aku sudah kehabisan akal jadinya. Kupeluk ia yang masih merengek dalam gendongan. Tadi bahkan sempat kukompres dengan air hangat. Badannya memang sedikit panas. Berulangkali kupeluk ia sambil menggoyang-goyangkan tubuhku dan berjalan hilir mudik dari depan hingga ke belakang. Namun usaha ini terasa sia-sia. Tak biasa-biasanya Bayu seperti ini. Mungkin perubahan cuaca yang membuat ia begini. Suhu di kota kelahiran papanya dan suhu di sini sangat jauh berbeda. Barangkali saja hal itu yang menjadi penyebab ia panas. Atau karena perjalanan panjang kemaren serta cuaca dingin ditambah terpaan AC mobil yang membuat Bayu begini. Atau malah karena kubawa barusan? Ah, sudahlah! Apapun penyebabnya, yang penting sekarang yang
Bab 11Pertemuan Tak Terduga“Rekanku! Lagian, sejak kapan kamu main curiga-curigaan sama aku? Ingat, Vi! Aku belum sepenuhnya memaafkan kamu! Jadi, jangan coba-coba mencari celah mengaburkan masalah kamu dengan mencari-cari salah aku!”Aku terdiam dan juga kaget dengan pernyataannya barusan. Artinya, permohonan maafku padanya semalam tak berarti apa-apa? Ternyata, ia belum memaafkanku. Juga sikap baiknya semalam mungkin hanya karena kasihan melihat kesedihanku. Pantas saja tak ada satu kata pun yang ia keluarkan. Oh!Aku mendekatinya dengan pandangan yang mulai mengabur. Air mata ini serasa tak sedikit pun bersahabat padaku.“Mas … aku bukan sedang mencari salah kamu. Aku cuma coba mempertahankan apa yang pantas aku pertahankan. Aku nggak mau rumah tangga kita hancur, Mas,” ucapku lirih dengan sudut mata yang mulai menggenang oleh bulir hanga
Bab 12Trik Perang“Sendirian?” sapanya dengan tatapan teduh penuh senyuman. Manik cokelatnya terlihat berbinar menatapku.Ia mendekatiku bersama lima rekan lainnya. Aku masih mematung, dengan suasana hati yang berusaha kusamarkan. Aku mengalihkan tatapan ke arah lain saat manik cokelat itu makin mendekat. Beberapa lelaki yang mendampinginya ikut menatapku.“Kalian, duluan, ya? Ntar, gue nyusul,” katanya kemudian sambil menoleh pada teman-temannya, ketika mereka sudah berada tepat di hadapanku.“Siapa, Bro?” Kudengar satu pertanyaan dari salah satu di antara mereka.“Adik gue! Kenalin, Viona,” lanjutnya lagi.Terpaksa kusambut uluran tangan mereka secara bergantian, setelah sebelumnya meletakkan barang-barang di lantai. Aku menyeruakkan senyum ramah terpaksa pada tubuh yang rata-rata lebih
Bab 13 Aku Mendapatkannya Setelah pelayan itu pergi, Mas Dion kembali menatap padaku dengan gaya khas-nya. “Jangan kurang ajar lagi, Mas. Hentikan tatapan nakal kamu itu!” Ia kembali tersenyum kemudian menarik napas dalam dan mengembuskannya kasar, ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Mari kita mulai dengan manis, Vi. Berhentilah menampakkan wajah tak sukamu itu. Nggak enak dilihat orang. Nanti malah ada yang bilang kalau aku dan istriku lagi bertengkar, mau?” tanyanya kemudian sambil tertawa. Aku cepat-cepat merubah raut wajah. Ucapannya itu ada benarnya juga. Aku, Bayu dan Mas Dion, sudah seperti sebuah keluarga kecil yang sedang menikmati hari bersama. Pastinya orang-orang akan beranggapan aku sedang marahan pada dia. Sit! Amit-amit! Walaupun harus kuakui, ia memiliki wajah di atas rata-rata, tapi tak sudi bila dianggap sebagai istri dari lelaki ta
Bab 14Ancaman Dion“Haha …! Hidup terkadang memang sangat lucu, Vi. Pandangan mata kadang tak selalu tembus pada realita. Kabut kebohongan sering berhasil mengaburkan aib-aib pendosa,” katanya kemudian dengan tenang.Aku mendengkus dan mengalihkan wajah ke samping, kemudian kembali menatapnya. “Maaf, Mas. Aku bukan penyuka sastra. Jadi, aku nggak ngerti bahasa kiasan, Mas.”Ia mengembuskan napas kasar dan mencebikkan bibirnya. “Kamu benar-benar sangat mempercayai suamimu sepenuh hati? Kamu sangat percaya kalau ia tak pernah menyakitimu?”Aku terdiam menatapnya. Detik kemudian tatapan ini terasa melemah. Kalimat terakhirnya berhasil membuat kejadian malam itu menggema kembali di ingatan, suara wanita di mobil Mas Divo malam, perubahan sikapnya beberapa waktu belakangan. Sikap kasar dan wajah tak bersahabatnya. Semua itu memang cukup meng