Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.
Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.
“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.
“Masuk,” ucap Azura.
Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.
“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.
“Karena anda baru saja berusaha bangkit, maka anda hanya perlu memeriksa dan menandatangani sebanyak ini saja,” ucap Malika.
Azura semakin membulatkan mata, menatap Malika. “Sebanyak ini saja?” tanya Azura, “Apa masih ada banyak lagi selain ini?”
“Tidak, karena sisanya sudah saya periksa,” jawab Malika.
Azura mengangguk paham, namun masih dengan raut wajah yang tercengang. Ia sedikit menghela napas, sebelum akhirnya memeriksa semua berkas yang menumpuk.
Malika tetap berada di sana, untuk menemani dan membantu istri mendiang bosnya itu. Sebab, ini pertama kalinya ia terjun langsung mengelola perusahaan. Sebelumnya, ia hanya membantu suaminya.
*
Hari ke hari berlalu begitu cepat. Kini hampir 2 bulan sudah, Azura mengelola perusahaan Adiaksa. Selama itu, saham perusahaan yang semula turun dan anjlok. Kini meningkat dari hari ke hari, meski belum bisa menutupi kerugian perusahaan. Namun, setidaknya ada hasil yang Azura raih.
Akhirnya, Azura berhasil keluar dari gua kegelapan. Namun, karena hal itu membuatnya sedikit berubah. Sikapnya, menjadi dingin yang membuat para pegawai segan terhadapnya. Padahal ia sangat baik hati, dan penyayang.
Di ruang rapat, Azura dan para karyawannya. Sedang mencari solusi untuk meningkatkan penjualan produk mereka.
“Bagaimana jika kita meningkatkan warna pada warna-warna yang cerah?” usul salah satu karyawan wanita.
“Hm ... jadi, warna yang sekarang sudah cerah. Kita tingkatkan kembali menjadi dua tingkat?” tanya Azura dingin.
“Iya, bu,” jawab karyawan tersebut.
“Kamu ingin menjadi badut?”
Seketika, pertanyaan yang terdengar menohok itu. Membuat semua karyawan terdiam, termasuk karyawan wanita tadi. Ia menjadi panik, dan langsung menundukkan kepala.
“Maafkan saya, bu.” Karyawan tersebut merasa bersalah, meski ia hanya memberi masukan.
“Tidak masalah, kamu hanya memberikan pendapatmu,” ucap Azura, “tapi, jika kita meningkatkan kecerahan warna dua kali lipat. Akankah, para konsumen mau membelinya?”
Masih dengan menundukkan kepala, wanita itu menggeleng. “Tidak bu.”
“Benar sekali. Mungkin, untuk para pemain opera atau teater mereka akan memakainya. Namun, bagaimana untuk make up sehari-hari?”
Karyawan wanita itu mengangkat pandangannya, dan kembali menggelang. “Tentu tidak akan memakainya,” jawabnya.
“Maaf, bu. Tapi, mungkin kita bisa memakai masukan dari Kimberly,” ujar salah satu karyawan wanita yang lain, “Tapi, kita tidak perlu meningkatkan warna yang sudah ada. Melainkan, kita menambahkan beberapa warna dari warna basic, sedikit cerah, cerah, semakin cerah dan mendekati gelap.”
Azura diam, dengan memikirkan saran yang diberikan oleh karyawannya itu. Cukup lama Azura berpikir, yang membuat suasana di ruang rapat menjadi menegang.
“Baiklah, kita coba mulai dari eyeshadow,” ucap Azura.
Seketika para karyawan bernapas lega, dan tersenyum senang. “Baik, bu,” sahut mereka dengan kompak.
“Oke, untuk divisi kosmetik kita tutup rapat hari ini.”
Para karyawan divisi kosmetik itupun, membungkuk hormat sebelum akhirnya mereka semua keluar dari ruang rapat. Lalu, beberapa karyawan yang lain masuk yang merupakan dari divisi kontruksi.
“Oke, kita mulai rapatnya,” ucap Azura setelah karyawan dari divisi konturksi itu sudah berkumpul.
“Maaf, bu. Apa anda tidak ingin istirahat terlebih dahulu?” tanya Malika.
“Tidak, kita selesaikan rapat dari dua divisi hari ini,” jawab Azura.
“Tapi ....”
“Kamu sebaiknya bawakan kopi saja untukku.” Belum selesai Malika berucap, Azura memotongnya begitu saja.
Malika pun tidak bisa membantahnya. Ia pergi keluar dari ruang rapat, untuk membuatkan kopi untuk Azura. Sedangkan, Azura dan para karyawannya memulai rapat tersebut.
“Bagaimana untuk penjualan apartemen?” tanya Azura, sambil melihat dokumen milik mereka.
“Para konsumen selalu bertanya tentang cadangan air bersih, namun kami perlu meninjau kembali pasokan air di daerah tersebut,” jelas salah satu dari karyawan pria.
“Tapi, tidak ada keluhan yang lain?” tanya Azura.
“Tidak ada, mereka hanya bertanya tentang cadangan air saja. Jika pun kami tidak menyediakannya, mereka tidak terlalu mempermasalahannya.”
Azura mengangguk paham. “Kalau begitu, segera lakukan peninjauannya. Dan lekas sediakan cadangan air bersih sebelum apartemen dihuni.”
“Baik, bu,” ujar para karyawa tersebut.
Mereka pun membahas yang lain, hingga lewat jam makan siang. Kini rapat pun telah selesai, dan Azura memberikan kompensasi tambahan waktu istirahat mereka.
Di ruangannya, Azura masih meninjau dokumen-dokumen ajuan. Hingga ia lupa dengan makan siangnya. Malika memasuki ruangan kerja Azura, dengan tangan yang ia lipat di depan dada.
“Ada apa?” tanya Azura tanpa memalingkan pandangannya dari dokumen.
“Kamu tidak makan lagi?” tanya Malika, dengan wajah yang terlihat marah.
“Benarkah? Aku tidak merasakan lapar.”
Malika pun memutar kedua bola matanya jengah, dan menghampiri Azura. Lalu, ia menutup begitu saja dokumen dan laptop Azura. Azura terdiam, dengan tangan yang menggantung sambil memegang pena.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Azura dingin.
“Aku tidak takut dengan sikap dinginmu itu. Sebab, saat ini aku Malika sebagai sahabatmu bukan sekertarismu.”
“Sejak kapan kita menjadi sahabat?” Azura menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.
“Mungkin, sejak aku berencana memotong pintu kamarmu. Dan memberikanmu racun itu,” jelas Malika.
“Cih!” decih Azura.
“Sudahlah, ayo kita pergi makan.” Tanpa menunggu persetujuan dari Azura, Malika menarik paksa tangan Azura.
Kini mereka keluar dari perusahaan, dan mencari restoran yang tidak jauh dari perusahaan mereka. Beberapa saat kemudian, mereka akhirnya telah sampai di restoran.
Mereka memasuki restoran tersebut, dan mencari tempat duduk yang kosong. Kebetulan, tempat duduk tersebut berada di bagian belakang cukup jauh dengan pintu masuk. Lalu, Malika memesan makanan untuk mereka, tanpa bertanya kepada Azura terlebih dahulu.
Namun, tanpa mereka sadari. Seorang pria sedari tadi memandang ke arah mereka, lebih tepatnya kepada Azura.
Tak berselang lama, makanan yang dipesan pun akhirnya sampai. Meja makan di depan mereka, kini terdapat dua jenis menu makanan dan hidangan penutup.
Namun, pria itupun bangkit dari duduknya, dan membawa langkahnya menghampiri Azura. Saat Azura dan Malika bersiap menyantap makanan mereka.
“Azura Veronica?”
Azura dan Malika pun membawa pandangaan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut meski ini kali pertama ia bertemu langsung.
“Anda ....”
“Azura Veronica?”Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.Alvino mengangguk. “Anda benar.”Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
Azura membawa pandangannya kepada pria di sampingnya. Ia terdiam cukup lama, untuk mencermat kata-kata yang keluar dari mulut pria dingin tersebut.Namun, belum sempat Azura menjawab. Mobil mereka telah sampai, membuat kesadaran Azura kembali dan segera berlari menuju mobilnya yang berhenti lebih dahulu.Alvino tersenyum tipis, melihat Azura. Ia melihat dengan jelas, pipi wanita itu yang merah merona karena salah tingkah.Alvino berjalan mendekat kea rah mobil Azura, mengetuk kaca jendela samping Azura. “Buka,” ucapnya.Azura menurunkan setengah kaca mobilnya, dengan kepala yang tertunduk. Alvino kembali tersenyum, setelah melihat lebih jelas lagi.“Aku tunggu jawabanmu.” Setelah mengatakan itu, Alvino berlalu menuju belakang mobil Azura. Yang mana, di sana telah terparkir mobil miliknya.Azura langsung menggeleng, dan segera menyalakan mesin mobilnya. Sebelum akhirnya, ia membawa pergi mobil miliknya.Dalam perjalanan pulang, Azura terus berceloteh tidak jelas. “Apa itu? Apa maksud p
“Apa jawabanmu?” Tiba-tiba saja, Alvino bertanya soal jawaban Azura tentang kemarin.Azura terdiam mematung, dengan totebag yang ia genggam dengan erat. Seketika kakinya melangkah mundur, saat Alvino berjalan mendekat ke arahnya.“Jawab Azura,” tekan Alvino, “aku tidak suka menunggu.”“I-ini terlalu mendadak,” Azura tergagap, dengan pandangan yang menunduk. “A-aku masih butuh waktu untuk—““Aku rasa, kita kenal sudah cukup lama. Meski, kita saling mengenal karena bisnis.” Alvino, semakin melangkah maju mengikis jarak di antara keduanya.Seketika, totebag yang Azura pegang terjatuh begitu saja karena ia gugup. Alvino membawa pandangannya ke arah totebag tersebut, lalu mengambilnya dan meletakkannya pada meja sofa.“Aku yakin, kamu kemari bukan karena pengajuan proposal.” Alvino menatap Azura dengan lekat, sampai-sampai membuat Azura cegukan.“Kamu ingin menemuikukan?” tanya Alvino tersenyum. “Dengan beralasan membawa jas dan proposal untukku.”“Vino, jangan begini.” Azura mendorong dad
Azura dan Alvino kini resmi berpacaran. Namun, sesuai dengan permintaan Azura. Mereka pun merahasiakan hubungan keduanya dari para karyawan kantor maupun publik.Di perusahaan Alvino, Azura bersama sekertaris dan dua karyawannya tengah mengikuti rapat. Azura duduk, tepat di depan sebelah kanan Alvino.Alvino beberapa kali mencuri pandang kepada Azura, saat yang lain fokus melihat dokumen persentasi. Namun, saat Azura dan yang lain menoleh ke arahnya. Ia langsung membawa pandangannya pada kertas di depannya.“Kamu harus meningkatkan kualitas kemasan produk. Pastikan, produk yang di jual aman dan higenis,” ucap Alvino tegas.“Baik, pak,” jawab salah satu karyawan Azura yang tengah berpersentasi itu.“Baiklah, kita akhiri rapat hari ini,” ucap Alvino membereskan berkas di depannya.Namun, para anggota di ruang rapat itu tercengang dan saling melempar pandang dengan bingung. “Maaf, pak. Tapi, kami belum menyelesaikannya,” u
Azura terdiam mematung, ketika Alvino memperlihatkan sebuah cincin permata yang cantik sebagai tanda lamaran pria itu. Para karyawan di sana terkejut, dengan beberapa yang menutup mulut mereka dengan tangan.“Terima! Terima!” Suara sorakan di sertai tepuk tangan dari para karyawan mulai terdengar, meminta Azura menerima lamaran Alvino.Detik berikutnya, sebuah air mata luruh begitu saja dari pelupuk mata Azura. Azura mengangguk, dengan tak kuasa menahan harunya.Alvino tersenyum lebar, dan segera bangkit. Ia mengeluarkan cincin tersebut dari kotak, lalu menyematkannya pada jari manis Azura.“Terima kasih, terima kasih banyak.” Alvino sepontan memeluk Azura, sebagai ungkapan terima kasih dan rasa senang yang ia rasakan.Azura hanya bisa mengangguk, sambil membalas pelukan pria yang baru saja melamarnya itu. Ia menangis haru, karena tak menyangka akan di lamar secara tiba-tiba oleh Alvino.Padahal, sebelumnya mereka tidak pernah membahas soal pernikahan atau semacamnya. Mereka berdua ha
Alvino terdiam beberapa saat, mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut calon istrinya itu. Detik berikutnya, ia tersenyum dan mengusap lembut kepala Azura.“I Love you more,” jawabnya tersenyum manis, yang dibalas oleh Azura tak kalah manis.*Hari yang ditunggu pun akhirnya tiba. Hari di mana dua insan akan mengikat janji suci mereka, di hadapan tuhan, dan semua orang yang ada di sana.Di sebuah ruangan, Alvino tengah duduk di sebuah sofa. Ia mengendurkan dasinya, karena terasa mencekik lehernya.“Jangan terlalu gugup, itu hanya akan membuat anda tidak nyaman,” ujar sekertarinya, yang tengah menemani dirinya.“Apa kau pernah menikah?” tanya Alvino, sambil mengatur napasnya.“Belum,” jawab Zio—sekertaris Alvino.Alvino membawa pandangannya kepada Zio, dan menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan.“Apa?” tanya Zio, saat mendapati tatapan dari atasannya.“Kau berbicara, seakan kau sudah penah menikah.” Alvino menggelengkan pelan kepalanya, dan mengambil sebotol air mineral
“Maaf, tapi Anda tidak bisa melakukan sidang perceraian,” ucap pengacaranya membuatnya kecewa.“Kenapa?” tanya Azura bingung.“Sebelum saya menjawab, saya ingin bertanya suatu hal,” ucap pengacara Azura.“Apa itu?” tanya Azura.“Apa, anda sedang hamil?” tanya pengacaranya.Azura mengangguk, tanpa tahu akibatnya. Pengacara Azura menghela napas, sebelum ia tersenyum.“Selamat atas kehamilan anda,” ucapnya.“Terima kasih,” jawab Azura, “tapi kenapa saya tidak bisa bercerai?”“Karena anda sedang hamil. Kita tidak bisa memprosesnya,” jelas Pengacara Azura, “kita harus menunggu sampai bayi anda berusia 5 tahun. Setelah itu, barulah anda bisa mengajukan kembali perceraian anda.” Azura terkejut bukan main. Ia menggeleng tidak percaya akan perkataan pengacaranya itu.“Tidak mungkin,” ucap Azura, “apa Alvino mengancam-mu?” “Tentu saja tidak, aku berkata jujur,” ujar pengacaranya, “jika anda masih tidak yakin, mari ikut saya menemui hakim.”*Sesamapinya di rumah, Azura berjalan dengan tatapan
Azura terbangun, dan mendapati dirinya di kamar yang ia tempati. Namun, ia langsung merasakan pusing yang menyerang kepalanya.Ia mengabaikan rasa pusing dan lemas pada tubuhnya, lalu ia bangit dan turun dari ranjang.Kaki telajangnya menyentuh lantai yang dingin, dengan langkah yang pelan ia berjalan menuju pintu kamar. Azura membuka pintu tersebut sedikit, saat mendapati Alvino sedang berbicara dengan seorang dokter.“Apa yang harus saya lakukan?” tanya Alvino, “istri saya sama sekali tidak tahan mencium aroma makanan, bagaimana istri saya bisa makan?”Terdengar, suara Alvino yang frustrasi.Dokter pun menghela napas. “Jalan satu-satunya, istri anda harus diinfus jika hal seperti ini terjadi lagi.”Alvino ikut menghela napas, ia tidak ingin satu jarum pun melukai istrinya. “Baiklah, terima kasih atas waktumu,” ucap Alvino.Dokter itu mengangguk dan pergi dari hadapan Alvino. Alvino pun hendak memeriksa istrinya, namun ia melihat Azura yang tengah mengintip di belakang pintu.“Saya
Alvino telah pulang kerja. Ia memasuki rumah dengan wajah yang terlihat lelah.Namun, saat memasuki rumah. Ia teringat dengan istrinya yang sedang hamil.“Bagaimana dengan Azura?” tanya Alvino saat berpapasan dengan Lusy.“Nyonya di kamar, bos,” jawab Lusy sopan.“Apa dia tidak keluar kamar sama sekali?” tanya Alvino.Lusy sedikit merasa bingung, sebab seperti kata Alvino sebelumnya. Ia harus melaporkan setiap detail kegiatan Azura kepadanya.“Maaf, tapi sebelumnya saya sudah melaporkannya kepada bapak,” ujar Lusy.“Benarkah?” tanya Alvino mengingat-ingat.Seketika ia teringat, jika sejak rapat ia tidak memeriksa ponselnya sama sekali. Bahkan, sampai saat ini ia belum melihat ponselnya.“Oh, aku terlalu sibuk, jadi belum sempat memeriksa ponsel,” jelas Alvino, “bisa kamu jelaskan secara langsung saja?”Alvino membawa langkahnya menuju sofa, dan mendudukkan tubuhnya di sana. Dengan punggung yang menyandar, merasakan letih pada punggung lebarnya.“Sebelumnya, nyonya tidak menerima keber
“Apa ini?” tanya Alvino menatap foto USG.“Kembalikan itu.” Azura hendak merebut foto dan amplop tersebut, namun Alvino justru menjauhkan darinya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.Karena perbedaan tinggi badan mereka yang cukup jauh, membuat Azura kesulitan menggapainya.Azura pun menyerah, karena tidak akan bisa mengambilnya.“Kembalikan itu,” desak Azura.“Tidak akan, jawab pertanyaanku lebih dahulu,” tekan Alvino, “apa ini? Foto USG milik siapa ini?” “Kamu tidak perlu tahu,” Azura enggan menjawab, dan menarik lengan Jas milik suaminya.“Kamu hamil?” tanya Alvino, “benarkah itu?”“Tidak, aku tidak hamil dan itu bukan milikku.” Azura masih menggelak dan berusaha mengambil amplop di tangan Alvino.Namun, ia tidak berhasil menggapainya. Membuatnya merasa lelah dan kesal.Tanpa di sadari, Azura menunjukkan raut wajah kesal namun tatapan matanya sedih. Ia berlalu begitu saja, menaiki tangga dengan menghentak-hentakkan kaki di setiap langkahnya.Alvino terdiam sesaat. Ia baru pertama kali
Tiba-tiba Azura merasa mual dan ingin muntah. Ketika mencium aroma yang aneh pada indra penciumnya.“Bau apa ini?” tanya Azura dengan kesal, sambil tangannya menutupi mulut dan hidungnya.Namun, ia tidak tahan lagi. Sehingga ia berlari menuju wastafel yang ada di dapur dan memuntahkan cairan bening.“Apa kamu sakit?” tanya Alvino cemas.Ia segera menghampiri istrinya, dan menahan tubuh istrinya agar tidak jatuh. Ia juga mengumpulkan rambut panjang Azura, dan menggulungnya dengan tangannya.“Huek! Huek!” Azura masih merasa mual, karena mencium bau yang aneh.Setelah beberapa saat, Azura akhirnya merasa lebih baik. Alvino membantunya untuk duduk, dan mengambilkan air minum yang tidak dingin dan memberikannya kepada Azura.“Perlukah kita ke rumah sakit?” tanya Alvino.“Tidak perlu,” jawab Azura, “Oh iya, apa kau sudah menandatangani dokumen itu?”“Apa itu penting sekarang?” tanya Alvino kesal, “yang penting saat ini adalah kesehatanmu,”Azura meletakkan gelas yang diberikan Alv
Alvino tersenyum dan berjalan mendekati istrinya. Ia memeluk pinggang ramping istrinya, dengan membubuhkan sebuah kecupan kecil pada pucuk kepala Azura.“Bukan apa-apa,” jawab Alvino, “maksudku singkirkan dia, karena Jhonathan datang membuat kegaduhan di perusahaan siang tadi. Jadi aku meminta kepada Zio untuk memasukkannya daftar hitam di semua perusahaan.”Entah benar atau tidak, Azura tetap meragukan suaminya itu. Kini kepercayaannya kepada Alvino mulai berkurang, serta ia menjadi tahu sikap asli suaminya itu.Alvino pun mengajak istrinya kembali ke kamar mereka, saat dalam perjalanan menuju kamar. Alvino menampilkan raut wajah yang sulit di artikan.Ia sedikit kesal, marah dan cemas. Semua itu menjadi satu kini ia rasakan.Pagi harinya, Azura mendapatkan sebuah pesan dari Malika. Pesan itu berupa sebuah artikel berita dan cuplikan video kebakaran.Azura terkejut dengan mata yang membulat lebar. Ia tak mampu berkata-kata, ketika mengetahui kediaman Vito hangus terbakar.Azura pun m
Azura menatap tak percaya, rekaman CCTV yang dikirimkan oleh Vito. Malika melihat perubahan wajah bosnya, dan melihat rekaman CCTV tersebut.Ia pun sama terkejutnya, hingga menutupi mulutnya dengan tangannya.Detik berikutnya, Azura pun menangis. Malika pun keluar dari ruangan Azura, tanpa separah kata pun.*Di sebuah Restoran bintang lima, Alvino dan Azura memasuki Restoran tersebut. Lalu, mereka duduk di meja yang mereka pesan, tepat di atap Restoran tersebut.“Kamu mau pesan apa?” tanya Alvino dengan lembut.Azura hanya tersenyum, sambil menggeleng menanggapi pertanyaan suaminya. Alvino pun membalas senyumannya.Seketika, Azura menjad ragu. ‘Tidak mungkin, pria sebaik dan selembut dia melakukan hal seperti itu’ batin Azura, ‘dan juga, bagaimana mungkin ia bisa menikahi istri dari mendiang pria yang ia bunuh.’“Sayang?” panggil Alvino, ketika mendapati Azura terus menatapnya.Namun, Azura tidak meresponnya. Sehingga, ia mengenggam tangan istrinya dan tersenyum.Seketika, Azura sedi
Setelah menghubungi Malika. Seperti biasa, Azura akan melakukan sleep call terlebih dahulu dengan suami.Setelah Azura tidur, barulah Alvino mengakhiri panggilan mereka. Dan Alvino melanjutkan perkejaannya, yang harus segera ia selesaikan agar cepat pulang.Tiga hari kemudian, Alvino akhirnya pulang dari perjalanan bisnisnya. Kepulangannya di sambut dengan hangat oleh sang istri—Azura.Meski Azura mendapatkan pesan dan bukti yang mengarah kepada Alvino, yang menuduh Alvino terlibat. Tapi, Azura tetap memperlakukan suaminya seperti biasanya.Sebelum Malika mendapatkan bukti yang akurat dalam penyelidikkannya. Maka, belum dapat dipastikan Alvino bersalah.“Aku sangat merindukanmu.” Alvino langsung memeluk Azura, dan membubuhkan kecupan ada seluruh wajah istrinya itu.Azura hanya tersenyum, menerima setiap kecupan yang suaminya berikan. Serta, ia juga membalas pelukkan hangat suaminya yang ia rindukan juga.“Katamu, akan pulang lima hari lagi,” ucap Azura mendongakkan kepala, menatap Alv
Olla tidak langsung menjawab pertanyaan Alvino, ia justru tersenyum dan langsung berhamburan kepelukan pria beristri itu.“Apa yang kamu lakukan?” tanya Alvino, berusaha mendorong tubuh Olla.Namun, pelukan Olla cukup erat. Sehingga sulit melepaskan pelukan wanita itu.“Aku merindukanmu Vino, aku sangat merindukanmu,” ucapnya menyamankan diri di dalam pelukan Alvino.“Lepaskan aku!” Alvino masih berusaha mendorong tubuh Olla, agar wanita itu menjauh darinya.Namun, belum sempat ia berhasil melepaskan pelukan itu. Azura terbangun, dan melihat hal yang membuatnya salah paham.“Alvino!” teriak Azura.Alvino membawa pandangannya kepada sumber suara, dan terkejut melihat istrinya di ambang pintu kamar yang mereka tempati.“Azura, jangan salah paham.” Alvino panik, khawatir Azura salah paham.Namun, bukannya melepaskan pelukannya saat tertangkap basah. Olla justru semakin mengeratkan pelukkannya, dan tersenyu