Azura dan Alvino kini resmi berpacaran. Namun, sesuai dengan permintaan Azura. Mereka pun merahasiakan hubungan keduanya dari para karyawan kantor maupun publik.
Di perusahaan Alvino, Azura bersama sekertaris dan dua karyawannya tengah mengikuti rapat. Azura duduk, tepat di depan sebelah kanan Alvino. Alvino beberapa kali mencuri pandang kepada Azura, saat yang lain fokus melihat dokumen persentasi. Namun, saat Azura dan yang lain menoleh ke arahnya. Ia langsung membawa pandangannya pada kertas di depannya. “Kamu harus meningkatkan kualitas kemasan produk. Pastikan, produk yang di jual aman dan higenis,” ucap Alvino tegas. “Baik, pak,” jawab salah satu karyawan Azura yang tengah berpersentasi itu. “Baiklah, kita akhiri rapat hari ini,” ucap Alvino membereskan berkas di depannya. Namun, para anggota di ruang rapat itu tercengang dan saling melempar pandang dengan bingung. “Maaf, pak. Tapi, kami belum menyelesaikannya,” ucap Azura. “Aku tahu, tapi aku memiliki urusan pribadi yang sangat penting,” ujar Alvino menatap Azura dengan lekat. Beruntung para karyawan di sana tidak ada yang peka dengan tatapan itu. Sehingga, mereka pun keluar dari ruang rapat tersebut meninggalkan Azura dan Alvino di sana. Setelah semua keluar, Alvino langsung saja menarik kursi Azura agar bergeser ke arahnya. Kini Azura berada tepat di samping Alvino dengan kursi mereka yang berdempetan. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Azura terkejut dan hendak menghindar. Namun, Alvino menahan kursinya dengan terus menatapnya dengan lekat. Azura merasa gelisah, dengan membawa pandangannya ke sana kemari memastikan tidak ada yang melihat mereka. “Bagaimana jika ada yang melihat?” Azura masih berusaha menjauh dari Alvino. Hingga Alvino merasa kesal dan melepaskan kursinya. Lalu, ia juga mengeser kursi yang ia duduki menjauh dari Azura dengan raut wajah yang sangat kesal namun lucu. Azura terkejut, dan langsung menghampiri Alvino. “Apa kamu marah?” tanya Azura berusaha menatap wajah Alvino. Namun, pria yang menjadi kekasihnya itu terus menghindari pandangannya. Yang menandakan jika ia benar-benar marah. “Kamu marah?” tanya Azura lagi, namun kini dengan suara yang lembut dan terdengar manja. Alvino tidak tahan untuk tidak melirik Azura. Sehingga, ia pun melirik Azura, dan menemukan Azura tengah tersenyum manis kepadanya. Ia pun tak kuasa menahan senyumanya, sehingga ia tersenyum namun hanya sebentar. Sebelum akhirnya, kembali dengan raut wajah datar dan kesal. Detik berikutnya, Azura menangkup wajahnya dan menekat kuat pipi Alvino. Hal itu membuat bibir Alvino maju karena tekanan pada pipinya. Namun itu tak berlangsung lama, saat tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka. Membuat Azura terburu-buru menuju kursi yang sebelumnya ia tempati dan duduk dengan benar. Begitu juga dengan Alvino yang langsung menggeser kursinya kembali, dan langsung memegang berkas. Tak berselang lama, salah satu karyawan Alvino pun masuk dan melihat mereka berdua di sana. “Kami sedang membahas kemasan produk,” ucap Alvino. “Saya tidak bertanya, saya hanya mau mengambil kotak pensil saya yang tertinggal.” Dengan senyuman kecil, karyawan wanita itu mengambil kotak pensil yang terletak pada meja paling depan dan kembali keluar. Setelah kepergian karyawan itu. Alvino pun menyembunyikan wajahnya dengan telapak tangan lebarnya, seketika ia merasa malu karena ucapannya tadi. Sedangkan Azura hanya menahan tawa, karena merasa tadi itu sangat lucu. * Hubungan Azura dan Alvino, kini telah berjalan 3 bulan. Hari ini adalah hari Aniversarry mereka, yang bertepatan dengan pesta perayaan peluncuran produk baru. Azura bersama beberapa karyawannya berada di sebuah restoran dekat pantai. Tidak hanya Azura dan karyawannya, Alvino dan beberapa karyawan yang terlibat pun ikut serta merayakannya. “Malam ini, tidak ada yang boleh kembali ke hotel, sebelum mabuk!” teriak seorang pria. “Setuju!” sorak yang lain menimpali. “Aku permisi dulu,” ucap Azura hendak bangkit dari duduknya. Namun, sekertarisnya menahannya dan membuatnya duduk kembali. “Anda tidak boleh pergi.” “Tapi—“ “Anda juga harus ikut, karena Anda bintang utama di pesta ini,” ujar yang lain. “Kenapa aku?” tanya Azura tertawa kecil. “Sudah, ayo kita nikmati pestanya!” Pria yang mengajak mereka mabuk itu, menuangkan sebotol wine ke dalam gelas Azura. Azura hanya tersenyum, tanpa berniat menolaknya. Karena merasa tidak enak hati untuk menolak. Sedangkan, Alvino hanya diam sambil menatapnya. “Kita buat permainan, agar lebih seru bagaimana?” usul salah satu karyawan wanita Azura. “Setuju!” sorak yang lain. “Baiklah, kita lakukan permainan truth or dare. Kita akan memutar botol ini, dan siapa yang di tunjuk oleh ujung botol, harus menerima pertanyaan dari seseorang yang di tunjuk belakang botol.” Karyawan itu menjelaskan permainan yang akan mereka lakukan. Dan botol di putar, tanda permainan di mulai. Ujung botol berhenti menujuk kea rah Alvino, dan belakang botol itu menunjuk kepada karyawan yang menggangu mereka di ruang rapat beberapa bulan yang lalu. “Truth or dare?” tanya karyawan itu dengan santai. “Truth,” jawab Alvino. “Apa anda menjalin hubungan dengan, Bu Azura?” Pertanyaan itu, sontak saja membuat Azura terbatuk karena tersedak makanan yang sedang ia kunyah. Malika langsung memberikan minum kepada Azura, yang langsung di tenggah oleh Azura. “Jawab jujur,” ucap karyawan itu. Alvino tidak langsung menjawab, ia hanya diam dengan menatap Azura. Azura membalas tatapannya, dengan tatapan yang mengisyaratkan jangan menjawab. Alvino yang paham, tersenyum miring dan bangkit dari duduknya. Membuat yang lain menatapnya dengan bingung. “Apa ini? apa anda tidak mau menjawabnya?” tanya karyawan pria. Alvino hanya diam, ia menenggak segelas wine di atas mejanya sampai tuntas. Membuat yang lain tercengang. Namun, mereka semakin tercengang ketika Alvino membawa langkahnya menghampiri Azura. Ia merogoh saku di dalam jasnya, dan mengeluarkan sebuah kotak perhiasan yang membuat semuanya tak bisa berkata-kata. Detik berikutnya, Alvino berlutut di hadapan Azura. Membuat Azura bingung, cemas menjadi satu. “Wil you marry me?”Azura terdiam mematung, ketika Alvino memperlihatkan sebuah cincin permata yang cantik sebagai tanda lamaran pria itu. Para karyawan di sana terkejut, dengan beberapa yang menutup mulut mereka dengan tangan.“Terima! Terima!” Suara sorakan di sertai tepuk tangan dari para karyawan mulai terdengar, meminta Azura menerima lamaran Alvino.Detik berikutnya, sebuah air mata luruh begitu saja dari pelupuk mata Azura. Azura mengangguk, dengan tak kuasa menahan harunya.Alvino tersenyum lebar, dan segera bangkit. Ia mengeluarkan cincin tersebut dari kotak, lalu menyematkannya pada jari manis Azura.“Terima kasih, terima kasih banyak.” Alvino sepontan memeluk Azura, sebagai ungkapan terima kasih dan rasa senang yang ia rasakan.Azura hanya bisa mengangguk, sambil membalas pelukan pria yang baru saja melamarnya itu. Ia menangis haru, karena tak menyangka akan di lamar secara tiba-tiba oleh Alvino.Padahal, sebelumnya mereka tidak pernah membahas soal pernikahan atau semacamnya. Mereka berdua ha
Alvino terdiam beberapa saat, mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut calon istrinya itu. Detik berikutnya, ia tersenyum dan mengusap lembut kepala Azura.“I Love you more,” jawabnya tersenyum manis, yang dibalas oleh Azura tak kalah manis.*Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Hari di mana dua insan akan mengikat janji suci mereka, di hadapan tuhan, dan semua orang yang ada di sana.Di sebuah ruangan, Alvino tengah duduk di sebuah sofa. Ia mengendurkan dasinya, karena terasa mencekik lehernya.“Jangan terlalu gugup, itu hanya akan membuat anda tidak nyaman,” ujar sekertarinya, yang tengah menemani dirinya.“Apa kau pernah menikah?” tanya Alvino, sambil mengatur napasnya.“Belum,” jawab Zio—sekertaris Alvino.Alvino membawa pandangannya kepada Zio, dan menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.“Apa?” tanya Zio, saat mendapati tatapan dari atasannya.“Kau berbicara, seakan kau sudah penah menikah.” Alvino menggelengkan pelan kepalanya, dan mengambil sebotol air mineral
Para pelayan menutup pintu kamar Azura, membuat Alvino terdiam. Lalu, Alvino pun membawa pandangannya kepada Azura, dengan penuh tanya.“Tampaknya mereka sangat dekat denganmu,” ucap Alvino membawa langkahnya mendekati Azura.“Hm, karena mereka yang merawatku dan selalu ada di saat masa-masa terpurukku,” jelas Azura.Alvino mengangguk paham. Lalu, ia semakin mendekat kearah Azura, memeluk pinggang ramping istrinya itu.“Apa kamu lelah?” tanya Alvino dengan jarak wajah keduanya sangat dekat.“Lumayan,” jawab Azura dengan tatapan canggung.Alvino kembali mengangguk paham, dan membalikkan tubuh Azura pelan. “Aku akan membantumu membuka resletingnya,” ucap Alvino, “setelah itu mandilah.”Azura hanya mengangguk pelan karena malu. Sedangkan Alvino mulai menurunkan resleting gaun pengantin Azura.Beruntung Azura memegangi bagian depat gaun tersebut, sehingga tidak membuat gaun itu langsung melorot. setelah resleting terbuka semua, barulah Azura membawa langkahnya menuju kamar mandi.*Pagi h
Kini Azura berada di sebuah ruangan penyiaran. Ia melihat seorang gadis berusia 20 tahun ke atas, tengah melakukan live streaming.“Wah! Dia keras kepala sekali,” ujar salah satu karyawan pria.“Berikan aku nomor ponselnya.” Azura memberikan ponselnya, kepada salah satu karyawannya.Seorang karyawan wanita mengambil ponsel Azura, dengan hati-hati. Lalu, ia mulai mengetikan nomor ponsel gadis itu. Setelah selesai, ia langsung memberikannya kepada Azura.Azura langsung menghubunginya, dan terlihat gadis yang tengah melakukan siaran langsung itu menatap ponselnya dengan wajah kesal.Ia mengabaikannya, dan kembali melakukan siaran langsung sambil membaca komentar penggemarnya.“Bukan siapa-siapa, dia pasti orang iseng saja,” ujarnya menjawab komentaran dari para penggemarnya.Lalu, Azura pun mengirimkan pesan kepada gadis itu. Gadis itu langsung menatap ponselnya, dengan mata yang membulat lebar.“Teman-teman, kita akhiri livenya di sini ya. Bye-bye.” Gadis itu pun mengakhiri siaran langs
“Edwin.”Seketika, para karyawan di sana membawa pandangan mereka kepada pria bernama Edwin tersebut. Edwin pun bangkit dari duduknya, dan menyahuti panggilan bosnya itu.“Iya, pak,” sahut Edwin.Sontak saja, semua orang di sana berbisik-bisik dan menebak jika Edwinlah yang pembuat masalah yang Alvino sebutkan. Namun, Alvino hanya memberikan kode dengan satu jarinya, meminta Edwin mendekat ke arahnya.Edwin pun menuruti perintah Alvino, dan kini ia telah berdiri di samping Alvino. Alvino memberikan sebuah dokumen kepadanya, membuat Edwin menatap dokumen tersebut dengan bingung.“A-apa ini pak?” tanya Edwin.“Itu laporan keuangan yang dikorupsi, tolong bacakan,” ujar Alvino.Para karyawan di ruang rapat tersebut terkejut, dengan menatap tak percaya. Mereka justru menatap tajam dan sinis kepada Edwin.Edwin membuka dokumen tersebut, dan membacakan uang yang dikorupsi. Tentu saja, hal itu semakin membuat yang lain terkejut. Karena nominal yang di korpusi sangatlah banyak. “Ternyata kamu
Semua mata menatap kearah layar di depan mereka, dengan tercegang. Lalu, mereka semua membawa pandangan mereka kearah orang yang ada di sana.“Pak Jhonathan?” ucap salah satu karyawan dari departemen kontruksi, menatap tak percaya kepada managernya.Pria bernama Jhonathan tersebut memalingkan wajahnya kearah lain, sebelum akhirnya pergi dari ruangan tersebut. Namun, baru saja ia keluar, para petugas keamanan sudah berdiri di sana dan menahannya.Detik itu juga, Jhonathan dibawa ke kantor polisi atas tindakan korpusinya. Semua karyawannya sangat kecewa, dengan tindakan managernya itu.Pantas saja, pembangunan yang mereka kerjakan selalu ada kendala. Seperti bahan bangunan yang tidak berkualitas, serta proses pembangunan yang lambat.*Setelah menangani masalah yang ada di perusahaan masing-masing. Kini, Azura dan Alvino memutuskan untuk pergi berbulan madu.Tempat yang mereka pilih, dan yang cocok untuk berbulan madu adalah Maldives. Sebuah pulau dengan pantai yang cantik dan pe
Lagi-lagi, Azura mendapatkan pesan dari nomor tidak dikenal. Ia merasa kesal, karena orang ini tidak ada pekerjaan sekali menurutnya.Ia pun kembali tidak memedulikannya, dan memilih untuk melanjutkan tidurnya. Di pagi hari, Alvino menggeliat dan memiringkan tubuhnya ke samping. Lalu, tangannya jatuh ke sisi bagian Azura. Akan tetapi, ia tidak mendapati orang yang ingin ia peluk itu.Sontak saja, ia pun langsung membuka matanya. Benar saja, istrinya tidak ada di sana.Alvino pun mencari-cari Azura di kamar mandi, namun tidak ada. Sehingga, ia bergegas keluar dari kamar.Seketika, ia melihat seseorang wanita memakai dress bermotif bunga tanpa lengan. Hanya ada sebuah tali yang terikat dibagian leher, serta bagian punggung wanita itu terekspos karena rambut panjang wanita itu dikempang ke samping.Alvino membawa langkahnya menghampiri wanita itu, dan berdiri tepat di seberang meja makan. Ketika wanita itu berbalik, ia terkejut melihat keberadaan Alvino di sana.“Astaga! Kamu men
Azura dan Alvino bertemu dengan Malika dan Zio, serta 4 empat karyawan lainnya yang cukup dekat dengan bos mereka. “Kenapa kalian di sini?” tanya Alvino dengan dahi yang menyerit. “Kami liburan,” jawab Zio dengan santai. Alvino menatap tak percaya kepada ke enam orang di depannya, bisa-bisanya mereka bertemu di sana. Membuat, Alvino merasa sedikit terganggu karena ia hanya ingin berduaan dengan istrinya. “Jadi, bulan madu kalian juga di sini?” tanya Malika kepada Azura. Azura mengangguk sambil tersenyum. “Oh iya, di mana Vila kalian?” tanya Azura. “Di sana, dan sebelah sana.” Tunjuk Malika tepat di sisi kanan dan kiri Vila Azura dan Alvino. Namun, milik Alvino dan Azura sedikit masuk ke dalam. Sehingga, ada jarak yang cukup jauh dari kedua Vila tersebut. Alvino semakin menyeritkan dahinya, ia terlihat terkejut dan tak percaya. Ia merasa bulan madu indah yang akan mereka berdua nikmati, akan terganggu dengan karyawan mereka. “Anda tenang saja, kami tidak ak
“Maaf, tapi Anda tidak bisa melakukan sidang perceraian,” ucap pengacaranya membuatnya kecewa.“Kenapa?” tanya Azura bingung.“Sebelum saya menjawab, saya ingin bertanya suatu hal,” ucap pengacara Azura.“Apa itu?” tanya Azura.“Apa, anda sedang hamil?” tanya pengacaranya.Azura mengangguk, tanpa tahu akibatnya. Pengacara Azura menghela napas, sebelum ia tersenyum.“Selamat atas kehamilan anda,” ucapnya.“Terima kasih,” jawab Azura, “tapi kenapa saya tidak bisa bercerai?”“Karena anda sedang hamil. Kita tidak bisa memprosesnya,” jelas Pengacara Azura, “kita harus menunggu sampai bayi anda berusia 5 tahun. Setelah itu, barulah anda bisa mengajukan kembali perceraian anda.” Azura terkejut bukan main. Ia menggeleng tidak percaya akan perkataan pengacaranya itu.“Tidak mungkin,” ucap Azura, “apa Alvino mengancam-mu?” “Tentu saja tidak, aku berkata jujur,” ujar pengacaranya, “jika anda masih tidak yakin, mari ikut saya menemui hakim.”*Sesamapinya di rumah, Azura berjalan dengan tatapan
Azura terbangun, dan mendapati dirinya di kamar yang ia tempati. Namun, ia langsung merasakan pusing yang menyerang kepalanya.Ia mengabaikan rasa pusing dan lemas pada tubuhnya, lalu ia bangit dan turun dari ranjang.Kaki telajangnya menyentuh lantai yang dingin, dengan langkah yang pelan ia berjalan menuju pintu kamar. Azura membuka pintu tersebut sedikit, saat mendapati Alvino sedang berbicara dengan seorang dokter.“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Alvino, “istri saya sama sekali tidak tahan mencium aroma makanan, bagaimana istri saya bisa makan?”Terdengar, suara Alvino yang frustrasi.Dokter pun menghela napas. “Jalan satu-satunya, istri anda harus diinfus jika hal seperti ini terjadi lagi.”Alvino ikut menghela napas, ia tidak ingin satu jarum pun melukai istrinya. “Baiklah, terima kasih atas waktumu,” ucap Alvino.Dokter itu mengangguk dan pergi dari hadapan Alvino. Alvino pun hendak memeriksa istrinya, namun ia melihat Azura yang tengah mengintip di belakang pintu.“Saya
Alvino telah pulang kerja. Ia memasuki rumah dengan wajah yang terlihat lelah.Namun, saat memasuki rumah. Ia teringat dengan istrinya yang sedang hamil.“Bagaimana dengan Azura?” tanya Alvino saat berpapasan dengan Lusy.“Nyonya di kamar, bos,” jawab Lusy sopan.“Apa dia tidak keluar kamar sama sekali?” tanya Alvino.Lusy sedikit merasa bingung, sebab seperti kata Alvino sebelumnya. Ia harus melaporkan setiap detail kegiatan Azura kepadanya.“Maaf, tapi sebelumnya saya sudah melaporkannya kepada bapak,” ujar Lusy.“Benarkah?” tanya Alvino mengingat-ingat.Seketika ia teringat, jika sejak rapat ia tidak memeriksa ponselnya sama sekali. Bahkan, sampai saat ini ia belum melihat ponselnya.“Oh, aku terlalu sibuk, jadi belum sempat memeriksa ponsel,” jelas Alvino, “bisa kamu jelaskan secara langsung saja?”Alvino membawa langkahnya menuju sofa, dan mendudukkan tubuhnya di sana. Dengan punggung yang menyandar, merasakan letih pada punggung lebarnya.“Sebelumnya, nyonya tidak menerima keber
“Apa ini?” tanya Alvino menatap foto USG.“Kembalikan itu.” Azura hendak merebut foto dan amplop tersebut, namun Alvino justru menjauhkan darinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.Karena perbedaan tinggi badan mereka yang cukup jauh, membuat Azura kesulitan menggapainya.Azura pun menyerah, karena tidak akan bisa mengambilnya.“Kembalikan itu,” desak Azura.“Tidak akan, jawab pertanyaanku lebih dahulu,” tekan Alvino, “apa ini? Foto USG milik siapa ini?” “Kamu tidak perlu tahu,” Azura enggan menjawab, dan menarik lengan Jas milik suaminya.“Kamu hamil?” tanya Alvino, “benarkah itu?”“Tidak, aku tidak hamil dan itu bukan milikku.” Azura masih menggelak dan berusaha mengambil amplop di tangan Alvino.Namun, ia tidak berhasil menggapainya. Membuatnya merasa lelah dan kesal.Tanpa di sadari, Azura menunjukkan raut wajah kesal namun tatapan matanya sedih. Ia berlalu begitu saja, menaiki tangga dengan menghentak-hentakkan kaki di setiap langkahnya.Alvino terdiam sesaat. Ia baru pertama kali
Tiba-tiba Azura merasa mual dan ingin muntah. Ketika mencium aroma yang aneh pada indra penciumnya.“Bau apa ini?” tanya Azura dengan kesal, sambil tangannya menutupi mulut dan hidungnya.Namun, ia tidak tahan lagi. Sehingga ia berlari menuju wastafel yang ada di dapur dan memuntahkan cairan bening.“Apa kamu sakit?” tanya Alvino cemas.Ia segera menghampiri istrinya, dan menahan tubuh istrinya agar tidak jatuh. Ia juga mengumpulkan rambut panjang Azura, dan menggulungnya dengan tangannya.“Huek! Huek!” Azura masih merasa mual, karena mencium bau yang aneh.Setelah beberapa saat, Azura akhirnya merasa lebih baik. Alvino membantunya untuk duduk, dan mengambilkan air minum yang tidak dingin dan memberikannya kepada Azura.“Perlukah kita ke rumah sakit?” tanya Alvino.“Tidak perlu,” jawab Azura, “Oh iya, apa kau sudah menandatangani dokumen itu?”“Apa itu penting sekarang?” tanya Alvino kesal, “yang penting saat ini adalah kesehatanmu,”Azura meletakkan gelas yang diberikan Alv
Alvino tersenyum dan berjalan mendekati istrinya. Ia memeluk pinggang ramping istrinya, dengan membubuhkan sebuah kecupan kecil pada pucuk kepala Azura.“Bukan apa-apa,” jawab Alvino, “maksudku singkirkan dia, karena Jhonathan datang membuat kegaduhan di perusahaan siang tadi. Jadi aku meminta kepada Zio untuk memasukkannya daftar hitam di semua perusahaan.”Entah benar atau tidak, Azura tetap meragukan suaminya itu. Kini kepercayaannya kepada Alvino mulai berkurang, serta ia menjadi tahu sikap asli suaminya itu.Alvino pun mengajak istrinya kembali ke kamar mereka, saat dalam perjalanan menuju kamar. Alvino menampilkan raut wajah yang sulit di artikan.Ia sedikit kesal, marah dan cemas. Semua itu menjadi satu kini ia rasakan.Pagi harinya, Azura mendapatkan sebuah pesan dari Malika. Pesan itu berupa sebuah artikel berita dan cuplikan video kebakaran.Azura terkejut dengan mata yang membulat lebar. Ia tak mampu berkata-kata, ketika mengetahui kediaman Vito hangus terbakar.Azura pun m
Azura menatap tak percaya, rekaman CCTV yang dikirimkan oleh Vito. Malika melihat perubahan wajah bosnya, dan melihat rekaman CCTV tersebut.Ia pun sama terkejutnya, hingga menutupi mulutnya dengan tangannya.Detik berikutnya, Azura pun menangis. Malika pun keluar dari ruangan Azura, tanpa separah kata pun.*Di sebuah Restoran bintang lima, Alvino dan Azura memasuki Restoran tersebut. Lalu, mereka duduk di meja yang mereka pesan, tepat di atap Restoran tersebut.“Kamu mau pesan apa?” tanya Alvino dengan lembut.Azura hanya tersenyum, sambil menggeleng menanggapi pertanyaan suaminya. Alvino pun membalas senyumannya.Seketika, Azura menjad ragu. ‘Tidak mungkin, pria sebaik dan selembut dia melakukan hal seperti itu’ batin Azura, ‘dan juga, bagaimana mungkin ia bisa menikahi istri dari mendiang pria yang ia bunuh.’“Sayang?” panggil Alvino, ketika mendapati Azura terus menatapnya.Namun, Azura tidak meresponnya. Sehingga, ia mengenggam tangan istrinya dan tersenyum.Seketika, Azura sedi
Setelah menghubungi Malika. Seperti biasa, Azura akan melakukan sleep call terlebih dahulu dengan suami.Setelah Azura tidur, barulah Alvino mengakhiri panggilan mereka. Dan Alvino melanjutkan perkejaannya, yang harus segera ia selesaikan agar cepat pulang.Tiga hari kemudian, Alvino akhirnya pulang dari perjalanan bisnisnya. Kepulangannya di sambut dengan hangat oleh sang istri—Azura.Meski Azura mendapatkan pesan dan bukti yang mengarah kepada Alvino, yang menuduh Alvino terlibat. Tapi, Azura tetap memperlakukan suaminya seperti biasanya.Sebelum Malika mendapatkan bukti yang akurat dalam penyelidikkannya. Maka, belum dapat dipastikan Alvino bersalah.“Aku sangat merindukanmu.” Alvino langsung memeluk Azura, dan membubuhkan kecupan ada seluruh wajah istrinya itu.Azura hanya tersenyum, menerima setiap kecupan yang suaminya berikan. Serta, ia juga membalas pelukkan hangat suaminya yang ia rindukan juga.“Katamu, akan pulang lima hari lagi,” ucap Azura mendongakkan kepala, menatap Alv
Olla tidak langsung menjawab pertanyaan Alvino, ia justru tersenyum dan langsung berhamburan kepelukan pria beristri itu.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Alvino, berusaha mendorong tubuh Olla.Namun, pelukan Olla cukup erat. Sehingga sulit melepaskan pelukan wanita itu.“Aku merindukanmu Vino, aku sangat merindukanmu,” ucapnya menyamankan diri di dalam pelukan Alvino.“Lepaskan aku!” Alvino masih berusaha mendorong tubuh Olla, agar wanita itu menjauh darinya.Namun, belum sempat ia berhasil melepaskan pelukan itu. Azura terbangun, dan melihat hal yang membuatnya salah paham.“Alvino!” teriak Azura.Alvino membawa pandangannya kepada sumber suara, dan terkejut melihat istrinya di ambang pintu kamar yang mereka tempati.“Azura, jangan salah paham.” Alvino panik, khawatir Azura salah paham.Namun, bukannya melepaskan pelukannya saat tertangkap basah. Olla justru semakin mengeratkan pelukkannya, dan tersenyu