Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.
Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.
“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.
“Masuk,” ucap Azura.
Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.
“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.
“Karena anda baru saja berusaha bangkit, maka anda hanya perlu memeriksa dan menandatangani sebanyak ini saja,” ucap Malika.
Azura semakin membulatkan mata, menatap Malika. “Sebanyak ini saja?” tanya Azura, “Apa masih ada banyak lagi selain ini?”
“Tidak, karena sisanya sudah saya periksa,” jawab Malika.
Azura mengangguk paham, namun masih dengan raut wajah yang tercengang. Ia sedikit menghela napas, sebelum akhirnya memeriksa semua berkas yang menumpuk.
Malika tetap berada di sana, untuk menemani dan membantu istri mendiang bosnya itu. Sebab, ini pertama kalinya ia terjun langsung mengelola perusahaan. Sebelumnya, ia hanya membantu suaminya.
*
Hari ke hari berlalu begitu cepat. Kini hampir 2 bulan sudah, Azura mengelola perusahaan Adiaksa. Selama itu, saham perusahaan yang semula turun dan anjlok. Kini meningkat dari hari ke hari, meski belum bisa menutupi kerugian perusahaan. Namun, setidaknya ada hasil yang Azura raih.
Akhirnya, Azura berhasil keluar dari gua kegelapan. Namun, karena hal itu membuatnya sedikit berubah. Sikapnya, menjadi dingin yang membuat para pegawai segan terhadapnya. Padahal ia sangat baik hati, dan penyayang.
Di ruang rapat, Azura dan para karyawannya. Sedang mencari solusi untuk meningkatkan penjualan produk mereka.
“Bagaimana jika kita meningkatkan warna pada warna-warna yang cerah?” usul salah satu karyawan wanita.
“Hm ... jadi, warna yang sekarang sudah cerah. Kita tingkatkan kembali menjadi dua tingkat?” tanya Azura dingin.
“Iya, bu,” jawab karyawan tersebut.
“Kamu ingin menjadi badut?”
Seketika, pertanyaan yang terdengar menohok itu. Membuat semua karyawan terdiam, termasuk karyawan wanita tadi. Ia menjadi panik, dan langsung menundukkan kepala.
“Maafkan saya, bu.” Karyawan tersebut merasa bersalah, meski ia hanya memberi masukan.
“Tidak masalah, kamu hanya memberikan pendapatmu,” ucap Azura, “tapi, jika kita meningkatkan kecerahan warna dua kali lipat. Akankah, para konsumen mau membelinya?”
Masih dengan menundukkan kepala, wanita itu menggeleng. “Tidak bu.”
“Benar sekali. Mungkin, untuk para pemain opera atau teater mereka akan memakainya. Namun, bagaimana untuk make up sehari-hari?”
Karyawan wanita itu mengangkat pandangannya, dan kembali menggelang. “Tentu tidak akan memakainya,” jawabnya.
“Maaf, bu. Tapi, mungkin kita bisa memakai masukan dari Kimberly,” ujar salah satu karyawan wanita yang lain, “Tapi, kita tidak perlu meningkatkan warna yang sudah ada. Melainkan, kita menambahkan beberapa warna dari warna basic, sedikit cerah, cerah, semakin cerah dan mendekati gelap.”
Azura diam, dengan memikirkan saran yang diberikan oleh karyawannya itu. Cukup lama Azura berpikir, yang membuat suasana di ruang rapat menjadi menegang.
“Baiklah, kita coba mulai dari eyeshadow,” ucap Azura.
Seketika para karyawan bernapas lega, dan tersenyum senang. “Baik, bu,” sahut mereka dengan kompak.
“Oke, untuk divisi kosmetik kita tutup rapat hari ini.”
Para karyawan divisi kosmetik itupun, membungkuk hormat sebelum akhirnya mereka semua keluar dari ruang rapat. Lalu, beberapa karyawan yang lain masuk yang merupakan dari divisi kontruksi.
“Oke, kita mulai rapatnya,” ucap Azura setelah karyawan dari divisi konturksi itu sudah berkumpul.
“Maaf, bu. Apa anda tidak ingin istirahat terlebih dahulu?” tanya Malika.
“Tidak, kita selesaikan rapat dari dua divisi hari ini,” jawab Azura.
“Tapi ....”
“Kamu sebaiknya bawakan kopi saja untukku.” Belum selesai Malika berucap, Azura memotongnya begitu saja.
Malika pun tidak bisa membantahnya. Ia pergi keluar dari ruang rapat, untuk membuatkan kopi untuk Azura. Sedangkan, Azura dan para karyawannya memulai rapat tersebut.
“Bagaimana untuk penjualan apartemen?” tanya Azura, sambil melihat dokumen milik mereka.
“Para konsumen selalu bertanya tentang cadangan air bersih, namun kami perlu meninjau kembali pasokan air di daerah tersebut,” jelas salah satu dari karyawan pria.
“Tapi, tidak ada keluhan yang lain?” tanya Azura.
“Tidak ada, mereka hanya bertanya tentang cadangan air saja. Jika pun kami tidak menyediakannya, mereka tidak terlalu mempermasalahannya.”
Azura mengangguk paham. “Kalau begitu, segera lakukan peninjauannya. Dan lekas sediakan cadangan air bersih sebelum apartemen dihuni.”
“Baik, bu,” ujar para karyawa tersebut.
Mereka pun membahas yang lain, hingga lewat jam makan siang. Kini rapat pun telah selesai, dan Azura memberikan kompensasi tambahan waktu istirahat mereka.
Di ruangannya, Azura masih meninjau dokumen-dokumen ajuan. Hingga ia lupa dengan makan siangnya. Malika memasuki ruangan kerja Azura, dengan tangan yang ia lipat di depan dada.
“Ada apa?” tanya Azura tanpa memalingkan pandangannya dari dokumen.
“Kamu tidak makan lagi?” tanya Malika, dengan wajah yang terlihat marah.
“Benarkah? Aku tidak merasakan lapar.”
Malika pun memutar kedua bola matanya jengah, dan menghampiri Azura. Lalu, ia menutup begitu saja dokumen dan laptop Azura. Azura terdiam, dengan tangan yang menggantung sambil memegang pena.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Azura dingin.
“Aku tidak takut dengan sikap dinginmu itu. Sebab, saat ini aku Malika sebagai sahabatmu bukan sekertarismu.”
“Sejak kapan kita menjadi sahabat?” Azura menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
“Mungkin, sejak aku berencana memotong pintu kamarmu. Dan memberikanmu racun itu,” jelas Malika.
“Cih!” decih Azura.
“Sudahlah, ayo kita pergi makan.” Tanpa menunggu persetujuan dari Azura, Malika menarik paksa tangan Azura.
Kini mereka keluar dari perusahaan, dan mencari restoran yang tidak jauh dari perusahaan mereka. Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya telah sampai di restoran.
Mereka memasuki restoran tersebut, dan mencari tempat duduk yang kosong. Kebetulan, tempat duduk tersebut berada di bagian belakang cukup jauh dengan pintu masuk. Lalu, Malika memesan makanan untuk mereka, tanpa bertanya kepada Azura terlebih dahulu.
Namun, tanpa mereka sadari. Seorang pria sedari tadi memandang ke arah mereka, lebih tepatnya kepada Azura.
Tak berselang lama, makanan yang dipesan pun akhirnya sampai. Meja makan di depan mereka, kini terdapat dua jenis menu makanan dan hidangan penutup.
Namun, pria itupun bangkit dari duduknya, dan membawa langkahnya menghampiri Azura. Saat Azura dan Malika bersiap menyantap makanan mereka.
“Azura Veronica?”
Azura dan Malika pun membawa pandangaan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut meski ini kali pertama ia bertemu langsung.
“Anda ....”
“Azura Veronica?”Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.Alvino mengangguk. “Anda benar.”Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
Azura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begin
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Azura Veronica?”Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.Alvino mengangguk. “Anda benar.”Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya
Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.“Masuk,” ucap Azura.Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.“Karena a
Azura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begin