"Ramalan cuaca pagi tadi mengatakan kalau hari ini akan cerah, tapi malah sebaliknya. Dasar payah." Teresa membuka mulutnya lebar lalu menggigit burger yang baru saja dibelinya di kantin. Ia mendengkus begitu hujan tiba-tiba turun, padahal tadi pagi cuaca masih cerah dengan matahari yang bersinar begitu terang.
Di depannya, Isla ikut menatap keadaan di luar sana. Karena hujan, mau tidak mau semua murid menghabiskan waktu istirahat mereka di dalam ruangan. "Ramalan cuaca tidak selalu akurat. Mungkin saja ada perubahan angin." Ia lalu beranjak dari tempatnya.
"Kau mau ke mana? Burgermu kan belum datang." Teresa berujar.
"Aku mau ke toilet sebentar."Isla berjalan keluar dari kantin. Hujan membuat suhu di sekitarnya berubah menjadi sedikit lebih dingin. Hal itu sudah pasti berpengaruh padanya yang cukup sensitif terhadap dingin. Ginjalnya akan menyaring lebih banyak darah dan menghasilkan lebih banyak urine, sehingga membuatnya lebih sering buang air kecil dan Isla membenci hal itu.
Beruntung koridor menuju kamar mandi tidak dipenuhi oleh murid laki-laki super menyebalkan yang selalu mengganggu perempuan setiap kali lewat. Setelah selesai dengan urusannya, Isla memutuskan kembali ke kantin. Perutnya sudah lapar dan burger miliknya sekarang ini pasti sudah menunggu di atas meja.
"Ah, aku lupa." Isla menepuk pelan dahinya dan memutar arah langkahnya. Gadis itu menaiki satu per satu anak tangga menuju ke lantai tiga. Kurang dari dua menit, ia sampai di perpustakaan sekolahnya.
"Tumben sekali sepi." Isla menelusuri beberapa rak besar dan mencari buku yang ingin dipinjamnya. Lalu tidak lama seelahnya, ia berhenti saat melihat sebuah buku yang menarik perhatiannya. Karena terletak di bagian atas, gadis itu pun menggunakan tangga untuk mengambilnya.
"Betelgeuse?" Kening Isla mengerut. Buku tebal dengan sampul warna cokelat itu tampak begitu asing. Namun, Isla mendadak seperti familier dengan judul yang tertera pada sampul. "Ah, Betelgeuse. Bintang yang sekarat itu, kan?"
Isla menuruni tangga dan membuka buku itu. Tidak seperti buku sains, sejarah, atau bahkan novel. Menurutnya, itu lebih terlihat seperti buku tua peninggalan Albert Einstein. Desain sampulnya kuno dan warnanya cokelat, persis seperti buku-buku tua di museum.
Di halaman pertama, ia melihat sebuah gambar berbentuk bulat dengan arsiran tipis di sekelilingnya. Di bawahnya, terdapat sebuah tulisan namun ia tak bisa membacanya karena huruf yang digunakan tampak begitu asing. "Inikah Betelgeuse?"
"Buku ini bahkan lebih cocok ada tangan arkeolog daripada di sini," ujarnya. Ia lalu kembali membukanya, dan melihat gambar bulatan tadi memiliki retakan hingga membelah Betelgeuse menjadi dua bagian. Halaman ketiga, Isla berkedip dua kali. Terdapat banyak paragraf dengan huruf memusingkan persis seperti yang ada di halaman awal. Entah ada gambar-gambar apa lagi di halaman ke empat dan seterusnya, Isla tidak mau tahu.
"Buku macam apa ini?" Isla langsung menutup buku itu dan berniat menimpannya lagi. Namun saat ia hendak menaiki tangga, seseorang tiba-tiba berbicara padanya.
"Di dalam sana berisi semua tentang Betelgeuse."
Isla menoleh dan melihat seorang laki-laki berambut merah marun tengah bersandar di salah satu rak tepat di sebelahnya, entah sejak kapan.
Kedua alis Isla saling bertaut, menatap penampilan pria itu dari atas hingga bawah. "Kau siapa?"
Pria itu tak menjawab, lantas menutup buku yang ada di tangannya dan menyimpannya kembali ke dalam rak.
"Betelgeuse membutuhkan banyak kandungan hidrogen," ucap pria itu. "Terlalu banyak helium yang digunakan, lalu mengubahnya menjadi karbon dan oksigen. Jika ini terus berlanjut, maka Betelgeuse akan menggunakan unsur-unsur yang lebih berat lalu hancur."
"A-ah, benarkah? Apa kau sudah membaca buku ini? Kau paham apa yang ditulis di sini?" Isla menatap buku di tangannya. Melihat huruf-huruf di sana hanya membuatnya mual. "Betelgeuse hampir mati, kan? Kalau begitu biarkan saja. Aku melihat kalau di buku ini Betelgeuse terbelah menjadi dua lalu hancur dan menjadi supernova. Lantas apa lagi? Aku tidak begitu peduli kalau Betelgeuse adalah salah satu bintang paling terang di rasi Orion atau apapun, aku tidak tertarik. Kalau takdirnya akan hancur, ya sudah."
"Kau tidak ingin membantu?" Pria itu maju dua langkah ke arah Isla.
"Membantu? Membantu apa?"
"Bumi memiliki kandungan hidrogen yang banyak, namun sudah tercampur dengan unsur lain-"
"Tunggu, maksudmu kau ingin aku membuat hidrogen untuk bintang sekarat itu? Kau gila? Mungkin miliaran tahun pun tidak akan cukup. Lagi pula apa yang harus aku lakukan? Pergi ke luar angkasa bersama astronot? Atau terbang dengan phoenix?" Isla menatap lelaki di depannya tak percaya. "Ide macam apa itu? Bahkan para astronom saja tidak harus repot-repot mengurusi kehidupan bintang di luar angkasa sana. Kau dari kelas mana? Kuharap wali kelasmu tidak menyesal memiliki murid sepertimu." Ia meletakkan buku itu dengan asal ke rak dan pergi setelahnya.
Pria di belakangnya menatap kepergian Isla dengan salah satu sudut bibir yang naik.
***
Isla kembali ke kantin dengan raut wajah yang kurang menyenangkan, membuat Teresa yang semula hendak mengomelinya langsung bertanya-tanya. Isla tampak kesal, seperti habis bertengkar.
"Ada apa?" tanya Teresa begitu sahabatnya duduk dan mulai memakan burgernya dengan gigitan berukuran besar.
"Aku barusan pergi ke perpustakaan dan bertemu dengan seorang pria yang entah dari kelas mana, rambutnya berwarna merah marun dan dia tidak memakai seragam. Ah, kurasa aku melihat sesuatu di punggung tangannya. Apakah itu tato?" ujar Isla panjang lebar.
Teresa dibuat melongo begitu Isla mulai bicara. "Kau ini membicarakan apa? Tidak ada murid seperti itu di sini? Bahkan tidak ada guru yang mengecat warna rambutnya. Dan apa kau bilang barusan? Tato? Kau pasti bermimpi."
Isla tersedak pelan. "Entahlah, atau mungkin saja dia murid baru di kelas lain," ujarnya. "Ah, iya. Kau ingat bintang yang akan jadi supernova itu? Yang sering diberitakan di TV."
"Bintang? Ah, maksudmu Betelgeuse?"
Isla mengangguk. "Aku menemukan sebuah buku aneh di perpustakaam yang berisi tentang itu. Aku tidak bisa membacanya sama sekali karena huruf-hurufnya yang aneh. Lalu, pria itu secara mengejutkan mengatakan seluruh isi dari buku itu padaku. Dia bilang buku itu berisi tentang Betelgeuse. Dia bilang sekarang ini Betelgeuse menggabungkan helium dan mengubahnya menjadi karbon dan oksigen karena hidrogen yang terus menipis, dan jika itu terus terjadi maka Betelgeuse akan hancur lalu menjadi supernova."
"Benarkah? Tapi aku tidak pernah menemukan buku seperti itu di perpustakaan. Dan bagaimana dia bisa tahu? Bahkan NASA saja belum memberikan informasi lagi."
"Ah, entahlah. Aku bahkan sampai lupa tujuanku ke sana. Sial, aku jadi mual." Isla mengigit burger miliknya hingga salah satu pipinya tampak menggembung. Ia lalu menatap ke luar jendela, terkejut melihat cuaca yang kembali cerah dengan cepat.
"Tunggu. Sejak kapan hujan berhenti?"
Teresa mengikuti arah pandangan Isla lalu berkata, "tidak lama sebelum kau kembali. Langit tiba-tiba saja cerah."
"Kau pasti sudah gila." Teresa membuang napasnya kasar saat Isla melambaikan tangannya dari balik jendela bus. Entah apa yang ada di dalam otak sahabatnya itu, namun Teresa tak pernah paham, di saat orang lain menjauhi tempat misterius bernama Trollehallar, Isla justru terlihat seperti semakin tertarik dengan tempat yang satu itu.Bus perlahan melaju, membuat perasaan Teresa campur aduk seketika. Ia merasa seperti seorang ibu yang tengah melepaskan anak sematawayangnya untuk pergi merantau ke negeri orang.Sementara itu di dalam bus, Isla sudah terlihat sibuk mengotak-atik kameranya. Meskipun dalam hatinya ia masih merasa sedikit trauma dengan kejadian ajaib beberapa waktu lalu, tapi dia masih penasaran dengan tempat itu.Anak anjing, kebakaran, meteor jatuh, salju, serta laki-laki yang melemparkan batangan es padanya. Semua itu masih menyimpan banyak pertanyaan hingga detik ini. Isla tak habis pikir, di zaman seperti ini, masihkah ilmu sihir digunak
"Kenapa anak anjing itu selalu menunjukkan tatapan yang aneh? Warna bola matanya bisa berubah, kadang berwarna biru, lalu berubah menjadi merah.""Kau kenapa?" Maria bertanya pada Isla begitu menyadari kalau putrinya sedari tadi hanya melamun.Isla mengerjap, lalu menggelengkan kepalanya pelan. "Hehe. Tidak ada.""Kalau begitu bukalah pintunya.Kedua mata Isla kembali berkedip dua kali. "Ha?""Dari tadi belnya berbunyi. Kau benar-benar tidak dengar, ya? Ya ampun." Maria membuang napas pelan seraya menatap putrinya. Ia menyimpan beberapa sayuran ke dalam kulkas.Sementara Isla bergegas membukakan pintu dan gadis itu tersenyum begitu melihat sesosok wanita yang ada di baliknya."Bibi ... " Isla langsung berhambur ke dalam pelukan wanita yang baru saja ia panggil bibi itu."Kupikir kau tidak ada di rumah," ujar sang bibi begitu pelukan mereka terlepas."Kakak~" Seorang a
Isla berjalan menyusuri rak-rak besar dan mengambil beberapa buku paket yang dia perlukan. Gadis itu kembali ke meja tempatnya dan Teresa saat sudah menemukan buku yang ia cari."Teresa?" panggil Isla pelan. Gadis itu sedikit menoleh ke penjaga perpustakaan, takut-takut wanita tua berkacamata itu akan menegurnya secara tiba-tiba karena mendengar suaranya."Kenapa?" Teresa yang tengah menulis itu berujar tanpa menghentikan aktivitas menulisnya."Apa kau pernah melihat murid sekolah kita yang berambut marun?" tanya Isla.Kening Teresa seketika mengerut, lalu gadis itu tampak menghentikan pergerakan tangannya dan beralih menatap Isla. "Apa maksudmu?" ujarnya."Ya, begitu. Murid yang rambutnya dicat berwarna marun. Apa kau pernah melihatnya?""Pasti murid itu sudah gila karena melakukan hal bodoh di sekolah kita. Isla, sudah kukatakan kalau di sekolah kita tidak ada murid seperti itu. Kurasa sebelumnya kau pernah menanyakan itu
"Kakak~"Kedua mata Isla seketika terbuka saat seseorang mengguncang tubuhnya pelan. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya dan menatap Jason yang entah kapan sudah berada di dalam kamarnya."Ada apa, Jason?" tanya gadis itu."Aku pamit pulang. Maaf karena mengganggu tidur Kakak." Jason mendadak memasang raut wajah bersalah karena merasa mengganggu tidur Isla."Tidak apa-apa." Isla tertawa pelan lalu mengusap puncak kepala Jason dengan tangannya."Ya ampun, Jason. Harusnya kau tidak mengganggu tidur Kak Isla." Sang ibu ikut masuk ke dalam kamar tidak lama setelahnya, membuat Jason semakin menunduk."Haha, tidak apa-apa, Bibi.""Kalau begitu kami pamit pulang, ya." Jason dan ibunya segera berpamitan dari sana.Sepeninggal mereka berdua, Isla termenung di posisinya. Gadis itu menatap ke sekitar dengan kedua alis yang bertaut."Apa tadi Jason dan Bibi berkata kalau aku tidur?" gumam Isla. Ga
Tiga minggu tidak terasa berlalu begitu saja setelah kejadian aneh yang dialami Isla di sekolah dan rumahnya. Gadis itu masih ingat dengan betul saat seorang lelaki bernama Kai datang mendatanginya dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak ia mengerti.Rhys. Isla ingat kalau Kai menyebutkan orang lain yang bernama Rhys. Namun siapa lagi itu? Isla sama sekali tak mengenalnya. Gadis itu bahkan tak tahu seperti apa rupa orang bernama Rhys itu.Dan yang jadi pertanyaannya lagi adalah, kenapa sosok bernama Kai itu sampai bisa datang ke rumahnya? Ibunya bahkan seperti tak menyadari kedatangan lelaki itu di sana."Sebenarnya apa mau dia?" gumam Isla. Setelah kejadian itu, ia demam selama hampir dua minggu dan mengharuskannya untuk tetap istirahat di rumah. Bahkan Teresa sampai beberapa kali menjenguknya karena khawatir.Isla mendudukkan tubuhnya di bawah sebuah pohon besar dan melihat-lihat hasil jepretannya hari ini. Ia tak pernah paha
"Dari mana kau menemukan anjing itu? Kau benar-benar mendapatkannya dari Trollehallar?" tanya Maria begitu ia memasuki kamar milik putrinya. Dilihatnya gadis itu tengah sibuk mengobati salah satu kaki anak anjing itu yang terluka."Hm." Hanya gumaman pelan yang keluar dari mulut Isla.Maria membuang napas pelan. Wanita itu meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja dan ikut mendudukkan tubuhnya di pinggiran ranjang dan menatap anjing yang sesekali meringis kesakitan."Harusnya kau tidak membawanya pulang, Sayang.""Bu, aku tidak mungkin meninggalkan anjing malang ini di tengah hutan sendirian, apalagi Trollehallar adalah tempat yang berbahaya," ujar Isla."Jika kau sendiri saja tahu kalau Trollehallar itu adalah tempat yang berbahaya, lantas kenapa kau sendiri datang ke sana?"Isla terdiam sejenak. "Di sana menyimpan pemandangan yang indah," lirih gadis itu dengan bibir sedikit maju."Ingat, setelah anji
"Jadi, malam ini kau tidur di kamarku atau bagaimana? Jika ibuku tiba-tiba saja tahu dengan wujudmu yang asli, kau pasti akan langsung ditendang dari sini apalagi kau itu seorang laki-laki." Isla menggaruk lehernya yang tidak gatal sama sekali."A-aku tidur di sini kalau begitu. Aku tidak akan bermacam-macam, sungguh." Rhys mencoba meyakinkan gadis yang berada di depannya.Isla menatap Rhys dari atas hingga bawah. "Baiklah. Kau bisa tidur di ranjang, sementara aku akan tidur di sofa.""Ha? Tidak perlu. Aku tidak mungkin membiarkan itu. Ini kan kamarmu, jadi kau sebaiknya tidur di kasurmu. Biar aku saja yang tidur di sofa," ujar Rhys."Kau yakin?"Rhys langsung menganggukkan kepalanya. "Tentu saja. Tidak apa-apa jika aku tidur di sofa."Isla terdiam sejenak dan gadis itu berjalan membuka lemari pakaiannya. Ia mengeluarkan sebuah selimut dari dalam dan memberikannya pada Rhys. "Kau mungkin akan merasa kedinginan. Jadi pakai saja se
Isla berusaha untuk fokus menulis dan mengabaikan ocehan gadis di sebelahnya. Teresa sedari tadi pun sibuk sendiri mengatakan berbagai hal mengenai lelaki bernama Alex yang berasal dari kelas lain. Gadis itu tidak menyerah dan bersikeras menjodohkan Isla dengan pemuda itu tanpa ada kapoknya, padahal Isla sendiri sudah berkali-kali berkata kalau dirinya tak menyukai Alex sedikit pun. Ia hanya menganggap lelaki itu sebagai teman dan rekan berbagai materi pembelajaran saat ada yang tak ia mengerti, namun Teresa justru selalu salah paham dan menganggapnya lebih."Berhentilah membicarakannya karena itu tidak ada gunanya sama sekali," ujar Isla.Teresa seketika mengatupkan bibirnya dan kedua pipinya menggembung. "Kau benar-benar tidak asyik. Kenapa kau terus menolak Alex?" balasnya.Isla seketika mendelik. "Teresa, kau juga tidak asyik. Kenapa kau selalu berusaha menjodohkan aku dengan Alex? Memangnya selama ini dia berkata kalau dirinya menyukaiku? Tidak, kan?
Dengan tangan yang bergetar, Isla kemudian meraih tangan yang terulur padanya itu dan entah mendapat kekuatan dari mana, ia langsung bangkit lalu berhambur memeluk sosok di depannya dengan erat.Mungkin jika ia tak berhasil menahan tubuh Isla yang tiba-tiba menyerangnya, mereka berdua pasti akan langsung jatuh ke atas permukaan rumput."Dasar bodoh," ujar Isla pelan. Pada akhirnya gadis itu tak bisa lagi menahan segala isakan yang sedari tadi ia tahan dengan sekuat tenaga. "Aku merindukanmu ... Rhys," lirihnya.Rhys terdiam selama beberapa saat usai ia mendengar ucapan Isla barusan. Kemudian pria itu tersenyum tipis dan tangannya beralih mengusap punggung Isla. "Maafkan aku, ya."Dengan perlahan kemudian Rhys melepas pelukan Isla dan ia mengalungkan kembali kamera milik gadis itu di lehernya."Setidaknya perhatikan langkahmu saat berlari, dasar ceroboh." Rhys berujar seraya mengusap kedua pipi Isla yang basah.Buk!
Mobil milik Maria sudah melaju dan membelah jalanan di kota Goteborg dan sekarang ini ia dan juga putrinya tengah menuju ke Angelholm untuk urusan pekerjaannya, dan memungkinkannya menginap selama beberapa hari di rumah adiknya yang berada di sana juga bersama dengan putri semata wayangnya.Isla yang kemarin sempat protes karena rencana awal liburannya ditunda itu pun kini tak mengoceh atau sekadar melayangkan sebuah komplain pada sang ibu."Apa kau membawa kameramu?" tanya Maria.Isla kemudian menganggukkan kepalanya pelan. "Hm. Sudah aku letakkan di dalam koper."Perlahan, kedua sudut bibir Maria pun naik dan membentuk seulas senyuman tipis tanpa diketahui oleh sang putri. Setidaknya Isla tak akan mati kebosanan selama berada di Angelholm, jadi Maria pun bisa bekerja dengan lebih tenang selama berada di sana. Ia tahu betul kalau putri semata wayangnya itu gampang sekali merasa bosan namun jika Isla sudah membawa kamera kesayangannya ke
"Barusan itu ... murid laki-laki yang kemarin, kan?" Isla berkedip dua kali."Kupikir aku barusan salah lihat, Isla. Tapi ternyata kau juga melihat hal yang sama denganku," ujar Teresa."Tapi kurasa ada yang aneh, ya. Kenapa laki-laki itu ... malah bersikap biasa saja? Maksudku, barusan dia bersikap seperti orang yang benar-benar berbeda dari yang kemarin memberikan cokelat dan juga croissant ini." Isla kemudian menatap cokelat yang tengah berada di salah satu tangannya."Apa mungkin kalau yang barusan itu bukan dia? Apa dia orang yang berbeda dari yang sebelumnya?" Teresa berkedip. Gadis itu langsung menghabiskan cokelat yang ada di tangannya itu."Tunggu, maksudmu kalau dia itu ... memiliki seorang kembaran di sini?" Isla kemudian menatap Teresa yang ada di sebelahnya. Sahabatnya itu juga tampak masih terkejut dan gais itu terlihat masih berusaha mencerna situasi yang baru saja ia alami."Atau mungkin kemarin kepalanya itu habis terbentur s
"Isla? Siapa itu Isla? Dan, apakah aku dan kau berada di sekolah yang sama?""Cokelat, katamu? Cokelat apa, ya? Aku benar-benar tidak paham dengan apa yang kau katakan.""Tunggu, tunggu. Kau dari tadi mengatakan tentang seseorang yang bernama Isla. Tapi aku benar-benar tak kenal dia, asal kau tahu saja. Mungkin kau ini salah orang, lain kali lebih teliti lah lagi. Kalau begitu aku permisi dulu."Alex seketika tak bisa diam di tempat tidurnya. Ia masih saja teringat dengan pria yang ditemuinya beberapa jam yang lalu itu.Bisa-bisanya dia lupa dengan kejadian pagi tadi. Padahal dia sendiri yang memulai semuanya. Dari menyimpan cokelat di dalam loker milik Isla secara diam-diam, hingga memberikan gadis itu sebuah croissant secara tiba-tiba saat sedang jam istirahat."Ini sangat aneh. Apa mungkin ya, dia memang memiliki seorang kembaran di sekolah? Dan yang tadi bicara denganku apakah mungkin kalau itu ternyata kembarannya yang lain,
Isla menatap sebungkus croissant yang diletakkan oleh seseorang di hadapannya dan kemudian gadis itu mendongakkan kepala untuk menatap siapa orang yang meletakkannya.Gadis itu kemudian terdiam selama beberapa saat, mencoba mengenali sosok yang kini berdiri di sebelah mejanya itu. Ia bahkan sama sekali tak mengenali orang itu.Sementara Teresa dan Alex juga terlihat menatap satu sama lain, namun tak ada satu pun dari mereka yang mengenali orang itu. Mereka berdua lalu menatap kembali orang itu dan berusaha mengenali orang yamg baru saja memberikan sebungkus croissant kepada Isla."Untukku?" tanya Isla.Laki-laki yang berdiri di sebelah itu kemudian menganggukkan kepala."Ma-maaf, tapi ... kau siapa, ya? Aku sama sekali tak mengenalimu," ujar Isla."Aku dari kelas lain," ujar laki-laki itu."Tunggu, apa kau ... orang yang tadi menaruh cokelat di dalam loker milik Isla?" Kini giliran Teresa yang kemud
Dua minggu kemudian ...Isla keluar dari salah satu ruangan dengan begitu lesu dan juga tak bersemangat. Dua orang yang menunggunya di depan pintu ruangan itu pun segera menyemangatinya agar Isla tak terlihat mengerikan dengan ekspresi yang ada di wajahnya itu."Astaga, ada apa dengan raut wajahmu yang menyedihkan ini? Hei, kau kenapa? Apa soalnya sangat sulit?" tanya Teresa begitu Isla keluar dari ruangan itu.Isla membuang napasnya pelan lalu gadis itu menggelengkan kepalanya."Lalu apa mau kau bisa mengerjakan semuanya?" Kini giliran Alex yang bertanya.Kali ini, Isla menganggukkan kepala. Teresa dan Alex pun saling mengerutkan dahi dan mereka menatap satu sama lain."Lalu? Apa masalahmu, Isla?" tanya Teresa dengan kening mengerut.Isla kemudian mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku yang ada di sana dan gadis itu mendengkus pelan. "Rasanya aku benar-benar hampir gila karena mengerjakan semua soal itu!" ujarnya."
Isla dan Teresa saat ini tengah memakan beberapa potong buah yang sudah disiapkan leh Maria beberapa waktu yang lalu seraya sesekali mengobrol tentang berbagai hal hingga mereka berdua pun tertawa satu sama lain."Emmm, ngomong-ngomong, Teresa, apakah saat ini kondisi bagian sekolah yang rusak sudah selesai diperbaiki?" tanya Isla sebelum gadis itu menggigit sepotong apel yang ia ambil dari piring yang ada di hadapannya. Saat ini ia dan juga Teresa tengah duduk bersila di atas tempat tidur dengan sepiring buah-buahan yang ada di depan mereka."Ah, soal itu. Kurasa sedikit lagi. Sebelumnya mereka memperbaiki pintu atap terlebih dahulu karena pintu itu benar-benar terlihat mengenaskan karena terbagi menjadi ukuran-ukuran yang lebih kecil dengan jumlah banyak," ujar Teresa. Gadis itu awalnya hendak menggigit potongan pir yang ia ambil dengan garpu namun ia mengurungkan niatnya itu dan kembali menatap Isla yang duduk di depannya."Isla, jika aku boleh tahu, se
Maria membka kedua matanya dan ia melihat Isla yang tertidur dengan ponsel yang berada di genggaman tangannya. Wanita itu kemudian berjalan mendekati tempat tidur putrinya untuk membenarkan letak posisi selimut Isla yang sedikit tersingkap seraya mengambil ponsel milik gadis itu secara perlahan agar ia tak membuat tidur putri semata wayangnya itu terganggu.Saat hendak menyimpan ponsel itu di atas meja, sebuah notifikasi masuk ke ponsel milik putrinya hingga layar benda pipih itu pun kembali menyala. Karena ponsel milik Isla memang sering tidak memakai password, Maria pun bisa dengan mudah mengecek ponselnya dan kali ini wanita itu melihat dari siapakah pesan itu berasal dan ternyata itu dari teresa namun Maria tak membalasnya, ia membiarkan isla saja yang akan mebmalas pesan itu nanti ketika gadis itu sudah bangun.Kemudian tanpa sengaja Maria melihat sebuah foto yang menampakkan dua orang yang ada di dalam foto itu."I-ini ... " Maria mengeru
"Hujannya deras sekali. Untung saja Ibu kembali tepat waktu." Maria meletakkan tasnya di atas meja.Isla yang berbaring di atas tempat tidur itu hanya diam saja seraya memandangi hujan di luar sana.Bersamaan dengan itu, Maria menemukan sebuket bunga yang berada di atas meja. Kedua alisnya saling bertaut menatap benda itu."Tunggu dulu,ini bunga dari siapa?" tanya Maria.Isla menatap buket yang tengah Maria pegang, kemudian gadis itu menjawab, "tadi pagi Alex datang ke sini sebelum dia berangkat ke sekolah," ujarnya."Benarkah?" Maria berkedip dua kali dan wanita itu kemudian menatap buket di tangannya, hingga akhirnya ia tersenyum setelahnya. "Dia memang anak yang baik," ujar Maria dan wanita itu terkikih setelahnya."Berarti sore ini Alex dan juga Teresa tak akan datang ke sini?" tanya Maria kembali."Hm. Aku sudah menghubungi Teresa agar dia dan juga Alex tak perlu datang ke sini karena hujan deras yang tak