Bisikan Gila
Pagi ini, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Sebelum sholat subuh, aku telah bangkit dari ranjang meninggalkan Mas Divo dengan dengkuran halusnya. Ia tampak sangat kelelahan, sehingga tak menyadari kalau aku sudah beranjak dari sisinya.
Memang, setiap ia berada disini, aku selalu mengusahakan yang terbaik untuknya. Meladeninya semaksimal mungkin, urusan ranjang, makan dan penampilan selalu kunomor-satukan, agar aku tetap istimewa di matanya, meski aku tak mendampinginya selama lima hari kerja.
Sebelum Mas Divo bangun aku telah berpenampilan cantik, dan makanan kesukaan pun telah tersedia. Itulah target juga obsesi terindah dalam hidupku, sejak ijab suci itu ia lafadz-kan di depan ayah dan semua pihak keluargaku.
Hal itu juga yang sering jadi bahan perbandingan di keluarga ini bila mereka telah membahas Mbak Vera pada Mas Dion, selalu aku yang di bawa-bawa. Padahal apa urusannya? Toh, aku begini karena rasa tanggung jawabku pada keluarga kecilku, Mas Divo dan Bayu. Karena aku hidup disini, di rumah mertuaku, rasa tanggung jawab itu juga meluap pada keluarga suamiku itu. Habis, siapa lagi?
“Mas, nggak salat, Sayang?” bisikku mesra di telinga Mas Divo. Aku tersenyum kala ia menggeliat, dan memelukku mesra.
“Kamu sudah mandi, ya?” bisiknya di telinggaku dengan suara serak.
“Ih, bangun, dong! Belum bersih-bersih udah main peluk-peluk, aja,” ujarku sambil melepaskan diri dari Mas Divo. Mas Divo malah menggerakkan jemarinya yang berada tepat di rusukku, sehingga aku berteriak kegelian.
“Divo! Viona! Ayo cepatan salat, nanti keburu pagi!" Lengkingan suara Mama membuat kami terdiam. Mas Divo terkekeh menertawakanku. Aku cemberut dan mencubit pinggangnya. Ia balas mencubit hidungku. Kemudian Mas Divo bangkit dari ranjang.
“Ayo! Daripada dipanggil Mama lagi nanti,” ujarnya sambil merangkulku. Aku tersenyum. Kami pun keluar dari kamar berbarengan. Aku bergegas ke dapur menghampiri Mama yang telah sibuk menyiapkan sarapan kami.
“Udah salat, Viona?” tanya Mama ketika aku baru saja berada di sampingnya.
“Udah, Ma, tadi,” jawabku singkat sambil meraih piring kotor dan mengucek-nguceknya dengan busa sabun serta membilasnya.
“Vi! bangunkan dulu Mas Dion, gih! Mama lupa, Mama rasa dia belum salat!” Aku terdiam sejenak, antara ragu dan kaget. Haruskah aku kesana? Ke kamar Mas Dion? Ah!.
‘Ohya, Mas Divo tadi, kok belum juga nongol di sini, ya? Padahal tadi udah barengan. Apa nyambung tidur lagi? Padahal, ‘kan juga belum salat,’ pikirku dalam hati. Kuletakkan piring yang tadi kucuci, dan membersihkan tangan dari busa sabun. Kemudian bergegas kembali ke kamar.
Namun, ketika aku melewati kamar Mas Dion, senyumku langsung mengembang melihat Mas Divo yang melangkah ke arahku sambil menyandang handuk di bahunya. Kami berpapasan. Ia menyempatkan diri melayangkan tangan jahilnya ke bokongku. Aku kaget. Kukejar ia sambil mencubit lengannya, yang membuat ia mengaduh sambil mengusap-usap lengannya.
“Ada apa Di?” tanya Mama mengejutkan kami. Beliau menoleh ke arah kami, maklum si Bontot. Aku tergelak tertahan. Mas Divo menggaruk-garuk kepalanya sambil menyunggingkan senyuman padaku.
“Nggak kok, Ma. Cuma kesandung!” Mas Divo mengulum senyum dan melanjutkan langkahnya ke kamar mandi, setelah sebelumnya melayangkan ciuman kilat ke pelipis Mama. Kini giliranku yang harus membangunkan Mas Dion. Kebetulan, tempat aku berdiri tadi tepat di depan pintunya.
