Seorang gadis dengan seragam putih hijaunya berdiri di barisan paling belakang sembari kepalanya menunduk ke bawah. Sedari tadi, semenjak insiden di depan gerbang kampus itu, gadis itu belum juga mengangkat kepalanya. Ia bahkan tak tahu wajah para senior yang tadi sempat bertengkar kecil karenanya. Tak ada satu pun pikiran yang terlintas dalam kepalanya. Pikirannya hanya memberitahunya kalau hari ini akan berjalan sangat buruk. Bahunya yang sempat bergetar tadi sudah cukup tenang kini. Meski tak juga berani untuk mengangkat kepalanya, menatap orang-orang yang mungkin akan menjadi teman-temannya nanti, gadis itu setidaknya sudah tak begitu merasa takut. Kondisi tengah sangat tenang sekarang. Mereka baru saja dirapikan oleh para senior yang bertugas sebagai panitia acara ospek.“Selamat pagi, adik-adik semuanya...” sapa suara dengan aura cerianya dari area depan. Ah, acaranya akan benar-benar dimulai. Gadis itu tak menyukainya. Burukkah jika ia berharap bahwa masa s
Gadis itu terduduk di dalam kelompoknya yang beberapa waktu lalu diumumkan oleh para kakak tingkat dengan jabatan panitianya. Ia berada dalam kelompok yang jumlahnya ada 9 orang dengan dirinya. Kemudian jika ditambah lagi oleh kakak pendamping, yaitu kakak yang bertugas untuk mendampingi dan memberi arahan pada kelompoknya, maka jumlah mereka bertambah menjadi 10 orang. Soal kakak pendamping, secara khusus penjelasannya begini; jadi, setiap kelompok akan memiliki seorang kakak senior yang mendampingi mereka jika ada aturan, tugas atau permainan baru yang harus disampaikan, yang mereka para calon mahasiswa-mahasiswi baru dalam kelompoknya harus pahami. Kelompok yang terbentuk untuk ospek periode kali ini terhitung melampaui 60 kelompok, dengan jumlah anggotanya berjumlah rata-rata 9-12 orang. Kemudian, kalau ada yang ingin tahu, nama kakak pendamping dari kelompok gadis itu adalah Guntoro, seorang mahasiswa hukum yang baru menginjakkan kaki d
"Sara Melody, deh. Lo kayaknya diem banget dari tadi." DEG Bak baru saja disengat lebah, Sara, si gadis yang namanya baru saja disebut itu pun terpaku di tempat. Aliran darahnya seketika terasa berhenti, macet di tengah saluran paru-parunya. Jika saja ada orang yang mau memegang tangannya, maka mereka akan merasakan betapa dinginnya tangannya bisa berubah dalam waktu sedetik. Gilirannya? Kenapa harus ia? Sara spontan menunduk sembari memainkan jarinya kasar. Semua pikiran buruk dalam waktu angin mulai memenuhi isi kepalanya. Bagaimana jika ia menghancurkan suasana ceria yang baru saja Jonathan bangun? Bagaimana jika mereka semua itu yang memperhatikannya tidak menyukainya nanti? Bagaimana jika semuanya menjadi buruk? Akankah mereka membicarakannya di belakang? Akankah mereka menganggapnya sebagai gadis aneh? "Sara, lo sakit?" ujar Guntoro yang kemudian segera membuyarkan lamunannya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap sosok kakak pendamping kelompo
"Takut..." lirih Sara dengan suaranya yang sangat kecil. Lelaki itu, seorang teman yang Guntoro bawa padanya bahkan harus mencondongkan tubuhnya terlebih dahulu agar suaranya mampu terdengar. "Gimana?" "Takut..." ulang Sara penuh dengan penekanan dalam batinnya. Ia seolah tahu apa yang akan terjadi padanya ketika kata itu melengos keluar dari bibirnya. Kemungkinan paling besar yang akan ia alami adalah tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya memandanganya sebagai seorang gadis aneh, yang bisa tiba-tiba merasa takut di tengah kondisi yang terhitung santai dan luwes. "Takut? Kamu takut apa?" tanya lelaki itu lagi. Sara yang mendengarnya pun tambah menangis. Ia menangis karena tekanannya terasa makin bertambah. Apa yang harus ia lakukan? Serinci itukah jawaban yang teman Guntoro itu perlukan? Jika saja dirinya bisa meminta maaf, maka pastilah ia akan melakukannya sekarang. Ia sadar kalau kondisinya membuat situasi kelompoknya menjadi ricuh. "Kak,
Mata Sara menatap ke arah luar jalanan depan klinik tempatnya berdiam kini. Tadi, beberapa saat yang lalu Jonathan kembali masuk ke dalam kelompok, sembari meninggalkan kotak bekal hijau toscanya pada Sara. Di atas kotak bekal itu, Jonathan meninggalkan sebuah sticky notes kuning bertuliskan, Cepet sembuh, ya. Jonathan Vincentius. Hal seperti itu terhitung sederhana, tetapi cukup berarti bagi Sara yang masih dalam proses untuk masuk kedalam lingkupan suasana tenangannya. Mulut Sara tengah melakukan proses mastikasi terhadap bekal makan siang milik Jonathan. Sesungguhnya, ingin sekali Sara menolaknya. Bekal itu dibawakan oleh mama Jonathan dengan niatan baik pastinya. Mama Jonathan pasti tak ingin anak lelakinya kelaparan nanti. Namun, meski pikiran Sara mengatakan pada Sara seperti itu, mulut Sara tetap mengunci diri. Sara tak sanggup untuk sekedar berucap beberapa patah kata, bahkan untuk ungkapan terima kasih pun terasa kelu. Sendirian, Sara
12:30 WIB "Leon, lo dipanggil sama Justin." Yang merasa namanya disebut menoleh. Didapatinya sosok Galih yang tengah berjalan pelan ke arahnya. "Justin dimana, bang?" tanyanya kemudian. "Dalem ruang sekre," jawab Galih. Leon yang mendengarnya pun mengangguk paham. "Oke, makasih ya, bang!" "Yoi, ati-ati ntar kalo nginjek semut." Leon tertawa singkat sebelum akhirnya berjalan menuju ruangan tempat dimana Justin tengah berada. Kakinya melangkah dengan langkahan yang terlihat sedikit berlari. Saat ini merupakan waktu istirahat makan siang untuk seluruh peserta dan panitia. Leon tadi pun sebenarnya baru saja menerima kotak ayam sabananya. Tapi, tiba-tiba saja Galih, kakak senior dan rekan satu panitianya itu memanggilnya, memberitahunya bahwa Justin si ketua himpunan memanggilnya. Tok tok Ckrek "Wih, Leon apa kabar?" "Woo, koko China mau jualan ayam,
12:55 WIB Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri. "Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan. "Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan
Sara dan Seren akhirnya sampai pada kelompok mereka. Untung saja keduanya sampai tepat waktu, yaitu bersamaan dengan sirine yang berhenti dibunyikan. Kata Seren, sirine itu merupakan pertanda bagi para peserta ospek mengenai keterlambatan perpindahan sesi atau waktu. Selama sirine itu dibunyikan, maka para peserta ospek memiliki kewajiban untuk berlari secepat mungkin mencari kelompoknya, karena setiap kali dibunyikan, keadaan para peserta ospek pasti tengah terpisah-pisah dengan kelompok mereka. Kalau seandainya ada yang belum bergabung dengan kelompok saat sirine berhenti diperdengungkan, maka hukuman pasti akan diberlakukan karena dianggap terlambat. Napas Sara kini tersengal hebat. Setelah menabrak seseorang yang tinggi tadi, Seren menarik tangannya dengan lebih kencang, hingga Sara yang ditarik pun sampai kuwalahan sendiri. Tapi, meski begitu Sara sangat ingin berterima kasih pada Seren, pasalnya kalau tidak berlari menerobos kerumunan sekencang tadi, keduanya pa
Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng
"Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin
18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin
Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil
Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye
14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti
Dengan segala paksaan tenang dari Sara, Leon akhirnya benar-benar memakan jatah makan siang Sara setengahnya. Keduanya membagi dua porsi makan siang itu atas kehendak Sara. Jujur saja, selain mengenai porsi makan Sara yang tak begitu banyak, Sara juga tak enak jika hanya dirinya yang makan, sedangkan Leon sibuk memperhatikannya. "Habis ini kelompok lo dapet pos berapa?" tanya Leon setelah dirinya kembali dari membuang sampah bungkusan makanan. Mendengarnya, Sara tampak terdiam sejenak untuk berpikir. "Pos 5, kak," jawab Sara. Leon mengangguk paham."Udah tau pos 5 ngapain belum?" tanya Leon lagi. Lelaki itu seolah ingin membuat percakapan baru dengan Sara. Beruntung Sara sudah dalam kondisi pikirannya yang jernih, jadi tak perlu ia mengabaikan Leon. "Futsal?" Leon seketika mengangguk cepat dengan senyum di wajahnya. Kelihatannya lelaki itu akan segera menceritakan cerita baru untuk diperdengarkan pada Sara. Kini, Sara hanya bisa menunggu,
12:30 WIB Tangis Sara berangsur-angsur berhenti dari sesenggukannya. Gadis itu kini tengah mengelap bekas air matanya yang tersebar membasahi seluruh permukaan wajahnya, dengan sapu tangan yang Leon baru saja berikan padanya.Kepala Sara menunduk dalam diamnya. Rasanya sedikit lebih lega karena racun dalam batinnya yang sudah dikeluarkan lewat tangis. Sekarang, Sara tinggal menunggu kepalanya menjadi jernih kembali, sebelum akhirnya ia bisa berbicara pada sosok Leon di sampingnya. Sara tadi terus menangis dalam durasi waktu yang lumayan panjang, kira-kira 30 menit lamanya. Selama itu, Leon hening. Lelaki asing itu hanya diam sembari memainkan dan mencabuti rumput hijau yang tengah didudukinya. Sesekali, matanya memperhatikan Sara dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Untuk itu, jelas Sara tidak tahu. Pasalnya, Sara terlalu sibuk dengan tangisnya yang tersedu. "Maaf, kak..." lirih Sara dengan suaranya yang terdengar serak. Perlahan, sosok Leon
Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari