Share

Permulaan

Penulis: Christy Evangelica
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Jakarta, 31 Juli 2021

06:00 WIB

 

Suasana kota Jakarta tengah tak begitu ramai. Kota itu berbeda dengan kondisinya yang dulu, yaitu padat dan penuh dengan polusi. Kini, rasanya sangat bersih dan maju. Jika dilihat dalam sekali pandang, maka pesona kota modern yang ditimbulkannya pasti mampu menarik hati banyak orang.

 

Berbeda dengan suasana menyejukkan yang Jakarta timbulkan. Seorang gadis berparas manis dengan tubuhnya yang gemetaran tengah menangis begitu tersedu di pojok kasur queen sized-nya. Seragam SMA yang ia kenakan tertutup penuh dengan selimut tebal yang menyentuh hingga daerah leher. Matanya menyipit, sembari pandangannya terjatuh ke arah jendela, memperhatikan luasnya cakrawala yang membentang di pagi hari nan sejuk.

 

Hati gadis itu sangat gundah. Sepotong roti yang sudah dirinya olesi selai pun menganggur hingga entah akan sampai kapan akan akhirnya ia sentuh untuk dimakan. Kian waktu menipis, kian tangisnya mengucur keluar, makin deras, menyaingi derasnya Grojogan Sewu, dekat tempatnya tinggal dulu.

 

Ia ketakutan. Pikirannya terbang begitu jauh, berkelana, bergabung dan menyamakan diri dengan kecepatan seekor burung garuda, tatkala ia unjuk diri untuk dijadikan lambang negara tempatnya bernaung sekarang. Mengenai resiko akan wujud dirinya saat tampil di tengah umum nanti, gadis itu tak mampu berpikir sampai ke arah sana. Hanya perihal lingkungan sosial yang mengerikanlah yang saat ini tengah menguasai nyalinya.

 

Liburan semester nanti, kamu boleh pulang ke Solo lagi.

 

Gadis itu terus saja mengasihani diri akan fakta dimana ia harus menghadapi lingkungan asing yang baginya super mengerikan hingga jangka waktu yang lama. Beberapa kali ia katakan pada orang tuanya kalau dirinya sangat mustahil bisa beradaptasi nantinya. Tapi percuma, kedua orang tuanya tak mau mendengarkan dirinya. Mereka bilang, semuanya demi kebaikannya. Tidak, tidak ada hal baik yang akan terjadi. Gadis itu tahu dengan jelas. 

 

Di tengah batinnya yang tengah merintih tak terperikan, matanya yang basah mengucap sebuah harapan pada langit pagi yang indah, tentang kiranya cepatlah berganti warna. Ia sungguh tak kuat, bahkan sebelum segalanya dimulai. Ceritanya dalam kota yang baginya terkutuk itu akan membawa sebuah kutukan pula pada kehidupannya nanti, begitulah perkiraannya. Jika saja ia memiliki kekuatan super, ia mungkin akan menghilang sekarang juga. Semuanya terasa terlalu berat untuk dijalani.

 

Jika ada yang bertanya, ada apa dengan gadis yang masih menangis itu, maka jawabannya ia tengah ketakutan luar biasa kini. Seharusnya pukul setengah tujuh nanti ia sudah sampai di lingkungan kampus barunya. Namun, pada kenyataannya ia masih mendekam tak rela di atas kasur apartemennya yang empuk.

 

Ia terus saja menghitung waktu, berharap kalau-kalau perhitungannya mungkin saja salah. Kegiatannya di kampus barunya, yaitu ospek akan dimulai tepat pada pukul tujuh pagi. Kemudian semuanya akan selesai pukul lima sore. Itu berarti selama kira-kira sepuluh jam lamanya, ia harus menghadapi lingkungan asing yang sangat mengerikan dalam bayangannya. Ia tak punya pandangan masa depan tentang bagaimana hancurnya dirinya saat kembali lagi ke apartemennya nanti. Mungkinkah akan terlihat kacau balau dan penuh dengan tangis? Yah, itu kemungkinan terbesar. Bukan hanya mungkin, tapi pasti.

 

“Hiks…” Gadis itu terus sesenggukan. Kini, ia menenggelamkan wajahnya pada lutut halusnya yang masih tertutup oleh selimut tebalnya. Ia tidak tahu harus bagaimana dalam menenangkan diri dari pikiran-pikiran negatif yang sesungguhnya sangat ia benci. Ia tak ingin punya pikiran yang sebegitu buruknya, yang bahkan mampu membuatnya tak bisa bergerak. Bagaimana caranya keluar? Gadis itu selalu menantikan bintang jatuh, namun tak kunjung datang. Padahal, ia ingin sekali mengucap permohonan padanya.

