Mendengar penuturan Irfan, Ben bergerak mendekati mejanya. Ia raih pedang pajangan di belakang kursi kerja itu, lantas dihunusnya langsung ke arah Irfan. "Jangan nyoba-nyoba buat memprovokasi istriku!" ancam Ben bengis. "Apanya yang memprovokasi? Aku sama Eriska udah beda kubu, Ben. Dia nggak bisa kukendalikan. Karena dia, bisnisku berhasil kalian hancurkan, dia biang kerok yang sangat mirip denganku," kata Irfan masih terlihat sangat santai. "Kamu berusaha nyari info keberadaan Christ? Bener kan tebakanku?" Ben menyungging senyum miring. "Kalian berdua pasti udah gila, berani-beraninya dateng ke sarang musuh begini," gumamnya tanpa menurunkan hunusan pedangnya. "Aku ambil resiko. Antagonis yang sebenarnya itu Eriska, Ben," sebut Irfan. "Dan kamu jadiin anak perempuan kandungmu itu sebagai tameng?" sambar Benji lirih. "Cinta itu ngerubah banyak hal, termasuk cintanya Eriska ke seorang Big Ben," desis Irfan. Ia beranjak sambil mengangkat tangan agara Ben tak menyerangnya. "Orang
"Mas," Ann menengadah, sedikit mendesah karena sentuhan Ben bermuara di bawah tulang selangkanya. "Hem?" Masih asik mengecupi leher istrinya, Ben hanya menggumam. Ia sedang dalam mood yang sangat bagus untuk bercinta, jadi, ia tidak akan membiarkan apapun menggagalkan usahanya. "Mas Ben," lirih Ann mengerang, tubuhnya melengkung indah, menggelinjang kegelian."I want you, Ane-san," bisik Ben menggigiti daun telinga Ann, mengembuskan napasnya hingga membuat bulu kuduk Ann meremang. "Nggak pa-pa di kantor?" tanya Ann sengaja menahan dada suaminya yang sudah siap menindihnya di sofa panjang. "Sensasinya beda kan?" gumam Ben menyeringai. "Kalau ada yang tiba-tiba masuk gimana?" "Emang ada yang berani? Benji juga nggak akan masuk lagi, Ann," ucap Ben dengan mata memerah yang sudah dikuasai gairah. "Ya udah," jawab Ann malu-malu. "Aku berisik dikit nggak pa-pa ya Mas?" desisnya seraya memainkan jemarinya di dada sang suami, menggoda sekali. "Nggak pa-pa, teriak juga boleh," ujar Be
"Mas Ben ngomong aneh dua hari yang lalu ke gue dan pas coba gue minta penjelasan, dia menghindar," sebut Ann dengan pandangan nanar ke arah kolam ikan di taman depan. "Dia cuma coba antisipasi. Kita nggak tau apa yang bakalan terjadi ke depannya juga," ucap Danisha mencoba memberi pengertian pada kakak iparnya. Danisha baru tiba pagi ini di Jakarta, rencananya selama dua minggu ia akan menemani Ann mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kuliahnya karena Benji sibuk menangani pekerjaan. Jadi, untuk sementara, Ben memintanya secara khusus untuk terbang ke Indonesia dan memasrahkan penjagaan Christ di Jepang sana pada Bastian dan kerabat perkumpulan termasuk sang kakek. "Dengan minta lo balik Indo secara tiba-tiba gini, gue jadi makin curiga ada yang lagi ketua kita sembunyiin, Sha," ucap Ann yakin. "Dia tipe yang nggak mau asal bertindak dulu sebelom dapet kepastian. Lo tau sendiri Ben itu bukan orang yang gampang percaya sama orang laen. Menurut gue, dia coba ngeyakinin
"Jadi?" Ann membuat Ben menghentikan kunyahannya. Ia tatap suaminya sangat tajam, bahkan tak rela melepaskan bayangan Ben sekalipun dari pandangannya. "Kamu pengin aku cerita soal apa? Danisha bahas apa sama kamu?" tanya Ben sabar. "Seberapa parah yang kejadian di wilayah timur? Kamu harus turun tangan sendiri?" tembak Ann tak mau berbasa-basi. Ben meletakkan sumpitnya, ia sandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Lalu diangkatnya gelas air putih yang tadi sempat disiapkan Ann untuknya. Sejenak ia dan Ann hanya saling tatap dalam diam, yang satu menunggu penjelasan, satunya lagi mencari kalimat paling ringan untuk memulai penjelasan. "Masih bisa diatasi," ucap Ben kemudian, ia membasahi bibirnya pertanda ini bukan jawaban terjujur yang pernah ia katakan pada sang istri. "Eriska?" tebak Ann langsung. Ben menggeleng, "Aku belom tau. Beberapa bantuan dari Jogja sama Bandung lagi nyoba nyari tau siapa dalang pengkhianat yang ngabisin orang-orang loyal dari pihak kita," desisnya. "Ja