Aku mematung sejenak, sambil mengambil nafas panjang, kemudian menghempaskannya kasar. Pintu kamarnya sedikit terbuka. Antara ragu dan sungkan aku menguatkan hati untuk memanggilnya dari sana. “Mas ... Mas Dion? Bangun, Mas! Salat dulu!” ujarku pelan. Namun, tak ada jawaban. Hening. Kembali kuulangi sambil mengetok-ngetok pintu kamarnya pelan. “Mas Dion … Mas? Mama suruh Mas bangun. Salat dulu!” teriakku lagi.
Beberapa kali kuulangi, tapi tetap tak ada jawaban. Terakhir, aku akan coba sekali lagi sebelum pasrah, biar Mama saja yang membangunkannya, bila kali ini ia tetap tak mau bangun. “Mas ... Mas Dion? Mas disu—“ Belum sempat kata-kata itu kulanjutkan, sesosok tubuh tegap berkulit putih yang hanya menggunakan celana pendek, berdiri tegak di hadapanku. Tubuhnya yang sejengkal lebih tinggi dariku, menatapku slengek’an dengan senyum konyolnya.
Terus terang netraku menangkap kilau cahaya di kulitnya yang bersih. Entah apa perawatan kulit yang ia lakukan, wajahnya terlihat glowing bangun tidur. Tubuhnya yang selama ini tertutup setelan rapi ternyata sangat putih dan bersih. Apakah ia suka ke salon? Facial? Spa? Atau ia menyimpan benda-benda kosmetik di lemarinya? Aku yang perempuan, minder dibuatnya.
Entah berapa lama aku terpaku, aku tak tau. Entah karena kaget, tiba-tiba ia muncul setelah lama kupanggil, entah karena melihat tubuh glowing-nya. Yang pasti, aku sedikit ternganga melihat keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini.
“Mandang orang jangan gitu! Non muhrim!” katanya mengejutkanku. Membuat wajahku serasa memerah menahan malu. Buru-buru kualihkan pandanganku sambil menetralkan hati yang kaget bukan kepalang. Kurang ajar, bisa-bisanya ia mempermalukanku.
Tiba-tiba ia melangkah melewatiku yang masih sibuk menetralkan diri, sambil berbisik, “Kamu keramas, ya?” ujarnya kemudian sambil tersenyum puas. Aku mendelik.
“What?! Maksudnya--’ Aku terhenti. Dan hanya bisa menatapi punggungnya dari belakang dengan wajah geram. Apa-apaan sih, dia?
***
Waktu sarapan telah tiba. Semua anggota keluarga sudah stand-bye di tempat masing-masing kecuali Mas Dion. Hanya dia yang belum muncul. Barusan ia melintasi ruang ini dari kamar mandi menuju kamarnya. Melewati Aku yang masih membereskan sisa pekerjaan di dapur. Setelah semua usai, aku melangkah menuju meja makan, dan duduk di samping Mas Divo.
Detik berikutnya kulihat Mas Dion memasuki ruangan. Penampilannya sudah rapi, aroma wangi maskulin menguar di ruang makan.
“Loh, Yon! Tumben pagi?” ejek Mama, sambil melirik Mas Dion.
“Temu klien, Ma. Ada yang mau ngajak partner-an di ibu kota,” jawabnya sambil mencomot tempe goreng tepung yang ada di meja. Kemudian duduk tepat di hadapanku. Aku mendelik. Sykurlah! Berarti buka cabang di ibu kota? Artinya ia nggak akan disini lagi.
Ia membuka piring yang tadi kutelungkupkan, kemudian mengambil nasi, lauk dan sayur. Aku hanya mengamatinya, sambil memulai suapan pertamaku. Wajah acuhnya mengingatkanku dengan semua kelakuannya beberapa hari ini, terlebih subuh tadi. Sikap slengekan dan urakan yang membuatku malu, tapi juga geram. Terlebih bisikannya tadi yang kurasa tidak pada tempatnya. Sementara kulihat ia sepertinya sudah melupakan itu.
“Vi, kamu senang nggak, dsini? Masih kerasan, nggak?” tiba-tiba Mama membuka pembicaraan diantara dentingan suara sendok dan piring yang bersahutan. Aku terkejut dan menoleh pada Mama. Kemudian senyum manis kuberikan pada Mama yang masih mengamatiku diantara aktivitasnya menyantap makanan.
“Maafin Mama, ya? Selalu ngasih kamu pe-er yang nggak habis-habisnya.” Wanita 50-an yang telah kuanggap sebagai ibu itu berucap dengan nada mellow-nya. Menatapku syahdu. Aku tersenyum sambil mengunyah sisa makanan di mulutku dengan pelan.
“Nggak apa-apa, Ma. Nggak ada pekerjaan yang berat kok. Sama aja waktu Viona tinggal sendiri,”
“Aku liat Viona betah kok, Ma,” timpal Mas Dion sambil menatapi makanannya. Aku mendelik. Perlahan gerakanku melambat. Bener-bener ampun sama manusia yang satu ini. Apa dia nggak tau, yang membuat aku nggak betah itu malah dia! Risih dengan kelakuannya!
“Syukurlah! Mama cuma cemas Viona ngerasa di bebani.”
“Nggak, lah!” tukas Mas Dion lagi dengan cepat, tapi tetap sambil fokus dengan makanannya. Aku makin terperanjat. Kenapa dia yang jawab lagi, sih? Aneh!
“Perasaan yang Mama tanya Viona, deh. Kenapa yang jawab kamu, Yon? Lagian kog kamu tahu isi hati Viona?” Tiba-tiba Susana hening. Semua menatap pada Mas Dion, kemudian padaku, tak terkecuali Mas Divo. Aku ikutan deg-degan dibuatnya. Sementara itu Mas Dion juga terkesiap.
Menyadari situasi tegang yang mulai menyelinap, buru-buru aku menetralkan situasi. Takut akan jadi masalah nantinya.
“Iya nih. Mas Dion sok pinter nebak hati orang. Tapi, Mas Dion bener loh, Mas. Aku seneng.” Aku tersenyum. Kali aja Mas Dion ngeliat aku happy-happy aja di sini, Makanya ia bilang begitu. Meski ketemu Mas Divo hanya sekali seminggu,” ucapku kemudian sambil menatap Mas Divo mesra. Mas Divo tersenyum, kemudian mengucek-ngucek kepalaku mesra.
Mas Dion menatap kami dengan tatapan dingin, kemudian menyunggingkan senyum anehnya. Mama dan papa ikut tersenyum. Semua kembali melanjutkan makannya. Hanya lelaki itu yang masih saja menatap kami dengan aneh, sebelum akhirnya kembali menyantap makanannya.
“Syukurlah, Nak. Mama Papa senang kalian saling dekat. Meskipun Viona menantu di rumah ini, tapi kamu sudah menganggapnya sebagai adikmu kan, Yon? Makanya kamu respect. Ya kan, Pa?”
“Hu um,” jawab mertua laki-lakiku itu sambil terus mengunyah, menikmati gelembung makanan di mulutnya. Sementara Mas Dion mendengkus dan tersenyum konyol sambil kembali menikmati makannya.
“Oh ya, Yon. Gimana masalahmu? Sudah ada itikad baik dari Vera?” tanya Papa kemudian pada lelaki dihadapanku itu. Wajahnya seketika berubah memucat. Aku mengalihkan pandangan kembali pada santapanku, tak ingin menyudutkannya, karena pasti setelah ini, namaku akan di bawa-bawa lagi.
‘Iya, Yon. Mama kasian melihatmu begini. Nggak baik lama-lama sendiri, banyak mudhorat-nya. Cepat selesaikan, kamu mau baikan lagi sama Vera atau nggak?” tanya Mama kemudian. “Kalau mau baikan lagi, didik Vera jadi isteri yang baik. Tuh lihat, Viona, cantik, pinter, jago masak, dan bertanggung jawab sebagai istri.” Mas Divo tersedak. Hingga ia terbatuk berulangkali. Segera kuberikan air putih yang sebenarnya sudah ada di depannya. Ia meminumnya.
“Hati-hati makannya, Divo. Udah besar, juga!” gerutu Mama berikutnya. Mas Dion hanya melirik sekilas, tanpa komentar. Bahkan untuk pertanyaan Papa dan Mama pun juga tak ada jawaban.
Aku tak ingin berlama-lama kalau sudah membahas tentang Mbak Vera. Kasihan Mas Dion, jadi bulan-bulanan terus karena aku. Lagian, nggak enak dibanding-bandingkan saat kita ada disana. Segera kuhentikan makanku dan beranjak dari tempat dudukku.
“Maaf, Ma, Pa. Viona ke kamar dulu. Mau liat Bayu, takut entar dia bangun.” Mama dan Papa tersenyum bersamaan dan mengangguk padaku.
Selang beberapa saat berada di kamar, Mas Divo muncul dengan senyum ringannya sambil merangkulku hangat dari belakang. Ia mengecup hijabku penuh kasih.
“Makasi, cinta.”
