Para ahli astronomi dunia dibuat geger karena adanya perubahan pada salah satu bintang di rasi Orion yang bernama Betelgeuse. Semula, ukuran bintang itu biasa saja layaknya matahari, namun begitu Betelgeuse semakin tua, warnanya berubah menjadi merah dengan ukuran yang terus membesar. Para ahli menduga kalau hal itu diakibatkan oleh kadar hidrogen yang menipis dan mengakibatkan cahaya bintang itu meredup. Mereka menduga bahwa Betelgeuse akan meledak sebagai supernova. Di sisi lain, kehidupan di Betelgeuse terancam saat melemahnya kekuatan. Para penghuni Betelgeuse lalu menemukan Bumi, yang diyakini sebagai sumber energi baru dengan kandungan hidrogen yang melimpah. Di tengah rencana itu, penghuni Betelgeuse terpecah menjadi dua kelompok, di mana salah satunya ingin menguasai bumi. Kedatangan mereka pun diketahui oleh seorang gadis bernama Isla, dan dia secara tidak sadar menolong salah satu dari mereka dan hal itu membawanya ke dalam berbagai masalah besar.
Lihat lebih banyakSuhu di kota Gothenburg mencapai tujuh derajat celcius di awal tahun. Namun meskipun begitu, keadaan langit pada siang hari tampak begitu cerah seperti biasa, berikut dengan aktivitas masyarakatnya.
Salah satu sekolah menengah atas terbesar di kota itu tampak ramai begitu bel jam terakhir dibunyikan. Semilir angin perlahan datang seolah menyambut para murid begitu mereka menginjakkan kaki di permukaan halaman sekolah.
“Kau sudah cukup banyak mengambil gambar kemarin. Apa hari ini kau mau pergi lagi?” Seorang gadis berambut ikal merangkul rekannya yang tengah mengelapi sebuah kamera.
“Hm.”
“Isla, Isla. Kau masih saja belum kapok setelah kemarin hampir dikejar babi hutan?” Teresa menarik pipi sahabatnya.
“Itu kan kemarin. Aku tidak boleh menyerah, lagi pula ibuku tidak akan marah.” Gadis bernama Isla itu mengedipkan salah satu matanya.
“Ibumu tak marah karena kau beralasan mengerjakan tugas. Iya, kan?”
Sebuah cengiran tercetak di bibir Isla. Ia mengalungkaan kameranya ke leher.
“Kali ini kau mau pergi ke mana lagi?”
Isla menarik kedua sudut bibirnya ke atas hingga membentuk sebuah seringaian tipis. “Trollehallar,” ujarnya.
Hening selama beberapa saat, sebelum akhirnya kedua mata milik Teresa membulat. “K-kau gila?!” Ia lantas memukul lengan Isla hingga gadis itu mengaduh pelan.
“Kenapa malah memukulku? Kau takut aku benar-benar dikejar babi hutan, huh?”
“Bukan itu. Apa kau tidak tahu? Kudengar beberapa hari terakhir, di sana ada peristiwa aneh –“
“Kau terlalu sering menonton Narnia, kurasa. Hal aneh seperti apa?”
“Aku tidak tahu, tapi firasatku tidak enak jadi kau jangan ke sana. Hm? Lagi pula tempat itu cukup jauh dan ini sudah sore. Kenapa tidak lusa saja? Bukannya lusa libur?” Teresa memeluk lengan Isla kian erat, seolah tak mengizinkannya bergerak satu senti pun.
“Ah, aku pasti tidak bisa tidur jika menundanya terus.”
“Ayolah, lusa nanti kau bisa memotret di sana sepuasnya.”
Isla melirik Teresa yang tampak memohon. Ia menghela napas pelan. “Baiklah.” Ia lalu mengacak pelan rambut Teresa. Keduanya lantas pergi menuju sebuah halte yang terletak di dekat sekolah.
***
“Salah satu bintang paling terang akan mengalami supernova lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Ukurannya semakin bertambah seiring berjalannya waktu, bersamaan dengan cahayanya yang semakin memudar. Para ahli menduga kalau hal ini dikibatkan menipisnya kadar hidrogen, dan membuat bintang ini menjadi bintang raksasa merah yang ukurannya jauh melampaui matahari.”
“Ibu selalu saja menonton berita. Sesekali tonton drama, itu lebih menyenangkan. Apa kepala ibu tidak sakit karena sering menonton hal seperti ini?” Isla menghempaskan tubuhnya ke permukaan empuk sofa dan meminum gelas jus milik sang ibu.
“Bintang ini akan menjadi suatu saat nanti, kapanpun berdasarkan skala waktu astronomi yang berarti dalam seratus ribu tahun lagi,” ungkap seorang pria berkacamata yang ada di televisi.
“Seratus ribu tahun? Lucu sekali, bahkan sebelum bintang itu meledak, aku sudah berada di alam lain.” Isla beranjak dari posisinya dan berjalan menuju kamar dengan tas diseret di atas permukaan lantai. Kedua telinganya masih aktif mendengarkan ucapan pria berkacamata tadi, sesekali dibalas cibiran olehnya.
Gadis itu lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan melihat hasil bidikannya kemarin. Ia tersenyum puas memandangi hasilnya. Bakat memotretnya memang tidak boleh ia sia-siakan. Kemudian ia kembali mendudukkan tubuhnya dan menatap ke sekitar, mencari sesuatu yang menarik untuk dijadikan model fotonya kali ini.
“Ah, itu dia!” Isla tersenyum dan mengarahkan kameranya ke luar jendela kamar, tepatnya ke arah seekor burung yang hinggap di salah satu dahan pohon.
“Oke, tetaplah berada di sana. Satu, dua, ti –“ Hitungan Isla terhenti dan kedua tangannya bergerak menurunkan kamera yang ia pegang. Ia menatap sebuah garis kemerahan yang terbentuk di langit secara tiba-tiba. Kedua kakinya lalu bergerak mendekat ke jendela, membuat burung tadi terbang melarikan diri.
“Apa itu?” gumamnya. Garis berwarna merah itu menghilang begitu saja.
***
Burung-burung berhamburan menjauhi pohon saat ada sesuatu yang melesat dengan cepat menuju hutan. Beberapa pasang kaki terlihat menapak di atas permukaan tanah, sementara kedua mata sang pemilik menelusuri keadaan di sekitar.
“Aku yakin tadi melihatnya ke sini.” Salah satu di antaranya berujar. Sebuah lambang burung phoenix yang terdapat di punggung tangannya mengkilap, lalu dalam sekejap permukaan rumput di depannya mengeluarkan kobaran api.
“Dia tidak akan bisa ke mana-mana.” Ia menyeringai.
Seorang lelaki yang berada di sebelahnya lalu maju selangkah, dan dalam waktu kurang dari satu detik ia sudah berada di salah satu dahan pohon. Ia menyipitkan kedua matanya, lalu kembali ke tempat semula hanya dalam kedipan mata. “Dia tidak di sini.” Sebuah tanda segitiga di punggung tangannya mengkilap, persis seperti milik rekannya tadi.
“Ayo cari ke tempat lain.”
Tidak jauh dari kobaran api itu, seekor anak anjing tampak menatap kepergian orang-orang tadi dari balik sebuah pohon besar.
***
Isla melahap roti isinya dengan lahap hingga kedua pipinya tampak seperti tempat penyimpanan makanan. Sang ibu yang baru saja selesai mencuci peralatan memasaknya pun mengelap tangannya dan berjalan menuju meja makan.
“Setelah pulang sekolah, kau harus pulang ke rumah dan jangan pergi ke mana pun.” Maria berujar dengan nada tak biasa, membuat Isla menelan makanannya dengan paksa.
“Te-Tentu saja. Memangnya Ibu pikir aku ini mau ke mana?”
“Ibu tahu kalau kau hari ini berencana pergi ke Trollehallar.”
Isla menurunkan roti isi miliknya dan menatap ibunya dengan kedua mata membulat. “Apa Teresa mengatakan sesuatu?”
