Azura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.
Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.
Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.
Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.
“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begini, anda akan jatuh sakit,” ucap seorang kepala pelayan.
“Benar, Nyonya. Dengan cairan infus saja, tidak cukup untuk tubuh anda,” timpal salah satu pelayan lain.
Namun, tidak ada jawaban dari dalam sana. Mereka semua sangat khawatir dengan kondisi sang majikan.
Tiba-tiba, seorang wantia berpakaian formal datang bersama dengan seorang tukang renovasi. Dua orang pelayan di sana, membungkuk hormat dan memberikan jalan untuk kedua orang itu.
“Potong saja pintunya,” perintah wanita tersebut.
“Apa?” Tukang renovasi rumah itu cukup tercengang, dengan perintah yang di berikan.
“Potong pintu itu,” ulang wanita itu.
“Ba-baik.” Dengan gagap tukang itu menjawab, dan langsung menyiapkan alat untuk memotong pintu kamar Azura.
Namun, belum selesai tukang renovasi menyiapkan alatnya. Azura membuka sedikit pintu kamarnya, dengan sebelah mata sayu mengintip keluar.
“Astaga!” Wanita tadi terlonjat kaget, saat ia menoleh dan mendapati sebuah mata disela-sela kegelapaan.
“Kau mengejutkanku saja,” ucapnya.
Namun, Azura hanya diam dengan tatapan mata yang seakan tidak ada kehidupan dan harapan di sana. Melihat itu, wanita tadi memutar kedua bola matanya jengah dan menerobos masuk begitu saja. Yang diikuti oleh dua pelayan tadi, mereka meletakkan makanan yang mereka bawa dan langsung keluar dan menutup kembali pintu kamar itu.
“Lihat dirimu, sudah seperti mayat hidup,” celetuk wanita tadi.
Wanita itu berjalan menghampiri sebuah tirai, dan membukanya. Seketika, cahaya matahari langsung menyinari kamar tersebut melalui kaca jendela yang besar itu.
Wanita itu menghela napas lega, setelah membuka jendela tersebut. “Segarnya.”
“Aku tidak habis pikir denganmu, bagaimana bisa kamu bertahan di dalam kamar yang gelap setiap hari.” Wanita itu berbalik, dan menatap Azura yang duduk bersandar tanpa tenaga di sofa.
“Kamu sudah bosan hidup?” tanyanya.
“Pergilah, Malika. Kamu, hanya buang-buang waktu saja,” ucap Azura dengan sangat lemas, bahkan suaranya terdengar sangat pelan.
Wanita itu adalah Malika, Sekertaris yang baru saja masuk sehari sebelum mendiang suaminya meninggal. Namun, karena Malika masih baru Bian Adiaksa membiarkan Sekertaris barunya berlatih, dengan Sekertaris lamanya.
“Nyonya, jika anda seperti ini terus dan tidak ada yang mengelola perusahaan suami anda. Maka, perusahaan itu akan mengalami kerugian besar,” ucap Malika, “Bagimana dengan perasaan mendiang suami anda? Tentunya dia akan sedih, dan semakin sedih melihat anda seperti ini.”
Malik mulai berbicara formal, saat istri mendiang bosnya mulai berbicara. Namun, sepertinya Azura masih belum terpengaruh dengan ucapan Malika.
Malika menganggukan kepala. “Kalau begitu, kenapa anda tidak menyusul suami anda saja.”
Malika pun mengeluarkan sebuah suntikan, yang berisi sebuah racun. Ia berjalan menghampiri Azura, dan meletakkan suntikan tersebut di atas meja sofa. Tepat, di depan mata Azura.
Azura dengan lemas, hanya menatap jarum suntik yang di letakkan. Lalu, Malika pun pergi dari kamar tersebut.
*
Dua hari kemudian, Malika yang masih berusaha mengendalikan perusahaan Adiaksa. Menjadi frustrasi saat saham mulai turun drastis. Seberapa keras ia bekerja, seberapa besar usahanya demi menyelamatkan perusahaan tersebut. Jika tidak ada sang pemimpin di perusahaan, semuanya tidak akan berjalan lancar.
Di ruangan sekertaris, yang tidak terlalu besar. Malika tengah memeriksa beberapa berkas, dan dokumen di layar komputernya. Keningnya mengerut, alisnya tertaut karena frustrasi.
Kemudian, sebuah ketukan terdengar. Tanpa menoleh ke sumber suara, Malika memerintahkan orang itu untuk masuk. Sehingga, seorang karyawan pria pun masuk dan langsung menunduk hormat.
“Bu, para direktur perusahan dan para pemegang saham telah berkumpul di ruang rapat,” beritahu karyawan tersebut.
“Oh, baiklah.” Malika pun menutup berkas di atas mejanya, dan juga mematikan layar komputernya.
“Ayo,” ajaknya.
Ia dan karyawan itupun, keluar dari ruangannya. Dan berjalan menelusuri lorong, menuju ruang rapat. Sesampainya di sana, para direktur dan pemegang saham hanya diam. Tak ada satu pun di antara mereka, yang memberikan salam hormat.
Malika juga tidak mempermasalahkannya, ia tetap berjalan memasuki ruangan itu. Dan berdiri, di belakang kursi yang pernah di duduki mendiang Ceo Adiaksa.
“Bagaimana? Apa anda berhasil membujuk Bu Azura?” tanya seorang direktur keuangan.
Malika menoleh, dan menampilkan senyuman tipis. “Kalian terlalu mendesak orang yang sedang berduka, kita tunggu lima hari lagi,” jawab Malika.
“Kamu gila! Bagaimana bisa kita menunggu lima hari lagi?” sentak salah satu pemegang saham, “Yang ada, saham kalian semakin turun dan uang kami hilang.”
Seketika, pemegang saham yang lain ikut protes. Saat mereka diminta untuk menunggu selama lima hari lagi. Suasana di dalam ruang rapat pun mulai menegang dan ricuh, mereka semua menyalahkan Malika yang tidak mampu membujuk Azura.
Malika yang sangat frustrasi itupun menundukkan kepala, dengan air mata yang siap jatuh. Namun, tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka dengan lebar. Membuat semua orang diam, dan membawa pandangan mereka ke arah pintu.
Kemudian, sebuah kaki kanan memasuki ruangan. Kaki jenjang yang cantik dan mulus, dihiasi oleh high heels mahal. Kaki itu berjalan dengan anggun, namun setiap ketukan yang keluar memberikan kesan kewibawaan di sana.
Seorang wanita cantik berpakaian formal dengan rok selutut, berdiri di samping Malika. Tangan cantik itu mengusap punggung wanita yang bersedih itu, membuat Malika membawa pandangan ke arahnya.
Sontak saja, ia terkejut. Tentu saja yang lainnya juga terkejut, saat seorang Azura Veronica memasuki ruang rapat tersebut.
“Maaf, membuat kalian menunggu begitu lama.” Azura menyunggingkan senyuman, dan mendudukkan tubuhnya pada kursi milik mendiang suaminya.
“Bu Azura.” Malika tersenyum lebar, dengan pandangan menatap istri bosnya itu.
Azura hanya tersenyum, di saat semua orang di sana terkejut. Mereka saling melempar pertanyaan, namun juga senang meski Azura cukup terlambat.
Dua hari yang lalu, setelah Malika meninggalkan Azura. Azura menatap jarum suntik di depannya, tangannya yang lemas meraih jarum suntik itu.
Ia membuka penutup jarum, dan bersiap menyuntikkannya pada botol infusan di sampingnya. Ia berusaha berdiri, di saat sendi-sendi dan otot kakinya terasa lemas. Dengan satu ayunan, jarum suntik di tangannya, menancap pada botol suntik tersebut.
Ia pun menekan ujung suntikan tersebut, membuat cairan di dalamnnya masuk ke dalam infusan. Cairan infusan itu pun terkontaminasi oleh racun.
Sebelum ajal benar-benar menjemputnya, Azura berjalanan dengan tertatih-tatih dan lemas kembali ke ranjangnya. Ia pun berbaring mengadap langit-langit, dengan air mata yang menetes ke samping.
“Kita akan bertemu, aku sangat merindukanmu. Bian.” Azura pun memejamkan mata.
Namun, sayup-sayup. Ia mendengar dan merasakan sebuah belaian di kepalanya, yang biasa suaminya lakukan semasa hidupnya.
“Bian,” gumam Azura lemas.
“Kamu sedang apa, hm?” tanya Bian.
“Aku akan menyusulmu, agar kita bahagia di akhirat dan bersama selalu.” Dengan berlinang air mata, Azura menatap bayangan mendiang suaminya.
“Sssutt ... kamu tidak boleh ikut denganku, kamu harus tetap hidup dengan bahagia. Jika kamu berencana menyusulku, aku tidak akan menemuimu di sana.” Bayangan Bian, berusaha membantu istrinya untuk bangkit, dari keterpurukan yang istrinya alami.
Azura menolak, dan bersikekeh akan tetap menyusul Bian. Namun, Bian menghilang begitu saja. Akan tetapi, suara Bian masih tetap terdengar dan memberikan semangat dan nasihat kepada istrinya.
Azura pun membuka matanya lebar-lebar, ia menoleh ke arah selang infus dan langsung mencabutnya. Kini ia pun memilih tekad, untuk bangkit dari keterpurukan dan mewujudkan mimpi suaminya mengenalkan nama perusahaannya ke seluruh negeri.
Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.“Masuk,” ucap Azura.Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.“Karena a
“Azura Veronica?”Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.Alvino mengangguk. “Anda benar.”Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
“Silakan bawa makanannya ke sini,” ucap Alvino.Mata Azura membulat, mendengar ucapan pria di depannya itu. Pelayan restoran tersebut membungkuk hormat, sebelum akhirnya ia pergi untuk membawaka menu couple tersebut.“Apa yang Anda lakukan?” tanya Azura.“Apa masalahnya? Ini hanya makanan.” Alvino meraih ponselnya yang terletak pada meja, dan melihat-lihat email dari sekertarisnya.Azura menganggukan kepala. ‘ada benarnya juga,’ batinnya.Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya menu itu pun datang yang langsung dihidangkan di atas meja mereka. Azura dan Alvino pun menyantap makanan, yang hanya disediakan untuk pasangan kekasih atau suami istri dengan penuh nikmat.Azura dan Alvino pun akhirnya telah selesai makan siang. Namun, saat mereka hendak beranjak dari duduk mereka. Tiba-tiba, pelayan tadi kembali sambil menawarkan pemotretan.“Tidak perlu, kami sedang buru-buru,” ucap Azura, yang selalu menolak.Namun, setiap kata yang keluar dari mulut Alvino membuat Azura tercengang. “Apaka
“Maukah anda, bekerja sama dengan saya?” Azura mencegah Alvino, yang hendak pergi.Alvino menghentikan langkahnya, dan berbalik menatap Azura. Kini mereka saling menatap, dengan tatapan yang berbeda.“Ajukan itu secara resmi,” ucap Alvino.Setelah mengucapkan itu, Alvino pun berlalu keluar dari toko kosmetik milik Azura. Azura menatap kepergian Alvino, yang perlahan semakin menjauh dari pandangannya.*Keesokan harinya, Azura pun akhirnya bisa bertemu dengan Alvino secara resmi melalui janji yang sudah ia buat. Kini, mereka tengah berada di private room disebuah restoran mewah.Tidak ada perbincangan pribadi di sana, atau perbincangan yang lainnya. Mereka hanya membahas masalah perusahaan, saham, dan kerja sama.Mereka pun mulai menanda tangani kontrak pada selembaran masing-masing. Yang mana harus ditanda tanganni oleh keduanya.“Semoga saham anda segera meningkat,” ucap Alvino menutup berkas kontrak dihadapannya.“Terima kasih,” ucap Azura, “suatu kehormatan anda mau bekerja sama de
“Azura Veronica?”Azura dan Malika pun membawa pandangan mereka, kesumber suara. Azura yang tidak kenal dengan pria itu, hanya bisa menyeritkan dahinya. Berbeda dengan Malika, yang sedikit terkejut sebab ini kali pertama ia bertemu langsung.“Anda, Pak Alvino Andriyansya?” tanya Malika.“Anda mengenal saya?” Alvino berbalik tanya, dengan tersenyum tipis.“Tentu saja, anda pemilik perusahaan termaju di negara ini,” puji Malika.Alvino terkekeh pelan. “Tidak juga, masih banyak proses yang harus saya jalani.”Alvino membawa pandangannya kepada Azura, yang terlihat menatapnya dengan tatapan yang sulit di artikan. Alvino kembali tersenyum tipis, dengan masih berdiri di dekat kedua wanita itu.“Oh, anda mau bergabung dengan kami?” tanya Malika.“Tidak, di mejanya sudah ada makanannya.” Secara tidak langsung, Azura tidak mengizinkan Alvino untuk bergabung dengan mereka.Alvino mengangguk. “Anda benar.”Ia merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kartu nama yang terselip di dalam dompetnya
Di sebuah ruangan, Azura membawa langkahnya masuk menatap ruang kerja milik suaminya di kantor. Semua barang-barang milik suaminya masih berada di sana, membuatnya teringat sebuah kenangan saat ia membawakan bekal makan siang untuk suaminya.Sebuah buliran bening mengalir keluar, yang langsung diseka oleh jari telunjuknya. Ia tersenyum, dengan menghela napas untuk menguatkan hatinya. Ia pun membawa langkahnya menuju meja kerja suaminya, dan menduduki kursi yang biasa suaminya duduki.“Maafkan aku, aku terlalu larut dalam kesedihan. Sehingga mengabaikan perusahaan yang sudah kamu dengan bangun bersusah payah.” Azura mengusap meja kerja Bian, dengan segenap kenangan yang tersimpan dibenaknya.Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar.“Masuk,” ucap Azura.Pintu kaca ruangan itu terbuka, yang menampilkan Malika memasuki ruangan itu. Azura membulatkan mata, saat melihat tumpukan berkas yang di bawa Malika.“Ba-banyak sekali.” Azura cukup tercengang, melihat berkas-berkas tersebut.“Karena a
Azura Veronica, ditinggal oleh suami tercintanya – Bian Adiaksa setelah satu tahun pernikahan mereka. Kesedihan mendalam di rasakan oleh Azura, yang harus menyandang status janda di usianya yang masih muda.Di tengah-tengah kesedihannya, ia harus menggantikan sang suami sebagai Ceo di perusahaan Adiaksa. Namun, bagaimana bisa Azura mengelolanya padahal baru 7 hari ia berduka. Dan lagi, jasad sang suami belum di temukan sampai saat ini yang membuat Azura semakin hancur.Di dalam kamar yang besar namun gelap, Azura berbaring di atas ranjang dengan selang infus di punggung tangannya, dan sebuah selimut yang menyelimuti tubuhnya. Tidak ada secercah cahaya pun, yang menyinari kamar tersebut. Seakan, menggambarkan kehidupan Azura saat ini.Sejak tadi, suara ketukan pintu terdengar. Bahkan setiap hari, para pelayan di rumah besar itu berusaha membujuk Nyonya mereka untuk makan. Namun, Azura sama sekali enggan membukakan pintu kamarnya.“Nyonya, Sudah 7 hari anda tidak makan. Jika terus begin