“Apaan sih, Mas.”
TertipuPagi ini, Senin, waktu yang amat berat bagiku, karena harus melepas Mas Divo kembali meninggalkan aku dan Bayu. Sedih dan rasa kehilangan. Dua malam melewati hari bersama sangat tidak cukup bagiku untuk merasakan dekapan hangat Mas Divo. Namun, apa daya, aku tak mampu berbuat apa-apa walau hanya mengulur waktu sehari lagi saja untuk memperpanjang kebersamaan kami.Aku kembali sedih melepasnya, padahal kalau di pikir-pikir, jarak kota kecil ini dengan ibu kota tidak terlalu jauh. Namun, itu lah aku, tak akan meminta bila tidak di tawarkan.“Sayang, Mas pergi, ya? Doakan Mas bisa cepat membawamu ikut serta.” Aku mengangguk haru, kucium punggung tangan Mas Divo takzim. Mas Divo mengecup keningku lagi. Ia pun melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman, kemudian melambaikan tangan padaku sambil membunyikan klaksonnya. Kupandangi laju kendaraannya yang sedikit demi sedikit mulai menghilang di belo
Ia Merenggutku“Nah, kan, melamun lagi. Udah! Jangan mikir macem-macem dulu. Nanti kalau banyak mikir, wajah cantik kamu memudar, lho?” kelakar Mas Divo yang membuat aku mengangkat dua alisku, kemudian tersenyum padanya. Ia selalu berhasil menghadirkan rasa senang dihatiku dengan semua pujiannya. Lebih dari segalanya.“Doakan mas, ya? Mas lagi rintis usaha kuliner sama teman mas, Fery di kota. Ntar, kalau dah di titik aman, Mas akan bopong kamu ke sana.”“Oh, ya?” Dimana, Mas?” tanyaku lagi antusias.“Ada, deh,” jawab Mas Divo sambil terus membelai rambutku.“Spesifiknya apa, Mas? Aku ikutan, ya? Aku ‘kan suka masak. Tapi, kog Mas nggak bilang-bilang sebelumnya?” tanyaku dengan wajah riang yang kemudian berganti manyun, pura-pura merajuk.“Udah, jangan nanya lagi. Kalau dah aman, kamu pasti akan Mas bawa kesana. Kamu
“Mas, jangan gila! Apa yang mau Mas lakukan? Aku bungkam, karena aku tak ingin merusak keluarga kalian!” teriakku diantara seretannya. Ia seperti acuh dengan ucapanku.Ia berhenti setelah kami berada di tempat sedikit tertutup. Kemudian ia kembali tersenyum. Sejenak mengalihkan pandangannya sambil mendengus kasar. “Aku cuma mau tahu, Viuna. Seberapa brengseknya aku dan seberapa tangguhnya kamu. Atau kamu memang sama saja?” Aku mengernyitkan keningku, tak paham dengan tujuan bicaranya.“Dengar!” ujarnya dengan mata sedikit membulat, dan wajah yang mengeras, ketika kini tubuhku dan tubuhnya sudah berdiri berdekatan di balik lemari. Aku terdiam dan terpaku menatapnya, seakan patuh dengan perintah gilanya. Tengkukan telunjuknya menopang daguku. Aku terdongak menatap wajahnya yang cukup tinggi dariku.“Berhentilah berpura-pura! Ini yang kamu inginkan, ‘kan? Kalian sama saja!” Ia menatapku
Semua BerubahSuasana rumah ini berubah sejak kejadian itu. Tak ada lagi senyum manis Mama padaku, seakan ada jarak diantara kami. Mama hanya bicara seadanya, tanpa basa-basi seperti biasanya. Semua ini membuat aku serba salah. Aku selalu kikuk saat Mama di rumah. Ketika membantu Mama di dapur rasanya di neraka. Mama seperti tak menghiraukanku, dan lebih suka mengerjakan segalanya sendiri. Aku jadi tak tahu apa yang harus aku lakukan. Sepertinya Mama membenciku. Semua berlangsung beberapa hari hingga kepulangan Mas Divo dari ibu kota.“Ini ada apa, ya? Kok aku ngerasa ada yang berubah? Kenapa sih, Sayang?” Tiba-tiba suara Mas Divo memecah keheningan ritual makan malam keluarga kami yang tanpa suara. Kebetulan Mas Dion juga sedang tak ada. Sejak kejadian itu ia jadi jarang pulang ke rumah.Aku terkejut dan menatap tatapan mesra suamiku sambil mengeluarkan senyum terpaksa. Mama juga menatap padaku sekilas, lalu kembali cuek
