Azura Veronica menjadi janda di usia pernikahan yang baru menginjak satu tahun. Suaminya, Bian Adiaksa, seorang CEO di perusahaan Adiaksa, meninggal dunia dalam perjalanan bisnis. Namun, jasadnya yang tak pernah ditemukan membuat kesedihan Azura kian mendalam. Setahun setelah kejadian itu, Azura mengambil alih posisi Bian sebagai CEO dan sukses memimpin perusahaan berkat kecantikan serta kecerdasannya. Pesonanya menarik perhatian Alvino Andriyansya, seorang kolega bisnis. Hubungan mereka berujung pada pernikahan, dan mereka menjalani kehidupan yang tampak bahagia. Namun, bagaimana jika kebahagiaan itu terguncang saat ternyata Alvino memiliki keterlibatan dalam kematian Bian?
View MoreAzura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.
Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.
Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.
Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.
“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begini, anda akan jatuh sakit,” ucap seorang kepala pelayan.
“Benar, Nyonya. Dengan cairan infus saja, tidak cukup untuk tubuh anda,” timpal salah satu pelayan lain.
Namun, tidak ada jawaban dari dalam sana. Mereka semua sangat khawatir dengan kondisi sang majikan.
Tiba-tiba, seorang wantia berpakaian formal datang bersama dengan seorang tukang renovasi. Dua orang pelayan di sana, membungkuk hormat dan memberikan jalan untuk kedua orang itu.
“Potong saja pintunya,” perintah wanita tersebut.
“Apa?” Tukang renovasi rumah itu cukup tercengang, dengan perintah yang di berikan.
“Potong pintu itu,” ulang wanita itu.
“Ba-baik.” Dengan gagap tukang itu menjawab, dan langsung menyiapkan alat untuk memotong pintu kamar Azura.
Namun, belum selesai tukang renovasi menyiapkan alatnya. Azura membuka sedikit pintu kamarnya, dengan sebelah mata sayu mengintip keluar.
“Astaga!” Wanita tadi terlonjat kaget, saat ia menoleh dan mendapati sebuah mata disela-sela kegelapaan.
“Kau mengejutkanku saja,” ucapnya.
Namun, Azura hanya diam dengan tatapan mata yang seakan tidak ada kehidupan dan harapan di sana. Melihat itu, wanita tadi memutar kedua bola matanya jengah dan menerobos masuk begitu saja. Yang diikuti oleh dua pelayan tadi, mereka meletakkan makanan yang mereka bawa dan langsung keluar dan menutup kembali pintu kamar itu.
“Lihat dirimu, sudah seperti mayat hidup,” celetuk wanita tadi.
Wanita itu berjalan menghampiri sebuah tirai, dan membukanya. Seketika, cahaya matahari langsung menyinari kamar tersebut melalui kaca jendela yang besar itu.
Wanita itu menghela napas lega, setelah membuka jendela tersebut. “Segarnya.”
“Aku tidak habis pikir denganmu, bagaimana bisa kamu bertahan di dalam kamar yang gelap setiap hari.” Wanita itu berbalik, dan menatap Azura yang duduk bersandar tanpa tenaga di sofa.
“Kamu sudah bosan hidup?” tanyanya.
“Pergilah, Malika. Kamu, hanya buang-buang waktu saja,” ucap Azura dengan sangat lemas, bahkan suaranya terdengar sangat pelan.
Wanita itu adalah Malika, Sekertaris yang baru saja masuk sehari sebelum mendiang suaminya meninggal. Namun, karena Malika masih baru Bian Adiaksa membiarkan Sekertaris barunya berlatih, dengan Sekertaris lamanya.
“Nyonya, jika anda seperti ini terus dan tidak ada yang mengelola perusahaan suami anda. Maka, perusahaan itu akan mengalami kerugian besar,” ucap Malika, “Bagimana dengan perasaan mendiang suami anda? Tentunya dia akan sedih, dan semakin sedih melihat anda seperti ini.”
Malik mulai berbicara formal, saat istri mendiang bosnya mulai berbicara. Namun, sepertinya Azura masih belum terpengaruh dengan ucapan Malika.
Malika menganggukan kepala. “Kalau begitu, kenapa anda tidak menyusul suami anda saja.”
Malika pun mengeluarkan sebuah suntikan, yang berisi sebuah racun. Ia berjalan menghampiri Azura, dan meletakkan suntikan tersebut di atas meja sofa. Tepat, di depan mata Azura.
Azura dengan lemas, hanya menatap jarum suntik yang di letakkan. Lalu, Malika pun pergi dari kamar tersebut.
*
Dua hari kemudian, Malika yang masih berusaha mengendalikan perusahaan Adiaksa. Menjadi frustrasi saat saham mulai turun drastis. Seberapa keras ia bekerja, seberapa besar usahanya demi menyelamatkan perusahaan tersebut. Jika tidak ada sang pemimpin di perusahaan, semuanya tidak akan berjalan lancar.
Di ruangan sekertaris, yang tidak terlalu besar. Malika tengah memeriksa beberapa berkas, dan dokumen di layar komputernya. Keningnya mengerut, alisnya tertaut karena frustrasi.
Kemudian, sebuah ketukan terdengar. Tanpa menoleh ke sumber suara, Malika memerintahkan orang itu untuk masuk. Sehingga, seorang karyawan pria pun masuk dan langsung menunduk hormat.
“Bu, para direktur perusahan dan para pemegang saham telah berkumpul di ruang rapat,” beritahu karyawan tersebut.
“Oh, baiklah.” Malika pun menutup berkas di atas mejanya, dan juga mematikan layar komputernya.
“Ayo,” ajaknya.
Ia dan karyawan itupun, keluar dari ruangannya. Dan berjalan menelusuri lorong, menuju ruang rapat. Sesampainya di sana, para direktur dan pemegang saham hanya diam. Tak ada satu pun di antara mereka, yang memberikan salam hormat.
Malika juga tidak mempermasalahkannya, ia tetap berjalan memasuki ruangan itu. Dan berdiri, di belakang kursi yang pernah di duduki mendiang Ceo Adiaksa.
“Bagaimana? Apa anda berhasil membujuk Bu Azura?” tanya seorang direktur keuangan.
Malika menoleh, dan menampilkan senyuman tipis. “Kalian terlalu mendesak orang yang sedang berduka, kita tunggu lima hari lagi,” jawab Malika.
“Kamu gila! Bagaimana bisa kita menunggu lima hari lagi?” sentak salah satu pemegang saham, “Yang ada, saham kalian semakin turun dan uang kami hilang.”
Seketika, pemegang saham yang lain ikut protes. Saat mereka diminta untuk menunggu selama lima hari lagi. Suasana di dalam ruang rapat pun mulai menegang dan ricuh, mereka semua menyalahkan Malika yang tidak mampu membujuk Azura.
Malika yang sangat frustrasi itupun menundukkan kepala, dengan air mata yang siap jatuh. Namun, tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka dengan lebar. Membuat semua orang diam, dan membawa pandangan mereka ke arah pintu.
Kemudian, sebuah kaki kanan memasuki ruangan. Kaki jenjang yang cantik dan mulus, dihiasi oleh high heels mahal. Kaki itu berjalan dengan anggun, namun setiap ketukan yang keluar memberikan kesan kewibawaan di sana.
Seorang wanita cantik berpakaian formal dengan rok selutut, berdiri di samping Malika. Tangan cantik itu mengusap punggung wanita yang bersedih itu, membuat Malika membawa pandangan ke arahnya.
Sontak saja, ia terkejut. Tentu saja yang lainnya juga terkejut, saat seorang Azura Veronica memasuki ruang rapat tersebut.
“Maaf, membuat kalian menunggu begitu lama.” Azura menyunggingkan senyuman, dan mendudukkan tubuhnya pada kursi milik mendiang suaminya.
“Bu Azura.” Malika tersenyum lebar, dengan pandangan menatap istri bosnya itu.
Azura hanya tersenyum, di saat semua orang di sana terkejut. Mereka saling melempar pertanyaan, namun juga senang meski Azura cukup terlambat.
Dua hari yang lalu, setelah Malika meninggalkan Azura. Azura menatap jarum suntik di depannya, tangannya yang lemas meraih jarum suntik itu.
Ia membuka penutup jarum, dan bersiap menyuntikkannya pada botol infusan di sampingnya. Ia berusaha berdiri, di saat sendi-sendi dan otot kakinya terasa lemas. Dengan satu ayunan, jarum suntik di tangannya, menancap pada botol suntik tersebut.
Ia pun menekan ujung suntikan tersebut, membuat cairan di dalamnnya masuk ke dalam infusan. Cairan infusan itu pun terkontaminasi oleh racun.
Sebelum ajal benar-benar menjemputnya, Azura berjalanan dengan tertatih-tatih dan lemas kembali ke ranjangnya. Ia pun berbaring mengadap langit-langit, dengan air mata yang menetes ke samping.
“Kita akan bertemu, aku sangat merindukanmu. Bian.” Azura pun memejamkan mata.
Namun, sayup-sayup. Ia mendengar dan merasakan sebuah belaian di kepalanya, yang biasa suaminya lakukan semasa hidupnya.
“Bian,” gumam Azura lemas.
“Kamu sedang apa, hm?” tanya Bian.
“Aku akan menyusulmu, agar kita bahagia di akhirat dan bersama selalu.” Dengan berlinang air mata, Azura menatap bayangan mendiang suaminya.
“Sssutt ... kamu tidak boleh ikut denganku, kamu harus tetap hidup dengan bahagia. Jika kamu berencana menyusulku, aku tidak akan menemuimu di sana.” Bayangan Bian, berusaha membantu istrinya untuk bangkit, dari keterpurukan yang istrinya alami.
Azura menolak, dan bersikekeh akan tetap menyusul Bian. Namun, Bian menghilang begitu saja. Akan tetapi, suara Bian masih tetap terdengar dan memberikan semangat dan nasihat kepada istrinya.
Azura pun membuka matanya lebar-lebar, ia menoleh ke arah selang infus dan langsung mencabutnya. Kini ia pun memilih tekad, untuk bangkit dari keterpurukan dan mewujudkan mimpi suaminya mengenalkan nama perusahaannya ke seluruh negeri.
Tak terasa, waktu telah berlalu. Kini usia kandungan Azura, telah memasuki bulan ke empat. Di mana, drama mual, muntah, pusing dan semua hal yang menyiksanya selama trimester 1. Telah berhasil ia lalu bersama dengan Alvino.Meski demikian, Azura masih tetap ingat dan bersikekeh untuk bercerai dengan Alvino.Di usia kehamilan memasuki 4 bulan ini. Azura menjadi lebih posesif kepada suaminya.Ia tidak bisa jauh dari aroma tubuh Alvino. Yang membuatnya selalu tenang dan nyaman.Meski Alvino tidak keberatan, dengan keposesifannya istrinya. Dan justru, membuatnya sangat senang dan bahagia.Namun, di balik itu semua. Sedikit mempersulit pekerjaannya.Sebab, Azura bisa jauh dari Alvino. Sedangkan, ia harus pergi ke kantor untuk mengelola perusahaannya.Namun, Azura enggan untuk ikut dengannya ke kantor. Seperti sekarang ini, drama pagi hari yang baru telah di mulai.“Jangan pergi,” ucap Azura dengan suara manjanya.“Aku juga tidak ingin pergi.” Dengan gemas, Alvino mencubit pelan pipi istri
Azura bangkit dari duduknya, dan menatap Alvino yang berada di depan anak tangga. “Bisakah kamu jangan pergi?” tanya Azura. Setelah menuruti egonya yang besar. Akhirnya, ia kalah dengan keinginannya yang jauh lebih kuat. Mungkin, ini pengaruh dari kehamilannya. Entah kenapa, akhir-akhir ini ia merasa tidak bisa jauh-jauh dari Alvino. Alvino terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia tersenyum. Alvino hanya tersenyum, dan membawa langkahnya menuruni tangga. Azura yang melihat itu menjadi sedih. Ia kembali duduk dengan wajah yang sedih. Bahkan, air matanya mulai menetes. Di saat ia hendak hanyut dalam kesedihannya. Tiba-tiba, seseorang memeluknya dari belakang. “Baiklah, karena kamu yang memintanya aku tetap bersamamu,” ucap Alvino. Azura tersenyum, namun ia tetap mengeluarkan air mata. “Kenapa kamu menangis, hm?” tanya Alvino. “Ini semua salahmu, kenapa kamu tidak menjawab sebelumnya. Aku pikir, kamu tidak mau dan akan tetap pergi bekerja.” Azura kembali menangis, sambil menj
Tepat pada saat jam makan siang. Alvino telah tiba di rumah, dengan kedua tangan yang menenteng tas belanjaan.Dengan senyuman manis nan lebar. Alvino berjalan memasuki rumah yang ia tempati bersama Azura.“Sayang! Aku pulang!” seru Alvino berjalan melangkah menaiki tangga.Setibanya di lantai dua. Ia melihat Azura yang tengah duduk menunggunya di ruangan tengah dekat balkon.“Kamu sudah datang?” tanya Azura yang terlihat sangat antusias.“Hm,” jawab Alvino tersenyum ceria.“Ini dia seafoodnya. Dan ini cup cakenya.” Alvino mengeluarkan dan meletakkan kedua pesanan Azura di atas meja.Azura tersenyum menatap kedua menu makanan tersebut.“Tunggu sebentar, aku ambil sarung tangannya terlebih dahulu.” Alvino pun pergi menuju dapur, untuk mengambil sarung tangan khusus makan.Lalu, beberapa saat kemudian ia kembali dengan membawa sepasang sarung tangan.“Biar aku kupaskan ya,” ucap Alvino.Azura mengangguk begitu saja. Membuat Alvino kembali tersenyum senang, dan membuka wadah berisi seafo
“Rupanya, kamu sudah bosan hidup,” ucap Alvino dingin.Ia menatap pria dihadapannya itu dengan tajam, seakan menyiratkan amarah yang luar biasa meluap.Namun, belum sempat ia meluapkan amarahnya. Ponselnya berdering, yang terletak di atas meja kerjanya.Ia menghentikan langkannya, dan sedikit mengeram kesal. Sebelum akhirnya, ia pergi berlalu menuju meja kerjanya dan meraih ponselnya.Di saat Alvino menjawab telepon, pria tadi menghela napas lega. Meski hanya untuk beberapa saat.Alvino sedikit terkejut, saat melihat orang yang meneleponnya. Dengan bingung campur bahagia, ia pun menjawab panggilan tersebut.“Halo?” ucap Alvino.Tidak ada jawaban langsung dari seberang telepon, yang membuat Alvino menyeritkan dahi dan menatap ponselnya.Ia pikir, panggilan telepon tersebut berakhir begitu saja. Namun ternyata, ia masih terhubung.“Halo?” ucap Alvino, “Azura kamu ada di sana?”“Ekhm.” Azura berdehem, yang menandakan ia berada di sana.“Ada apa, hm?” tanya Alvino lembut.Namun, tatapanny
Akhirnya, bubur tersebut habis tak tersisa. Alvino tersenyum bangga, dengan mengacak-acak rambut Azura.“Pintar,” ucap Alvino.Azura hanya tersenyum, membiarkan Alvino mengacak-acak rambutnya. “Kamu mau minum susunya?” tanya Alvino sambil merapihkan kembali rambut indah istrinya.“Aku tidak yakin, tapi mungkin aku bisa mencobanya menggunakan sendok,” ujar Azura.Alvino mengangguk. “Baiklah, aku akan mengambil sendok teh dulu, ya.”Alvino bangkit dari duduknya, sambil membawa nampan berisi mangkuk kosong. Lalu ia keluar dari kamar Azura, menuju dapur.Tak berselang lama, Alvino kembali dengan membawa satu sendok teh. Kemudian, ia kembali duduk pada sisi ranjang dan memberikan sendok tersebut kepada Azura.Azura menerimanya, dan menyendok susu yang ada di gelas. Ia tidak langsung meminumnya, melainkan menatapnya terlebih dahulu dengan ragu dan cemas.“Jika kamu memang tidak sanggup tidak usah di minum,” ucap Alvino yang paham dengan tatapan istrinya.“Tidak, aku harus meminum
Sontak saja, Alvino langsung membuka mata dan bangkit. Wajah polos bangun tidurnya terlihat panik dan juga cemas.“Maafkan aku, a-aku tidak bermaksud seperti itu,” ucap Alvino merasa bersalah.Lalu, ia segera merendahkan tubuhnya. Mendekatkan wajah pada perut Azura, dan mengusap lembut perut rata itu.“Maafkan Daddy ya, Daddy pasti menyakitimu,” gumamnya kepada perut tersebut.Untuk sesaat, Azura merasakan sesuatu perasaan yang aneh di dalam hatinya. Seperti perasaan berdebar, namun sangat senang ia rasakan ketika Alvino mengajak calon buah hati mereka berbicara.“Kamu mau makan?” tanya Alvino membawa pandangannya kepada Azura.Namun, sepertinya Azura masih terhanyut dengan aktivitas Alvino sebelumnya. Membuatnya, tak sadar jika Alvino berbicara kepadanya.“Azura,” panggil Alvino dengan lembut.Azura pun tersadar. “Huh?” Ia membawa pandangannya kepada Alvino, yang tengah menatapnya penuh cinta.“Kamu mau makan, sayang?” tanya Alvino menambahkan panggilan ‘sayang’.“Jangan panggil aku
“Baiklah, ini obatmu,” ucap Alvino memberikan obat yang ada di tangannya.Seketika Azura menoleh dan kembali menatap horror obat di tangan Alvino. Ia menutup mulut dan hidungnya, karena merasa mual dengan aroma obat.“Jauhkan itu, aku kembali mual karena baunya.”Dengan cepat, Alvino pun membuang obat tersebut begitu saja. Dan ia berlari masuk ke dalam kamar, hanya untuk membasuh tangannya yang mungkin bau obat.Ia kembali dengan tangan yang sudah harum sabun. Lalu, ia duduk di samping istrinya dengan mengangkat sebelah tangannya.Alvino hendak memeluk Azura, namuan Azura langsung menahan tangannya dengan menatapnya sinis. “Kamu mau apa?” tanya Azura.“Aku, ingin memelukmu,” jawab Alvino.“Tidak mau, pergi dari tempat dudukku,” usir Azura, “kamu duduk di sebelah sana saja.”Alvino menatap sofa yang tadi ia duduki saat menyuapi Azura. Ia menghela napas pasrah, dengan lemas ia bangkit dari duduknya berja
Seseorang dari balik tirai itu segera membuka tirai, dan berlari ke arah Azura dengan raut wajah yang panik dan cemas.“Kamu baik-baik saja?” tanyanya, “kenapa kamu tidak memanggilku, hm?”Ternyata dia adalah Alvino. Pria itu sangat cemas dan khawatir, ketika mengetahui istrinya tak sadarkan diri.Ia menunda rapat penting, dan segera berlari kerumah untuk membawa istrinya ke rumah sakit. Alvino mengambil tiang infus Azura yang jatuh. Lalu, mengambil boto infusan yang tergeletak.Azura tidak menjawab pertanyaan Alvino, ia hanya bisa menutupi mulut dan hidung sambil memukul-mukul lengan Alvino.Alvino sadar, jika istrinya ingin muntah. Alvino segera mengangkat tubuh Azura, dan membawanya ke kamar mandi yang ada di kamar rawat.Sesampainya di dalam, Alvino menurunkan istrinya. Detik berikutnya, Azura memuntahkan isi perutnya yang tidak mengeluarkan apa-apa.Hal itu sangat menyiksanya, karena ia kembali merasakan sakit pada perutnya. Akibat memaksa untuk muntah.“Kenapa seperti ini, hm?”
‘Kenapa kamu membunuh suamiku?’ batin Azura, dengan mata yang menatap Alvino.“Azura, kamu kenapa?” tanya Alvino melambaikan tangannya.“Aku tidak jadi makan, tapi jangan kamu makan.” Azura bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan meja makan begitu saja.Alvino menatap kepergian istrinya dengan bingung. Lalu, ia menghela napas, sambil menatap piring berisi steak yang bahkan belum di sentuh sama sekali itu.“Bahkan, ia belum mengangkat garpu dan pisau sama sekali,” gumam Alvino.Azura memasuki kamar, dan langsung mengunci pintu kamarnya. Ia berjalan pelan, sambil menatap sekeliling kamarnya itu.“Tidak aku sangka, kamar yang dulu aku tempati bersama Bian. Justru aku bagi dengan pembunuh suamiku sendiri,” ucap Azura pelan.Langkahnya terhenti, saat ia berada di dekat sebuah cermin besar. Ia menghadap ke cermin tersebut, dan menatap pantulan dirinya sendiri.“Bahkan, aku sedang mengandung anak dari si pembunuh itu.” Tangannya terangkat, mengusap perut rampingnya yang masih rata.“Ta
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments