“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.
Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.
“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.
Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.
*
Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.
Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.
Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.
“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.
“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama dengan perusahaan saya, yang berada di ambang kebangkrutan.”
Alvino menanggapinya dengan senyuman tipis. Lalu, mereka pun bangkit dari duduk dan saling berjabatan tangan.
Setelah melakukan penandatanganan kontrak, Alvino dan Azura pun kembali ke perusahaan masing-masing. Azura menghela napas, dengan berdoa semoga dengan menjalin kerja sama dengan perusahaan Alvino. Saham perusahaannya meningkat, ia tidak berharap sampai begitu sukses yang terpenting perusahaannya tidak jadi bangkrut.
Tujuh hari setelah penandatanganan kontrak. Ini kali pertamanya, Azura dan Alvino memulai rapat bersama.
Azura menjelaskan tentang peluncuran produk barunya, serta sebuah elektornik canggih yang ingin ia kembangkat. Alvino mendengarkan dengan sangat cermat, tanpa sadar ia mulai terpanah dengan kecerdasan dan kecantikan yang dimiliki Azura.
Alvino menggeleng pelan, saat kesadarannya hampir hilang gara-gara terlalu fokus pada Azura. Akhirnya, ia kembali fokus pada penjelasan Azura hingga rapat selesai.
“Apa anda akan pergi makan siang?” Alvino menghampiri Azura, yang baru saja keluar dari ruang rapat.
Azura tersenyum keci, dan memberikan salam hormat kepada Alvino. “Iya, saya akan pergi makan siang bersama sekertaris saya,” jawab Azura.
“Bagaimana jika anda menundanya beberapa jam lagi, dan ikut saya pergi ke tempat seminar.”
Azura terdiam, dengan berusaha mencermat ucapan Alvino. Namun, ia tetap bingung apa maksud dari perkataannya.
“Maaf, saya tidak mengerti,” ucap Azura.
“Saya akan pergi seminar, dan saya mengajak anda secara khusus. Siapa tahu, di sana anda akan mendapat banyak kenalan dan para pemegang saham yang akan membantu anda,” jelas Alvino.
Azura tidak menjawabnya, membuat Alvino menyimpulkan jika Azura telah menolak ajakannya. Ia mengangguk paham, dan pergi begitu saja tanpa pamit.
“Baiklah, tapi traktir aku makan siang terlebih dahulu.” Azura berjalan melewati Alvino dengan langkah angkuh.
Alvino menghentikan langkahnya, setelah mendengar perkataan Azura. Ia tersenyum kecil, melihat Azura yang terlihat angkuh setelah menerima ajakannya.
Kini mereka berjalan menuju lift, dengan posisi Azura satu langkah di depan Alvino. Sesampainya di depan pintu lift, Alvino menekan tombol untuk membuka pintu lift.
Beberapa saat kemudian, pintu lift terbuka dan mereka pun masuk ke dalam lift. Di dalam sana, tidak ada percakapan apa-apa hanya ada keheningan, dengan dua orang yang sibuk dengan ponsel masing-masing.
Hingga, tiba-tiba lift bergetar dan terhenti begitu saja di antara lantai 11 dan 10. Azura hampir saja jatuh, beruntung ia berhasil berpegangan dengan erat pada batang besi.
“Ada apa ini?” tanya Alvino, ia menekan tombol darurat.
“Hallo?” Terdengar suara seseorang dari pengeras suara di atas tombol-tombol tersebut.
“Ada apa ini?” tanya Alvino dingin.
“Maaf pak, liftnya tiba-tiba macet. Kami sedang berusaha untuk memperbaiki, mohon tunggu beberapa menit lagi,” beritahu orang itu.
“Selesaikan dalam waktu 30 menit, karena aku harus segera pergi,” pernitah Alvino.
“Baik, pak,” jawab orang itu.
Azura hanya mendengarkan dengan menatap Alvino yang berbicara dengan tegas. Haruskah ia bertanya-tanya, ia merasa cara bicara Alvino saat bersamanya tadi sedikit berbeda.
Pria itu seakan berbicara dengan lembut kepadanya, meski dengan raut wajah datar tanpa ekspresi. Namun, saat berbicara dengan orang reparasi tadi Alvino sangat tegas dan dingin.
Merasa dirinya di tatap, Alvino pun membawa pandangannya kepada Azura. Seketika, Azura langsung kembali fokus pada ponselnya.
Kurang dari 30 menit, lift pun akhirnya beroperasi kembali. Hingga kini dua orang di dalam lift tersebut, telah keluar dan berada dilobi perusahaan Alvino.
Para karyawan Alvino menatap Azura, yang berjalan dengan anggun namun penuh perhitungan dan kewibawaan. Mereka terlihat berbisik jika Azura sangat cocok dengan atasan mereka itu.
“Apa kalian tidak punya pekerjaan?” Seketika suara Alvino menggelegar, saat ia tidak sengaja karyawannya yang berbisik itu.
Sontak saja, para karyawan di sana berlarian dan segera pergi menuju departemen masing-masing. Sedangkan Azura menatap sekitar, ia tidak sandar jika para pegawai Alvino menatapnya dan membicarakannya.
Setelah semua pegawai Alvino pergi, dan lobi menjadi sedikit sepi. Alvino menyusul Azura yang telah melanjutkan langkahnya.
“Kita makan siang di mana?” tanya Alvino.
Kini mereka telah keluar dari perusahaan, dan tengah menunggu mobil mereka.
“Terserah anda saja,” jawab Azura.
Mobil Alvino pun telah berhenti dihadapan mereka. Alvino membawa langkahnya, masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan, Azura masih berdiri menunggu mobil miliknya datang.
“Anda sedang apa?” tanya Alvino menurunkan kaca mobilnya.
“Saya sedang menunggu mobil saya,” jawab Azura, “anda pergi saja dulu, nanti kirimkan saya lokasinya.”
Alvino terkekeh, membuat Azura menyeritkan keningnya menatap bingung. “Anda ikut dengan saya, maka masuklah.”
Azura semakin bingung, tapi tetap membawa langkahnya menghampiri Alvino. “Apa saya naik mobil anda?” tanya Azura.
“Iya, karena saya yang mengajak anda. Maka, anda menumpang dimobil saya,” jawab Alvino.
Azura pun mengangguk paham. Dan ia membuka pintu mobil Alvino, lalu mendudukkan tubuhnya pada kursi penumpang samping kemudi.
Azura hendak mengenakan sabuk pengaman, namun ia kesulitan saat menarik tali sabuk tersebut. Alvino pun membuka sabuk pengaman miliknya, dan mencondongakan tubuhnya ke arah Azura.
Tangannya terangkat, dan melintas dihadapan Azura. Ia menarik tali sabuk itu, membuat posisi dan jarak keduanya sangat dekat. Bahkan, wajah Azura berada tepat di dada Alvino.
Alvino pun memasangkan sabuk pengaman pada Azura. Namun, ia tidak sengaja membawa pandangannya kepada Azura yang tengah menatapnya. Sehingga, tatapan mereka bertemu dengan jarak yang sangat dekat.
Seketika, kecanggungan menghampiri mereka. Serta, jantung keduanya berdetak dengan cepat.
Alvino pun tersadar, dan kembali ke posisi duduknya. Wajah Azura sedikit merona, dan membawa pandangannya ke luar.
“Terima kasih,” ucap Azura tanpa mengalihkan pandangannya.
“Hm, sama-sama.”
Alvino pun menyalakan mesin mobilnya, sebelum akhirnya mobilnya melaju meninggalkan kawasan perusahaan. Dalam perjalanan, tidak ada percakapan apa-apa setelah kejadian canggung yang mereka alami.
Hingga, mereka sampai di sebuah restoran untuk makan siang bersama. Mereka memasuki restoran itu bersama, yang langsung disambut oleh pelayan Restoran setelah mereka duduk.
“Selamat siang, izinkan kami menawarkan paket couple untuk pasangan pengantin baru,” ucap pelayan Restoran tersebut.
“Kami bukan—“
“Silakan bawa saja kemari.”
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
Azura membawa pandangannya kepada pria di sampingnya. Ia terdiam cukup lama, untuk mencermat kata-kata yang keluar dari mulut pria dingin tersebut.Namun, belum sempat Azura menjawab. Mobil mereka telah sampai, membuat kesadaran Azura kembali dan segera berlari menuju mobilnya yang berhenti lebih dahulu.Alvino tersenyum tipis, melihat Azura. Ia melihat dengan jelas, pipi wanita itu yang merah merona karena salah tingkah.Alvino berjalan mendekat kea rah mobil Azura, mengetuk kaca jendela samping Azura. “Buka,” ucapnya.Azura menurunkan setengah kaca mobilnya, dengan kepala yang tertunduk. Alvino kembali tersenyum, setelah melihat lebih jelas lagi.“Aku tunggu jawabanmu.” Setelah mengatakan itu, Alvino berlalu menuju belakang mobil Azura. Yang mana, di sana telah terparkir mobil miliknya.Azura langsung menggeleng, dan segera menyalakan mesin mobilnya. Sebelum akhirnya, ia membawa pergi mobil miliknya.Dalam perjalanan pulang, Azura terus berceloteh tidak jelas. “Apa itu? Apa maksud p
“Apa jawabanmu?” Tiba-tiba saja, Alvino bertanya soal jawaban Azura tentang kemarin.Azura terdiam mematung, dengan totebag yang ia genggam dengan erat. Seketika kakinya melangkah mundur, saat Alvino berjalan mendekat ke arahnya.“Jawab Azura,” tekan Alvino, “aku tidak suka menunggu.”“I-ini terlalu mendadak,” Azura tergagap, dengan pandangan yang menunduk. “A-aku masih butuh waktu untuk—““Aku rasa, kita kenal sudah cukup lama. Meski, kita saling mengenal karena bisnis.” Alvino, semakin melangkah maju mengikis jarak di antara keduanya.Seketika, totebag yang Azura pegang terjatuh begitu saja karena ia gugup. Alvino membawa pandangannya ke arah totebag tersebut, lalu mengambilnya dan meletakkannya pada meja sofa.“Aku yakin, kamu kemari bukan karena pengajuan proposal.” Alvino menatap Azura dengan lekat, sampai-sampai membuat Azura cegukan.“Kamu ingin menemuikukan?” tanya Alvino tersenyum. “Dengan beralasan membawa jas dan proposal untukku.”“Vino, jangan begini.” Azura mendorong dad
Azura dan Alvino kini resmi berpacaran. Namun, sesuai dengan permintaan Azura. Mereka pun merahasiakan hubungan keduanya dari para karyawan kantor maupun publik.Di perusahaan Alvino, Azura bersama sekertaris dan dua karyawannya tengah mengikuti rapat. Azura duduk, tepat di depan sebelah kanan Alvino.Alvino beberapa kali mencuri pandang kepada Azura, saat yang lain fokus melihat dokumen persentasi. Namun, saat Azura dan yang lain menoleh ke arahnya. Ia langsung membawa pandangannya pada kertas di depannya.“Kamu harus meningkatkan kualitas kemasan produk. Pastikan, produk yang di jual aman dan higenis,” ucap Alvino tegas.“Baik, pak,” jawab salah satu karyawan Azura yang tengah berpersentasi itu.“Baiklah, kita akhiri rapat hari ini,” ucap Alvino membereskan berkas di depannya.Namun, para anggota di ruang rapat itu tercengang dan saling melempar pandang dengan bingung. “Maaf, pak. Tapi, kami belum menyelesaikannya,” u
Azura terdiam mematung, ketika Alvino memperlihatkan sebuah cincin permata yang cantik sebagai tanda lamaran pria itu. Para karyawan di sana terkejut, dengan beberapa yang menutup mulut mereka dengan tangan.“Terima! Terima!” Suara sorakan di sertai tepuk tangan dari para karyawan mulai terdengar, meminta Azura menerima lamaran Alvino.Detik berikutnya, sebuah air mata luruh begitu saja dari pelupuk mata Azura. Azura mengangguk, dengan tak kuasa menahan harunya.Alvino tersenyum lebar, dan segera bangkit. Ia mengeluarkan cincin tersebut dari kotak, lalu menyematkannya pada jari manis Azura.“Terima kasih, terima kasih banyak.” Alvino sepontan memeluk Azura, sebagai ungkapan terima kasih dan rasa senang yang ia rasakan.Azura hanya bisa mengangguk, sambil membalas pelukan pria yang baru saja melamarnya itu. Ia menangis haru, karena tak menyangka akan di lamar secara tiba-tiba oleh Alvino.Padahal, sebelumnya mereka tidak pernah membahas soal pernikahan atau semacamnya. Mereka berdua ha
Alvino terdiam beberapa saat, mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut calon istrinya itu. Detik berikutnya, ia tersenyum dan mengusap lembut kepala Azura.“I Love you more,” jawabnya tersenyum manis, yang dibalas oleh Azura tak kalah manis.*Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Hari di mana dua insan akan mengikat janji suci mereka, di hadapan tuhan, dan semua orang yang ada di sana.Di sebuah ruangan, Alvino tengah duduk di sebuah sofa. Ia mengendurkan dasinya, karena terasa mencekik lehernya.“Jangan terlalu gugup, itu hanya akan membuat anda tidak nyaman,” ujar sekertarinya, yang tengah menemani dirinya.“Apa kau pernah menikah?” tanya Alvino, sambil mengatur napasnya.“Belum,” jawab Zio—sekertaris Alvino.Alvino membawa pandangannya kepada Zio, dan menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.“Apa?” tanya Zio, saat mendapati tatapan dari atasannya.“Kau berbicara, seakan kau sudah penah menikah.” Alvino menggelengkan pelan kepalanya, dan mengambil sebotol air mineral
Para pelayan menutup pintu kamar Azura, membuat Alvino terdiam. Lalu, Alvino pun membawa pandangannya kepada Azura, dengan penuh tanya.“Tampaknya mereka sangat dekat denganmu,” ucap Alvino membawa langkahnya mendekati Azura.“Hm, karena mereka yang merawatku dan selalu ada di saat masa-masa terpurukku,” jelas Azura.Alvino mengangguk paham. Lalu, ia semakin mendekat kearah Azura, memeluk pinggang ramping istrinya itu.“Apa kamu lelah?” tanya Alvino dengan jarak wajah keduanya sangat dekat.“Lumayan,” jawab Azura dengan tatapan canggung.Alvino kembali mengangguk paham, dan membalikkan tubuh Azura pelan. “Aku akan membantumu membuka resletingnya,” ucap Alvino, “setelah itu mandilah.”Azura hanya mengangguk pelan karena malu. Sedangkan Alvino mulai menurunkan resleting gaun pengantin Azura.Beruntung Azura memegangi bagian depat gaun tersebut, sehingga tidak membuat gaun itu langsung melorot. setelah resleting terbuka semua, barulah Azura membawa langkahnya menuju kamar mandi.*Pagi h
Kini Azura berada di sebuah ruangan penyiaran. Ia melihat seorang gadis berusia 20 tahun ke atas, tengah melakukan live streaming.“Wah! Dia keras kepala sekali,” ujar salah satu karyawan pria.“Berikan aku nomor ponselnya.” Azura memberikan ponselnya, kepada salah satu karyawannya.Seorang karyawan wanita mengambil ponsel Azura, dengan hati-hati. Lalu, ia mulai mengetikan nomor ponsel gadis itu. Setelah selesai, ia langsung memberikannya kepada Azura.Azura langsung menghubunginya, dan terlihat gadis yang tengah melakukan siaran langsung itu menatap ponselnya dengan wajah kesal.Ia mengabaikannya, dan kembali melakukan siaran langsung sambil membaca komentar penggemarnya.“Bukan siapa-siapa, dia pasti orang iseng saja,” ujarnya menjawab komentaran dari para penggemarnya.Lalu, Azura pun mengirimkan pesan kepada gadis itu. Gadis itu langsung menatap ponselnya, dengan mata yang membulat lebar.“Teman-teman, kita akhiri livenya di sini ya. Bye-bye.” Gadis itu pun mengakhiri siaran langs
“Maaf, tapi Anda tidak bisa melakukan sidang perceraian,” ucap pengacaranya membuatnya kecewa.“Kenapa?” tanya Azura bingung.“Sebelum saya menjawab, saya ingin bertanya suatu hal,” ucap pengacara Azura.“Apa itu?” tanya Azura.“Apa, anda sedang hamil?” tanya pengacaranya.Azura mengangguk, tanpa tahu akibatnya. Pengacara Azura menghela napas, sebelum ia tersenyum.“Selamat atas kehamilan anda,” ucapnya.“Terima kasih,” jawab Azura, “tapi kenapa saya tidak bisa bercerai?”“Karena anda sedang hamil. Kita tidak bisa memprosesnya,” jelas Pengacara Azura, “kita harus menunggu sampai bayi anda berusia 5 tahun. Setelah itu, barulah anda bisa mengajukan kembali perceraian anda.” Azura terkejut bukan main. Ia menggeleng tidak percaya akan perkataan pengacaranya itu.“Tidak mungkin,” ucap Azura, “apa Alvino mengancam-mu?” “Tentu saja tidak, aku berkata jujur,” ujar pengacaranya, “jika anda masih tidak yakin, mari ikut saya menemui hakim.”*Sesamapinya di rumah, Azura berjalan dengan tatapan
Azura terbangun, dan mendapati dirinya di kamar yang ia tempati. Namun, ia langsung merasakan pusing yang menyerang kepalanya.Ia mengabaikan rasa pusing dan lemas pada tubuhnya, lalu ia bangit dan turun dari ranjang.Kaki telajangnya menyentuh lantai yang dingin, dengan langkah yang pelan ia berjalan menuju pintu kamar. Azura membuka pintu tersebut sedikit, saat mendapati Alvino sedang berbicara dengan seorang dokter.“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Alvino, “istri saya sama sekali tidak tahan mencium aroma makanan, bagaimana istri saya bisa makan?”Terdengar, suara Alvino yang frustrasi.Dokter pun menghela napas. “Jalan satu-satunya, istri anda harus diinfus jika hal seperti ini terjadi lagi.”Alvino ikut menghela napas, ia tidak ingin satu jarum pun melukai istrinya. “Baiklah, terima kasih atas waktumu,” ucap Alvino.Dokter itu mengangguk dan pergi dari hadapan Alvino. Alvino pun hendak memeriksa istrinya, namun ia melihat Azura yang tengah mengintip di belakang pintu.“Saya
Alvino telah pulang kerja. Ia memasuki rumah dengan wajah yang terlihat lelah.Namun, saat memasuki rumah. Ia teringat dengan istrinya yang sedang hamil.“Bagaimana dengan Azura?” tanya Alvino saat berpapasan dengan Lusy.“Nyonya di kamar, bos,” jawab Lusy sopan.“Apa dia tidak keluar kamar sama sekali?” tanya Alvino.Lusy sedikit merasa bingung, sebab seperti kata Alvino sebelumnya. Ia harus melaporkan setiap detail kegiatan Azura kepadanya.“Maaf, tapi sebelumnya saya sudah melaporkannya kepada bapak,” ujar Lusy.“Benarkah?” tanya Alvino mengingat-ingat.Seketika ia teringat, jika sejak rapat ia tidak memeriksa ponselnya sama sekali. Bahkan, sampai saat ini ia belum melihat ponselnya.“Oh, aku terlalu sibuk, jadi belum sempat memeriksa ponsel,” jelas Alvino, “bisa kamu jelaskan secara langsung saja?”Alvino membawa langkahnya menuju sofa, dan mendudukkan tubuhnya di sana. Dengan punggung yang menyandar, merasakan letih pada punggung lebarnya.“Sebelumnya, nyonya tidak menerima keber
“Apa ini?” tanya Alvino menatap foto USG.“Kembalikan itu.” Azura hendak merebut foto dan amplop tersebut, namun Alvino justru menjauhkan darinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.Karena perbedaan tinggi badan mereka yang cukup jauh, membuat Azura kesulitan menggapainya.Azura pun menyerah, karena tidak akan bisa mengambilnya.“Kembalikan itu,” desak Azura.“Tidak akan, jawab pertanyaanku lebih dahulu,” tekan Alvino, “apa ini? Foto USG milik siapa ini?” “Kamu tidak perlu tahu,” Azura enggan menjawab, dan menarik lengan Jas milik suaminya.“Kamu hamil?” tanya Alvino, “benarkah itu?”“Tidak, aku tidak hamil dan itu bukan milikku.” Azura masih menggelak dan berusaha mengambil amplop di tangan Alvino.Namun, ia tidak berhasil menggapainya. Membuatnya merasa lelah dan kesal.Tanpa di sadari, Azura menunjukkan raut wajah kesal namun tatapan matanya sedih. Ia berlalu begitu saja, menaiki tangga dengan menghentak-hentakkan kaki di setiap langkahnya.Alvino terdiam sesaat. Ia baru pertama kali
Tiba-tiba Azura merasa mual dan ingin muntah. Ketika mencium aroma yang aneh pada indra penciumnya.“Bau apa ini?” tanya Azura dengan kesal, sambil tangannya menutupi mulut dan hidungnya.Namun, ia tidak tahan lagi. Sehingga ia berlari menuju wastafel yang ada di dapur dan memuntahkan cairan bening.“Apa kamu sakit?” tanya Alvino cemas.Ia segera menghampiri istrinya, dan menahan tubuh istrinya agar tidak jatuh. Ia juga mengumpulkan rambut panjang Azura, dan menggulungnya dengan tangannya.“Huek! Huek!” Azura masih merasa mual, karena mencium bau yang aneh.Setelah beberapa saat, Azura akhirnya merasa lebih baik. Alvino membantunya untuk duduk, dan mengambilkan air minum yang tidak dingin dan memberikannya kepada Azura.“Perlukah kita ke rumah sakit?” tanya Alvino.“Tidak perlu,” jawab Azura, “Oh iya, apa kau sudah menandatangani dokumen itu?”“Apa itu penting sekarang?” tanya Alvino kesal, “yang penting saat ini adalah kesehatanmu,”Azura meletakkan gelas yang diberikan Alv
Alvino tersenyum dan berjalan mendekati istrinya. Ia memeluk pinggang ramping istrinya, dengan membubuhkan sebuah kecupan kecil pada pucuk kepala Azura.“Bukan apa-apa,” jawab Alvino, “maksudku singkirkan dia, karena Jhonathan datang membuat kegaduhan di perusahaan siang tadi. Jadi aku meminta kepada Zio untuk memasukkannya daftar hitam di semua perusahaan.”Entah benar atau tidak, Azura tetap meragukan suaminya itu. Kini kepercayaannya kepada Alvino mulai berkurang, serta ia menjadi tahu sikap asli suaminya itu.Alvino pun mengajak istrinya kembali ke kamar mereka, saat dalam perjalanan menuju kamar. Alvino menampilkan raut wajah yang sulit di artikan.Ia sedikit kesal, marah dan cemas. Semua itu menjadi satu kini ia rasakan.Pagi harinya, Azura mendapatkan sebuah pesan dari Malika. Pesan itu berupa sebuah artikel berita dan cuplikan video kebakaran.Azura terkejut dengan mata yang membulat lebar. Ia tak mampu berkata-kata, ketika mengetahui kediaman Vito hangus terbakar.Azura pun m
Azura menatap tak percaya, rekaman CCTV yang dikirimkan oleh Vito. Malika melihat perubahan wajah bosnya, dan melihat rekaman CCTV tersebut.Ia pun sama terkejutnya, hingga menutupi mulutnya dengan tangannya.Detik berikutnya, Azura pun menangis. Malika pun keluar dari ruangan Azura, tanpa separah kata pun.*Di sebuah Restoran bintang lima, Alvino dan Azura memasuki Restoran tersebut. Lalu, mereka duduk di meja yang mereka pesan, tepat di atap Restoran tersebut.“Kamu mau pesan apa?” tanya Alvino dengan lembut.Azura hanya tersenyum, sambil menggeleng menanggapi pertanyaan suaminya. Alvino pun membalas senyumannya.Seketika, Azura menjad ragu. ‘Tidak mungkin, pria sebaik dan selembut dia melakukan hal seperti itu’ batin Azura, ‘dan juga, bagaimana mungkin ia bisa menikahi istri dari mendiang pria yang ia bunuh.’“Sayang?” panggil Alvino, ketika mendapati Azura terus menatapnya.Namun, Azura tidak meresponnya. Sehingga, ia mengenggam tangan istrinya dan tersenyum.Seketika, Azura sedi
Setelah menghubungi Malika. Seperti biasa, Azura akan melakukan sleep call terlebih dahulu dengan suami.Setelah Azura tidur, barulah Alvino mengakhiri panggilan mereka. Dan Alvino melanjutkan perkejaannya, yang harus segera ia selesaikan agar cepat pulang.Tiga hari kemudian, Alvino akhirnya pulang dari perjalanan bisnisnya. Kepulangannya di sambut dengan hangat oleh sang istri—Azura.Meski Azura mendapatkan pesan dan bukti yang mengarah kepada Alvino, yang menuduh Alvino terlibat. Tapi, Azura tetap memperlakukan suaminya seperti biasanya.Sebelum Malika mendapatkan bukti yang akurat dalam penyelidikkannya. Maka, belum dapat dipastikan Alvino bersalah.“Aku sangat merindukanmu.” Alvino langsung memeluk Azura, dan membubuhkan kecupan ada seluruh wajah istrinya itu.Azura hanya tersenyum, menerima setiap kecupan yang suaminya berikan. Serta, ia juga membalas pelukkan hangat suaminya yang ia rindukan juga.“Katamu, akan pulang lima hari lagi,” ucap Azura mendongakkan kepala, menatap Alv
Olla tidak langsung menjawab pertanyaan Alvino, ia justru tersenyum dan langsung berhamburan kepelukan pria beristri itu.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Alvino, berusaha mendorong tubuh Olla.Namun, pelukan Olla cukup erat. Sehingga sulit melepaskan pelukan wanita itu.“Aku merindukanmu Vino, aku sangat merindukanmu,” ucapnya menyamankan diri di dalam pelukan Alvino.“Lepaskan aku!” Alvino masih berusaha mendorong tubuh Olla, agar wanita itu menjauh darinya.Namun, belum sempat ia berhasil melepaskan pelukan itu. Azura terbangun, dan melihat hal yang membuatnya salah paham.“Alvino!” teriak Azura.Alvino membawa pandangannya kepada sumber suara, dan terkejut melihat istrinya di ambang pintu kamar yang mereka tempati.“Azura, jangan salah paham.” Alvino panik, khawatir Azura salah paham.Namun, bukannya melepaskan pelukannya saat tertangkap basah. Olla justru semakin mengeratkan pelukkannya, dan tersenyu