Ben melepaskan sarung pedangnya begitu ia turun dari mobil. Dilihatnya di kejauhan, Logan sudah berhasil menumbangkan orang-orang dari pihak Ben. Di seberang Logan, Benji menghunus pedangnya, bersiap menghadapi serangan. "Bang!" panggil Ben hingga membuat Benji menolehnya. "Ketua datang juga," sambut Logan berkelakar senang. "Luar biasa keluarga Takahashi ini ya. Setelah membuang calon ketua, sekarang jadi anjing setia si terbuang," kekehnya menghina. "Lo ngomongin gue?" Ben tersenyum miring. "Punya kekuatan sebesar apa lo? Berani banget dateng ke sini cuma buat keributan, ngebunuh orang-orang yang harusnya lo anggep sodara sendiri," desisnya. "Cih!" Logan meludah sembarangan. "Kita nggak akan bisa jadi sodara, Ben. Lo seharusnya tau soal itu sejak awal. Sodara macam apa yang ngerampas hak sodara lain?" "Hak? Kekuasaan atas klan dan perkumpulan selalu ditentuin dengan cara yang sama. Ben menang dengan cara yang sangat adil!" sergah Benji tersinggung. "Kalau dia nggak kalian pung
Tiba-tiba, Logan ambruk. Pegangannya pada pedang yang tengah ia gunakan untuk menusuk dada Ben, terlepas. Darah mengalir cepat dari pundaknya, seseorang menembaknya dari kejauhan. Sayup, Ben bisa mendengar suara langkah berlari mendekat. Sosok itu bersimpuh di samping Ben, meneliti sekujur tubuh Ben dengan begitu panik. Jemari lembutny gemetaran, ditangkupnya wajah Ben agar membuat lelaki ini tetap tersadar. "Ben, tetep sadar, kumohon.""Eriska," desah Ben timbul tenggelam. "Gue udah bilang jangan pernah lo berani nyentuh Ben!" teriak Eriska berdiri tertatih. "Gue nggak main-main soal ancaman gue!" jeritnya. "Apa?" Logan berusaha bangun. "Gue juga bisa bunuh lo sekalian kalau lo berdua mau jadi versi Romeo-Juliet!" teriaknya tak terkendali dan ia menyerang Eriska dengan sisa tenaganya. Tak sempat menghindar, Eriska terkena goresan pedang di wajah ayunya. Pun ia berusaha menahan Logan agar tidak menyasar Ben, Eriska pasang badan hingga ia tertusuk tepat di pundaknya. Perlawanan te
Telaten, Ann menyeka wajah dan lengan Ben menggunakan kompres hangat, setia menunggui sang suami. Sejak semalam, Ben bergeming, angkuh dalam ketidaksadarannya. Sebelumnya, Ben tidak pernah begini, terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Ben adalah sosok tangguh yang tidak pernah tumbang di mata Ann, itulah yang membuat Ann begitu cemas dan khawatir karena kondisi sang ketua saat ini. "Belom bangun?" tegur Bastian yang datang baru saja, sengaja terbang langsung dari Jepang bersama Taka. Ann menoleh, ia menggeleng lemah. Disambutnya kedatangan Bastian dengan membungkukkan badan, khas tradisi penghormatan di dalam perkumpulan. Bastian mendekat setelah balas membungkukkan badan pada Ann, ia tepuk pundak adik iparnya itu pelan. "Harusnya efek biusnya habis bentar lagi kata dokter," ucap Ann lirih. "Ben nggak akan mati, Ane-san. Lo tenang aja," ucap Bastian berusaha menenangkan. "Gue tau, kalau dia berani ninggalin gue di situasi kayak gini, gue bakalan kejar dia, ke neraka sek
Bastian menatap Ann tegang, sementara Ann masih mematung di tempatnya. Di ranjang, Ben mengumpulkan kesadaran, mengerang lirih di antara panggilannya pada Eriska."Gue panggil dokter dulu," pamit Ann bergegas keluar tapi ia bertemu dengan Benji di ambang pintu."Gue aja yang panggil, lo tetep di sini," kata Benji segera berbalik pergi tanpa memberi kesempatan pada Ann untuk membantah. Ann membeku lagi, ia tak bergerak mendekat, hanya melihat Bastian yang mengamati Ben di sebelah ranjangnya. Hatinya tercabik menyadari kenyataan bahwa Ben lebih mencari Eriska ketimbang dirinya ketika membuka mata. Segenap rasa percaya dirinya runtuh, Ann kehilangan keyakinannya terhadap sang suami. "Brengsek mulut lo!" sergah Bastian tak sabar menunggu Ben mendapat kesadaran sepenuhnya. "Bisa-bisanya malah nyari Eriska," dumalnya serasa ingin menoyor kepala sang adik saking gemasnya. Ben yang masih bingung antara sadar dan tidak hanya sesekali mengerutkan dahinya. Ia juga masih belum kuat untuk bicar