“Azura Veronica?”
Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.
“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.
“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.
“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.
Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”
Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.
“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.
“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.
Alvino mengangguk. “Anda benar.”
Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya. Ia meletakkannya, di atas meja Azura.
“Ini kartu nama saya, anda boleh menghubungi saya kapan saja. jika terkait dengan pekerjaan.”
Setelah mengatakan itu, Alvino pun pergi kembali menuju tempat duduknya. Azura hanya diam, dengan menatap kepergian Alvino dengan tatapan dingin.
Makan siang telah berlalu, kini semua karyawan telah kembali ke perusahaan dan bekerja. Begitu juga dengan Azura, ia kini berada di dalam ruang rapat bersama para pemegang saham.
“Saham perusahaan belum ada kenaikan dengan signifikan, bagaimana menurut anda?” tanya salah satu pegawai Azura.
Belum sempat Azura menjawab, Malika masuk ke dalam ruang rapat dengan raut wajah yang panik. Ia pun membisikkan sesuatu sebelum menunjukan Ipad yang ia pegang.
Mata Azura seketika menajam, tangannya mengepal kuat melihat tiba-tiba saham mereka anjlok kembali. Melihat raut wajah atasan mereka, para anggota rapat pun melihat ponsel masing-masing mengecek saham perusahaan.
Seketika, semuanya menatap Azura yang kini menatap tajam ke arah meja. Para pemegang sama mulai cemas dan mengomel.
“Bagaimana ini, kenapa bisa tiba-tiba turun kembali?” tanya salah satu pemegang saham, yang didukung oleh yang lain.
“Bu Azura, saya sarankan anda bekerja sama dengan Pak Alvino. Meski perusahaannya belum terlalu sukses, namun setiap perusahaan seperti perusahaan kita bekerja sama dengannya maka kembali bangkit.” Salah satu dari mereka memberikan saran, yang sudah terbukti benarnya.
Azura terdiam, dengan mempertimbangkan saran dari salah satu pemegang sahamnya itu. Hingga rapat pun dibubarkan, dan Azura akan secepatnya memberikan keputusan.
Di ruangannya, Azura duduk pada kursi kerjanya dengan pikiran yang masih bimbang. Ia tidak kenal Alvino, bahkan ia baru bertemu saat makan siang tadi dan hanya berkenalan biasa.
*
Keesokan harinya, Azura berusaha meningkatkan kenerja anak perusahaannya dan para pegawainya. Mereka fokus ada penjualan terlebih dahulu, dan mengkesampingkan peluncuran produk baru.
Lalu, ia meminta pertemuan bersama dengan Alvino. Namun sayang, jadwal Alvino hari ini sangat padat. Sehingga, ia membuat jadwal temu dengan Alvino pada lusa nanti.
Hari ini perusahaan Azura sedang sangat sibuk. Tidak hanya karyawan yang sibuk, Azura dan Malika ikut mondar mandir dari kantor, ke ruang rapat, ke kantor pegawainya hingga kini ia turun ke lapangan.
Ia berjalan dengan penuh wibawa, namun tetap menunjukan keanggunannya. Kini ia berada di Mall salah satu toko kosmetik mereka yang penjualan paling sedikit.
“Selamat datang, Bu,” sapa para staff toko.
Azura hanya mengangguk, menanggapi sapaan para karyawannya. Ia melihat-lihat produk mereka yang dijelaskan oleh manager toko.
Hingga, tiba-tiba salah satu pelanggan masuk ke toko mereka dengan marah-marah.
“Apa kalian tidak berniat berjualan, hah?” Seorang ibu-ibu mengamuk, tanpa tahu apa penyebabnya.
“Maaf, Bu saya permisi sebentar.” Manager toko itu, ijin kepada Azura untuk menghampiri ibu-ibu tersebut.
Azura mengangguk, dan mengamati dari sudut toko. Sedangkan Manager toko menghampiri ibu-ibu tadi.
“Permisi bu, ada yang bisa kami bantu?” tanya Manager toko sopan.
“Saya mau meminta pertanggung jawaban kepada kalian,” ujar ibu-ibu tadi dengan nada meninggi.
“Kalau boleh saya tahu, pertanggung jawaban atas apa bu?” Manager toko, masih berusaha berbicara sesopan mungkin.
“Gara-gara scrub dari kalian, wajah saya menjadi hancur dan memerah seperti ini.” Ibu menunjuk wajahnya, yang memang merah seperti terbakar.
“Maaf bu, boleh kami lihat produk yang ibu pakai?” tanya Manager toko.
“Aku sudah membuangnya,” jawab ibu itu dengan kasar.
Azura tidak tahan lagi, sehingga ia pun berjalan menghampiri keributan di tokonya. “Ada apa ini?” tanya Azura.
Para staff toko pun membungkuk hormat, dan beberapa dari mereka mundur untuk memberikan ruang untuk Azura. Azura berdiri di samping Manager toko, dengan pandangan yang melihat pada ibu-ibu pembuat keributan.
“Ibu ini mengatakan kulitnya rusak, akibat memakai scrub dari toko kita, bu,” jelas Manager toko.
“Boleh saya lihat produk yang anda pakai?” tanya Azura.
“Siapa kamu? Aku sudah bilang, aku membuangnya,” ujar ibu mulai tidak sopan.
“Kenapa anda buang?” tanya Azura, “seharusnya anda menyimpannya jika anda ingin meminta pertanggung jawaban.”
“Aku tidak mau tahu, kuitku rusak gara-gara produk mereka. Dan, aku mau minta ganti rugi dan biaya pengobatan,” kekeh ibu itu.
Azura menghela napas, ia sedang pusing ditambah dengan ibu satu ini. Azura sebisa mungkin, agar tidak terbawa emosi saat ibu itu mulai tidak sopan.
“Bu, anda harus menujukan produknya terlebih dahulu. Dan kami akan mengceknya ke laboratorium,” ucap Azura.
“Sudah aku bilang, aku sudah membuangnya. Sudah aku buang!” tukas ibu itu.
“Kalau begitu maaf, kami tidak bisa membayar ganti rugi dan pengobatanmu,” ujar Azura.
Ibu itu mulai geram, karena ia tidak mendapatkan apa yang ia mau. Ia pun mengeluarkan sebuah botol kaca bulat mirip dengan wadah scrub. Detik berikutnya, ia melemparkannya ke arah Azura.
Azura membulatkan matanya, dan para staffnya berteriak terkejut. Namun, tiba-tiba Alvino datag dan menangkap botol kaca itu dengan gagahnya.
“Anda bisa di penjara atas tindakan kekerasan, dan pencemaran nama baik,” ucap Alvino berdiri di depan Azura.
“Siapa kamu?” tanya ibu itu.
“Anda tidak perlu tahu siapa saya, yang terpenting ibu sudah menganggu kenyamanan di toko ini.”
Ibu itu pun berdesis, dan berlalu pergi dari toko Azura dengan kesal. Setelah kepergian ibu itu, Azura membawa langkahnya menghampiri Alvino dan mengambil botol scrub yang dipegang Alvino.
“Ini bukan punya kita,” ucap Azura, memperlihatkan merek dan warna dari botol tersebut kepada staffnya.
“Berarti ibu itu sengaja ingin memeras kita, pantas saja ia bersikeras mengatakan sudah membuangnya,” ujar Malika.
Azura mengangguk setuju. Lalu, ia membawa pandangannya kepada Alvino.
“Terima kasih,” ucap Azura.
“Hm, sama-sama.” Alvino berniat langsung pergi, namun di cegah oleh Azura.
“Maukah anda bekerja sama dengan saya?” tanya Azura.
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
Azura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begin
Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.“Masuk,” ucap Azura.Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.“Karena a
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Azura Veronica?”Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.Alvino mengangguk. “Anda benar.”Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya
Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.“Masuk,” ucap Azura.Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.“Karena a
Azura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begin