Telaten, Ann menyeka wajah dan lengan Ben menggunakan kompres hangat, setia menunggui sang suami. Sejak semalam, Ben bergeming, angkuh dalam ketidaksadarannya. Sebelumnya, Ben tidak pernah begini, terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit. Ben adalah sosok tangguh yang tidak pernah tumbang di mata Ann, itulah yang membuat Ann begitu cemas dan khawatir karena kondisi sang ketua saat ini. "Belom bangun?" tegur Bastian yang datang baru saja, sengaja terbang langsung dari Jepang bersama Taka. Ann menoleh, ia menggeleng lemah. Disambutnya kedatangan Bastian dengan membungkukkan badan, khas tradisi penghormatan di dalam perkumpulan. Bastian mendekat setelah balas membungkukkan badan pada Ann, ia tepuk pundak adik iparnya itu pelan. "Harusnya efek biusnya habis bentar lagi kata dokter," ucap Ann lirih. "Ben nggak akan mati, Ane-san. Lo tenang aja," ucap Bastian berusaha menenangkan. "Gue tau, kalau dia berani ninggalin gue di situasi kayak gini, gue bakalan kejar dia, ke neraka sek
Bastian menatap Ann tegang, sementara Ann masih mematung di tempatnya. Di ranjang, Ben mengumpulkan kesadaran, mengerang lirih di antara panggilannya pada Eriska."Gue panggil dokter dulu," pamit Ann bergegas keluar tapi ia bertemu dengan Benji di ambang pintu."Gue aja yang panggil, lo tetep di sini," kata Benji segera berbalik pergi tanpa memberi kesempatan pada Ann untuk membantah. Ann membeku lagi, ia tak bergerak mendekat, hanya melihat Bastian yang mengamati Ben di sebelah ranjangnya. Hatinya tercabik menyadari kenyataan bahwa Ben lebih mencari Eriska ketimbang dirinya ketika membuka mata. Segenap rasa percaya dirinya runtuh, Ann kehilangan keyakinannya terhadap sang suami. "Brengsek mulut lo!" sergah Bastian tak sabar menunggu Ben mendapat kesadaran sepenuhnya. "Bisa-bisanya malah nyari Eriska," dumalnya serasa ingin menoyor kepala sang adik saking gemasnya. Ben yang masih bingung antara sadar dan tidak hanya sesekali mengerutkan dahinya. Ia juga masih belum kuat untuk bicar
"Ann," Danisha tergagap di ambang pintu saat melihat Ann buru-buru menyeka air matanya. "Ya?" Ann tampak memaksakan senyum di wajahnya. "Kenapa, Sha?" tanyanya menghampiri Danisha. "Gue mau pulang," balas Danisha masih menatap Ann dan Ben bergantian. "Lo mau nitip dibawain apa nanti sama Bas?" tanyanya. "Baju ganti aja Sha, lo ambil di kamar atas," kata Ann. "Luka lo gimana? Udah aman?" tanyanya balik seraya meneliti sekujur tubuh Danisha. "Udah baikan, udah boleh pulang berarti udah aman kan," ucap Danisha mengusap pundak Ann dengan sengaja, ia tahu kakak iparnya ini tengah tak enak hati entah karena apa. "Ben," ia menyapa sang kakak tampan, "gue balik duluan," pamitnya. Ben mengangguk pelan tanpa menjawab. Ia berusaha mengangkat tangannya untuk memberi lambaian pada Danisha. Ann mengantar Danisha hingga ke pintu, memeluknya sebentar lalu melambai ringan. Langkahnya memaku sejenak, ia takut berhadapan dengan Ben, khawatir ia akan menangis lagi. "Ane-san," panggil Ben. "Sini, pu
Obrolan krusial Ann dan Ben tak berlanjut karena setelahnya, Benji datang melapor tentang Eriska. Karena kematian Logan yang tertembak senjata api, Eriska harus berurusan dengan polisi. Irfan Adyaksa datang menemui sang anak tercinta, memindahkan perawatan Eriska tanpa sepengetahuan Benji baru saja. "Jadi dia kabur?" tanya Ann lirih, ia tak mau Ben mendengar obrolannya dengan Benji dari dalam kamar perawatan. "Dibawa pergi, dua orangnya kita yang lagi berjaga dilumpuhin pake bius, polisi lagi nyoba ngejar jejaknya. Tapi lo tau sendiri, pengaruh Adyaksa masih cukup gede di urusan hukum, sebanding sama keluarga kita, jadi gue rasa Eriska juga bakalan lolos kalau Irfan turun tangan," urai Benji kesal. "Adyaksa ini nggak ada habisnya, Bang," keluh Ann mengurut keningnya. "Kita denger sendiri gimana Irfan bilang kalau dia sama Eriska udah nggak ada urusan, nyatanya, sekarang Irfan melibatkan diri lagi. Licik banget mereka," desisnya. "Itu emang cara kerja orang Adyaksa, Ann. Lo nggak l
