12:30 WIB
"Leon, lo dipanggil sama Justin." Yang merasa namanya disebut menoleh. Didapatinya sosok Galih yang tengah berjalan pelan ke arahnya.
"Justin dimana, bang?" tanyanya kemudian.
"Dalem ruang sekre," jawab Galih. Leon yang mendengarnya pun mengangguk paham.
"Oke, makasih ya, bang!"
"Yoi, ati-ati ntar kalo nginjek semut." Leon tertawa singkat sebelum akhirnya berjalan menuju ruangan tempat dimana Justin tengah berada. Kakinya melangkah dengan langkahan yang terlihat sedikit berlari.
Saat ini merupakan waktu istirahat makan siang untuk seluruh peserta dan panitia. Leon tadi pun sebenarnya baru saja menerima kotak ayam sabananya. Tapi, tiba-tiba saja Galih, kakak senior dan rekan satu panitianya itu memanggilnya, memberitahunya bahwa Justin si ketua himpunan memanggilnya.
Tok tok
Ckrek
"Wih, Leon apa kabar?"
"Woo, koko China mau jualan ayam, ko?"
"Xiàwǔ hǎo, ko!"
"Siang, fans-fansku, kabar baik, nih." Leon tertawa setelah mengucapkan. Barusan itu merupakan anak-anak himpunan yang mengajaknya bergurau dan Leon hanya menanggapinya.
Anak-anak anggota himpunan kebanyakan sangat ramah dan mudah diajak bergaul. Meski Leon tak memiliki banyak kesempatan untuk bergabung dengan mereka, sangat mudah bagi Leon untuk menjadi akrab dengan mereka.
"Mau ngapain, ko?" tanya seorang wanita berambut pendek. Wanita itu bernama Lorenta, seorang anggota himpunan ketua divisi seni dan budaya. Lorenta tengah terduduk pada salah satu kursi sembari sekotak ayam sabana terletak di hadapannya.
"Gue mau nyari Justin. Lo liat Justin gak?" tanya Leon balik seraya berjalan mendekatinya. Lorenta yang mendapati pertanyaan tersebut pun berpikir sebentar. Kelihatannya tengah mengingat-ingat dimana ketua himpunannya itu terakhir kali dilihatnya.
"Tadi terakhir kali gue liat ada di lapangan basket, nemuin anak-anak panitia yang belom mau istirahat makan siang."
"Lah?" Leon menautkan kedua alisnya heran. Bukankah lelaki sepantarannya itu baru saja memintanya untuk datang menemuinya melalui perantaraan Galih?
"Kenapa emang?" Lorenta kembali bertanya. Mulutnya kini baru saja menerima suapan nasi dan ayam dari jatah kotak sabananya.
"Justin nyuruh gue nemuin dia di sini," jawab Leon. Ia kini menjadi bingung sendiri. Tak mungkin kalau Galih hanya bercanda dengannya tadi. Lagi pun, Galih itu merupakan pribadi yang tahu batasan dalam membuat candaan. Ini waktu makan siang. Sangat tak lucu kalau waktunya itu terbuang habis hanya untuk mengitari kampus guna mencari Justin yang ternyata tak sedang ingin menemuinya.
"Waduh, lo coba -"
"Leon!" Yang dipanggil spontan menoleh. Dilihatnya sosok tinggi Justin yang baru saja memasuki pintu ruang sekretariat. Leon yang mendapatinnya pun mendengus lega. Diucapkannya terima kasih pada sosok Lorenta, kemudian segera ia datangi Justin yang juga sedang berjalan mendekatinya.
"Wassap, bro!" sapa Justin sambil melayangkan tangannya, berniat untuk melakukan salam pertemuan dengannya. Melihatnya, Leon pun segera menanggapinya.
"Habis darimana lo? Lo manggil gue, kan?" tanya Leon memastikan.
"Iya, gue minta tolong sama Bang Galih tadi," jawab Justin sembari mulai melangkah untuk menuntun Leon duduk pada kursi yang kosong.
*Selanjutnya akan sangat dominan percakapan antara Leon dan Justin*
"Kenapa? Tumben banget lo manggil gue. Lo bukannya lagi sibuk patroli?" Keduanya kini telah mendudukkan diri di atas kursi yang letaknya di ujung ruangan. Kursi itu tampaknya memang disiapkan khusus untuk kosong. Pasalnya, tak satu pun anggota himpunan yang mendekati dua kursi kosong tersebut.