“Ibu tidak sengaja melihat buku jurnalmu kemarin saat membereskan kamarmu. Jika kau memang berniat pergi ke sana, Ibu tidak mengizinkannya.”
“A-apa? Tapi kenapa?”
“Kemarin sore Trollehallar kebakaran.”
Kedua alis Isla saling bertaut. “Hah?”
“Ibu menonton berita pagi ini dan mereka mengatakan kalau Trollehallar kebakaran kemarin. Polisi setempat dan pemadam kebakaran ke sana tapi mereka berkata kalau api sudah padam begitu mereka sampai.”
“Mungkin itu karena angin. Mana bisa apinya padam sendiri? Kemarin tidak ada perkiraan hujan, kan?” Isla kembali mengunyah roti isinya.
“Bodoh. Jika itu angin, apinya justru akan membesar, bukannya malah padam. Tapi aneh sekali karena mereka bilang keadaan tanah di sana basah, itu artinya air yang memadamkan apinya.” Maria mengerutkan dahi, mengingat-ingat setiap kalimat yang diucapkan oleh seorang reporter yang muncul di berita pagi tadi.
“Kemarin tidak hujan, Bu. Apa Ibu bercanda? Apa air-air di sungai itu pindah dengan sendirinya dan memadamkan api? Lucu sekali.”
Maria membuang napas dan menatap kembali putrinya. “Pokoknya Ibu tidak mengizinkanmu ke sana.” Setelah meletakkan kotak makan siang di tas milik Isla, Maria berjalan membuka kulkas dan mengeluarkan beberapa buah.
Tak ada satu pun kalimat yang keluar dari bibir Isla setelahnya. Gadis itu mengunyah makanannya dengan nafsu makan yang sudah menghilang. Ia pun meminum habis segelas susu di depannya dan beranjak dari kursi, lalu mencium salah satu pipi ibunya dan meninggalkan gigitan terakhir roti isi tadi di atas piring.
Dengan tangan yang bergetar, Isla kemudian meraih tangan yang terulur padanya itu dan entah mendapat kekuatan dari mana, ia langsung bangkit lalu berhambur memeluk sosok di depannya dengan erat.Mungkin jika ia tak berhasil menahan tubuh Isla yang tiba-tiba menyerangnya, mereka berdua pasti akan langsung jatuh ke atas permukaan rumput."Dasar bodoh," ujar Isla pelan. Pada akhirnya gadis itu tak bisa lagi menahan segala isakan yang sedari tadi ia tahan dengan sekuat tenaga. "Aku merindukanmu ... Rhys," lirihnya.Rhys terdiam selama beberapa saat usai ia mendengar ucapan Isla barusan. Kemudian pria itu tersenyum tipis dan tangannya beralih mengusap punggung Isla. "Maafkan aku, ya."Dengan perlahan kemudian Rhys melepas pelukan Isla dan ia mengalungkan kembali kamera milik gadis itu di lehernya."Setidaknya perhatikan langkahmu saat berlari, dasar ceroboh." Rhys berujar seraya mengusap kedua pipi Isla yang basah.Buk!
Mobil milik Maria sudah melaju dan membelah jalanan di kota Goteborg dan sekarang ini ia dan juga putrinya tengah menuju ke Angelholm untuk urusan pekerjaannya, dan memungkinkannya menginap selama beberapa hari di rumah adiknya yang berada di sana juga bersama dengan putri semata wayangnya.Isla yang kemarin sempat protes karena rencana awal liburannya ditunda itu pun kini tak mengoceh atau sekadar melayangkan sebuah komplain pada sang ibu."Apa kau membawa kameramu?" tanya Maria.Isla kemudian menganggukkan kepalanya pelan. "Hm. Sudah aku letakkan di dalam koper."Perlahan, kedua sudut bibir Maria pun naik dan membentuk seulas senyuman tipis tanpa diketahui oleh sang putri. Setidaknya Isla tak akan mati kebosanan selama berada di Angelholm, jadi Maria pun bisa bekerja dengan lebih tenang selama berada di sana. Ia tahu betul kalau putri semata wayangnya itu gampang sekali merasa bosan namun jika Isla sudah membawa kamera kesayangannya ke
"Barusan itu ... murid laki-laki yang kemarin, kan?" Isla berkedip dua kali."Kupikir aku barusan salah lihat, Isla. Tapi ternyata kau juga melihat hal yang sama denganku," ujar Teresa."Tapi kurasa ada yang aneh, ya. Kenapa laki-laki itu ... malah bersikap biasa saja? Maksudku, barusan dia bersikap seperti orang yang benar-benar berbeda dari yang kemarin memberikan cokelat dan juga croissant ini." Isla kemudian menatap cokelat yang tengah berada di salah satu tangannya."Apa mungkin kalau yang barusan itu bukan dia? Apa dia orang yang berbeda dari yang sebelumnya?" Teresa berkedip. Gadis itu langsung menghabiskan cokelat yang ada di tangannya itu."Tunggu, maksudmu kalau dia itu ... memiliki seorang kembaran di sini?" Isla kemudian menatap Teresa yang ada di sebelahnya. Sahabatnya itu juga tampak masih terkejut dan gais itu terlihat masih berusaha mencerna situasi yang baru saja ia alami."Atau mungkin kemarin kepalanya itu habis terbentur s
"Isla? Siapa itu Isla? Dan, apakah aku dan kau berada di sekolah yang sama?""Cokelat, katamu? Cokelat apa, ya? Aku benar-benar tidak paham dengan apa yang kau katakan.""Tunggu, tunggu. Kau dari tadi mengatakan tentang seseorang yang bernama Isla. Tapi aku benar-benar tak kenal dia, asal kau tahu saja. Mungkin kau ini salah orang, lain kali lebih teliti lah lagi. Kalau begitu aku permisi dulu."Alex seketika tak bisa diam di tempat tidurnya. Ia masih saja teringat dengan pria yang ditemuinya beberapa jam yang lalu itu.Bisa-bisanya dia lupa dengan kejadian pagi tadi. Padahal dia sendiri yang memulai semuanya. Dari menyimpan cokelat di dalam loker milik Isla secara diam-diam, hingga memberikan gadis itu sebuah croissant secara tiba-tiba saat sedang jam istirahat."Ini sangat aneh. Apa mungkin ya, dia memang memiliki seorang kembaran di sekolah? Dan yang tadi bicara denganku apakah mungkin kalau itu ternyata kembarannya yang lain,
Isla menatap sebungkus croissant yang diletakkan oleh seseorang di hadapannya dan kemudian gadis itu mendongakkan kepala untuk menatap siapa orang yang meletakkannya.Gadis itu kemudian terdiam selama beberapa saat, mencoba mengenali sosok yang kini berdiri di sebelah mejanya itu. Ia bahkan sama sekali tak mengenali orang itu.Sementara Teresa dan Alex juga terlihat menatap satu sama lain, namun tak ada satu pun dari mereka yang mengenali orang itu. Mereka berdua lalu menatap kembali orang itu dan berusaha mengenali orang yamg baru saja memberikan sebungkus croissant kepada Isla."Untukku?" tanya Isla.Laki-laki yang berdiri di sebelah itu kemudian menganggukkan kepala."Ma-maaf, tapi ... kau siapa, ya? Aku sama sekali tak mengenalimu," ujar Isla."Aku dari kelas lain," ujar laki-laki itu."Tunggu, apa kau ... orang yang tadi menaruh cokelat di dalam loker milik Isla?" Kini giliran Teresa yang kemud
Dua minggu kemudian ...Isla keluar dari salah satu ruangan dengan begitu lesu dan juga tak bersemangat. Dua orang yang menunggunya di depan pintu ruangan itu pun segera menyemangatinya agar Isla tak terlihat mengerikan dengan ekspresi yang ada di wajahnya itu."Astaga, ada apa dengan raut wajahmu yang menyedihkan ini? Hei, kau kenapa? Apa soalnya sangat sulit?" tanya Teresa begitu Isla keluar dari ruangan itu.Isla membuang napasnya pelan lalu gadis itu menggelengkan kepalanya."Lalu apa mau kau bisa mengerjakan semuanya?" Kini giliran Alex yang bertanya.Kali ini, Isla menganggukkan kepala. Teresa dan Alex pun saling mengerutkan dahi dan mereka menatap satu sama lain."Lalu? Apa masalahmu, Isla?" tanya Teresa dengan kening mengerut.Isla kemudian mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku yang ada di sana dan gadis itu mendengkus pelan. "Rasanya aku benar-benar hampir gila karena mengerjakan semua soal itu!" ujarnya."
