“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.
Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.
“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.
“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.
Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.
Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.
Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.
“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.
Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apakah kami mendapatkan pemandangan yang indah?”
“Tentu saja, kami memiliki pemandangan yang sangat indah. Sesi pemotretan diadakan di belakang restoran, di sana terdapat sebuah tebing cantik dan indah. Sang cocok untuk foto prewedding,” jelas pelayan tadi.
“Terima kasih atas tawarannya, ayo.” Azura menarik lengan Alvino, hendak membawanya pergi keluar dari sana.
Namun, tangan pria itu justru bertengger pada pinggang rampingnya. Aksi tiba-tibanya itu, benar-benar membuat Azura terkejut.
“Baiklah, kami mau melakukan pemotretan,” ucap Alvino.
“Apa maksud Anda?” tanya Azura terkejut, “kita masih banyak pekerjaan.”
Alvino tidak menjawabnya. Ia justru mengikuti langkah pelayan tadi, dengan tangan yang masih bertengger pada pinggang ramping Azura. Azura yang di peluk oleh pria itu, hanya bisa mengikuti langkahnya dengan tangan yang berusaha menyingkirkan tangan Alvino.
*
Kini mereka berdua pun telah sampai di tempat seminar. Mereka berjalan memasuki sebuah gedung Universitas, yang mana di penuhi oleh wartawan dan pengusaha lainnya di sana.
Alvino mengajak Azura masuk ke dalam sebuah aula, yang telah terdapat para mahasiswa dan beberapa wartawan di sana. Dengan gagah dan penuh berwibawa, Alvino naik ke atas panggung untuk menyampaikan sambutan, dan materi seminar.
Azura yang berdiri di sudut, hanya diam menatap Alvino. Sedikit yang ia ketahui, Meski Alvino pria yang dingin. Tetapi, ia cukup bagi menurutnya.
Seminar pun akhirnya telah selesai. Alvino dan Azura keluar dari aula, yang langsung di sambut dan di hadang oleh kamera wartawan.
“Bisa anda jelaskan siapa wanita yang bersama Anda saat ini?” Satu pertanyaan yang di luar topik pun, pertama kali terlontar dari mulut salah satu wartawan di sana.
Alvino hanya diam dengan tatapannya yang selalu dingin dan menajam. Azura menatap Alvino yang tak kunjung memberikan jawaban itu, membuat ia yang terpaksa menjawabnya.
“Kami hanya rekan bisnis,” jawab Azura.
“Apa Anda dan Pak Alvino melakukan kerja sama?” tanya wartawan itu, beralih kepada Azura.
Azura menjawab dengan seadanya, yang tidak akan merugikan pihak mana pun. Dengan senyuman lebar di wajah cantiknya, ia menjawab setiap pertanyaan yang terlontar ke arahnya.
Lagi-lagi, Alvino terpanah dengan kecantikan dari seorang Azura. Wanita tangguh satu ini, berhasil membuat hati si pria dingin menjadi hangat.
Kini Azura dan Alvino pun telah berada di dalam mobil. Mereka dalam perjalanan, kembali ke perusahaan.
“Saya turun di perusahaan Anda saja. Mobil saya berada di sana,” ucap Azura membawa pandangannya kepada Alvino.
Pria itu tidak menjawab, dan hanya fokus pada jalanan di depannya. Azura cukup kesal, namun ia juga merasa sedikit bodoh karena mengatakan itu.
Mobil yang di kendarai Alvino pun berhenti di depan lobi perusahaan. Namun, Azura sedikit terkejut saat mengetahui mereka berada di perusahaannya.
“Kenapa kita ke sini?” tanya Azura, “mobil saya masih berada di perusahaan Anda.”
“Orang saya akan mengantarkannya kemari.” Setelah mengucapkan itu, Alvino pun membuka sabuk pengamannya dan keluar dari mobilnya.
Ia berjalan setengah memutari mobilnya, sambil mengancingi jas mahalnya. Lalu, ia membukakan pintu mobil untuk Azura.
‘Ada apa ini? Kenapa dengan pria ini?’ Azura bertanya-tanya dalam batinnya.
Azura tersenyum kecil, sambil keluar dari mobil. “Terima kasih.”
“Hm,” jawab Alvino.
Alvino kembali menuju kursi kemudi, namun ia tidak langsung masuk ke dalam mobilnya. Melainkan ia berdiri di samping mobilnya, dengan menatap ke arah Azura.
“Masuklah.”
Deg!
Seketika, jantung Azura berdebar tak karuan hanya dengan satu kata itu. Azura mengangguk kecil, dan membawa langkahnya masuk ke dalam gedung perusahaannya.
Setelah memastikan Azura masuk, barulah Alvino masuk ke dalam mobilnya dan membawa laju mobilnya meninggalkan kawasan perusahaan tersebut.
Di dalam ruangannya, Azura langsung melempar tasnya ke atas sofa. Tangannya menepuk-nepuk pipinya, agar membuatnya tetap sadar.
“Wah! Apa-apaan dia?” tanya Azura dengan tatapan tak percaya. “Apa dia menggodaku? Cih!”
*
Beberapa tahun kemudian, akhirnya perusahaan Azura berkembang. Dampak dari kerja sama dengan perusahaan Alvino sangatlah positif.
Kini, perusahaan yang Azura kelola menempati posisi nomor dua dalam daftar perusahaan sukses. Demi mengucapkan terima kasih, Azura pun mengundang Alvino makan malam secara pribadi.
Di malam yang indah, Azura tengah duduk di sebuah private room. Dengan gaun berwarna hitam tanpa lengan, serta panjang gaun sebatas mata kaki dan memiliki belahan di bagian samping dari bawah hingga atas lutut.
Pintu ruangan pun terbuka, menampilkan Alvino dengan setelan formalnya. Hanya dengan setelan seperti itu, karismatik dari seorang Alvino selalu berbeda. Wajahnya yang tampan, serta perawakan yang bagus membuatnya terkesan menawan.
“Maaf membuat Anda menunggu lama,” ucap Alvino.
“Tidak masalah, silakan duduk,” ujar Azura.
Alvino pun mendudukkan tubuhnya pada kursi di hadapan Azura. Karena meja bundar yang sangat besar, membuat jarak keduanya sangat jauh.
“Anda seharusnya mentraktir saya makanan langsung dari luar negeri.” Alvino menatap Azura, yang juga tengah menatapnya sambil tersenyum tipis.
“Anda benar, kini uang saya sudah cukup banyak untuk mentraktir Anda ke luar negeri,” timpal Azura.
Beberapa pelayan pun masuk dan menghidangkan makanan mewah, beserta sebuah wine sebagai teman makan mereka. Wine tersebut di tuangkan oleh pelayan restoran ke gelas mereka masing-masing.
“Selamat atas keberhasilan Anda, Nyonya Azura Veronica.” Alvino mengangkat gelasnya, tersenyum tipis dengan tatapannya yang cukup berdamai untuk malam ini.
Azura tersenyum lebar, dan juga mengangkat gelasnya. “Terima kasih atas kerja sama Anda, dan dukungan Anda. Tuan Alvino Andriyansya.”
Mereka pun bersulang dengan jarak jauh, lalu sama-sama menenggak wine tersebut. Azura menenggaknya dengan penuh anggun, membuat sudut mata Alvino menatap ke arahnya.
Setelah selesai makan malam, mereka pun keluar dari restoran itu dan sama-sama menunggu di depan lobi. Alvino membawa pandangannya kepada Azura, wanita itu terlihat kedinginan karena pakaiannya yang terbuka.
Alvino pun membuka jasnya, lalu melampirkannya pada bahu sempit Azura. Azura sedikit terkejut, namun ia langsung mengeratkan jas milik Alvino.
“Terima kasih,” ucap Azura.
“Sama-sama.”
Mereka kembali menunggu, mobil mereka datang. Keduanya berdiri bersebelahan dan hanya diam, sampai Alvino pun membuka suara.
“Apa kamu mau menjadi kekasihku?”
Azura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begin
Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.“Masuk,” ucap Azura.Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.“Karena a
“Azura Veronica?”Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.Alvino mengangguk. “Anda benar.”Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Azura Veronica?”Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.Alvino mengangguk. “Anda benar.”Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya
Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.“Masuk,” ucap Azura.Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.“Karena a
Azura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begin