"Iya, gue tadi masih patroli, tapi sekarang udah selesai, kok. Ada banyak banget panitia yang ngeyel, gak mau istirahat, maunya jalanin tugas kepanitiaannya terus. Gue khawatir kalo nanti pada sakit, HIMA yang kena imbasnya," jelas Justin kemudian.
"Lah, lo peduli sama anggota panitia, tapi sama gue gak? Padahal gue juga panitia," canda Leon. Justin yang mendengarnya pun meledak besar tawanya. Ia tertawa sambil mulutnya ia tutupi dengan sebelah tangannya.
"Ya udah, nanti lo gue kasih waktu buat istirahat lebih, deh." - Justin
"Bercanda gue." - Leon
"Gue juga bercanda." - Justin
Leon menghela napasnya berat. Hal itu lalu kembali mengundang tawa Justin di sampingnya.
"Lo mau ngomong apaan? Penting pasti, kan?" - Leon
Justin terdiam sejenak.
"Kak Lisa lapor ke gue kalo lo kasih keistimewaan sama camaba yang telat. Gue mau konfirmasi sama lo, itu bener gak?" - Justin
Kini, ganti Leon yang terdiam. Sebenarnya, soal Lisa yang melapor pada Justin itu bukan hal yang mengherankan, bukan pula hal yang jahat. Leon sesungguhnya pun mampu mengerti situasinya.
"Iya, Sara Melody nama camabanya." - Leon
"Kenapa lo kasih keringanan?" - Justin
Kebingungan melanda batin Leon sekarang. Seperti apa ia harus menjawab pertanyaan yang barusan Justin lontarkan padanya? Bukan, Leon tahu jelas mengapa ia melepas gadis bernama Sara itu. Tetapi, jika ia katakan alasan itu pada Justin, akankah lelaki sepantarannya itu mengerti? Tak semua orang mau mengerti kondisi yang gadis semacam Sara alami.
"Leon, lo gak punya hubungan spesial sama Sara Melody, kan?" - Justin
"Hah? Wujudnya aja baru gue liat tadi pagi." - Leon
"Terus kenapa? Lo naksir?" - Justin
Leon tertawa hambar.
"Kocak lo, gak lah." - Leon
"Lah terus? Lo jangan kayak cewek pms gitu, ah, maunya ditanya sampe bangkotan baru dijawab." - Justin
Tawa Leon yang menggelegar kembali datang. Ia tertawa begitu kencang hingga Justin dan beberapa anggota himpunan yang mendengarnya ikut tertawa kecil.
"Aduh, lo lagi curhat?" - Leon
"Noh kan, jawab cepet kenapa!" - Justin
"Iya, iya..." - Leon
Kepala Leon kini menuduk ke bawah. Ia menarik napasnya dalam, memikirkan segala macam kata yang kiranya hendak ia susun sejelas-jelasnya agar Justin tak perlu lagi bertanya lebih jauh. Pun juga, kata-kata yang kiranya tak membuat Sara seolah sedang dipermalukan dan dituduh.
"Sara Melody lagi sakit tadi. Kalo dia dihukum, terus tambah sakit, gue kira gak bakal lucu." - Leon
"Tapi, kalo lo lolosin gitu aja juga gak bener. Seandainya dia beneran sakit, dia bisa ngomong dan dikasih hukuman yang lebih ringan sama anak-anak keamanan." - Justin
"Gak bisa, dia gak bisa dihukum sama sekali. Percaya sama gue, dia tambah sakit nanti." - Leon
Justin kembali terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Leon tak sama sekali tahu.
"Kalo kena teguran aja juga seharusnya masih bisa, Leon. Gimana pun juga, tindakan lo tadi gak tegas sama sekali. Seandainya camaba lain tau, impresi gak adil bisa muncul buat para panitia dan HIMA." - Justin
Wajah Leon kini menatap Jutin lurus dengan air mukanya yang tampak lesu. Ia menyadari kalau memang sebaiknya ia tidak melakukan tindakan keringanan yang seperti tadi. Namun, kondisi Sara sungguh tak memungkinkan untuk bahkan sekedar menerima teguran. Leon, lelaki itu seolah tahu seperti apa perasaan yang tengah gadis itu rasakan tadi.