 

Kalau nanti kamu tidak berhasil, kami akan kirim kamu ke tempat yang lebih jauh lagi.

 

Tubuh gadis itu bergetar hebat ketika suara ancaman dari mulut kedua orang tuanya beberapa waktu lalu melintas di kepalanya. Dalam hitungan waktu angin, paru-parunya terasa mengempis, dadanya terasa dihimpit oleh truk besar yang kuat. Di tengah sesenggukannya itu, sesak napas mulai menyerangnya. Pening yang hebat pun mulai melanda. Ia selalu merasa seolah ia tengah berada dalam ruangan minim oksigen setiap kali ia menghadapi situasi seperti sekarang.

 

Jangan jatuh, kalo jatuh nanti ke tempat yang lebih jauh.

 

Dengan segala kemampuannya yang terbatas, gadis itu mengangkat kepalanya cepat. Ditariknya oksigen yang berkeliaran bebas di sekitarnya dengan paksa. Buliran bening yang terus mengalir pada wajahnya itu membuat matanya terlihat sembab kini. Cahayanya bening nan polosnya bahkan berganti, menyerupai rawa yang begitu gelap dan dalam. Seragam putihnya yang bersih pun sudah basah pada bagian dada dan lengannya. Kalau begitu ceritanya, maka hari perdananya di kampus baru nanti sangat dipastikan akan berjalan tak baik. Jangankan menunggu nanti, sekarang pun sudah tak baik-baik saja.

 

Selagi dirinya tengah menetralisir keadaan, nurani terdalamnya kini menaikkan permohonan tertingginya pada Sang Kuasa, bahwa kiranya jika hari ini berjalan buruk, maka ada baiknya jika ia dihilingkankan saja dari peradaban bumi nanti.

__

 

Jakarta University

 

6:50 WIB

 

Seperti lingkungan kampus pada umumnya saat masa ospek datang, kini kampus yang terletak di tengah Kota Jakarta itu tampak sangat ramai dengan wajah-wajah baru yang tengah saling mengobrol, mencari kenalan untuk diajak bermain selama masa yang katanya masa sial berlangsung nanti.

 

Para wajah baru itu memakai seragam-seragam SMA yang berbeda-beda, dengan name tag yang menggantung di leher masing-masing dari mereka. Sungguh saja, mereka semua masih sangat kental aura anak sekolahnya, hingga para senior yang akan bertugas sebagai panitia pun sesekali cekikikan gemas dengan penampakan para calon mahasiswa baru yang bertebaran di halaman sekitaran kampus.

 

Dari mereka semua, ada yang memakai ransel pink putihnya dengan gantungan boneka pada resleting depannya. Kemudian ada pula yang membawa botol minum ungu besarnya berukuran kira-kira 1,5 liter di tangannya. Mereka sungguh terlihat menggemaskan, terutama bagi para senior yang sudah hampir menginjakkan kaki pada tahun terakhir masa perkuliahannya.

 

“Ada cewek yang dikuncir dua rambutnya, cute banget, gimana, dong?! Ih, pengen gue angkat jadi adek, deh!” seru seorang wanita dengan senyumnya yang merekah lebar. Ia tampak sangat bersemangat dengan jaket almamater hitamnya dan rambut abu-abunya yang digerai bebas. Wanita itu bernama Lisa, salah satu panitia ospek yang memegang tugas sebagai seksi keamanan, atau kasarnya sebut saja satpam sementara.

 

“Terus aja jingkrak-jingkrak, lo bukannya jaga biar kondisi aman, nanti malah nabrak camabanya,” tanggap rekan panitianya sembari terkekeh kecil. Kali ini seorang lelaki, namanya Galih. Laki-laki itu memiliki tampang yang sangat manis. Ia merupakan ras Jawa dengan kulit sawo matangnya. Jika tertawa, matanya menyipit. Kepribadiannya pun merupakan kepribadian yang begitu mudah beradaptasi, hingga orang-orang cenderung nyaman berada di sekitarnya, tanpa khawatir kecanggungan akan melanda.

 

Oh, omong-omong, Lisa dan Galih saat ini sudah mengijakkan kaki pada semester 5. Hitungannya sudah cukup senior, karena tinggal satu semester lagi, keduanya sudah akan disibukkan dengan tugas skripsi.

 

“Kak Lisa, Bang Galih, ayo ke gerbang depan. 10 menit lagi jam 7, yang telat gak boleh masuk.” Kini seorang lelaki lain datang dengan larian kecilnya. Lelaki itu memiliki kaki yang jenjang. Kulitnya tampak putih bersih. Rambutnya hitam lebat, poninya membelah samping, menyentuh ekor matanya. Lelaki itu juga mengenakan jaket almamater hitamnya.

 

“Widih, semangat banget lo,” canda Galih sembari tertawa ringan. Si lelaki berkulit putih itu pun ikut tertawa. Matanya kelihatan menyipit jika tengah tertawa. Yah, ia ras Tionghoa.

 

“Yoi, dong! Demi SKP, nih, bang!” candanya balik. Hal itu sontak mengundang tawa dari sosok Lisa yang sedari tadi hanya diam seraya tersenyum memperhatikan. Wanita yang lebih tua dari si lelaki itu tertawa tanpa suara.

 

“Mantap, tingkatkan semangatmu! Mari kita junjung tinggi ikut kegiatan demi SKP!” – Galih

 

“Siap, bang! Biar cepet lulus!” Tawa kini terdengar riuh, pasalnya Galih dan si lelaki bertingkah seolah keduanya merupakan anggota pasukan khusus milik negara. Keduanya saling memberi hormat dengan wajah yang terkesan tegas. Setidaknya bagi ketiganya, yaitu Lisa, Galih dan si lelaki sendiri, itu sudah cukup menggelikan untuk ditertawakan.

 

“Udah, ayo ke gerbang depan. Ini waktunya makin tipis!” tegur Lisa sesaat setelah tawa tanpa suaranya mereda. Mendengarnya, Galih dan si lelaki pun mengangguk setuju. Tak lama setelahnya, ketiganya berjalan beriringan menuju ke gerbang depan, akses dimana para calon mahasiswa dan mahasiswi baru masuk ke dalam lingkungan kampus.

Bab terkait

  • Berbagi Luka   Ketidaksopanan

    6:56 WIB Terlihat lumayan banyak anak-anak dengan seragam SMA mereka yang berlari cepat untuk masuk ke dalam lingkungan kampus. Beberapa dari mereka tampak begitu terburu-buru, karena mungkin takut dihukum. Namun, beberapa dari mereka tampak sangat santai, seolah waktu tengah berjalan 2 kali lebih lambat. Sosok Lisa, Galih dan si lelaki putih sudah siap menjaga di sisi kanan dan kiri gerbang kampus sembari memperhatikan aktivitas riwuh yang tengah berlangsung. Seperti apa yang sudah disampaikan pada sosialisasi rapat panitia sebelumnya, para petugas yang memegang tugas keamanan, harus memasang wajah yang kelihatan sangar. Itu semua dilakukan guna memberi efek pada para calon mahasiswa baru agar tidak bertindak seenaknya selama masa ospek berlangsung. Misalnya, tidak menjaga ketenangan, tidak mengikuti aturan yang dit

  • Berbagi Luka   Terlalu Berisik

    Seorang gadis dengan seragam putih hijaunya berdiri di barisan paling belakang sembari kepalanya menunduk ke bawah. Sedari tadi, semenjak insiden di depan gerbang kampus itu, gadis itu belum juga mengangkat kepalanya. Ia bahkan tak tahu wajah para senior yang tadi sempat bertengkar kecil karenanya. Tak ada satu pun pikiran yang terlintas dalam kepalanya. Pikirannya hanya memberitahunya kalau hari ini akan berjalan sangat buruk. Bahunya yang sempat bergetar tadi sudah cukup tenang kini. Meski tak juga berani untuk mengangkat kepalanya, menatap orang-orang yang mungkin akan menjadi teman-temannya nanti, gadis itu setidaknya sudah tak begitu merasa takut. Kondisi tengah sangat tenang sekarang. Mereka baru saja dirapikan oleh para senior yang bertugas sebagai panitia acara ospek.“Selamat pagi, adik-adik semuanya...” sapa suara dengan aura cerianya dari area depan. Ah, acaranya akan benar-benar dimulai. Gadis itu tak menyukainya. Burukkah jika ia berharap bahwa masa s

  • Berbagi Luka   Jonathan Vincentius

    Gadis itu terduduk di dalam kelompoknya yang beberapa waktu lalu diumumkan oleh para kakak tingkat dengan jabatan panitianya. Ia berada dalam kelompok yang jumlahnya ada 9 orang dengan dirinya. Kemudian jika ditambah lagi oleh kakak pendamping, yaitu kakak yang bertugas untuk mendampingi dan memberi arahan pada kelompoknya, maka jumlah mereka bertambah menjadi 10 orang. Soal kakak pendamping, secara khusus penjelasannya begini; jadi, setiap kelompok akan memiliki seorang kakak senior yang mendampingi mereka jika ada aturan, tugas atau permainan baru yang harus disampaikan, yang mereka para calon mahasiswa-mahasiswi baru dalam kelompoknya harus pahami. Kelompok yang terbentuk untuk ospek periode kali ini terhitung melampaui 60 kelompok, dengan jumlah anggotanya berjumlah rata-rata 9-12 orang. Kemudian, kalau ada yang ingin tahu, nama kakak pendamping dari kelompok gadis itu adalah Guntoro, seorang mahasiswa hukum yang baru menginjakkan kaki d

  • Berbagi Luka   Batin yang Tergores

    "Sara Melody, deh. Lo kayaknya diem banget dari tadi." DEG Bak baru saja disengat lebah, Sara, si gadis yang namanya baru saja disebut itu pun terpaku di tempat. Aliran darahnya seketika terasa berhenti, macet di tengah saluran paru-parunya. Jika saja ada orang yang mau memegang tangannya, maka mereka akan merasakan betapa dinginnya tangannya bisa berubah dalam waktu sedetik. Gilirannya? Kenapa harus ia? Sara spontan menunduk sembari memainkan jarinya kasar. Semua pikiran buruk dalam waktu angin mulai memenuhi isi kepalanya. Bagaimana jika ia menghancurkan suasana ceria yang baru saja Jonathan bangun? Bagaimana jika mereka semua itu yang memperhatikannya tidak menyukainya nanti? Bagaimana jika semuanya menjadi buruk? Akankah mereka membicarakannya di belakang? Akankah mereka menganggapnya sebagai gadis aneh? "Sara, lo sakit?" ujar Guntoro yang kemudian segera membuyarkan lamunannya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap sosok kakak pendamping kelompo

  • Berbagi Luka   Pemikiran dan Tangisan

    "Takut..." lirih Sara dengan suaranya yang sangat kecil. Lelaki itu, seorang teman yang Guntoro bawa padanya bahkan harus mencondongkan tubuhnya terlebih dahulu agar suaranya mampu terdengar. "Gimana?" "Takut..." ulang Sara penuh dengan penekanan dalam batinnya. Ia seolah tahu apa yang akan terjadi padanya ketika kata itu melengos keluar dari bibirnya. Kemungkinan paling besar yang akan ia alami adalah tentang bagaimana orang-orang di sekitarnya memandanganya sebagai seorang gadis aneh, yang bisa tiba-tiba merasa takut di tengah kondisi yang terhitung santai dan luwes. "Takut? Kamu takut apa?" tanya lelaki itu lagi. Sara yang mendengarnya pun tambah menangis. Ia menangis karena tekanannya terasa makin bertambah. Apa yang harus ia lakukan? Serinci itukah jawaban yang teman Guntoro itu perlukan? Jika saja dirinya bisa meminta maaf, maka pastilah ia akan melakukannya sekarang. Ia sadar kalau kondisinya membuat situasi kelompoknya menjadi ricuh. "Kak,

  • Berbagi Luka   Menyelami Batin Sara

    Mata Sara menatap ke arah luar jalanan depan klinik tempatnya berdiam kini. Tadi, beberapa saat yang lalu Jonathan kembali masuk ke dalam kelompok, sembari meninggalkan kotak bekal hijau toscanya pada Sara. Di atas kotak bekal itu, Jonathan meninggalkan sebuah sticky notes kuning bertuliskan, Cepet sembuh, ya. Jonathan Vincentius. Hal seperti itu terhitung sederhana, tetapi cukup berarti bagi Sara yang masih dalam proses untuk masuk kedalam lingkupan suasana tenangannya. Mulut Sara tengah melakukan proses mastikasi terhadap bekal makan siang milik Jonathan. Sesungguhnya, ingin sekali Sara menolaknya. Bekal itu dibawakan oleh mama Jonathan dengan niatan baik pastinya. Mama Jonathan pasti tak ingin anak lelakinya kelaparan nanti. Namun, meski pikiran Sara mengatakan pada Sara seperti itu, mulut Sara tetap mengunci diri. Sara tak sanggup untuk sekedar berucap beberapa patah kata, bahkan untuk ungkapan terima kasih pun terasa kelu. Sendirian, Sara

  • Berbagi Luka   Panggilan ke Ruang Sekretariat

    12:30 WIB "Leon, lo dipanggil sama Justin." Yang merasa namanya disebut menoleh. Didapatinya sosok Galih yang tengah berjalan pelan ke arahnya. "Justin dimana, bang?" tanyanya kemudian. "Dalem ruang sekre," jawab Galih. Leon yang mendengarnya pun mengangguk paham. "Oke, makasih ya, bang!" "Yoi, ati-ati ntar kalo nginjek semut." Leon tertawa singkat sebelum akhirnya berjalan menuju ruangan tempat dimana Justin tengah berada. Kakinya melangkah dengan langkahan yang terlihat sedikit berlari. Saat ini merupakan waktu istirahat makan siang untuk seluruh peserta dan panitia. Leon tadi pun sebenarnya baru saja menerima kotak ayam sabananya. Tapi, tiba-tiba saja Galih, kakak senior dan rekan satu panitianya itu memanggilnya, memberitahunya bahwa Justin si ketua himpunan memanggilnya. Tok tok Ckrek "Wih, Leon apa kabar?" "Woo, koko China mau jualan ayam,

  • Berbagi Luka   Keinginan Untuk Sisa Hari Ini

    12:55 WIB Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri. "Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan. "Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan

Bab terbaru

  • Berbagi Luka   Pulang Ke Rumah

    Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng

  • Berbagi Luka   Sekoteng dan Sate

    "Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin

  • Berbagi Luka   Taman Kota

    18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin

  • Berbagi Luka   17:10 WIB

    Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil

  • Berbagi Luka   Air Mata yang Tak Terlihat

    Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye

  • Berbagi Luka   Kekecewaan

    14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti

  • Berbagi Luka   Cerita dengan Leon

    Dengan segala paksaan tenang dari Sara, Leon akhirnya benar-benar memakan jatah makan siang Sara setengahnya. Keduanya membagi dua porsi makan siang itu atas kehendak Sara. Jujur saja, selain mengenai porsi makan Sara yang tak begitu banyak, Sara juga tak enak jika hanya dirinya yang makan, sedangkan Leon sibuk memperhatikannya. "Habis ini kelompok lo dapet pos berapa?" tanya Leon setelah dirinya kembali dari membuang sampah bungkusan makanan. Mendengarnya, Sara tampak terdiam sejenak untuk berpikir. "Pos 5, kak," jawab Sara. Leon mengangguk paham."Udah tau pos 5 ngapain belum?" tanya Leon lagi. Lelaki itu seolah ingin membuat percakapan baru dengan Sara. Beruntung Sara sudah dalam kondisi pikirannya yang jernih, jadi tak perlu ia mengabaikan Leon. "Futsal?" Leon seketika mengangguk cepat dengan senyum di wajahnya. Kelihatannya lelaki itu akan segera menceritakan cerita baru untuk diperdengarkan pada Sara. Kini, Sara hanya bisa menunggu,

  • Berbagi Luka   Leon dan Ceritanya

    12:30 WIB Tangis Sara berangsur-angsur berhenti dari sesenggukannya. Gadis itu kini tengah mengelap bekas air matanya yang tersebar membasahi seluruh permukaan wajahnya, dengan sapu tangan yang Leon baru saja berikan padanya.Kepala Sara menunduk dalam diamnya. Rasanya sedikit lebih lega karena racun dalam batinnya yang sudah dikeluarkan lewat tangis. Sekarang, Sara tinggal menunggu kepalanya menjadi jernih kembali, sebelum akhirnya ia bisa berbicara pada sosok Leon di sampingnya. Sara tadi terus menangis dalam durasi waktu yang lumayan panjang, kira-kira 30 menit lamanya. Selama itu, Leon hening. Lelaki asing itu hanya diam sembari memainkan dan mencabuti rumput hijau yang tengah didudukinya. Sesekali, matanya memperhatikan Sara dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Untuk itu, jelas Sara tidak tahu. Pasalnya, Sara terlalu sibuk dengan tangisnya yang tersedu. "Maaf, kak..." lirih Sara dengan suaranya yang terdengar serak. Perlahan, sosok Leon

  • Berbagi Luka   Tidak Terduga

    Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari

DMCA.com Protection Status