Ann tak menunggu Ben memberi jawaban atas sikapnya yang membuat sang suami harus menentukan pilihan. Ia memilih untuk bungkam, tapi ia tetap mengerjakan kewajibannya sebagai istri. Siang hari ia akan pulang untuk bersih-bersih dan berganti baju, lalu malam ia akan datang lagi, tidur di rumah sakit menemani sang suami. Sepanjang tiga hari Ben menghabiskan masa perawatannya di rumah sakit, selama itu pula Ann tak mengajak bicara suaminya. "Jangan maksain buat ngantor dulu, lo harus istirahat sampe bener-bener pulih," nasihat Bastian yang mengantar Ben istirahat ke kamar tepat di hari kepulangan sang ketua perkumpulan dari rumah sakit. "Gue nggak biasa baring-baring nggak ngapa-ngapain," desis Ben ngeyel."Lo tusuk lagi aja kakinya kalau dia ngeyel nggak mau istirahat, Ann," pinta Bastian menoleh Ann. Ann hanya mengangguk sekenanya. Ia tata beberapa baju ganti Ben yang masih bersih ke dalam lemari. Ekspresinya dingin, tak ceria seperti sebelumnya. Ann juga hanya bicara sekenanya menan
"Dirayu aja nggak mempan, ini malah mau nidurin," desis Ann berdiri spontan tapi Ben langsung menahan tangannya. "Aku harus gimana, Ann?" ulang Ben setengah putus asa. "Kamu janji buat cepet balik tanpa terluka, tapi kamu justru masuk IGD dengan perut bolong dan pas bangun nyebut nama mantan pacar kamu itu pula. Wajar nggak aku uring-uringan dan ngerasa terbuang gini?""Wajar," balas Ben. "Aku tau perasaanmu, Ann. Makanya aku berusaha buat bikin kekalutanmu ini berkurang. Aku bakalan ngilangin pikiran berhutang nyawa ke Eriska, aku nggak punya hutang apapun sama dia, dia yang berhutang banyak sama kita. Iya kan?" tanyanya. Ann diam. "Seandainya yang muncul buat pasang badan itu kamu, aku milih mati aja, Ann. Aku nggak mau kamu terluka. Jujur, ini aku nggak membela diri. Kenapa aku sampe bisa kena serangan Logan adalah karena dia bilang rumah juga diserang. Aku kepikiran kamu sama Danisha yang nggak ada back up orang-orang kita. Konsentrasiku terpecah. Kamu tau sendiri pedang itu s
"Aku nggak bisa ngebujuk kamu pake kata-kata. Jadi, biar kuselesaiin semuanya sekarang," desis Ben berusaha melepas cengkeraman Ann di lengannya. "Kamu masih belom pulih, Mas," kata Ann bertahan. "Aku nggak bisa diabaikan gini Ann, kamu harus kubikin percaya dulu. Lepasin, biar kususul sodara-sodaraku," ucap Ben keukeuh. "Aku ikut!" putus Ann. "Kalau kamu mau bikin aku percaya, bawa aku sama kamu, Mas!" tegasnya. "Kamu udah gila?" "Kenapa? Kamu pengin ninggalin aku buat ketemu sama Eriska?" tantang Ann. "Ane-san!" gemas Ben geregetan. "Aku ikut atau kamu nggak usah pergi.""Oke, ayok ikut. Kamu yang nyetir," desis Ben tak memiliki pilihan lain. Membuat keputusan bersama dengan resiko terluka nantinya memang tak bisa Ben hindari. Ia harus bisa meyakinkan istrinya, membuat Ann percaya perasaannya. Walau sebenarnya Ben tahu, Ann hanya ingin mengujinya, tidak benar-benar menginginkannya membunuh Eriska. "Ini lokasinya," ujar Ben menyerahkan ponselnya pada Ann. "Benji yang kirim,"
"Irfan nggak kekejar, tapi Eriska bisa diamanin sama Danisha," lapor Bastian begitu Ben dan Ann tiba di rumah sakit yang alamatnya dikirim oleh Benji pada Ben. "Kayaknya Eriska emang sengaja buat tinggal. Dia mau ketemu lo," tambahnya. "Sekarang di mana dia?" Ben meneliti sekitar. "Danisha bawa dia ke rumah Galang, basis kekuatan klan kita di sini. Kuta susul ke sana aja," jawab Bastian. "Eriska, apa dia baik-baik aja? Udah sehat?" tanya Ann sengaja menahan langkah Bastian. "Iya, dia baik-baik aja. Lengannya udah mulai pulih, dia kabur sama Irfan karena takut dikejar polisi," ungkap Bastian. "Sejak kapan Adyaksa takut sama polisi," desis Ann merasa aneh. "Kita liat dia dulu," ucap Ben seperti tak memedulikan kecurigaan Ann.Bastian sempat menatap Ann sebentar, melihat reaksi sang adik ipar yang datar itu. Baru kemudian ia berjalan lebih dulu diikuti oleh Ben dan Ann masuk ke dalam satu mobil yang sama, menuju rumah milik orang bernama Galang yang tadi disebutkan. Perjalanan dit