"Gue minta maaf atas kegakprofesionalan gue. Kalo misalnya ada hukuman yang harus gue terima karena ini, gue bersedia terima. Soal Bang Galih sama Kak Lisa, mereka gak sama sekali ada sangkut pautnya sama ini, jadi jangan ikutin mereka ke dalem hukuman gue." - Leon
Helaan napas panjang terdengar dari Justin. Teman sepantaran Leon itu kemudian tersenyum manis sembari tangan panjangnya merangkul Leon ramah.
"Lo pasti bakal dapet hukuman sebagai ganjaran dari tindakan lo tadi, tapi jangan sedih gitu lah. Wei, paling hukumannya cuma disuruh ambil alih tugas bikin laporan kepanitiaan." - Justin
"Cuma lo bledug. Bikin laporan susah, bro!" - Leon
"Hahaha! Emang lo udah pernah coba bikin laporan?" - Justin
"Pernah lah, tugas kayak gitu sering banget dikasih dosen kalo abis penelitian keluar kampus." - Leon
"Buset, semester satu dua kemaren, prodi lo udah disuruh penelitian keluar?" - Justin
"Udah, terakhir kali gue neliti bakery depan kampus." - Leon
"Wih, keluar kampus banget, ya." - Justin
Leon dan Justin, keduanya kini tertawa riang di ujung ruangan sembari kemudian memutuskan untuk melanjutkan makan siang yang hanya tersisa sekitar 10 menit lagi. Permasalahan yang baru saja dibicarakan oleh Justin pada Leon pun ditinggalkan dengan cepat. Tak ada lagi Justin mengorek masalah itu dari Leon. Dalam batinnya, meski tak nampak, Leon kini sedikit bersyukur karenanya. Sara Melody itu, Leon berharap gadis itu mampu mengatasi masalah apapun yang tengah menimpanya sekarang.
Ada yang penasaran sama wujud Leon dan Justin gak???? Happy reading, ya!!
12:55 WIB Dapat Sara lihat sosok Seren yang berjalan memasuki klinik tempatnya mendekam dengan perlahan. Seren tampak tersenyum ramah pada Sara, hingga Sara yang mendapatinya pun mencoba untuk balas tersenyum. Sekian lama terisolasi dari ospek, Sara sudah berusaha sebaik mungkin untuk memperbaiki pikirannya. Hari ini setidaknya harus diselesaikan terlebih dahulu, jangan lagi jatuh seperti tadi, karena kembali lagi, meski tak menyukai Jakarta dan memiliki pemikiran buruk dengan para warganya, Sara tak ingin menjadi beban bagi mereka. Lagi pun, terjatuh seperti tadi tak hanya merepotkan orang lain, tetapi juga merepotkan dirinya sendiri. "Hai Sara, kamu udah sembuh?" sapa Seren sembari mendudukkan dirinya tepat di samping Sara. Sara yang mendengarnya pun mengangguk pelan. "Udah makan siang? Istirahatnya tinggal 5 menit lagi." Untuk pertanyaan tersebut, Sara jujur tak tahu harus bagaimana menjawab. Pasalnya, ia tadi memakan bekal milik Jonathan
Sara dan Seren akhirnya sampai pada kelompok mereka. Untung saja keduanya sampai tepat waktu, yaitu bersamaan dengan sirine yang berhenti dibunyikan. Kata Seren, sirine itu merupakan pertanda bagi para peserta ospek mengenai keterlambatan perpindahan sesi atau waktu. Selama sirine itu dibunyikan, maka para peserta ospek memiliki kewajiban untuk berlari secepat mungkin mencari kelompoknya, karena setiap kali dibunyikan, keadaan para peserta ospek pasti tengah terpisah-pisah dengan kelompok mereka. Kalau seandainya ada yang belum bergabung dengan kelompok saat sirine berhenti diperdengungkan, maka hukuman pasti akan diberlakukan karena dianggap terlambat. Napas Sara kini tersengal hebat. Setelah menabrak seseorang yang tinggi tadi, Seren menarik tangannya dengan lebih kencang, hingga Sara yang ditarik pun sampai kuwalahan sendiri. Tapi, meski begitu Sara sangat ingin berterima kasih pada Seren, pasalnya kalau tidak berlari menerobos kerumunan sekencang tadi, keduanya pa
Dokter Ilmu Kejiwaan, begitulah nama kelompok ospek dimana Sara bernaung. Kata Seren, nama itu diambil atas pendapat atau ide yang disampaikan oleh Miki. Filosofinya berasal dari bidang fokus setiap jurusan para anggota di dalamnya, yaitu jurusan kedokteran, ilmu komunikasi dan psikologi. Selama Sara masih mendekam dalam klinik tadi, ada banyak hal yang kelompoknya diskusikan, termasuk yel-yel yang akan ditampilkan mulai pada ospek di hari esok. Semuanya itu, Seren menceritakannya selagi mereka tengah dalam perjalanan untuk melakukan tur kampus. "Ini merupakan lab anak-anak pariwisata. Mereka biasanya buka cafe setiap hari Rabu dan Jumat. Kalian kalo mau mampir boleh banget, ya. Tenang, menu-menunya enak semua, kok. Habis itu harganya juga terjangkau." Sara sedikit berjinjit untuk melihat sisi dalam ruangan menyerupai cafe, yang kata kakak pemandu adalah lab bagi para mahasiswa program studi pariwisata. Mari kita sebut saja kalau itu memang merupakan cafe sungguh
15:15 WIB Kelompok Sara kini sudah terduduk di bawah pohon rindang, tempat yang sempat mereka duduki sebelumnya. Tampaknya, tempat tersebut sudah menjadi hak milik kelompoknya. Lihat saja Guntoro, sosok kakak pendamping dengan pribadi cerianya itu berlari paling kencang menuju bawah pohon rindang yang sejuk. Guntoro lalu tersenyum sambil berkecak pinggang, menunggu anak-anak asuhnya sampai ke tempat ia sampai. Sara menselonjorkan kakinya yang kecil. Rasanya sedikit pegal, karena dua jam suntuk dipakai untuk berjalan, mengitari seisi gedung kampus barunya yang sangat luas."Guys, abis ini kita bakal dapet tugas untuk tulis laporan sederhana tentang hal-hal apa aja yang kita dapet dari tur kampus tadi. Laporannya nanti bakalan dipake buat maju presentasi." Guntoro mulai menjelaskan kegiatan selanjutnya sembari tangannya bergerak untuk mengipas-ngipas diri yang tampak berkeringat. "Presentasi? Emangnya kuat bang sampe ntar jam 5 sore? Bukanny
Sara meremat jari-jarinya kasar. Betapa terkejutnya ia saat Tari mengatakan hal barusan. Ternyata apa yang ia pikirkan bukan sekedar perasaan jahatnya, tapi memang benar-benar terjadi, yaitu tentang dirinya yang sangat merepotkan. Kepala Sara menunduk dalam dengan batinnya yang kini tergores besar. Kata-kata Tari sangat membuatnya tersayat dan perlahan kembali pada rasa takutnya. Teman-teman Sara itu, apa hanya Tari yang berpikir bahwa Sara belum bekerja apapun? Apa yang lain juga berpikir bahwa Sara sangat tumpang tangan? Mengapa dugaan-dugaan seperti itu terasa menyakitkan? Sungguh, Sara kini berusaha begitu keras untuk tidak membiarkan bahunya kembali bergetar dan rasa takut kembali menguasai dirinya. "Sara, jangan kumat lagi!" Bak baru saja dihantam truk yang beratnya berton-ton, seluruh inci tubuh Sara melemas. Meski tak melihat bagaimana air muka Tari saat mengatakannya, Sara mampu mendengar dengan jelas nada suara yang Tari timbulkan dari peringatannya bar
17:30 WIB Sara menarik napasnya dalam. Langit kini sudah mulai beralih menjadi abu-abu. Kegiatan ospeknya baru saja dibubarkan. Mereka ternyata selesai sedikit terlambat, karena masalah pengaturan barisan yang sedikit lama. Pun juga, karena para kelompok yang presentasi ada beberapa yang melakukan presentasi dengan sangat detail, hingga kedua MC sedikit kesulitan menemukan celah untuk menyela. Omong-omong, kelompok Sara tadi tak mendapat kesempatan maju, jadi pekerjaan kelompoknya hanya berkahir dengan dikumpulkan. Sara kini mengenakan jaket merah muda kebesarannya yang ia simpan dalam ransel hitamnya, sebelum kegiatan ospeknya yang sesungguhnya benar-benar dimulai. Jaket itu memiliki tekstur kain yang lembut. Ketika memakainya, rasanya cukup sejuk, bahkan ketika Sara tak sama sekali mendapat angin dari udara di sekitarnya. "Sara, aku duluan, ya!" Sara mengangguk kecil pada sosok Seren yang baru saja berpamitan padanya. Senyumnya merekah tipis dengan tulu
Sara melangkahkan kakinya mengikuti sosok lelaki tinggi di hadapannya. Malangnya nasibnya. Pada akhirnya, Sara menurut tanpa perlawanan apapun juga. Bahunya yang sempit itu bahkan tak bisa lagi bergetar, karena sudah terasa lemas. Sara pikir ia sudah terlalu lelah hari ini. Ada begitu banyak hal yang menimpanya, hingga tubuhnya sendiri sampai tak bisa memberikan reaksi apapun terhadap ketakutan yang Sara tengah alami. Sara sesekali menatap lurus ke depan, memandang punggung lebar milik si lelaki tinggi. Dalam pikirannya, Sara berusaha menerka mengenai hal apa yang sekiranya akan menimpanya nanti. Jika lelaki itu benar merupakan orang jahat, bagaimana cara lelaki itu akan menjahatinya nanti? Mau dirampok? Disakiti? Atau hal-hal menajiskan lainnya? Entahlah, meski takut, Sara tak tahu kenapa matanya terus menatapi si lelaki dengan pandangan yang penuh dengan perandaian. Apakah parkiran kampus sejauh itu? Mengapa Sara merasa kalau keduanya tak kunjung sampai? Sedari
Sara mengatur napasnya yang tersengal lumayan hebat. Meski hanya sebentar dirinya dan sosok seniornya berlari tadi, rasanya seolah memakan waktu 1 tahun lamanya, karena rasa takut yang menghantui. Sara kini terduduk di sebuah meja di ujung sebuah rumah makan, yang tampaknya dikhususkan untuk makanan bernama 'kue balok'. Saat sore sudah menjemput seperti sekarang, rumah makan itu kelihatan lumayan ramai pengunjung. Sebenarnya masuk akal, karena makanan yang manis-manis itu lebih nikmat disantap di waktu-waktu redup, atau bahkan saat gelap. "Sara, mau minum apa?" Sara menoleh, mendapati sang senior kembali dari sisi depan rumah makan. "Sama kayak kakak aja," jawab Sara tak ambil pusing. Dirinya kini tengah lumayan berkeringat, hingga tak mau berpikir terlalu banyak. Intinya, keringkan dulu tubuh, baru bisa berpikir jernih. "Sama kayak gue? Oke, lo gak alergi sama monyet, kan?" tanya lelaki itu membuat Sara menautkan alisnya bingung. Apa yang akan le
Sara terduduk di jok belakang - jok penumpang - di motor besar milik Leon. Gadis itu memakai helm berat milik Leon juga di kepalanya. Sedangkan Leon sendiri, si pemilik helm, lelaki itu tak memakainya. Katanya, keselamatan penumpang jauh lebih penting dibanding keselamatan pengemudi. Entah dari mana pembelajaran seperti itu Leon dapatkan, yang jelas Sara memilih untuk tak banyak bicara. Sara hanya berakhir dengan mengikuti segala perkataan Leon padanya. Angin malam kota Jakarta terasa sejuk dan dingin saat menerpa kulit. Sara memilih untuk tidak mengenakan jaketnya, karena kulitnya yang baru saja diolesi salep lagi. Rambut Sara yang panjang berterbangan diterpa oleh kencangnya tabrakan angin bagi dirinya. Omong-omong, tadi juga ia menggerai rambutnya, karena merasa bahwa kondisi sudah tak tengah panas lagi. Saat ini waktu menunjukkan pukul 19:00 pm. Bakso yang mereka tunggu itu akhirnya datang juga setelah menunggu dalam waktu yang cukup lama. Sesudah menyantap habis bakso, Leon meng
"Kenapa?" Sara terkesiap ketika Leon tiba-tiba membuka matanya dari doanya. Lelaki itu terkekeh kecil saat mendapati Sara tengah memperhatikannya dengan segala pikirannya yang melayang kemana-mana. Cukup memalukan bagi Sara sebenarnya. Dirinya tak mau kalau Leon sampai salah sangka dengannya, atau pun merasa tak nyaman atas tingkahnya barusan. "Maaf, kak," ujar Sara kemudian. Leon lalu terlihat kembali terkekeh. Tangannya kini mulai bergerak untuk meraih mangkuk sekoteng hangatnya. "Dimakan, itu kalo dingin rasanya jadi aneh." Sara menurut. Ia mengikuti Leon, untuk segera juga meraih mangkuknya. Pikirnya, sekoteng merupakan minuman atau kuliner yang tak begitu populer di tempatnya berasal. Karenanya, untuk tahu cara menyantapnya, ia perlu memperhatikan dan mengikuti Leon terlebih dulu. Bisa saja imajinasinya mengatakan: sendokkan kuah bersamaan dengan sedikit isiannya, tetapi ternyata pada kenyataannya, seharusnya dicicip dahulu kuahnya. "Cara makannya bebas, kayak kue balok kemarin
18:00 WIB Sara terdiam bersama dengan Leon di sampingnya. Matanya sibuk memandangi indahnya langit sore yang mulai meredup. Di tengah itu, suasana yang sepi nan tenang menyapa, meninggalkan kesan yang sangat nyaman bagi Sara. Angin tempat dimana mereka, Sara dan Leon terduduk pun terasa sangat sejuk, sedikit dingin, namun tak sampai yang membunuh. Taman Kota Sudirman, di sana lah keduanya tengah berdiam. Dengan mulut yang terkatup rapat, netra keduanya sibuk menjelajah langit abu-abu gelap, simbol bahwa hari akan berganti malam. Suasana semacam sekarang merupakan suasana yang sungguh bersahabat dengan batin Sara yang riwuh. Bayangkan saja, kepala Sara sudah sangat berisik, pun batinnya. Kemudian, dirinya ditempatkan di tengah lautan manusia yang terus-menerus harus berteriak dengan otot - tentulah Sara merasa sangat hancur baik dari psikis maupun psikologis. Saat ini merupakan saat-saat healing baginya. Hhh Sara menarik napasnya dalam-dalam. Udara di sekitar Jakarta tempatnya tin
Mata Sara memaku memandangi sosok-sosok mahasiswa baru yang tengah menjalani hukuman dari para panitia keamanan. Ini sudah waktunya pulang, tetapi para mahasiswa tersebut masih harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka sebelumnya. Sara pikir hukuman hanya diperbolehkan untuk berjalan selama jam ospek belum berakhir, tapi ternyata tidak begitu. Diri Sara melamun dengan pikirannya yang berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Sebentar ke arah para mahasiswa yang sedang dihukum, sebentar ke arah kulitnya yang terasa sangat panas kini, sebentar lagi ke arah bahwa dirinya ingin menangis ditempat, kemudian sebentar ingin segera menginjakkan kaki di kamar apartemennya. Sara tengah terduduk di sebuah lapangan, dimana para mahasiswa baru atau para peserta ospek sedang berhamburan keluar menuju gerbang. Sara tak begitu peduli perihal itu. Pikirannya yang blank membuatnya menjadi seperti mayat yang dipaksakan untuk hidup; tidak mampu berpikir, tetapi juga memil
Sara memilih untuk pasrah saat gilirannya untuk maju tiba. Kulitnya yang terasa sakit itu sudah diabaikannya kini. Lelah sendiri jika harus memikirkan hal-hal yang memberatkan pikiran. Biar saja kulitnya itu menjerit kesakitan. Kalau pun harus pingsan, maka terjadilah. Atau, kalau pun harus terjadi kecelakaan, terjadilah juga. Bukankah kehidupan Sara tak jauh-jauh dari yang namanya kesialan? Untuk apa pula Sara mengharapkan hal baik terjadi? Takdir baginya ditulis untuk menderita, bukan untuk menikmati apa yang orang lain bisa nikmati.Setelah semua alat pengaman dan segala perlengkapan dipasangkan di tubuhnya, Sara menarik napasnya dalam. Kali ini, Sara melarang keras hatinya untuk mengucap permohonan pada Yang Kuasa. Ia tak hanya mengunci mulutnya, tetapi juga kebebasan batinnya untuk berseru pada Yang Lebih Tinggi. Tak ada gunanya. Malah akan seperti orang bodoh yang mengemis. "Sara, semangat!" Sara menoleh pelan ke arah rekan-rekannya yang berteriak menye
14:00 WIB Kulit Sara terasa terbakar. Sinar matahari siang ini sangat keterlaluan. Sara yang tak pernah sama sekali merasakan sengatnya, kini benar-benar merasakannya. Ingin sekali Sara berlari dari tempatnya berdiri, namun rasanya tak mungkin. Jika saja itu terjadi, maka masalah baru akan timbul nanti. Sara harus menghindari yang seperti itu, karena jam pulang semakin dekat. Drama adalah hal yang anti di jam-jam rawan seperti sekarang. Setelah melewati pos 5 yang sungguh menguras keringat tadi, kelompok Sara sudah berpindah ke pos 6, yaitu pos panjang tebing. Astaga, siang-siang terik begini panjat tebing, Sara tak bisa membayangkan, sebrutal apa matahari akan memanggang mereka semua nantinya. Rasanya tak akan kuat jika harus melakukannya. "Sara, menurut kamu, semuanya bakal kebagian panjat tebingnya, gak?" celetuk Seren. Sara yang mendengarnya pun menoleh sembari kepalanya sedikit menunduk. Bisakah Sara melepaskan ikat rambutnya saja sekarang? Ti
Dengan segala paksaan tenang dari Sara, Leon akhirnya benar-benar memakan jatah makan siang Sara setengahnya. Keduanya membagi dua porsi makan siang itu atas kehendak Sara. Jujur saja, selain mengenai porsi makan Sara yang tak begitu banyak, Sara juga tak enak jika hanya dirinya yang makan, sedangkan Leon sibuk memperhatikannya. "Habis ini kelompok lo dapet pos berapa?" tanya Leon setelah dirinya kembali dari membuang sampah bungkusan makanan. Mendengarnya, Sara tampak terdiam sejenak untuk berpikir. "Pos 5, kak," jawab Sara. Leon mengangguk paham."Udah tau pos 5 ngapain belum?" tanya Leon lagi. Lelaki itu seolah ingin membuat percakapan baru dengan Sara. Beruntung Sara sudah dalam kondisi pikirannya yang jernih, jadi tak perlu ia mengabaikan Leon. "Futsal?" Leon seketika mengangguk cepat dengan senyum di wajahnya. Kelihatannya lelaki itu akan segera menceritakan cerita baru untuk diperdengarkan pada Sara. Kini, Sara hanya bisa menunggu,
12:30 WIB Tangis Sara berangsur-angsur berhenti dari sesenggukannya. Gadis itu kini tengah mengelap bekas air matanya yang tersebar membasahi seluruh permukaan wajahnya, dengan sapu tangan yang Leon baru saja berikan padanya.Kepala Sara menunduk dalam diamnya. Rasanya sedikit lebih lega karena racun dalam batinnya yang sudah dikeluarkan lewat tangis. Sekarang, Sara tinggal menunggu kepalanya menjadi jernih kembali, sebelum akhirnya ia bisa berbicara pada sosok Leon di sampingnya. Sara tadi terus menangis dalam durasi waktu yang lumayan panjang, kira-kira 30 menit lamanya. Selama itu, Leon hening. Lelaki asing itu hanya diam sembari memainkan dan mencabuti rumput hijau yang tengah didudukinya. Sesekali, matanya memperhatikan Sara dengan pandangan yang tak dapat diartikan. Untuk itu, jelas Sara tidak tahu. Pasalnya, Sara terlalu sibuk dengan tangisnya yang tersedu. "Maaf, kak..." lirih Sara dengan suaranya yang terdengar serak. Perlahan, sosok Leon
Sara menyandarkan punggungnya di salah satu pilar di lapangan tempatnya terduduk. Dirinya terus terdiam dengan pandangannya yang kosong. Omongan Tari masih menghantuinya, mengakibatnya tak bisa memikirkan hal-hal positif sedikit pun. Sedari tadi, Seren dan gadis-gadis lain selain Tari terus ada bersamanya. Mereka menemaninya sembari berusaha membicarakan banyak hal yang menyenangkan, berharap Sara dapat kembali dalam kondisinya yang baik-baik saja. Sesungguhnya Sara merasa tak enak dari 2 sisi. Sisi pertama adalah dari sisi rekan-rekannya. Mereka sudah mengusahakan yang terbaik untuk membuat hati Sara menjadi sedikit membaik.Namun, dalam waktu yang bersamaan, sisi dari dirinya merasakan perasaan yang tak nyaman. Saat seperti sekarang adalah saat-saat dimana Sara seharusnya berdiam diri dan merenung sendirian, membiarkan air matanya tumpah untuk mengeluarkan segala racun yang mengendap dalam batin. Omong-omong, kelompok Sara sudah selesai melakukan lomba lari