Isla dan Teresa saat ini tengah memakan beberapa potong buah yang sudah disiapkan leh Maria beberapa waktu yang lalu seraya sesekali mengobrol tentang berbagai hal hingga mereka berdua pun tertawa satu sama lain."Emmm, ngomong-ngomong, Teresa, apakah saat ini kondisi bagian sekolah yang rusak sudah selesai diperbaiki?" tanya Isla sebelum gadis itu menggigit sepotong apel yang ia ambil dari piring yang ada di hadapannya. Saat ini ia dan juga Teresa tengah duduk bersila di atas tempat tidur dengan sepiring buah-buahan yang ada di depan mereka."Ah, soal itu. Kurasa sedikit lagi. Sebelumnya mereka memperbaiki pintu atap terlebih dahulu karena pintu itu benar-benar terlihat mengenaskan karena terbagi menjadi ukuran-ukuran yang lebih kecil dengan jumlah banyak," ujar Teresa. Gadis itu awalnya hendak menggigit potongan pir yang ia ambil dengan garpu namun ia mengurungkan niatnya itu dan kembali menatap Isla yang duduk di depannya."Isla, jika aku boleh tahu, se
Maria membka kedua matanya dan ia melihat Isla yang tertidur dengan ponsel yang berada di genggaman tangannya. Wanita itu kemudian berjalan mendekati tempat tidur putrinya untuk membenarkan letak posisi selimut Isla yang sedikit tersingkap seraya mengambil ponsel milik gadis itu secara perlahan agar ia tak membuat tidur putri semata wayangnya itu terganggu.Saat hendak menyimpan ponsel itu di atas meja, sebuah notifikasi masuk ke ponsel milik putrinya hingga layar benda pipih itu pun kembali menyala. Karena ponsel milik Isla memang sering tidak memakai password, Maria pun bisa dengan mudah mengecek ponselnya dan kali ini wanita itu melihat dari siapakah pesan itu berasal dan ternyata itu dari teresa namun Maria tak membalasnya, ia membiarkan isla saja yang akan mebmalas pesan itu nanti ketika gadis itu sudah bangun.Kemudian tanpa sengaja Maria melihat sebuah foto yang menampakkan dua orang yang ada di dalam foto itu."I-ini ... " Maria mengeru
"Hujannya deras sekali. Untung saja Ibu kembali tepat waktu." Maria meletakkan tasnya di atas meja.Isla yang berbaring di atas tempat tidur itu hanya diam saja seraya memandangi hujan di luar sana.Bersamaan dengan itu, Maria menemukan sebuket bunga yang berada di atas meja. Kedua alisnya saling bertaut menatap benda itu."Tunggu dulu,ini bunga dari siapa?" tanya Maria.Isla menatap buket yang tengah Maria pegang, kemudian gadis itu menjawab, "tadi pagi Alex datang ke sini sebelum dia berangkat ke sekolah," ujarnya."Benarkah?" Maria berkedip dua kali dan wanita itu kemudian menatap buket di tangannya, hingga akhirnya ia tersenyum setelahnya. "Dia memang anak yang baik," ujar Maria dan wanita itu terkikih setelahnya."Berarti sore ini Alex dan juga Teresa tak akan datang ke sini?" tanya Maria kembali."Hm. Aku sudah menghubungi Teresa agar dia dan juga Alex tak perlu datang ke sini karena hujan deras yang tak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen