Home / Romansa / Cinta Ipar Duda / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Cinta Ipar Duda: Chapter 1 - Chapter 10

90 Chapters

Parr. 1. Kepergian Mas Divo

    Suasana rumah berlantai dua ini sepi. Hanya ada aku dan Bayu—bayi Sembilan bulanku yang telah tertidur pulas, usai kuberikan asupan ASI hampir setengah jam lamanya. Bayu kubiarkan tertidur di dalam Box Bayi, yang terletak di ruang tengah. Sementara aku di dapur menyiapkan semua pekerjaan yang masih terbengkalai. Tak lupa semua pintu kukunci, agar aku terbebas dari rasa was-was saat asyik bekerja nanti. Kuraih piring kotor yang menumpuk di wastafel, dan mencucinya dengan cekatan. Karena, masih banyak pekerjaan yang menantiku setelahnya. Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh bunyi ketukan beruntun dipintu, diiringi suara laki-laki yang memanggil namaku. Aku melirik ke pintu kaca yang berada di sisi kiriku. Wajah lesu Mas Dion membias dari balik kaca, sambil memberikan isyarat padaku untuk membukakan pintu. Bergegas kucuci tangan yang masih berlumuran busa sabun, mematikan air keran, dan menyeka kedua tangan pada wash
Read more

Part. 2.

  Tragedi Dini Hari   Jarum jam di dinding kamarku menunjukkan pukul sepuluh malam. Hari ini jadwal kepulangan Mas Divo, tapi belum ada tanda-tanda ia pulang. Aku resah dan bingung, tak biasanya ia tak menepati janji begini. Kalaupun ia telat, ia tak pernah lupa memberi kabar padaku. Namun, tidak untuk kali ini. Handphone-nya yang sedari tadi kucoba hubungi juga tidak menyala sama sekali. Lama menunggu tanpa memejamkan mata sama sekali membuat aku kebelet ke kamar mandi. Sebenarnya aku risih untuk keluar dari kamar apalagi aku tahu, ada Mas Dion di rumah. Namun, apa dikata, kamar mandi satu-satunya untuk keluarga cuma kamar mandi yang berdekatan dengan dapur, selain kamar mandi di kamar Kak Dheea yang setiap harinya terkunci. Desakan alam membuatku tak mampu lagi bertahan, akhirnya kuberanikan juga keluar kamar. Kubuka pintu pelan dan melangkahkan kaki menuju ruang keluarga yang tersambung dengan dapur dan kamar mandi. Suasa
Read more

Part.3

 Bisikan Gila Pagi ini, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Sebelum sholat subuh, aku telah bangkit dari ranjang meninggalkan Mas Divo dengan dengkuran halusnya. Ia tampak sangat kelelahan, sehingga tak menyadari kalau aku sudah beranjak dari sisinya.Memang, setiap ia berada disini, aku  selalu mengusahakan yang terbaik untuknya. Meladeninya semaksimal mungkin, urusan ranjang, makan dan penampilan selalu kunomor-satukan, agar aku tetap istimewa di matanya, meski aku tak mendampinginya selama lima hari kerja.Sebelum Mas Divo bangun aku telah berpenampilan cantik, dan makanan kesukaan pun telah tersedia. Itulah target juga obsesi terindah dalam hidupku, sejak ijab suci itu ia lafadz-kan di depan ayah dan semua pihak keluargaku.Hal itu juga yang sering jadi bahan perbandingan di keluarga ini bila mereka telah membahas Mbak Vera pada Mas Dion, selalu aku yang di bawa-bawa. Padahal apa urusannya?
Read more

Part. 4

 Tertipu Pagi ini, Senin, waktu yang amat berat bagiku, karena harus melepas Mas Divo kembali meninggalkan aku dan Bayu. Sedih dan rasa kehilangan. Dua malam melewati hari bersama sangat tidak cukup bagiku untuk merasakan dekapan hangat Mas Divo. Namun, apa daya, aku tak mampu berbuat apa-apa walau hanya mengulur waktu sehari lagi saja untuk memperpanjang kebersamaan kami.Aku kembali sedih melepasnya, padahal kalau di pikir-pikir, jarak kota kecil ini dengan ibu kota tidak terlalu jauh. Namun, itu lah aku, tak akan meminta bila tidak di tawarkan. “Sayang, Mas pergi, ya? Doakan Mas bisa cepat membawamu ikut serta.” Aku mengangguk haru, kucium punggung tangan Mas Divo takzim. Mas Divo mengecup keningku lagi. Ia pun melangkah menuju mobilnya yang terparkir di halaman, kemudian melambaikan tangan padaku sambil membunyikan klaksonnya. Kupandangi laju kendaraannya yang sedikit demi sedikit mulai menghilang di belo
Read more

Part. 5

 Ia Merenggutku  “Nah, kan, melamun lagi. Udah! Jangan mikir macem-macem dulu. Nanti kalau banyak mikir, wajah cantik kamu memudar, lho?” kelakar  Mas Divo yang membuat aku mengangkat dua alisku, kemudian tersenyum padanya. Ia selalu berhasil menghadirkan rasa senang dihatiku dengan semua pujiannya. Lebih dari segalanya.“Doakan mas, ya? Mas lagi rintis usaha kuliner sama teman mas, Fery di kota. Ntar, kalau dah di titik aman, Mas akan bopong kamu ke sana.”“Oh, ya?” Dimana, Mas?” tanyaku lagi antusias.“Ada, deh,” jawab Mas Divo sambil terus membelai rambutku.“Spesifiknya apa, Mas? Aku ikutan, ya? Aku ‘kan suka masak. Tapi, kog Mas nggak bilang-bilang sebelumnya?” tanyaku dengan wajah riang yang kemudian berganti manyun, pura-pura merajuk.“Udah, jangan nanya lagi. Kalau dah aman, kamu pasti akan Mas bawa kesana. Kamu
Read more

Part. 6

  “Mas, jangan gila! Apa yang mau Mas lakukan? Aku bungkam, karena aku tak ingin merusak keluarga kalian!” teriakku diantara seretannya. Ia seperti acuh dengan ucapanku.Ia berhenti setelah kami berada di tempat sedikit tertutup. Kemudian ia kembali tersenyum. Sejenak mengalihkan pandangannya sambil mendengus kasar. “Aku cuma mau tahu, Viuna. Seberapa brengseknya aku dan seberapa tangguhnya kamu. Atau kamu memang sama saja?” Aku mengernyitkan keningku, tak paham dengan tujuan bicaranya. “Dengar!” ujarnya dengan mata sedikit membulat, dan wajah yang mengeras, ketika kini tubuhku dan tubuhnya sudah berdiri berdekatan di balik lemari. Aku terdiam dan terpaku menatapnya, seakan patuh dengan perintah gilanya. Tengkukan telunjuknya menopang daguku. Aku terdongak menatap wajahnya yang cukup tinggi dariku.“Berhentilah berpura-pura! Ini yang kamu inginkan, ‘kan? Kalian sama saja!” Ia menatapku
Read more

Part. 7

 Semua Berubah Suasana rumah ini berubah sejak kejadian itu. Tak ada lagi senyum manis Mama padaku, seakan ada jarak diantara kami. Mama hanya bicara seadanya, tanpa basa-basi seperti biasanya. Semua ini membuat aku serba salah. Aku selalu kikuk saat Mama di rumah. Ketika membantu Mama di dapur rasanya di neraka. Mama seperti tak menghiraukanku, dan lebih suka mengerjakan segalanya sendiri. Aku jadi tak tahu apa yang harus aku lakukan. Sepertinya Mama membenciku. Semua berlangsung beberapa hari hingga kepulangan Mas Divo dari ibu kota.“Ini ada apa, ya? Kok aku ngerasa ada yang berubah? Kenapa sih, Sayang?” Tiba-tiba suara Mas Divo memecah keheningan ritual makan malam keluarga kami yang tanpa suara. Kebetulan Mas Dion juga sedang tak ada. Sejak kejadian itu ia jadi jarang pulang ke rumah.Aku terkejut dan menatap tatapan mesra suamiku sambil mengeluarkan senyum terpaksa. Mama juga menatap padaku sekilas, lalu kembali cuek
Read more

Part. 8

 Hidup di Ibu Kota    Mas Divo menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah minimalis dengan cat berwarna ungu muda. Pagar sepinggang membatasi halamannya dari jalanan. Namun, tak ada satu tanaman pun menghias teras, rumput di halaman sepertinya  juga jarang dibersihkan.Mas Divo turun dari mobil dan membuka gerbang yang tergembok dengan kunci yang ada di tangannya. Kemudian kembali memajukan mobilnya pelan memasukkan halaman.Aku turun dari mobil itu dan melangkah pelan ke teras. Mas Divo membuka pintunya, serta mengangkat semua barang-barang yang kami bawa dari rumah Mama. Aku yang masih menggendong Bayu segera memasuki rumah itu dan langsung menuju kamarnya yang terletak di depan, setelah ruang tamu. Kamar yang cukup bersih dengan perabotan kamar yang masih basgus.Usai menidurkan Bayu di ranjang, segera kubereskan barang-barang yang telah diturunkan Mas Divo dari mobil. Kuteliti keadaan rumah sampai ke dapurnya
Read more

Part. 9

 Mas, Maafkan aku Mas Divo turun dari mobil, dan membuka pintu pagar yang sedikit ternganga. Kemudian kembali melajukan mobilnya memasuki pekarangan dengan pelan. Terdengar suara mesin yang menderu kuat, dan detik berikutnya suara itu hilang sama sekali. Mas Divo turun dari mobil sambil menghempaskan pintu mobil.Langkahnya terhenti saat mata kami beradu. Aku menatapnya penuh kasih dan menghiba. Tak terasa air mataku langsung menggenang, sehingga mengaburkan pandanganku. Tak terasa ia tumpah juga di belahan pipiku.Entah mengapa rasanya sedih sekali melihat ia kembali, setelah beberapa hari belakangan aku merasa ia menjauh dariku. Mas Divo menatapku dalam keheranan. Kemudian, tanpa peduli apapun sikapnya nanti, kuhamburkan tubuhku di dadanya sambil terisak.Mas Divo masih terdiam. Tubuhnya bergeming meski aku terisak di dadanya. Namun, perlahan kurasakan juga tangan kokohnya mengusap pucuk rambutku pelan. Kecupan hangat kurasaka
Read more

Part 10

Bab. 10 Suara di Mobil Mas Divo     Malam kian larut, aku dan Bayu belum tertidur. Hari ini anakku sangat rewel, ia terus-terusan menangis. Kalaupun ia terlelap sesaat, kemudian ia terbangun lagi. Aku sudah kehabisan akal jadinya. Kupeluk ia yang masih merengek dalam gendongan. Tadi bahkan sempat kukompres dengan air hangat. Badannya memang sedikit panas. Berulangkali kupeluk ia sambil menggoyang-goyangkan tubuhku dan berjalan hilir  mudik dari depan hingga ke belakang. Namun usaha ini terasa sia-sia. Tak biasa-biasanya Bayu seperti ini. Mungkin perubahan cuaca yang membuat ia begini. Suhu di kota kelahiran papanya dan  suhu di sini sangat jauh berbeda. Barangkali saja hal itu yang menjadi penyebab ia panas. Atau karena perjalanan panjang kemaren serta cuaca dingin  ditambah terpaan AC mobil yang membuat Bayu begini. Atau malah karena kubawa barusan? Ah, sudahlah! Apapun penyebabnya, yang penting sekarang yang
Read more
PREV
123456
...
9
DMCA.com Protection Status