Hidup di Ibu Kota Mas Divo menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah minimalis dengan cat berwarna ungu muda. Pagar sepinggang membatasi halamannya dari jalanan. Namun, tak ada satu tanaman pun menghias teras, rumput di halaman sepertinya juga jarang dibersihkan.Mas Divo turun dari mobil dan membuka gerbang yang tergembok dengan kunci yang ada di tangannya. Kemudian kembali memajukan mobilnya pelan memasukkan halaman.Aku turun dari mobil itu dan melangkah pelan ke teras. Mas Divo membuka pintunya, serta mengangkat semua barang-barang yang kami bawa dari rumah Mama. Aku yang masih menggendong Bayu segera memasuki rumah itu dan langsung menuju kamarnya yang terletak di depan, setelah ruang tamu. Kamar yang cukup bersih dengan perabotan kamar yang masih basgus.Usai menidurkan Bayu di ranjang, segera kubereskan barang-barang yang telah diturunkan Mas Divo dari mobil. Kuteliti keadaan rumah sampai ke dapurnya
Mas, Maafkan akuMas Divo turun dari mobil, dan membuka pintu pagar yang sedikit ternganga. Kemudian kembali melajukan mobilnya memasuki pekarangan dengan pelan. Terdengar suara mesin yang menderu kuat, dan detik berikutnya suara itu hilang sama sekali. Mas Divo turun dari mobil sambil menghempaskan pintu mobil.Langkahnya terhenti saat mata kami beradu. Aku menatapnya penuh kasih dan menghiba. Tak terasa air mataku langsung menggenang, sehingga mengaburkan pandanganku. Tak terasa ia tumpah juga di belahan pipiku.Entah mengapa rasanya sedih sekali melihat ia kembali, setelah beberapa hari belakangan aku merasa ia menjauh dariku. Mas Divo menatapku dalam keheranan. Kemudian, tanpa peduli apapun sikapnya nanti, kuhamburkan tubuhku di dadanya sambil terisak.Mas Divo masih terdiam. Tubuhnya bergeming meski aku terisak di dadanya. Namun, perlahan kurasakan juga tangan kokohnya mengusap pucuk rambutku pelan. Kecupan hangat kurasaka
Bab. 10 Suara di Mobil Mas Divo Malam kian larut, aku dan Bayu belum tertidur. Hari ini anakku sangat rewel, ia terus-terusan menangis. Kalaupun ia terlelap sesaat, kemudian ia terbangun lagi. Aku sudah kehabisan akal jadinya. Kupeluk ia yang masih merengek dalam gendongan. Tadi bahkan sempat kukompres dengan air hangat. Badannya memang sedikit panas. Berulangkali kupeluk ia sambil menggoyang-goyangkan tubuhku dan berjalan hilir mudik dari depan hingga ke belakang. Namun usaha ini terasa sia-sia. Tak biasa-biasanya Bayu seperti ini. Mungkin perubahan cuaca yang membuat ia begini. Suhu di kota kelahiran papanya dan suhu di sini sangat jauh berbeda. Barangkali saja hal itu yang menjadi penyebab ia panas. Atau karena perjalanan panjang kemaren serta cuaca dingin ditambah terpaan AC mobil yang membuat Bayu begini. Atau malah karena kubawa barusan? Ah, sudahlah! Apapun penyebabnya, yang penting sekarang yang
Bab 11Pertemuan Tak Terduga“Rekanku! Lagian, sejak kapan kamu main curiga-curigaan sama aku? Ingat, Vi! Aku belum sepenuhnya memaafkan kamu! Jadi, jangan coba-coba mencari celah mengaburkan masalah kamu dengan mencari-cari salah aku!”Aku terdiam dan juga kaget dengan pernyataannya barusan. Artinya, permohonan maafku padanya semalam tak berarti apa-apa? Ternyata, ia belum memaafkanku. Juga sikap baiknya semalam mungkin hanya karena kasihan melihat kesedihanku. Pantas saja tak ada satu kata pun yang ia keluarkan. Oh!Aku mendekatinya dengan pandangan yang mulai mengabur. Air mata ini serasa tak sedikit pun bersahabat padaku.“Mas … aku bukan sedang mencari salah kamu. Aku cuma coba mempertahankan apa yang pantas aku pertahankan. Aku nggak mau rumah tangga kita hancur, Mas,” ucapku lirih dengan sudut mata yang mulai menggenang oleh bulir hanga